Anda di halaman 1dari 24

TUGAS IV

STUDI LEMBAGA PENEGAK HUKUM


(Artikel Hakim)

Oleh :

Indra Cipta

0342011148

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2011
Hakim menilai HPL Gelora Bung Karno cacat hokum
JAKARTA. Pemerintah akhirnya harus kehilangan sebagian tanah Gelanggang
Olahraga (Gelora) Bung Karno di Senayan, Jakarta Pusat. Kemarin (12/5),
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan untuk memenangkan PT
Terminal Builders dan PT Amana Jaya dalam gugatannya melawan Badan
Pertanahan Nasional (BPN), Sekretariat Negara Republik Indonesia, dahulu
Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan (Gelora Bung Karno), serta
Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Pusat.

Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Kusno memutuskan, surat


keputusan BPN yang memberikan Hak Pengelolaan (HPL) kepada Sekretariat
Negara cq Badan Pengelola Gelora Bung Karno pada 1989, cacat hukum. Karena
itu, HPL tersebut tidak mengikat Hak Guna Banungan (HGB) milik Terminal
Builders dan Amana Jaya yang telah dimiliki sejak 1972.

Selain itu, majelis hakim juga memutuskan bahwa akte pelepasan hak atas tanah
dari Badan Pengelola Gelora Bung Karno tertanggal 14 Juli tahun 2001 kepada
dua perusahaan milik pengusaha Mukmin Ali Gunawan tersebut, adalah sah
secara hukum dan mengikat.

Adapun hakim menyatakan perjanjian kerjasama antara kedua perusahaan dan


Badan Pengelola Bung Karno tanggal 17 November 2003 tidak mempunyai
kekuatan hukum. "Memerintahkan Sekretariat negara cq Badan Pengelola Bung
Karno untuk mengembalikan uang pembayaran kepada penggugat sebesar Rp
4,61 miliar," ujar Kusno.

Atas putusan ini, majelis memberikan waktu selama 14 hari bagi para pihak yang
bersengketa untuk menerima atau menolak putusan.

Sesuai sidang, Kuasa hukum Terminal Builders dan Amana Jaya, Jaja Setiadijaya
menyatakan, putusan majelis hakim sudah tepat. Pasalnya, HPL hanya bisa
berlaku terhadap tanah negara yang bebas. Apabila di atas tanah tersebut masih
ada hak pihak lain yang melekat, maka wajib dibebaskan terlebih dahulu.

Sementara kuasa hukum para tergugat yang hadir, menolak memberikan


keterangan. Direktur Perkara BPN Pusat Agus Wijayanto, juga tidak bisa dimintai
tanggapannya atas putusan perkara ini.

Perilaku Hakim Dominasi Aduan Masyarakat ke KY


JAKARTA - Komisioner Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi
Yudisial (KY), Suparman Marzuki mengungkap dalam satu minggu setidaknya
KY menerima lima sampai enam surat pengaduan dari masyarakat mengenai
prilaku hakim dalam memproses berbagai perkara.

"Dari rata-rata pengaduan masyarakat itu, sekitar 80 persen mengadukan putusan


hakim yang menurut pihak pengadu bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan," kata Suparman Marzuki, di hotel Sultan Jakarta, Selasa (10/5).

Sisanya sekitar 20 persen, lanjut Suparman, dilaporkan bahwa ada hakim yang
tidur dan sibuk mengirim pesan singkat, menelpon dan ke luar-masuk disaat
menyidangkan perkara.
0
Soal putusan perkara, kata Suparman, terkait dengan inkonsistensi dalam
memberikan pertimbangan hukum dan menghadirkan para saksi. "Kejanggalan
yang dilaporkan antara lain mengenai saksi yang namanya tidak ada dalam BAP
lalu dalam tingkat kasasi muncul saksi siluman," tegasnya.

Selain itu ada juga laporan soal kasus mobil rental yang dimusnahkan. "Seseorang
punya mobil lalu diserahkan kepada sebuah perusahaan rental untuk disewakan.
Tanpa sepengetahuan pemilik dan perusahaan rental, mobil itu digunakan oleh
pihak penyewa untuk melakukan perampokan. Anehnya, dalam putusan hakim,
mobil itu harus dimusnahkan. Ini keputusan yang tidak masuk akal," tegasnya.

Lebih lanjut, Suparman juga menegaskan bahwa pengungkapan data ini bukannya
bertujuan untuk menjelek-jelekkan sekitar 7000 hakim yang saat ini ada di
Indonesia.

"KY bukannya menjelek-jelekan sekitar 7000 hakim karena dalam kenyataannya


memang masih banayak hakim baik dalam memutus suatu perkara. Data ini saya
sampaikan bahagian dari hak-hak publik untuk mendapat informasi sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki oleh KY," katanya.

Terakhir, dia juga mengungkap bahwa sikap Ketua Mahkamah Agung (MA) yang
menyerukan para hakim untuk tidak memenuhi panggilan KY ternyata tidak
berjalan efektif.

"Buktinya, lumayan banyak para hakim di daerah yang ternyata bersedia


memenuhi panggilan KY. Kecuali para Hakim Agung yang ada di MA, memang
lebih cenderung mematuhi seruan Mahkamah Agung yang tidak jelas payung
hukumnya itu," ungkap Suparman.

KY, imbuh Suparman sesuai dengan tugas yang diberikan oleh konstitusi hanya
berwenang memeriksa hakim, bukan proses peradilan. (fas/jpnn)

12 Mei 2011 | 13:50 wib


Berita Aktual » Nasional
Hakim Sebut Status Nunun Tinggal Tunggu
Waktu
Jakarta, CyberNews. Sidang kasus suap cek perjalanan dengan terdakwa Agus
Condro, Max Moein, Rusman Lumban Toruan, Poltak Sitorus, dan Willem Max
Tutuarima digelar. Saat mendengarkan kesaksian Mantan Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia (DGS BI) Miranda S Goeltom, Ketua Majelis Hakim Suhartoyo
mengeluarkan pernyataan mengejutkan.

Surahrtoyo mengisyaratkan bahwa pengusaha Nunun Nurbaeti segera diseret ke


Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Suhartoyo menyatakan, Nunun akan
dihadirkan di persidangan dengan kapasitas sebagai saksi ataupun tersangka.

"Ibu Nunun ini kan soal nunggu waktu saja. Soal waktu saja ini akan diproses
jaksa penuntut umum. Terlepas jadi saksi atau tersangka itu terserah KPK," kata
Suhartoyo.

Dalam persidangan terungkap bahwa para terdakwa menerima cek perjalanan dari
Arie Malangjudo usai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang
memenangkan Miranda Goeltom pada tahun 2004. Penyerahan cek perjalanan
kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 itu dilakukan sesuai perintah
Nunun.

"Supaya Anda tahu ya bahwa mereka ini mendapatkan (cek) dari Arie
Malangjudo yang diperintah oleh Ibu Nunun," ujar Suhartoyo kepada saksi
Miranda Goeltom.

Dia mengatakan, kembali untuk istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun


tersebut. Hakim tersebut pun mempertanyakan kesiapan Miranda untuk diperiksa
lagi dalam persidangan kasus ini. "Siap Yang Mulia,"jawab Miranda.

( Mahendra Bungalan / CN32 / JBSM )

Ada 1.000 Hakim Nakal di Indonesia...

MALANG, KOMPAS.com — Sejak Januari hingga Awal Mei 2011 ini,


Komisi Yudisial menemukan 1.000 hakim nakal di seluruh pengadilan
negeri di Indonesia. Hal tersebut diketahui setelah Komisi Yudisial
mendapat laporan dari masyarakat.
Temuan tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
Imam Ansori kepada wartawan, Sabtu (7/5/2011), saat menghadiri Peresmian
Gedung Sentra Niaga Ansor di Jalan Raya Pakisaji, Kecamatan Pakisaji,
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Menurut Imam, sejak Januari hingga awal Mei
2011, sudah ada 1.000 lebih pengaduan dari masyarakat terkait masalah hakim
nakal itu.

"Ditemukan yang memang terbukti nakal, ada 1.000 hakim di seluruh pengadilan
negeri di Indonesia," ujarnya. Seribu hakim nakal itu adalah mereka yang
memanfaatkan posisinya untuk mengambil keuntungan materi secara pribadi.
"Dari kasus itu sudah ada yang ditangani secara tegas oleh Komisi Yudisial
(KY)," ujar Imam. Adapun hakim yang sudah ditindak secara tegas sekitar 200
orang. "(Penindakan) termasuk memberikan surat peringatan dan sanksi tegas.
Saat ini masih terus dilakukan oleh KY," kata Ansori.

Untuk melakukan kontrol para hakim di pengadilan negeri di seluruh Indonesia,


pihaknya mengimbau kepada masyarakat agar jangan segan-segan melaporkan
kinerja aparat penegak hukum lewat posko pengaduan yang dibentuk KY.

"Kalau masyarakat sudah menemukan ada hakim yang nakal, silakan dilaporkan
ke KY langsung, atau bisa juga melalui posko Lembaga Kantor Bantuan Hukum
yang ada di seluruh Indonesia," ujarnya.

Lebih lanjut, Ansori mengatakan, saat ini di Jawa Timur, Lembaga Kantor
Bantuan Hukum atau pos pengaduan untuk pengawasan kinerja hakim nakal yang
bekerja sama dengan KY masih berada di Surabaya.

"Dalam waktu dekat, di Malang Raya (Kota Malang/Batu dan Kabupaten


Malang), juga di luar Malang di Jawa Timur, akan segera dibentuk posko-posko
pengaduan," kata Imam.

Ia mengatakan, jika posko-posko pengaduan itu sudah terbentuk, masyarakat bisa


melaporkan secara langsung. Nantinya, KY yang akan melanjutkan pengaduan
masyarakat itu hingga proses pemeriksan sampai selesai.

"Wajar kalau hukum di Indonesia masih dikatakan bobrok. Hakimnya masih


belum beres," kata Ansori.

Hakim Kasus Antasari Sebaiknya Hadir ke KY

Jakarta, Kompas - Hakim kasus Antasari Azhar, baik di tingkat pertama maupun
kasasi, sebaiknya hadir jika dipanggil Komisi Yudisial. Ketidakhadiran mereka
justru bisa merugikan yang bersangkutan karena KY tetap akan memproses
dugaan pelanggaran kode etik, dengan atau tanpa keterangan/klarifikasi dari
hakim yang bersangkutan.
”KY memang tidak memiliki kewenangan untuk memanggil paksa. KY hanya
akan memanggil tiga kali. Kalau tiga kali berturut-turut tidak juga memenuhi
panggilan, proses di KY akan jalan terus,” kata Asep Rahmat Fajar, juru bicara
KY, Senin (2/5), dalam jumpa pers di Jakarta.

KY terus mendalami dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim perkara
Antasari Azhar. Dari kesimpulan sementara, KY menengarai ada dugaan
pelanggaran kode etik berupa pengabaian alat bukti. KY sudah meminta
keterangan ahli forensik Abdul Mun’im Idris.

Dalam empat bulan pertama 2011, hampir semua hakim yang dipanggil KY untuk
dimintai keterangan seputar laporan pengaduan masyarakat memilih hadir. Dari
17 hakim yang dimintai keterangan dari Januari-April, hanya satu yang tidak
hadir. Alasan ketidakhadiran hakim tersebut adalah sudah dijatuhi oleh MA untuk
kasus yang sama. ”KY berharap hakim perkara Antasari juga mengikuti jejak
hakim-hakim yang lain,” kata Asep.

Sampai saat ini, KY belum menjadwalkan pemanggilan hakim perkara Antasari.


KY baru akan meminta keterangan ahli balistik Maruli Simanjuntak pada 4 Mei
dan ahli teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 6 Mei.

Seperti diketahui, pihak Antasari Azhar pernah menghadirkan dua ahli IT, yaitu
Agung Haryoso dan Aldo Agustian, pada persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Kedua ahli menerangkan pesan singkat (SMS) yang ditemukan
dalam call data record (CDR) telepon seluler Antasari dan Nasrudin Zulkarnaen,
Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran.

Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa pekan lalu mempersilakan pihak


Antasari Azhar untuk mengajukan peninjauan kembali. Kepala Pusat Penerangan
Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan, Kejagung tidak akan
mengajukan PK seperti dilakukan pihak Antasari. ”Kami akan menunggu apakah
novum yang diajukan diterima hakim atau tidak,” katanya. (ANA/FAJ)

Hakim PN Jakpus Akan Dilaporkan ke KY

AKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


yang memimpin sidang perdana gugatan warga negara (citizen law
suit) terkait pembangunan gedung baru DPR akan dilaporkan ke Komisi
Yudisial (KY). Kuasa hukum penggugat, Habiburokhman mengatakan,
pelaporan itu akan dilakukan pada Selasa (19/4/2011) besok.
Alasannya, hakim telah melanggar pasal 125 HIR karena telah
menunda persidangan.
"Alasannya pengabaian ketentuan Pasal 125 HIR, jika tergugat tidak hadir, maka
gugatan dapat dilanjutkan tanpa kehadiran pihak tergugat," ujar Habiburokhman
seusai persidangan di PN Pusat, Jakarta, Senin (18/4/2011).

Dalam sidang perdana tersebut, majelis hakim yang beranggotakan tiga orang,
memutuskan untuk menunda persidangan hingga Senin (2/5/2011) mendatang.
Penundaan tersebut terjadi karena pihak tergugat, yakni perwakilan anggota DPR
tidak menghadiri sidang.

"Untuk memanggil kembali tergugat, majelis akan menunda persidangan selama


dua minggu dari sekarang," ujar Ketua Majelis Hakim Antonius Widiantoro, saat
memimpin persidangan.

Habiburohkman, yang juga ketua Lembaga Advokasi Hukum Indonesia Raya


(Laskar) Partai Gerindra, menilai, penundaan selama dua minggu terlalu lama. Ia
meminta kepada majelis hakim untuk memberikan waktu selama tiga hari hingga
satu minggu.

"Kok ini malah dikasih bonus dua minggu. Ini kan menunjukan bahwa penguasa
digugat boleh tidak hadir, dan pengadilan serta majelis hakim melindungi perilaku
seperti itu," ujarnya.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perdana gugatan terhadap


pembangunan gedung baru DPR. Gugatan dengan nomor perkara 144/PDT.G-
2011/PN.JKT.PST diajukan warga negara (citizen law suit), yaitu seorang
karyawan BUMN, FX Arief Poyuono, dan seorang advokat, Adi Partogi Singal
Simbolon. Gugatan ditujukan kepada para politisi pendukung gedung baru DPR
dan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), termasuk Ketua DPR
Marzuki Alie.

KY: Terbukti Ada Suap, Hakim Dipecat

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi


Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan, pihaknya masih
mengumpulkan bukti-bukti terkait dugaan penyimpangan oleh hakim yang
menangani kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain. Persidangan kasus ini
berujung pada vonis 18 tahun penjara kepada mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Suparman mengatakan, jika terbukti ada pelanggaran dengan indikasi suap dalam
kasus tersebut, hakim yang bersangkutan akan dipecat. Meski pun, hingga saat ini
belum ada indikasi supa kepada hakim.

"Kalau benar terbukti ada suap, akan dapat sanksi berat, dengan rekomendasi dari
KY juga ke Mahkamah Agung, bisa langsung dipecat. Mahkamah Agung tidak
ada ampun kalau sudah ada suap. Tetapi untuk sementara ini tidak ada indikasi
suap. Kita masih perlu menguji, mendengar kebenaran dalam sidangnya dulu
untuk mengumpulkan bukti-bukti," ungkap Suparman di Gedung Komisi
Yudisial, Kamis (14/04/2011).

Selain itu, Suparman melanjutkan, bisa saja ada kemungkinan latar belakang
hakim melakukan hal tersebut karena sisi moralitas dan mendapat tekanan dari
pihak luar. "Bisa karena kekhilafan dan tekanan tekanan. Nah, kalau dia
mengatakan 'oh saya kena tekanan' berarti itu faktor independensi. Kalau dia
ternyata mengatakan, 'saya simpatik pada korban' berarti you tidak imparsial.
Inilah yang kita akan dalami lagi dengan memanggil pelapor dan saksi-saksi
penting dalam sidang itu," ujarnya.

Menurutnya, baik Komisi Yudisial maupun Mahkamah Agung tidak mentolerir


jika terjadi kekhilafan atau ketidaksengajaan yang dilakukan terkait pengabaian
alat bukti penting.

"Hakim tidak boleh khilaf karena dalam kode etik, kehati-hatian, kecermatan itu
harus dikedepankan dan dia pasti kena sanksi. Karena itu beratlah kalau jadi
hakim. Karena yang diadili ini orang. Justice for all. Penjahat tengik sekalipun,
berhak mendapatkan perlindungan hukum," paparnya.

Suparman mengakui, hakim memang memiliki kewenangan untuk memilih


barang bukti yang digunakan dalam sidang. Namun,hakim seharusnya juga
memerhatikan bahwa bukti-bukti yang diabaikan tersebut merupakan bukti
penting yang memengaruhi putusan vonis terdakwa.

Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi Yudisial menemukan indikasi majelis


hakim yang menangani kasus Antasari Azhar mengabaikan bukti-bukti penting
dari tingkat pertama, banding, maupun kasasi. Pengabaian bukti tersebut antara
lain keterangan ahli balistik dan forensik Abdul Mun`in Idris dan baju milik
korban, direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, yang tidak
dihadirkan dalam persidangan. Hakim kasus Antasari ini juga mengabaikan
keterangan ahli yang terkait senjata atau peluru serta terkait dengan teknologi
informasi berupa pesan singkat Antasari.

Hakim Kasus Antasari Tolak Komentar


AKARTA, KOMPAS.com — Nugroho Setiadji, salah satu hakim anggota yang
menangani kasus Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, di pengadilan tingkat
pertama menolak berkomentar mengenai pernyataan Komisi Yudisial (KY).

"Wah, itu saya tak bisa komentar," ucap Nugroho begitu tiba di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, Kamis (14/4/2011).

Nugroho dimintai tanggapan terkait pernyataan KY yang menyebut ada indikasi


pelanggaran kode etik dan perilaku hakim saat menangani perkara Antasari dari
tingkat pertama hingga kasasi.

Nugroho enggan menjawab ketika ditanya kesediaannya untuk memberi


keterangan kepada KY. "Enggak, enggak, itu saya enggak bisa tanggapi," kata dia
sambil terus berjalan ke arah ruang kerjanya.

Menurut informasi dari pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel),
Herry Swantoro, ketua majelis hakim yang menangani perkara Antasari tengah
dinas keluar kota. Adapun Prasetyo Ibnu Asmara, anggota hakim lain, tengah cuti.

Seperti diberitakan, KY akan memeriksa hakim yang menangani perkara Antasari


dari tingkat pertama, banding, dan kasasi. KY menilai ada pengabaian bukti-bukti
penting yang dilakukan oleh hakim di tingkat pertama hingga kasasi.

Bukti yang dimaksud adalah pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik.
Selain itu, bukti baju korban, yakni Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra
Rajawali Banjaran, tidak dihadirkan di persidangan. Padahal, baju korban adalah
bukti yang penting.

Menurut KY, pengabaian bukti itu merupakan pelanggaran kode etik dan perilaku
hakim, khususnya prinsip profesionalitas dan kehati-hatian.

Ribuan Hakim Minta Naik Gaji, Pantaskah?


Akhirnya ribuan hakim bersuara lantang. Para penegak hukum di lembaga
peradilan itu merasa diperlakukan secara tidak adil dalam hal memperoleh
kesejahteraan. Mereka mengawali protesnya di dunia maya dan berencana
melakukan aksi di Istana Negara dan DPR RI, serta mengajukan judicial review di
Mahkamah Konstitusi.

Sebuah grup di Facebook telah terbentuk pada Senin (18/4/2011) untuk mewadahi
aspirasi mereka. Grup itu diberi judul besar “Rencana Peserta Aksi Hakim
Indonesia Menggugat Presiden dan DPR RI”. Hingga pukul 01:15 hari ini, Grup
yang didirikan seorang hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta itu kini telah
menggaet 3074 anggota.

Resistensi atas gerakan ini muncul dari Komisi III DPR selaku mitra kerja
Mahkamah Agung—lembaga negara yang menaungi hakim di seluruh Indonesia.
Ketua Komisi III DPR Benny K Harman tidak setuju bila penghasilan hakim
ditingkatkan sekarang, karena menurutnya lembaga peradilan masih belum bisa
melakukan reformasi kultural. Berbagai perilaku korup masih banyak terjadi.

Saya tidak ingin menyampaikan apa yang sudah diberitakan media massa. Saya
ingin membeber behind the scene-nya.

Sumber penghasilan hakim sebenarnya beragam. Selain dari gaji, juga dari
berbagai tunjangan, termasuk tunjangan khusus kinerja atau biasa disebut dengan
remunerasi.

Gaji hakim diatur dalam PP 10/2007. Berdasarkan PP tersebut, gaji hakim


terendah adalah Rp 1.796.900. Itu untuk hakim golongan III/a dengan masa kerja
0 tahun. Sedangkan gaji hakim tertinggi adalah Rp 4.525.400. Itu untuk hakim
golongan IV/e dengan masa kerja 32 tahun.

Mulai September 2007 para hakim juga menerima remunerasi. Berdasarkan


Perpres 19/2008, tunjangan itu dibuat berjenjang hingga 16 jenjang. Jenjang
terendah adalah hakim di pengadilan kelas II. Tunjangan yang diterima berjumlah
Rp 4.200.000. Sementara itu, jenjang tertinggi adalah Ketua MA. Tunjangannya
mencapai Rp 31.100.000.

Hingga kini tunjangan remunerasi di MA dan empat lingkungan peradilan di


bawahnya baru diberikan 70 persen. Pembayarannya dilakukan setiap tiga bulan
sekali.

Dengan demikian, penghasilan yang bisa didapatkan seorang hakim (take home
pay) adalah berbeda-beda. Seorang hakim baru, yang masa bekerjanya tiga tahun,
mendapat penghasilan sekitar Rp 6 juta per bulan. Sementara itu, seorang hakim
agung di MA bisa membawa pulang lebih dari Rp 25 juta.

Menurut para hakim yang mengeluh soal kesejahteraan, penghasilan sejumlah itu
tidak cukup untuk biaya hidup. Masalah cukup atau tidaknya biaya hidup tentu
dapat memicu debat tak berkesudahan bila parameternya tidak jelas. Para PNS
pun dapat mengeluhkan hal yang sama. Demikian juga dengan pegawai swasta
atau buruh pabrik.

Saya melihat, gugatan para hakim mengenai kesejahteraan ini sesungguhnya


dilatarbelakangi oleh tiga hal.

Pertama, sebagai pejabat negara, para hakim merasa dianaktirikan. Berdasarkan


Pasal 19 UU 48/2009, hakim termasuk dalam kategori pejabat negara. Dengan
demikian, kedudukan hakim sederajat dengan pejabat negara di lembaga tertinggi
negara maupun lembaga tinggi negara, menteri dan gubernur.

Bagi para hakim, mendapat predikat “pejabat negara” tentu membanggakan.


Namun mereka tidak puas dengan predikat itu. Sebab, kenyataannya
kesejahteraan mereka sangat tidak sebanding dengan kesejahteraan para pejabat
negara lainnya.

Bila dibandingkan dengan penghasilan anggota DPR, misalnya, penghasilan


hakim kalah telak. Karena itu sampai ada yang menyeloroh, “Wakil rakyat
diperhatikan, wakil Tuhan ditelantarkan.” Ya, konon hakim adalah wakil Tuhan di
muka bumi ini.

Kedua, gaji hakim tidak pernah naik sejak tahun 2007 padahal gaji PNS sudah
naik berkali-kali. Dulu selisih gaji hakim dengan gaji PNS cukup besar, namun
sekarang tidak jauh berbeda. Menurut para hakim, hal ini tidak adil, sebab hakim
mengemban beban yang lebih berat ketimbang PNS.

Di sinilah para hakim dihadapkan pada persoalan dilematis. Di satu sisi, mereka
bukanlah PNS, melainkan setara dengan pejabat negara. Di sisi lain, penghasilan
mereka berselisih jauh dari penghasilan pejabat negara lainnya.

Ketiga, remunerasi belum 100 persen dan waktu pembayarannya tidak pasti.
Bersama Kementerian Keuangan dan BPK, MA menjadi proyek percontohan
reformasi birokrasi. Meski ketiga institusi ini sama-sama berhak mendapat reward
berupa remunerasi, namun jumlah tunjangan yang diberikan tidak sama.
Remunerasi di MA lebih kecil dibanding di Kemenkeu. Selain itu, hingga kini,
remunerasi di MA belum 100 persen.

Para hakim mengeluhkan situasi ini. Apalagi, pembayaran tunjangan remunerasi


itu serba tak pasti. Kadang tiga bulan baru dibayarkan. Kadang lebih lama dari itu.

Ketiga persoalan di atas sejauh ini belum terkomunikasikan dengan baik. Banyak
anggota masyarakat yang mencibir tindakan para hakim yang mengeluhkan
kesejahteraannya kurang. Sebagian masyarakat bahkan sampai menghujat.
Mereka menilai para hakim bersikap cengeng, tidak tulus dalam mengabdi,
bahkan tidak memiliki sense of crisis karena masih banyak anak bangsa yang
nasibnya jauh lebih tragis ketimbang hakim.
Tanpa meremehkan suara-suara publik itu, saya ingin menyimpulkan bahwa
sudah waktunya kesejahteraan hakim ditingkatkan. Meski demikian, sebelum
menaikkan gaji hakim, ada beberapa hal yang perlu diperhitungkan dengan
cermat.

Pertama-tama yang harus dilihat adalah beban kerja. Sejauh ini belum ada
parameter yang jelas yang dapat mengukur beban kerja para hakim. Sangat tidak
fair bila hakim yang jarang menangani perkara diberi reward yang sama dengan
hakim yang menangani banyak perkara.

Hal lain yang harus diperhatikan ialah standarisasi gaji pejabat negara, sebab
sejauh ini standar itu belum disusun. Masih terkait dengan hal ini, kondisi
keuangan negara juga tidak boleh diabaikan.

Satu lagi, pemberantasan KKN. Menaikkan penghasilan hakim adalah salah satu
solusi dari sekian alternatif solusi untuk mengurangi berkembang biaknya mafia
hukum di pengadilan. Jika kelak kesejahteraan hakim benar-benar ditingkatkan
namun mafia peradilan masih merajalela, rakyat berhak marah pada hakim.

Ya, bagaimanapun juga, uang yang digunakan untuk menggaji hakim berasal dari
cucuran keringat rakyat, bukan dari belas kasihan para wakil rakyat. (O-R)

Mempertanyakan Ijazah Hakim MK yang Baru

Gelar Magister Hukum diperolehnya dari IBLAM, sebuah perguruan tinggi


yang masuk daftar hitam Kemendiknas. Gelar Doktor yang digondolnya dari
UGM juga penuh tanda tanya.

Ada satu hal yang lolos dari perhatian publik belakangan ini. Anwar Usman,
hakim konstitusi yang baru saja dilantik, ternyata memiliki beberapa kelemahan
sehingga kompetensinya sebagai pengawal konstitusi layak dipertanyakan.

Anwar Usman menjadi salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi setelah


menggantikan Arsyad Sanusi yang telah mengundurkan diri. Baik Arsyad maupun
Anwar Usman adalah hakim konstitusi yang berasal dari Mahkamah Agung.

Yang tidak banyak diketahui publik adalah riwayat hidup Anwar Usman. Jika kita
cermati profilnya, kita akan menemukan beberapa hal yang rancu, yang justru
dapat menguatkan sangkaan bahwa ia memang tidak layak jadi hakim konstitusi.

Berdasarkan data dari situs resmi MK, Anwar Usman menempuh pendidikan S-1
jurusan hukum di Universitas Islam Jakarta (lulus 1984), S-2 Program Studi
Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) “IBLAM” Jakarta (lulus
2001), dan S-3 Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah Univ. Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta (lulus 2010).

Perlu diketahui, STIH IBLAM (Institute of Business Law and Legal


Management) Jakarta adalah salah satu kampus yang masuk dalam daftar hitam
Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendiknas. Perguruan tinggi yang gedungnya
terletak di kawasan Senen, Jakarta Pusat ini, terindikasi memudahkan
mahasiswanya untuk mendapat gelar. Proses perkuliahan dinilai melanggar
ketentuan.

Setelah terbitnya Surat Edaran Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal


Perguruan Tinggi Nomor 595/D5.1/2007, tertanggal 27 Februari 2007, setiap
perguruan tinggi dilarang menyelenggarakan model Kelas Jauh dan Kelas
Sabtu/Minggu. Aturan serupa sudah beberapa kali diterbitkan dan IBLAM
terindikasi melanggarnya.

Komisi Yudisial (KY) beberapa tahun lalu pernah mencekal salah satu calon
hakim agung gara-gara ia meraih gelar magisternya dari IBLAM. Komisi III DPR
juga pernah ‘mengusir’ seorang alumnus IBLAM saat mengikuti fit and proper
test calon hakim MK, karena kualitas si calon memang teramat parah.

Gelar Doktor yang disandang Anwar Usman juga memiliki kelainan. Disebutkan
di situs MK bahwa ia lulusan S-3 Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah
UGM. Sementara itu, di situs resmi UGM terdapat keterangan bahwa Anwar
Usman menulis disertasi mengenai independensi kekuasaan kehakiman yang tidak
ada kaitannya dengan bidang studi kebijakan sekolah.

Jadi, timbul pertanyaan, Anwar Usman itu Doktor di bidang hukum atau
pendidikan?

Masalah pendidikan ini sangat vital. Sejak berdiri, MK dikenal sebagai gudangnya
orang-orang pintar yang menjadi benteng terakhir para pencari keadilan,
khususnya dalam hal peninjauan peraturan perundang-undangan (judicial review)
dan sengketa pemilihan kepala daerah.

Setidak-tidaknya, seorang hakim konstitusi dituntut menguasai hukum tata negara.


Khusus untuk pengganti Arsyad Sanusi, Ketua MK Mahfud MD berharap agar
penggantinya adalah orang yang menguasai hukum bisnis, karena delapan hakim
konstitusi yang ada sekarang tidak ada yang menguasai hukum bisnis secara
penuh.

Pertanyaan yang bisa diajukan, dengan ijazah S-2 dan S-3 yang meragukan itu,
apakah Anwar Usman pakar di bidang hukum tata negara sekaligus ahli di bidang
hukum bisnis?
ICW: Gaji hakim rendah bukti ketidakadilan negara

Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai teriakan


kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara yang belum terpenuhi
merupakan salah satu masalah yang sangat nyata di dunia peradilan
Indonesia.

"Itu masalah riil di dunia peradilan kita," kata Koordinator Divisi Hukum
dan Pemantau Peradilan ICW, Febri Diansyah, melalui pesan singkat
kepada primaironline.com, Jakarta, Rabu (20/4).

Menurut Febri, negara sangat tidak adil jika mengabaikan


kesejahteraan hakim. "Negara ini tidak adil jika masih menggaji rendah
hakim," sesal dia. Selain kesejahteraan merupakan hak hakim, kata
Febri, lebih dari itu, gaji tinggi hakim juga penting untuk upaya
pemberantasan korupsi. "Meskipun belum tentu juga gaji tinggi akan
otomatis mengurangi korupsi," tutur dia.

Lebih jauh, Febri menegaskan, ICW tanpa ragu akan ikut mendorong
standar hidup yang layak bagi hakim. "Hakim harus digaji tinggi,"
tegas dia.
KY Sesalkan Gaji Hakim Tipikor Belum Dibayar

Jakarta - Komisi Yudisial (KY) menyesalkan sikap pemerintah yang


tidak kunjung membayar gaji sebagian hakim tindak pidana korupsi
(tipikor). Menurut KY, pemerintah berkewajiban segera memenuhi hak-
hak para hakim tersebut.

"Kami menyesalkan sekali dengan sikap pemerintah ini," kata Juru


Bicara KY, Asep Rahmat Fajar saat berbincang dengan detikcom,
Minggu, (27/3/2011).

Menurutnya, meski gaji tersebut adalah hak pribadi, tetapi tidak


terpisahkan dalam proses menjaga kehormatan mereka. Apalagi
mereka orang yang berada dalam situasi antara kejahatan dan
kebenaran.

Sehingga, KY memberikan seruan jangan sampai polemik ini


menjadikan hakim tipikor tergoda pada bisikan koruptor. "Kami sudah
menyurati pemerintah supaya cepat memenuhi hak-hak mereka,"
tandas Asep.

Apalagi, para hakim tipikor ini sudah tidak memiliki pekerjaan lain
karena syarat hakim tipikor tidak boleh mempunyai pekerjaan
sampingan. "Ini sangat mengenaskan karena pekerjaan yang lama
sudah dilepas tapi pekerjaan baru tidak kunjung dibayar," tuntas Asep.

Seperti diketahui, hakim tipikor di sejumlah daerah tak kunjung


menerima gaji. Namun Kementerian Keuangan berdalih, urusan gaji ini
karena adanya keterlambatan penyerahan surat dari Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

"Itu pengadilan tipikor Semarang, Bandung, Surabaya, pada waktu


penyusunannya budgetnya belum ada surat keputusan MenPAN soal
itu sehingga dananya itu dibintangin (belum dapat dicairkan)," ujar
Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo beberapa
waktu lalu.(asp/mok)
Duh, Hakim Satu Angkot Dengan Pihak Berperkara …

Jakarta - Tidak ada seorangpun yang dilarang untuk naik angkutan


kota (angkot). Tapi apa jadinya jika yang naik angkot adalah hakim
bersama-sama dengan pihak berperkara yang kasusnya sedang ia
tangani?

"Hal seperti itu banyak di pelosok- pelosok Indonesia. Ini kan


menyangkut keluhuran hakim," kata Kabiro Hukum dan Humas MA,
Nurhadi dalam konfrensi pers di kantornya, Jl Medan Merdeka Utara,
Jakarta Pusat, Jumat (25/3/2011).

Nurhadi juga 'curhat' tentang masih rendahnya kesejahteraan hakim.


Seperti berangkat ke kantor naik ojek, lalu tinggal di gang kecil dan
sebagainya. Nurhadi menilai, hal-jal seperti itu dapat merusak harkat
dan martabat hakim.

"Mereka pejabat negara loh," tandas Nurhadi. Oleh karena itu, dia
mengajak Komisi Yudisial (KY) untuk ikut mencari solusi atas masalah
tersebut. MA meminta KY jangan hanya mencari kesalahan-kesalahan
hakim, tetapi juga ikut menjaga martabat dan keluhuran hakim.

"KY jangan terlalu mencari kesalahan hakim. Tugas KY menjaga


martabat dan keluhuran hakim. Tapi dari KY berdiri hingga sekarang
saya tidak melihat itu," tutur Nurhadi.
Universitas Trisakti Adukan Hakim PN Jakbar ke KY

JAKARTA--MICOM: Penasehat hukum Univeritas Trisakti, Bambang


Widjojanto, melaporkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat ke
Komisi Yudisial (KY) pada Kamis (05/05). Pasalnya, Bambang
mempersoalkan pelibatan militer dalam penetapan putusan perkara
Universitas Trisakti yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Barat.

Bambang, dalam laporannya ke Komisi Yudisial, mengatakan


keresahannya terkait pelibatan militer dalam penetapan putusan
hakim. “Kami mempersoalkan, bagaimana mungkin Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Barat membuat dan melaksanakan putusan dengan
melibatkan unsur militer. Kami kuatir sekali soal ini,” katanya usai
menyerahkan pengaduan ke Komisi Yudisial, Jakarta, Kamis (5/5).

Kata Bambang lagi, terkait pelibatan militer itu jelas terbukti dalam
surat undangan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Barat. “Ada suratnya
tanggal 20 April lalu, di mana pihak PN mengundang unsur militer.
Kami ngeri saja,” ujarnya lagi.

Bambang menjadi kian kuatir karena penetapan dilakukan pada Mei,


yang dianggap Bambang punya nuansa politis sangat kuat karena
terkait masa reformasi. “Kita semua tahu apa yang terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998 lalu. Saya kuatir saja soal ini,” ujar Bambang
menambahkan.

Sebagaimana terungkap dalam laporan ke Komisi Yudisial, disebutkan


secara jelas bahwa pada tanggal 21 April, Pengadilan Negeri Jakarta
Barat mengeluarkan surat undangan kepada Komandan Gartap I Ibu
Kota Jakarta Raya Up Asops, Komandan Kodim 0503 Jakarta Barat,
Komandan Sub-Gar Jakarta Barat, dan Komandan Koramil Grogol
Petamburan, Jakarta Barat dalam rangka rapat koordinasi untuk
pelaksanaan putusan kasus Trisakti.
Suparman Marzuki, selaku Ketua Tim Investigasi dan Pengaduan
Komisi Yudisial menyatakan akan segera memeriksa laporan
pengaduan. “Kami menerima laporan pengaduan ini, dan kami janji
dalam waktu dekat sudah akan ada putusan untuk menindaklanjuti,”
ujarnya.

Bambang hadir bersama rekan penasehat hukumnya Amir


Syamsuddin, ditemani juga oleh beberapa dosen dan mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Trisakti. (OL-8)

DPR Kembali Minta KY Periksa Hakim PN Jakpus

INILAH.COM, Jakarta - Komisi III DPR kembali meminta Komisi Yudisial


(KY) memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim terkait
perkara sengketa saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Menurut anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yahdil Abdi
Harahap dalam keterangan persnya, Selasa (3/5/2011) majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dinilai telah melakukan pelanggaran dengan bertemu pihak-
pihak yang beperkara.

“Untuk membuktikan kebenaran pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam
kasus sengketa TPI, KY harus turun tangan dan memeriksa majelis hakimnya. Ini
untuk klarifikasi secara langsung benar-tidaknya informasi tersebut,” ucapnya.

Pelanggaran yang dimaksud adalah terkait kabar bahwa Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Syahrial Sidik bertemu dengan pengacara Siti Hardiyanti Rukmana,
Hary Ponto, dan Robert Bono, seorang yang diduga makelar kasus (markus)
dalam perkara tersebut.

Robert Bono diduga berperan sebagai markus pemailitan TPI yang dijatuhkan
pengadilan yang sama. Pertemuan itu diduga dilakukan sebelum ketua majelis
hakim kasus TPI, Tjokorda Rai Suamba membacakan vonis terkait kasus sengketa
saham tersebut.

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin meminta ketegasan
penegak hukum dengan memberikan sanksi seberat-beratnya kepada siapa pun,
baik hakim, pejabat, oknum aparat hukum, maupun oknum lainnya yang terbukti
melakukan pelanggaran tindak pidana.
“Jika terbukti, tidak boleh dibiarkan, akan mencederai proses hukum yang ada.
Mereka harus diproses hukum tanpa pandang bulu,” tegas Aziz Syamsuddin.

Atas rumor itu,Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Syahrial Sidik sudah
memberikan klarifikasi kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA).
Syahrial dalam surat tertulisnya mengaku tidak pernah bertemu, tidak pernah
berbicara, dan tidak kenal dengan kuasa hukum Siti Hardiyanti Rukmana alias
Tutut, yakni Harry Ponto, dan seorang yang diduga makelar kasus (markus)
bernama Robert Bono, sebelum maupun setelah perkara kepemilikan saham TPI
diputuskan di PN Jakpus. Menurut Syahrial, hal itu bisa dibuktikan dengan cara
apa pun, bisa mengonfirmasi langsung Harry Ponto dan Robert Bono. [tjs]

Hakim PN Tulungagung Bebaskan Korban Salah


Tangkap

ulungagung (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN)


Tulungagung, Jawa Timur, membebaskan Jasmani, seorang terdakwa
pencurian pompa air yang telah menjalani hukuman penjara selama
4,5 bulan karena dianggap sebagai korban salah tangkap, Rabu.

Pembebasan Jasmani itu berdasarkan putusan sela yang dibacakan


majelis hakim dalam sidang di PN Tulungagung, Selasa (22/3), namun
eksekusi pembebasan baru dilakukan Rabu sekitar pukul 12.30 WIB
dengan disaksikan pihak jaksa penuntut umum (JPU) dan penasihat
hukum terdakwa.

"Seharusnya saat proses penyidikan mereka sudah bisa


mengidentifikasi apakah seseorang terlibat dalam sebuah kejahatan
atau hanya sekadar fitnah," kata Suhadi selaku penasihat hukum
Jasmani.

Upaya pembebasan pemuda asal Desa Bangoan, Kecamatan


Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, itu berawal dari pengakuan
terdakwa lain dalam sidang perkara pencurian pompa air tersebut
bahwa polisi telah salah menangkap pelaku.

Fakta di persidangan itu baru terungkap setelah Jasmani menjalani


tahanan selama 4,5 bulan. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar
majelis hakim untuk membuat putusan sela pembebasan atas diri
Jasmani.
"Alhamdulillah, Gusti Allah Maha Adil. Kebenaran ini akhirnya
terungkap," kata Jasmani setelah keluar dari pintu gerbang Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Kelas II-B Tulungagung.

Ia pun menyambut kebebasannya itu dengan sujud syukur di depan


pintu gerbang LP sebelum mendapat pelukan dari sanak saudara yang
menjemputnya.

Meskipun belum bebas sepenuhnya, Jasmani dan Suhadi optimistis


majelis hakim akan memutuskan bebas murni pada akhir persidangan
karena tidak ada alat bukti cukup yang bisa menunjukkan bahwa
pemuda berperawakan sedang dan berkulit sawo matang itu bersalah
dalam tindak pidana pencurian seperti dituduhkan polisi.

"Klien kami merupakan korban rekayasa hukum yang dilakukan polisi.


Ia dipaksa mengakui pencurian yang sebenarnya tidak pernah
dilakukannya," ungkap Suhadi.

Pengacara yang juga dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu lantas
menceritakan kronologi penangkapan Jasmani. Menurut dia, kasus
yang menimpa kliennya bermula ketika Roni, tetangga Jasmani,
kehilangan pompa air dan melaporkannya kepada polisi.

Petugas lalu melakukan investigasi dan menangkao Winardi, tetangga


korban. Dari tersangka pertama itu terlontar nama Jasmani yang
kemudian disebut-sebut sebagai otak pelaku pencurian.

Polisi pun lalu menangkap Jasmani. Meski bersikeras menyanggah


segala tuduhan penyidik, Jasmani yang tidak bisa membaca dan
menulis itu ditetapkan sebagai tersangka setelah dipaksa mengakui
pencurian dengan membubuhkan cap jempol di atas berita acara
pemeriksaan (BAP)..

"Di persidangan, terdakwa Winardi yang awalnya menyebut nama


Jasmani sebagai otak pencurian akhirnya mengakui jika pernyataannya
itu palsu. Winardi mengaku dipaksa oleh Jito, pelaku sebenarnya dalam
kasus ini yang sampai sekarang masih buron," kata Suhadi.

Kepala Seksi administrasi Kejaksaan Negeri Tulungagung, Irmansyah,


yang hadir dalam pembebasan Jasmani membantah kesalahan
tersebut berada pada pihak kejaksaan.

Menurut dia, berkas perkara tersebut dinyatakan lengkap (P21)


lantaran polisi menyodorkan bukti-bukti dan saksi yang menguatkan.
Sementara itu, Kepala Satuan Reskrim Polres Tulungagung, AKP I Dewa
Gede Juliana, berdalih, polisi yang melakukan penyidikan sudah
melakukan prosedur yang benar. "Kalau sudah P21, sepenuhnya
wewenang kejaksaan, bukan polisi," katanya.

Ia juga membantah anak buahnya telah merekayasa kasus tersebut.


"Semua proses sudah dilakukan dengan prosedur yang benar dan cara
kerja yang profesional," katanya. (SAS*M038/I007/K004)

Editor: B Kunto Wibisono

Markus, 3 hakim PN Medan diganti

MEDAN - Diduga terlibat makelar kasus (markus), tiga hakim


Pengadilan Negeri (PN) Medan yang tergabung dalam majelis hakim
yang menyidangkan kasus narkoba dengan terdakwa Said Ikhsan,
diganti. Hal Ini dilakukan setelah, Polda Sumut menangkap panitera PN
Medan, ES yang terlibat dalam pemerasan terhadap keluarga
terdakwa. Demikian dikatakan H Panusunan Harahap, Ketua
Pengadilan Negeri Medan, sore ini.

Menurut dia, pihaknya telah melakukan klarifikasi dengan majelis


hakim yang menangani perkara Said Ikhsan. Dari hasil tersebut, ketiga
hakim, yakni, Sa, Js dan Mh membantah terlibat dengan kasus
pemerasan yang melibatkan panitera pengganti kasus tersebut.

"Pemeriksaan tetap dilakukan terhadap ketiga hakim tersebut. Selain


itu, agar tidak menimbulkan polemik berkelanjutan, maka ketiga hakim
ini diganti ke hakim yang lain," ujarnya.
Panusunan juga prihatin menyikapi penangkapan panitera pengganti.
Padahal, setiap bulannya PN Medan melakukan pembinaan terhadap
jajaran staf dilingkungan PN Medan. "Saya akan menghormati proses
hukum terhadap ES yang kini sudah menjadi tersangka. Dan
menyerahkan penyelidikan kasus pemerasan ini kepada pihak
kepolisian.

79 Hakim Agung Memasuki Masa Tes Kualitas dan Kepribadian

JAKARTA--MICOM:Sebanyak 79 calon hakim agung, hari ini memasuki


seleksi tahap kedua. Selama empat hari ke depan (9-12/05), ke -79
juru adil ini akan memasuki masa tes kualitas dan kepribadian di Pusat
Pendidikkan dan Latihan (Pusdiklat) Mahkamah Agung, Mega Mendung,
Bogor Jawa Barat.

Dalam pesan yang diterima Media Indonesia Minggu (8/5) malam, Juru
Bicara Komisi Yudisial, Asep Rahmat Fajar mengatakan, seleksi tahap
kedua ini meliputi seleksi kualitas dan kepribadian calon hakim agung.
Seleksi kualitas, lanjut Asep meliputi penilaian karya profesi selama
dua tahun terakhir.

“Karya profesi ini tentu sesuai dengan latar belakang calon, dan itu
bisa berbentuk putusan, pembelaan atau pleidoi, buku ilmiah dan
jurnal,” ujar Asep.

Selain penilaian karya profesi, calon hakim agung ini akan diuji
kemampuannya dengan membuat karya tulis di tempat dan menelaah
kasus hukum beserta penyelesaiannya.
“Sementara untuk tes kepribadian, calon hakim agung akan melewati
proses profile assessment untuk menilai karakter, moralitas dan
integritas calon,” lanjut Asep lagi.

Seleksi tahap kedua ini melibatkan konsultan Sumber Daya Manusia


dan beberapa pakar hukum, seperti Muladi untuk bidang hukum
pidana, Laica Marzuki untuk hukum tata negara dan hukum
administrasi negara, Johannes Johansyah untuk bidang hukum perdata,
dan Taufiq (mantan hakim agung) untuk hukum agama.

Hakim Agung Nilai Kewenangan Penyadapan untuk KY Tidak Pas

Jakarta - Wacana pemberian kewenangan penyadapan kepada Komisi


Yudisial dinilai tidak pas untuk dilaksanakan. Menurut Hakim Agung
Syamsul Maarif, KY tidak berhak menyadap karena bukan lembaga
penegak hukum.

"KY itu kan bukan lembaga penegak hukum, tapi lembaga yang
mengawasi penegak hukum, kewenangan itu tidak perlu," tutur
Syamsul Maarif di Hotel Sahid, Jl Jenderal Sudirman, Sabtu (30/4/2011).

Selain itu, menurut Syamsul, kewenangan penyadapan sebetulnya


lebih ditujukan untuk menangani masalah pelanggaran hukum pidana.
Ruang lingkup KY, katanya, sesuai undang-undang bukan dalam ranah
pelanggaran hukum, tapi dalam masalah etik.

"Pelanggaran etik itu bukan pelanggaran hukum, tapi pelanggaran


kode etik profesi. Makanya, sanksinya bersifat etik yang dilakukan oleh
Majelis Kehormatan Hakim," katanya.

Hal itulah yang perlu dilihat secara mendasar bila kewenangan


penyadapan diberikan kepada KY. "Toh setiap penyadapan itu
diadakan harus sesuai prosedural dengan mendapat izin dari
pengadilan," katanya.

Sebelumnya, Panitia Kerja DPR yang membahas Rancangan Undang-


Undang Komisi Yudisial sepakat memberikan kewenangan penyadapan
kepada KY. Kewenangan ini dinilai bakal mempermudah KY untuk
melengkapi bukti-bukti adanya penyimpangan kode etik dan perilaku
hakim.

Teknis pengaturan penyadapan tersebut tetap sesuai dengan hasil uji


materi MK yang menyatakan penyadapan harus melalui undang-
undang. Pengaturan lebih lanjut harus pula menyesuaikan dengan
ketentuan UU yang berkaitan.

Anda mungkin juga menyukai