Hipertiroid merupakan overfungsional kelenjar tiroid4. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena
adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis
tirotoksikosis. Sementara menurut Martin A Walter hipertiroid adalah kondisi umum yang berkaitan
dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas, khususnya yang disebabkan oleh komplikasi
kardiovaskuler.
Sebagian besar disebabkan oleh penyakit graves, dengan nodul toksik soliter dan goiter multinodular
toksik menjadi bagian pentingnya walaupun dengan frekuensi yang sedikit2. Namun penyakit graves dan
goiter nodular merupakan penyebabnya yang paling umum. Pada penderitanya biasanya terlihat adanya
pembesaran kelenjar gondok didaerah leher. Komplikasi hipertiroid pada mereka yang berusia lanjut
dapat mengancam jiwa sehingga apabila gejalanya berat harus segera dirawat di rumah sakit.
ETIOLOGI
Lebih dari 90% kasus hipertiroid adalah akibat penyakit graves dan nodul tiroid toksik. Penyakit graves
sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang tidak diketahui penyebabnya. Namun karena
perbandingan penyakit graves pada monozygotic twins lebih besar dibandingkan pada dizygotic twins,
sudah dipastikan bahwa faktor lingkunganlah yang berperan dalam hal ini3. Bukti tak langsung
menunjukkan bahwa stress, merokok, infeksi serta pengaruh iodin ternyata berpengaruh terhadap
sistem imun2,3.
Sederhananya penyakit graves merupakan multiple dari autoimun, yaitu tirotoksikosis, eye disease, dan
pretibial myxoedema yang berpengaruh terhadap bagian optik (opthalmopathy), kulit (dermatopathy),
serta jari (acropathy)2. Keadaan ini biasanya terjadi karena adanya imunoglobulin yang menstimulasi
tiroid dalam serum4.
Adapun faktor lain yang mendorong respon imun pada penyakit Graves antara lain :
PATOGENESIS
Perjalanan penyakit hipertiroid biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Pada penyakit graves, hipertiroid merupakan akibat dari antibodi reseptor thyroid-stimulating antibody
(TSI) yang merangsang aktivitas tiroid, sedangkan pada goiter multinodular toksik berhubungan dengan
autonomi tiroid itu sendiri. Pada penyakit graves, limfosit T menjadi peka terhadap antigen yang
terdapat dalam kelenjar tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibody terhadap antigen-
antigen ini. Adanya antibodi dalam darah ini kemudian berkorelasi dengan penyakit aktif dan
kekambuhan penyakit yang diterapi dengan obat-obat antitiroid3.
MANIFESTASI KLINIS
1. Pada individu yang lebih muda, manifestasi yang umumnya terlihat adalah palpitasi, gelisah, mudah
lelah, hiperkinesia, diare, keringat yang berlebihan, tidak tahan panas, suka dengan dingin, dan sering
terjadi penurunan berat badan tapi tanpa disertai dengan penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid,
tanda-tanda tirotoksikosis pada mata dan takikardia ringan juga sering terjadi2,3 .
2. Pada anak-anak terjadi pertumbuhan dengan pematangan tulang yang lebih cepat2.
3. Pada pasien-pasien di atas 60 tahun manifestasi yang mendominasi adalah manifestasi kardiovaskular
dan miopati dengan keluhan palpitasi, diseupnea saat latihan, tremor, gelisah, dan penurunan berat
badan2.
4. Pada dermopati terjadi penebalan kulit hingga tidak dapat dicubit. Kadang-kadang mengenai seluruh
tungkai bawah dan dapat meluas sampai ke kaki.
5. Pada penyakit graves yang sering terjadi adalah pemisahan kuku dari bantalannya (onkolisis).
Hipertiroid
Lebih dari 90% kasus hipertiroid adalah akibat penyakit graves dan nodul tiroid toksik. Penyakit
graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang tidak diketahui penyebabnya.
Namun karena perbandingan penyakit graves pada monozygotic twins lebih besar dibandingkan
pada dizygotic twins, sudah dipastikan bahwa faktor lingkunganlah yang berperan dalam hal ini.
Bukti tak langsung menunjukkan bahwa stress, merokok, infeksi serta pengaruh iodin ternyata
berpengaruh terhadap sistem imun.
Sederhananya penyakit graves merupakan multiple dari autoimun, yaitu tirotoksikosis, eye
disease, dan pretibial myxoedema yang berpengaruh terhadap bagian optik (opthalmopathy),
kulit (dermatopathy), serta jari (acropathy)2. Keadaan ini biasanya terjadi karena adanya
imunoglobulin yang menstimulasi tiroid dalam serum.
Adapun faktor lain yang mendorong respon imun pada penyakit Graves antara lain :
1) Kehamilan, khususnya pada masa nifas
2) Kelebihan iodida di daerah defisiensi iodida4
3) Terapi litium
4) Infeksi bakterial atau viral
5) Penghentian glukokotrikoid
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis
Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan
pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada
musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas.
Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola
mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan
reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan
otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan
pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata
dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi
dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain
palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan
lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa
amenore atau infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi ,
dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan,
diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari
ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan
hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau
karena pembedahan.
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau
ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat
mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
- Terapi yodium radioaktif
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat
yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan respons
adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai dengan
flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid didalam
kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum
penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita
tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi
triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi
peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih
sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering dijumpai
dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada wanita dari
pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma
(hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan
sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.(1,2,3)
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian,
diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui
secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya,
penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-
Ab) dengan kadar bervariasi.(1,2)
2.1 Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah
suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja
mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari
hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.(1,4,5,6)
2.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai sekarang
belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana
15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama.
Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam
darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat
terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40
tahun.(2,6)
2.3 Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada
didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi
terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam
membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan
TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg),
thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu
protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang
diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid
penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh
pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan
sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis
Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan
pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada
musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas.
Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola
mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan
reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan
otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan
pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata
dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi
dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain
palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan
lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa
amenore atau infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi ,
dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan. (1,2)
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan,
diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari
ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan
hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau
karena pembedahan. (8)
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau
ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :
B. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :
Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun
tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan
ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral
tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. (2)
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme
umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar
hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-
tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin
stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan
meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,
menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar
hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di
kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak
terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif
terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi
kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa
kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4). (1,2,3)
Penyebab
Gondok biasa disebabkan oleh gangguan pada kelenjar tiroid sehingga tidak dapat
mensekresikan hormon tiroid sesuai dengan kebutuhan tubuh. Juga dapat terjadi karena
kekurangan kadar yodium yang menyebabkan penyakit gondok bersifat endemik.
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma diffusa non toksik
dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan
di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat
sintesa hormon oleh zat kimia.31
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma
nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma
nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
Universitas Sumatera Utara
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri
kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. 31
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas dinilai dari
prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam
tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang
dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20
% - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.33