BAB I
PENDAHULUAN
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan
berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting
untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting
pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. Efek
histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel
inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi
dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada
sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel.
Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3
(H3).1,2
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik,
maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Sejak penemuan
antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan
dokter. Antara tahun 1940-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian
digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan
menjadi anti histamin penghambat reseptor H1 (AH1), penghambat reseptor H2 (AH2),
penghambat reseptor H3 (AH3). 1
Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik
maupun rekuren. Dengan demikian dermatologist harus teliti dalam pemakaian
antihistamin dan efek samping potensial pada kelompok-kelompok antihistamin yang
berbeda untuk keperluan klinis sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik. 3
BAB II
ANTIHISTAMIN
Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh
dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini
menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan
antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1.
Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin
H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama
dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas
intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis
bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan
kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis
sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik. 4
Ar1 H
X – CH2 – CH2 – N
Ar2 H
Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C, atau – C – O -. Pada struktur AH1 ini
terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus bangun histamin. 1
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama
lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini
dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf
pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi
kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi
ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan
efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. 4
II.1.3. Farmakologi
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang
lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan
lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga
memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin.
Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan
menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran basofil plasma, atau
menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi
alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek
anti-platelet activating factor.
Antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in
vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan,
desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat
pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga
memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan
inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa
memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies.
Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga
perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.4
Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek sedasi yang cukup besar sehingga
berguna sebagai bantuan tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada siang hari. Pada
anak – anak (dan jarang terjadi pada dewasa) menimbulkan eksitasi daripada sedasi. Pada
dosis toksik yang tinggi dapat menyebabkan agitasi, kejang, dan koma. Sedangkan
Antihistamin H1 generasi kedua hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak mempunyai
kerja sedatif atau stimulasi. Obat antihistamin H1 generasi kedua (atau metabolitnya)
juga mempunyai efek autonomik yang lebih sedikit dari antihistamin H1 generasi
pertama.
Efek anti mual dan anti muntah
Efek penyekat reseptor alfa dapat dibuktikan untuk beberapa antihistamin H1, khususnya
di dalam subgrup phenothiazine, misalnya promethazine. Kerja tersebut dapat
mengakibatkan hipotensi ortostatik pada orang-orang yang rentan. Penyekatan terhadap
reseptor beta tidak terjadi.
Kerja penyekat serotonin
Efek penyekatan yang kuat terhadap reseptor serotonin telah dibuktikan pada beberapa
generasi pertama antihistamin H1, terutama cyproheptadine. Obat tersebut digunakan
sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai struktur kimia yang menyerupai
antihistamin phenothiazine dan merupakan suatu obat penyekat H1 yang kuat.
Anestesi lokal
II.1.4. Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1 diabsorpsi secara baik.
Pemberian antihistamin H1 secara oral efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah
1-2 jam, mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan
protein plasma berkisar antara 78-99%. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar
antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase
system, tetapi dapat juga melalui paru-paru dan ginjal. Konsentrasi plasma yang relatif
rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas
pertama oleh hati. Antihistamin H1 dieksresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam
bentuk metabolitnya.
II.1.5.1. Indikasi
Tabel II.2. Indikasi Antihistamin H1Indikasi Generasi Pertama yang Diakui FDA
Drug Name Batas Usia Indikasi
Azatadine > 12 tahun PAR, SAR, CU
Azelastine > 3 tahun PAR, SAR, VR, AC
Brompheniramine > 6 tahun AR, HR Type 1
Chlorpheniramine > 2 tahun AR
Clemastine > 6 tahun PAR, SAR, CU
Cyproheptadine > 2 tahun PAR, SAR, CU
Dexchlorpheniramine > 2 tahun PAR, SAR, CU
Hydroxyzine Bisa diberikan < 6 tahun Pruritus, sedasi, analgesia, anti-emetik
Promethazine > 2 years old HR Type 1, Sedation, Motion sickness, Analgesia
Tripelennamine > 1 bulan PAR, SAR, CU
*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CU = chronic
urticaria, HR Type 1 = hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic rhinitis, VMR =
vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis
Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA
Nama Obat Batas Usia Indikasi
Cetirizine > 2 tahun PAR, SAR, CIU
Fexofenadine > 6 tahun SAR, CIU
Loratadine > 2 tahun SAR, CIU
Desloratadine > 12 tahun PAR, SAR, CIU
*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU = chronic
idiopathic urticaria
1,4
Indikasi dermatologi :
Urtikaria atau angioedema
Dermographisme simptomatik
Pruritus
Dermatitis atopik
Mastositosis simptomatik
Reaksi flushing 3
Tabel II.3. Dosis Dan Masa Kerja Antihistamin H1 5Obat / efek sedatif Dosis reguler
orangdewasa (mg) Masa kerja (jam) Aktivitas antikolinergik Keterangan
ANTIHISTAMIN GENERASI PERTAMA
Ethanolamin / + – +++
Carbinoxamin (listin) 4-8 3-4 +++ Sedasi ringan-menengah
Dymenhydrinate (garam)
Pada dosis terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi
yang besar dalam toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat
mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan.1
Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang
tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama.
Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi
pertama. 4
Antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an
mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan.
Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada
jantung (kardiotoksisitas).
Untuk pasien yang aktif bekerja harus berhati-hati dalam menggunakan antihistamin,
karena beberapa antihistamin memiliki efek samping sedasi (mengantuk), gangguan
psikomotor dan gangguan kognitif. Akibatnya bila digunakan oleh orang yang melakukan
pekerjaan dengan tingkat kewaspadaan tinggi sangat berbahaya. 6
II.1.7. Kontraindikasi
Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial antihistamin H2
cimetidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai
antihistamin H2. Baik simetidin maupun raditidin diberikan dalam bentuk oral untuk
mengobati penyakit kulit. Kedua obat tersedia dalam bentuk injeksi intramuskular dan
intravena. 3
II.2.1. Struktur
II.2.2. Farmakodinamik
II.2.3. Farmakokinetik
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM.
Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan.
Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP
dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV
dan 40% dari dosis oral simetidin dieksresi dalam bentuk asam dalam urin. Masa paruh
eliminasinya sekitar 2 jam.
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada
pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan
memanjang pada orangtua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa
paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak
plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang
terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di
hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya
dieksresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral dieksresi dalam urin dalam bentuk
asal. 1
II.2.5.1. Indikasi :
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Simetidin, ranitidin atau
antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan tukak lambung dan tukak duodenum.
Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Antihistamin H2 juga bermanfaat
untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison. 1
II.2.5.2. Dosis :
Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan
penghambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan
dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :nyeri kepala
pusing
malaise
mialgia
mual
diare
konstipasi
ruam kulit
pruritus
kehilangan libido
impoten 1
II.2.7. Kontraindikasi
Kehamilan
Ibu menyusui 3
Tabel II.6. Perbandingan Efek Histamin Dan Antihistamin H3 Pada Organ 5Organ
Histamin Antihistamin
Kardiovaskuler (Pembuluh darah kecil) Dilatasi
BAB III
PEMILIHAN SEDIAAN
Walaupun antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi asam lambung daripada
obat antikolinergik, antagonis reseptor H2 tidak lebih efektif daripada terapi intensif
dengan antasida pada pasien esofagitis refluks, tukak lambung, tukak duodeni atau
pencegahan tukak lambung akibat stres. Antagonis reseptor H2 disediakan sebagai obat
alternatif untuk pasien yang tidak memberikan respons baik terhadap pengobatan antasida
jangka panjang. 1
BAB IV
Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi semisal
rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada harga,
frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua antihistamin
generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga
lebih murah. Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua dan
ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan.
Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis
menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi pertama.
Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya dirasakan oleh individu
dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine,
diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang
memperoleh fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang subjek yang
menerima diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti
dengan subjek yang menerima alcohol.
The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and Immunology
menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari antihistamin generasi
pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, untuk
mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi kronis lainnya direkomendasikan suatu
strategi baru, yakni terapi antihistamin“AM/PM”. Penderita diberikan antihistamin
generasi kedua dan ketiga yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya
sebelum pemberian antihistamin generasi pertama. Jadi, dosis siang hari generasi kedua
dan ketiga, sedangkan dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa
mengoptimalkan terapi dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah
karena tetap bisa menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah. 4
BAB V
KESIMPULAN
Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamine pada
reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi
antagonis reseptor H1, reseptor H2 dan reseptor H3. Penghambat reseptor H1 digunakan
pada terapi alergi yang diperantai IgE. Obat-obat tersebut telah tersedia, tetapi
penggunaan generasi antihistamin pertama (klorfeniramin, bromfeniramin,
difenhidramin, klemastin, hidroksizin) terbatas, karena adanya efek samping sedasi
primer dan menyebabkan keringnya membran mukosa. Antihistamin generasi kedua
(loratadin, cetirizin) dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor
histamin H1, di samping efek antiinflamasi.
DAFTAR PUSTAKA
Udin Sjamsudin, Hedi RD : Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi
,edisi 4, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta, 1995, p. 252-260.
Rengganis Iris : Alergi Merupakan Penyakit Sistemik : Cermin Dunia Kedokteran 2004;
142: 42-45.
Del Rosso Q. James : Antihistamines dalam Systemic Drugs For Skin Disease, W.B.
Saunders Company, United States of America, 1991, p.285-316.
Andra : Optimalisasi terapi Antihistamin dalam Majalah Farmacia, Volume 6, Jakarta,
2006, p.64.
Sjabana Dripa : Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p. 467-
487.
http:// www.galenium.com diterbitkan 2006.a