Oleh :
Indra Cipta
0342011148
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2011
Hakim menilai HPL Gelora Bung Karno cacat hokum
JAKARTA. Pemerintah akhirnya harus kehilangan sebagian tanah Gelanggang
Olahraga (Gelora) Bung Karno di Senayan, Jakarta Pusat. Kemarin (12/5),
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan untuk memenangkan PT
Terminal Builders dan PT Amana Jaya dalam gugatannya melawan Badan
Pertanahan Nasional (BPN), Sekretariat Negara Republik Indonesia, dahulu
Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan (Gelora Bung Karno), serta
Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Pusat.
Selain itu, majelis hakim juga memutuskan bahwa akte pelepasan hak atas tanah
dari Badan Pengelola Gelora Bung Karno tertanggal 14 Juli tahun 2001 kepada
dua perusahaan milik pengusaha Mukmin Ali Gunawan tersebut, adalah sah
secara hukum dan mengikat.
Atas putusan ini, majelis memberikan waktu selama 14 hari bagi para pihak yang
bersengketa untuk menerima atau menolak putusan.
Sesuai sidang, Kuasa hukum Terminal Builders dan Amana Jaya, Jaja Setiadijaya
menyatakan, putusan majelis hakim sudah tepat. Pasalnya, HPL hanya bisa
berlaku terhadap tanah negara yang bebas. Apabila di atas tanah tersebut masih
ada hak pihak lain yang melekat, maka wajib dibebaskan terlebih dahulu.
Sisanya sekitar 20 persen, lanjut Suparman, dilaporkan bahwa ada hakim yang
tidur dan sibuk mengirim pesan singkat, menelpon dan ke luar-masuk disaat
menyidangkan perkara.
0
Soal putusan perkara, kata Suparman, terkait dengan inkonsistensi dalam
memberikan pertimbangan hukum dan menghadirkan para saksi. "Kejanggalan
yang dilaporkan antara lain mengenai saksi yang namanya tidak ada dalam BAP
lalu dalam tingkat kasasi muncul saksi siluman," tegasnya.
Selain itu ada juga laporan soal kasus mobil rental yang dimusnahkan. "Seseorang
punya mobil lalu diserahkan kepada sebuah perusahaan rental untuk disewakan.
Tanpa sepengetahuan pemilik dan perusahaan rental, mobil itu digunakan oleh
pihak penyewa untuk melakukan perampokan. Anehnya, dalam putusan hakim,
mobil itu harus dimusnahkan. Ini keputusan yang tidak masuk akal," tegasnya.
Lebih lanjut, Suparman juga menegaskan bahwa pengungkapan data ini bukannya
bertujuan untuk menjelek-jelekkan sekitar 7000 hakim yang saat ini ada di
Indonesia.
Terakhir, dia juga mengungkap bahwa sikap Ketua Mahkamah Agung (MA) yang
menyerukan para hakim untuk tidak memenuhi panggilan KY ternyata tidak
berjalan efektif.
KY, imbuh Suparman sesuai dengan tugas yang diberikan oleh konstitusi hanya
berwenang memeriksa hakim, bukan proses peradilan. (fas/jpnn)
"Ibu Nunun ini kan soal nunggu waktu saja. Soal waktu saja ini akan diproses
jaksa penuntut umum. Terlepas jadi saksi atau tersangka itu terserah KPK," kata
Suhartoyo.
Dalam persidangan terungkap bahwa para terdakwa menerima cek perjalanan dari
Arie Malangjudo usai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang
memenangkan Miranda Goeltom pada tahun 2004. Penyerahan cek perjalanan
kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 itu dilakukan sesuai perintah
Nunun.
"Supaya Anda tahu ya bahwa mereka ini mendapatkan (cek) dari Arie
Malangjudo yang diperintah oleh Ibu Nunun," ujar Suhartoyo kepada saksi
Miranda Goeltom.
"Ditemukan yang memang terbukti nakal, ada 1.000 hakim di seluruh pengadilan
negeri di Indonesia," ujarnya. Seribu hakim nakal itu adalah mereka yang
memanfaatkan posisinya untuk mengambil keuntungan materi secara pribadi.
"Dari kasus itu sudah ada yang ditangani secara tegas oleh Komisi Yudisial
(KY)," ujar Imam. Adapun hakim yang sudah ditindak secara tegas sekitar 200
orang. "(Penindakan) termasuk memberikan surat peringatan dan sanksi tegas.
Saat ini masih terus dilakukan oleh KY," kata Ansori.
"Kalau masyarakat sudah menemukan ada hakim yang nakal, silakan dilaporkan
ke KY langsung, atau bisa juga melalui posko Lembaga Kantor Bantuan Hukum
yang ada di seluruh Indonesia," ujarnya.
Lebih lanjut, Ansori mengatakan, saat ini di Jawa Timur, Lembaga Kantor
Bantuan Hukum atau pos pengaduan untuk pengawasan kinerja hakim nakal yang
bekerja sama dengan KY masih berada di Surabaya.
Jakarta, Kompas - Hakim kasus Antasari Azhar, baik di tingkat pertama maupun
kasasi, sebaiknya hadir jika dipanggil Komisi Yudisial. Ketidakhadiran mereka
justru bisa merugikan yang bersangkutan karena KY tetap akan memproses
dugaan pelanggaran kode etik, dengan atau tanpa keterangan/klarifikasi dari
hakim yang bersangkutan.
”KY memang tidak memiliki kewenangan untuk memanggil paksa. KY hanya
akan memanggil tiga kali. Kalau tiga kali berturut-turut tidak juga memenuhi
panggilan, proses di KY akan jalan terus,” kata Asep Rahmat Fajar, juru bicara
KY, Senin (2/5), dalam jumpa pers di Jakarta.
KY terus mendalami dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim perkara
Antasari Azhar. Dari kesimpulan sementara, KY menengarai ada dugaan
pelanggaran kode etik berupa pengabaian alat bukti. KY sudah meminta
keterangan ahli forensik Abdul Mun’im Idris.
Dalam empat bulan pertama 2011, hampir semua hakim yang dipanggil KY untuk
dimintai keterangan seputar laporan pengaduan masyarakat memilih hadir. Dari
17 hakim yang dimintai keterangan dari Januari-April, hanya satu yang tidak
hadir. Alasan ketidakhadiran hakim tersebut adalah sudah dijatuhi oleh MA untuk
kasus yang sama. ”KY berharap hakim perkara Antasari juga mengikuti jejak
hakim-hakim yang lain,” kata Asep.
Seperti diketahui, pihak Antasari Azhar pernah menghadirkan dua ahli IT, yaitu
Agung Haryoso dan Aldo Agustian, pada persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Kedua ahli menerangkan pesan singkat (SMS) yang ditemukan
dalam call data record (CDR) telepon seluler Antasari dan Nasrudin Zulkarnaen,
Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran.
Dalam sidang perdana tersebut, majelis hakim yang beranggotakan tiga orang,
memutuskan untuk menunda persidangan hingga Senin (2/5/2011) mendatang.
Penundaan tersebut terjadi karena pihak tergugat, yakni perwakilan anggota DPR
tidak menghadiri sidang.
"Kok ini malah dikasih bonus dua minggu. Ini kan menunjukan bahwa penguasa
digugat boleh tidak hadir, dan pengadilan serta majelis hakim melindungi perilaku
seperti itu," ujarnya.
"Kalau benar terbukti ada suap, akan dapat sanksi berat, dengan rekomendasi dari
KY juga ke Mahkamah Agung, bisa langsung dipecat. Mahkamah Agung tidak
ada ampun kalau sudah ada suap. Tetapi untuk sementara ini tidak ada indikasi
suap. Kita masih perlu menguji, mendengar kebenaran dalam sidangnya dulu
untuk mengumpulkan bukti-bukti," ungkap Suparman di Gedung Komisi
Yudisial, Kamis (14/04/2011).
Selain itu, Suparman melanjutkan, bisa saja ada kemungkinan latar belakang
hakim melakukan hal tersebut karena sisi moralitas dan mendapat tekanan dari
pihak luar. "Bisa karena kekhilafan dan tekanan tekanan. Nah, kalau dia
mengatakan 'oh saya kena tekanan' berarti itu faktor independensi. Kalau dia
ternyata mengatakan, 'saya simpatik pada korban' berarti you tidak imparsial.
Inilah yang kita akan dalami lagi dengan memanggil pelapor dan saksi-saksi
penting dalam sidang itu," ujarnya.
"Hakim tidak boleh khilaf karena dalam kode etik, kehati-hatian, kecermatan itu
harus dikedepankan dan dia pasti kena sanksi. Karena itu beratlah kalau jadi
hakim. Karena yang diadili ini orang. Justice for all. Penjahat tengik sekalipun,
berhak mendapatkan perlindungan hukum," paparnya.
"Wah, itu saya tak bisa komentar," ucap Nugroho begitu tiba di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, Kamis (14/4/2011).
Menurut informasi dari pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel),
Herry Swantoro, ketua majelis hakim yang menangani perkara Antasari tengah
dinas keluar kota. Adapun Prasetyo Ibnu Asmara, anggota hakim lain, tengah cuti.
Bukti yang dimaksud adalah pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik.
Selain itu, bukti baju korban, yakni Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra
Rajawali Banjaran, tidak dihadirkan di persidangan. Padahal, baju korban adalah
bukti yang penting.
Menurut KY, pengabaian bukti itu merupakan pelanggaran kode etik dan perilaku
hakim, khususnya prinsip profesionalitas dan kehati-hatian.
Sebuah grup di Facebook telah terbentuk pada Senin (18/4/2011) untuk mewadahi
aspirasi mereka. Grup itu diberi judul besar “Rencana Peserta Aksi Hakim
Indonesia Menggugat Presiden dan DPR RI”. Hingga pukul 01:15 hari ini, Grup
yang didirikan seorang hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta itu kini telah
menggaet 3074 anggota.
Resistensi atas gerakan ini muncul dari Komisi III DPR selaku mitra kerja
Mahkamah Agung—lembaga negara yang menaungi hakim di seluruh Indonesia.
Ketua Komisi III DPR Benny K Harman tidak setuju bila penghasilan hakim
ditingkatkan sekarang, karena menurutnya lembaga peradilan masih belum bisa
melakukan reformasi kultural. Berbagai perilaku korup masih banyak terjadi.
Saya tidak ingin menyampaikan apa yang sudah diberitakan media massa. Saya
ingin membeber behind the scene-nya.
Sumber penghasilan hakim sebenarnya beragam. Selain dari gaji, juga dari
berbagai tunjangan, termasuk tunjangan khusus kinerja atau biasa disebut dengan
remunerasi.
Dengan demikian, penghasilan yang bisa didapatkan seorang hakim (take home
pay) adalah berbeda-beda. Seorang hakim baru, yang masa bekerjanya tiga tahun,
mendapat penghasilan sekitar Rp 6 juta per bulan. Sementara itu, seorang hakim
agung di MA bisa membawa pulang lebih dari Rp 25 juta.
Menurut para hakim yang mengeluh soal kesejahteraan, penghasilan sejumlah itu
tidak cukup untuk biaya hidup. Masalah cukup atau tidaknya biaya hidup tentu
dapat memicu debat tak berkesudahan bila parameternya tidak jelas. Para PNS
pun dapat mengeluhkan hal yang sama. Demikian juga dengan pegawai swasta
atau buruh pabrik.
Kedua, gaji hakim tidak pernah naik sejak tahun 2007 padahal gaji PNS sudah
naik berkali-kali. Dulu selisih gaji hakim dengan gaji PNS cukup besar, namun
sekarang tidak jauh berbeda. Menurut para hakim, hal ini tidak adil, sebab hakim
mengemban beban yang lebih berat ketimbang PNS.
Di sinilah para hakim dihadapkan pada persoalan dilematis. Di satu sisi, mereka
bukanlah PNS, melainkan setara dengan pejabat negara. Di sisi lain, penghasilan
mereka berselisih jauh dari penghasilan pejabat negara lainnya.
Ketiga, remunerasi belum 100 persen dan waktu pembayarannya tidak pasti.
Bersama Kementerian Keuangan dan BPK, MA menjadi proyek percontohan
reformasi birokrasi. Meski ketiga institusi ini sama-sama berhak mendapat reward
berupa remunerasi, namun jumlah tunjangan yang diberikan tidak sama.
Remunerasi di MA lebih kecil dibanding di Kemenkeu. Selain itu, hingga kini,
remunerasi di MA belum 100 persen.
Ketiga persoalan di atas sejauh ini belum terkomunikasikan dengan baik. Banyak
anggota masyarakat yang mencibir tindakan para hakim yang mengeluhkan
kesejahteraannya kurang. Sebagian masyarakat bahkan sampai menghujat.
Mereka menilai para hakim bersikap cengeng, tidak tulus dalam mengabdi,
bahkan tidak memiliki sense of crisis karena masih banyak anak bangsa yang
nasibnya jauh lebih tragis ketimbang hakim.
Tanpa meremehkan suara-suara publik itu, saya ingin menyimpulkan bahwa
sudah waktunya kesejahteraan hakim ditingkatkan. Meski demikian, sebelum
menaikkan gaji hakim, ada beberapa hal yang perlu diperhitungkan dengan
cermat.
Pertama-tama yang harus dilihat adalah beban kerja. Sejauh ini belum ada
parameter yang jelas yang dapat mengukur beban kerja para hakim. Sangat tidak
fair bila hakim yang jarang menangani perkara diberi reward yang sama dengan
hakim yang menangani banyak perkara.
Hal lain yang harus diperhatikan ialah standarisasi gaji pejabat negara, sebab
sejauh ini standar itu belum disusun. Masih terkait dengan hal ini, kondisi
keuangan negara juga tidak boleh diabaikan.
Satu lagi, pemberantasan KKN. Menaikkan penghasilan hakim adalah salah satu
solusi dari sekian alternatif solusi untuk mengurangi berkembang biaknya mafia
hukum di pengadilan. Jika kelak kesejahteraan hakim benar-benar ditingkatkan
namun mafia peradilan masih merajalela, rakyat berhak marah pada hakim.
Ya, bagaimanapun juga, uang yang digunakan untuk menggaji hakim berasal dari
cucuran keringat rakyat, bukan dari belas kasihan para wakil rakyat. (O-R)
Ada satu hal yang lolos dari perhatian publik belakangan ini. Anwar Usman,
hakim konstitusi yang baru saja dilantik, ternyata memiliki beberapa kelemahan
sehingga kompetensinya sebagai pengawal konstitusi layak dipertanyakan.
Yang tidak banyak diketahui publik adalah riwayat hidup Anwar Usman. Jika kita
cermati profilnya, kita akan menemukan beberapa hal yang rancu, yang justru
dapat menguatkan sangkaan bahwa ia memang tidak layak jadi hakim konstitusi.
Berdasarkan data dari situs resmi MK, Anwar Usman menempuh pendidikan S-1
jurusan hukum di Universitas Islam Jakarta (lulus 1984), S-2 Program Studi
Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) “IBLAM” Jakarta (lulus
2001), dan S-3 Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah Univ. Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta (lulus 2010).
Komisi Yudisial (KY) beberapa tahun lalu pernah mencekal salah satu calon
hakim agung gara-gara ia meraih gelar magisternya dari IBLAM. Komisi III DPR
juga pernah ‘mengusir’ seorang alumnus IBLAM saat mengikuti fit and proper
test calon hakim MK, karena kualitas si calon memang teramat parah.
Gelar Doktor yang disandang Anwar Usman juga memiliki kelainan. Disebutkan
di situs MK bahwa ia lulusan S-3 Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah
UGM. Sementara itu, di situs resmi UGM terdapat keterangan bahwa Anwar
Usman menulis disertasi mengenai independensi kekuasaan kehakiman yang tidak
ada kaitannya dengan bidang studi kebijakan sekolah.
Jadi, timbul pertanyaan, Anwar Usman itu Doktor di bidang hukum atau
pendidikan?
Masalah pendidikan ini sangat vital. Sejak berdiri, MK dikenal sebagai gudangnya
orang-orang pintar yang menjadi benteng terakhir para pencari keadilan,
khususnya dalam hal peninjauan peraturan perundang-undangan (judicial review)
dan sengketa pemilihan kepala daerah.
Pertanyaan yang bisa diajukan, dengan ijazah S-2 dan S-3 yang meragukan itu,
apakah Anwar Usman pakar di bidang hukum tata negara sekaligus ahli di bidang
hukum bisnis?
ICW: Gaji hakim rendah bukti ketidakadilan negara
"Itu masalah riil di dunia peradilan kita," kata Koordinator Divisi Hukum
dan Pemantau Peradilan ICW, Febri Diansyah, melalui pesan singkat
kepada primaironline.com, Jakarta, Rabu (20/4).
Lebih jauh, Febri menegaskan, ICW tanpa ragu akan ikut mendorong
standar hidup yang layak bagi hakim. "Hakim harus digaji tinggi,"
tegas dia.
KY Sesalkan Gaji Hakim Tipikor Belum Dibayar
Apalagi, para hakim tipikor ini sudah tidak memiliki pekerjaan lain
karena syarat hakim tipikor tidak boleh mempunyai pekerjaan
sampingan. "Ini sangat mengenaskan karena pekerjaan yang lama
sudah dilepas tapi pekerjaan baru tidak kunjung dibayar," tuntas Asep.
"Mereka pejabat negara loh," tandas Nurhadi. Oleh karena itu, dia
mengajak Komisi Yudisial (KY) untuk ikut mencari solusi atas masalah
tersebut. MA meminta KY jangan hanya mencari kesalahan-kesalahan
hakim, tetapi juga ikut menjaga martabat dan keluhuran hakim.
Kata Bambang lagi, terkait pelibatan militer itu jelas terbukti dalam
surat undangan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Barat. “Ada suratnya
tanggal 20 April lalu, di mana pihak PN mengundang unsur militer.
Kami ngeri saja,” ujarnya lagi.
Menurut anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yahdil Abdi
Harahap dalam keterangan persnya, Selasa (3/5/2011) majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dinilai telah melakukan pelanggaran dengan bertemu pihak-
pihak yang beperkara.
“Untuk membuktikan kebenaran pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam
kasus sengketa TPI, KY harus turun tangan dan memeriksa majelis hakimnya. Ini
untuk klarifikasi secara langsung benar-tidaknya informasi tersebut,” ucapnya.
Pelanggaran yang dimaksud adalah terkait kabar bahwa Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Syahrial Sidik bertemu dengan pengacara Siti Hardiyanti Rukmana,
Hary Ponto, dan Robert Bono, seorang yang diduga makelar kasus (markus)
dalam perkara tersebut.
Robert Bono diduga berperan sebagai markus pemailitan TPI yang dijatuhkan
pengadilan yang sama. Pertemuan itu diduga dilakukan sebelum ketua majelis
hakim kasus TPI, Tjokorda Rai Suamba membacakan vonis terkait kasus sengketa
saham tersebut.
Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin meminta ketegasan
penegak hukum dengan memberikan sanksi seberat-beratnya kepada siapa pun,
baik hakim, pejabat, oknum aparat hukum, maupun oknum lainnya yang terbukti
melakukan pelanggaran tindak pidana.
“Jika terbukti, tidak boleh dibiarkan, akan mencederai proses hukum yang ada.
Mereka harus diproses hukum tanpa pandang bulu,” tegas Aziz Syamsuddin.
Atas rumor itu,Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Syahrial Sidik sudah
memberikan klarifikasi kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA).
Syahrial dalam surat tertulisnya mengaku tidak pernah bertemu, tidak pernah
berbicara, dan tidak kenal dengan kuasa hukum Siti Hardiyanti Rukmana alias
Tutut, yakni Harry Ponto, dan seorang yang diduga makelar kasus (markus)
bernama Robert Bono, sebelum maupun setelah perkara kepemilikan saham TPI
diputuskan di PN Jakpus. Menurut Syahrial, hal itu bisa dibuktikan dengan cara
apa pun, bisa mengonfirmasi langsung Harry Ponto dan Robert Bono. [tjs]
Pengacara yang juga dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu lantas
menceritakan kronologi penangkapan Jasmani. Menurut dia, kasus
yang menimpa kliennya bermula ketika Roni, tetangga Jasmani,
kehilangan pompa air dan melaporkannya kepada polisi.
Dalam pesan yang diterima Media Indonesia Minggu (8/5) malam, Juru
Bicara Komisi Yudisial, Asep Rahmat Fajar mengatakan, seleksi tahap
kedua ini meliputi seleksi kualitas dan kepribadian calon hakim agung.
Seleksi kualitas, lanjut Asep meliputi penilaian karya profesi selama
dua tahun terakhir.
“Karya profesi ini tentu sesuai dengan latar belakang calon, dan itu
bisa berbentuk putusan, pembelaan atau pleidoi, buku ilmiah dan
jurnal,” ujar Asep.
Selain penilaian karya profesi, calon hakim agung ini akan diuji
kemampuannya dengan membuat karya tulis di tempat dan menelaah
kasus hukum beserta penyelesaiannya.
“Sementara untuk tes kepribadian, calon hakim agung akan melewati
proses profile assessment untuk menilai karakter, moralitas dan
integritas calon,” lanjut Asep lagi.
"KY itu kan bukan lembaga penegak hukum, tapi lembaga yang
mengawasi penegak hukum, kewenangan itu tidak perlu," tutur
Syamsul Maarif di Hotel Sahid, Jl Jenderal Sudirman, Sabtu (30/4/2011).