Anda di halaman 1dari 58

TINJAUAN TENTANG TEORI HUKUM BENDA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Benda

Dosen Pembina:

Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H.

Disusun oleh :

Nin Yasmine Lisasih 110120100040

PROGAM MAGISTER ILMU HUKUM - HUKUM BISNIS

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2011

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………… i

A. Tinjauan tentang Hukum Benda………………………………………….. 1


1. Pengertian Hukum benda…………………………………………….. 1
2. Dasar Hukum Benda…………………………………………………. 2
3. Macam-macam Benda………………………………………………. 3
B. Tinjauan tentang Hak Kebendaan………………………………………….. 8
1. Sifat dan Karakter Hak Kebendaan……………………………….…… 8
2. Ciri-ciri Hak Kebendaan………………………………………………. 9
3. Penggolongan Hak Kebendaan………………………………………... 9
4. Perolehan hak Kebendaan…………………………………………….. 10
5. Hapusnya Hak Kebendaan…………………………………………….. 12
C. Tinjauan tentang Hak Kebendaan yang Memberi Kenikmatan…………… 14
1. Bezit…………………………………………………………………… 14
2. Eigendom……………………………………………………………… 20
3. Hak Memungut Hasil (Vruchtgebruik)……………………………….. 29
4. Hak Pakai dan Hak Mendiami……………………………………...... 30
5. Erfdienstbaarheid / Servituut………………………………………… 31
6. Hak Opstal……………………………………………………………. 31
7. Hak Erfpacht…………………………………………………………. 31
D. Tinjauan tentang Hak Kebendaan yang memberi Jaminan………….. 33
1. Gadai…………………………………………………………………. 33
2. Hipotik……………………………………………………………….. 39
3. Fidusia………………………………………………………………… 53

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 55

2
BAB I

TINJAUAN TENTANG HUKUM BENDA

A. Pengertian Hukum Benda

Hukum Benda adalah Peraturan –peraturan hukum yang mengatur

tentang benda atau barang-barang (zaken) dan Hak Kebendaan (zakelijk

recht). Pengertian benda dapat dibedakan menjadi pengertian dalam arti

sempit dan dalam arti luas. Pengertian ialah benda dalam arti sempit ialah

setiap barang yang dapat diihat saja (berwujud). Sedangkan pengertian

benda dalam arti luas disebut dalam Pasal 509 KUHPerdata yaitu benda

ialah tiap barang-barang dan hak-hak yamg dapat dikuasai dengan hak

milik atau denga kata lain benda dalam konteks hukum perdata adalah

segala sesuatu yang dapat diberikan / diletakkan suatu Hak diatasnya,

utamanya yang berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki

sesuatu hak tersebut adalah Subyek Hukum, sedangkan sesuatu yang

dibebani hak itu adalah Obyek Hukum.

B. Dasar Hukum Benda

Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II BW,

pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II BWI ini mempergunakan

system tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak hak

3
kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang undang ini. Selain

itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus

dipatuhi,tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang

menyimpang dari yang telah ditetapkan . Lebih lanjut dalam hukum

perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala sesuatu yang berwujud

atau dapat diraba oleh pancaindera saja, melainkan termasuk juga

pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya kekayaan

seseorang. Istilah benda yang dipakai untuk pengertian kekayaan,

termasuk didalamnya tagihan / piutang, atau hak hak lainnya, misalnya

bunga atas deposito . Meskipun pengertian zaak dalam BWI tidak hanya

meliputi benda berwujud saja, namun sebagian besar dari materi Buku II

tentang Benda mengatur tentang benda yang berwujud. Selain itu, istilah

zaak didalam BWI tidak selalu berarti benda, tetapi bisa berarti yang lain,

seperti : “perbuatan hukum “ (Ps.1792 BW), atau “kepentingan” (Ps.1354

BW), dan juga berarti “kenyataan hukum” (Ps.1263 BW).

Pada masa kini, selain diatur di Buku II BWI, hukum benda juga

diatur dalam:

1. Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dimana diatur hak-

hak kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang

terkandung didalamnya.

2. Undang-Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur tentang

hak atas penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan .

4
3. Undang-Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, yang mengatur tentang

hak cipta sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan obyek

hak milik .

4. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, yang

mengatur tentang hak atas tanah dan bangunan diatasnya sebagai

pengganti hipotik dan crediet verband .

C. Macam-macam Benda

Doktrin membedakan berbagai macam benda menjadi :

1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud.

Arti penting pembedaan ini adalah pada saat pemindah tanganan

benda dimaksud, yaitu :

a. Jika benda berwujud itu benda bergerak, pemindah tanganannya

harus secara nyata dari tangan ke tangan.

b. Jika benda berwujud itu benda tidak bergerak, pemindah

tanganannya harus dilakukan dengan balik nama.

Penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai

piutang dilakukan dengan :

a. Piutang atas nama (op naam) dengan cara Cessie

b. Piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat

dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan

5
c. Piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen serta

penyerahan dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan (

Ps. 163 BWI).

2. Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak

Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat

dipindahkan (Ps.509 BWI). Benda bergerak karena ketentuan undang

undang adalah hak hak yang melekat pada benda bergerak (Ps.511

BWI), misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak, hak

memakai atas benda bergerak, saham saham perusahaan. Benda tidak

bergerak adalah benda yang menurut sifatnya tidak dapat dipindah-

pindahkan, seperti tanah dan segala bangunan yang berdiri melekat

diatasnya. Benda tidak bergerak karena tujuannya adalah benda yang

dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokoknya, untuk

tujuan tertentu, seperti mesin mesin yang dipasang pada pabrik.

Tujuannya adalah untuk dipakai secara tetap dan tidak untuk

dipindah-pindah (Ps.507 BWI). Benda tidak bergerak karena undang

undang adalah hak hak yang melekat pada benda tidak bergerak

tersebut, seperti hipotik, crediet verband, hak pakai atas benda tidak

bergerak, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak (Ps.508

BWI).

Arti penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak

terletak pada :

6
a. penguasaannya (bezit), dimana terhadap benda bergerak maka

orang yang menguasai benda tersebut dianggap sebagai

pemiliknya (Ps.1977 BWI); azas ini tidak berlaku bagi benda

tidak bergerak.

b. penyerahannya (levering), yaitu terhadap benda bergerak harus

dilakukan secara nyata, sedangkan pada benda tidak bergerak

dilakukan dengan balik nama ;

c. kadaluwarsa (verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal

daluwarsa, sedangkan pada benda tidak bergerak terdapat

kadaluwarsa :dalam hal ada alas hak, daluwarsanya 20 tahun;

dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun

d. pembebanannya (bezwaring), dimana untuk benda bergerak

dengan gadai, sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan

hipotik.

e. dalam hal pensitaan (beslag), dimana revindicatoir beslah

(penyitaan untuk menuntut kembali barangnya), hanya dapat

dilakukan terhadap barang barang bergerak . Penyitaan untuk

melaksanakan putusan pengadilan (executoir beslah) harus

dilakukan terlebih dahulu terhadap barang barang bergerak, dan

apabila masih belum mencukupi untuk pelunasan hutang tergugat,

baru dilakukan executoir terhadap barang tidak bergerak.

3. Benda dipakai habis dan benda tidak dipakai habis

7
Pembedaan ini penting artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada

perjanjian yang obyeknya adalah benda yang dipakai habis,

pembatalannya sulit untuk mengembalikan seperti keadaan benda itu

semula, oleh karena itu harus diganti dengan benda lain yang sama /

sejenis serta senilai. Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda

yang tidak dipakai habis tidaklah terlalu sulit bila perjanjian

dibatalkan, karena bendanya masih tetap ada,dan dapat diserahkan

kembali.

4. Benda sudah ada dan benda akan ada

Arti penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai

jaminan hutang, atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada

dapat dijadikan jaminan hutang dan pelaksanaan perjanjiannya

dengan cara menyerahkan benda tersebut. Benda akan ada tidak dapat

dijadikan jaminan hutang, bahkan perjanjian yang obyeknya benda

akan ada bisa terancam batal bila pemenuhannya itu tidak mungkin

dapat dilaksanakan (Ps.1320 btr 3 BWI) .

5. Benda dalam perdagangan dan benda luar perdagangan.

Arti penting dari pembedaan ini terletak pada pemindah tanganan

benda tersebut karena jual beli atau karena warisan. Benda dalam

perdagangan dapat diperjual belikan dengan bebas, atau diwariskan

kepada ahli waris,sedangkan benda luar perdagangan tidak dapat

8
diperjual belikan atau diwariskan, umpamanya tanah wakaf,

narkotika, benda benda yang melanggar ketertiban dan kesusilaan.

6. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi.

Letak pembedaannya menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi

suatu perjanjian, di mana terhadap benda yang dapat dibagi, prestasi

pemenuhan perjanjian dapat dilakukan tidak sekaligus, dapat

bertahap. Lain halnya dengan benda yang tidak dapat dibagi, maka

pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan sebagian demi sebagian,

melainkan harus secara seutuhnya.

7. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar.

Arti penting pembebannya terletak pada pembuktian kepemilikannya.

Benda terdaftar dibuktikan dengan bukti pendaftarannya.

9
BAB II

TINJAUAN TENTANG HAK KEBENDAAN

A. Sifat dan Karakter Hak Kebendaan.

Perbedaan antara hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BWI dengan

hak perorangan yang diatur dalam Buku III BWI adalah sebagai berikut :

1. Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena berlaku terhadap

siapa saja, dan orang lain harus menghormati hak tersebut,

sedangkan hak perorangan berlaku secara nisbi (relatief), karena

hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni yang ada dalam

suatu perjanjian saja.

2. Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih

hidup, atau bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada ahli

warisnya, sedangkan hokum perorangan berlangsung relatif lebih

singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian telah selesai dilakukan.

3. Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam

peraturan perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang /

menciptakan sendiri hak yang lainnya, sedangkan dalam hak

perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat dijadikan

obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering

10
dikatakan hokum kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan hukum

perorangan bersifat terbuka.

B. Ciri ciri Hak Kebendaan

Ciri hak kebendaan ialah :

1. mutlak / absolute

2. mengikuti benda dimana hak itu melekat, misalnya hak sewa tetap

mengikuti benda itu berada, siapapun yang memiliki hak diatasnya

3. hak yang ada terlebih dahulu (yang lebih tua), kedudukannya lebih

tinggi;

4. memiliki sifat diutamakan

5. dapat dilakukan gugatan terhadap siapapun yang mengganggu hak

yang bersangkutan.

6. pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapapun .

C. Penggolongan Hak Kebendaan

Hak atas Kebendaan dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu :

1. Hak Kebendaaan yang memberi kenikmatan .

Selain yang mengenai tanah, karena sudah diatur dalam UUPA,

maka hak kebendaan yang termasuk dalam kategori ini adalah ;Bezit

; Hak Milik (eigendom) ; Hak Memungut Hasil ; Hak Pakai ; Hak

Mendiami.

11
Hak atas tanah yang dengan berlakunya UUPA dinyatakan tidak

berlaku lagi: Hak bezit atas tanah ; Hak eigendom atas tanah, Hak

servitut ; Hak opstal ; Hak erfpacht ; Hak bunga atas tanah, Hak

pakai atas tanah

Dengan berlakunya UUPA, pengganti dari hak atas tanah yang

dihapus adalah :

a. Hak Milik ; Hak Guna Usaha ; Hak Guna Bangunan ; Hak Pakai

b. Hak Sewa untuk bangunan ; Hak membuka tanah dan memungut

hasil hutan

c. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan

d. Hak guna ruang angkasa

e. Hak hak tanah untuk kepentingan keagamaan dan social

2. Hak Kebendaan Yang bersifat Memberi Jaminan

a. Hak Gadai (pandrechts)

b. Hipotik

c. Credietverband

d. Privilege (piutang yang di istimewakan).

e. Fiducia

D. Perolehan Hak Kebendaan

Ada beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :

1. Melalui Pengakuan

12
Benda yang tidak diketahui siapa pemiliknya (res nullius) kemudian

didapatkan dan diakui oleh seseorang yang mendapatkannya, dianggap

sebagai pemiliknya.

2. Melalui Penemuan

Benda yang semula milik orang lain akan tetapi lepas dari

penguasaannya, karena misalnya jatuh di perjalanan, maka barang

siapa yang menemukan barang tersebut dan ia tidak mengetahui siapa

pemiliknya, menjadi pemilik barang yang diketemukannya .

3. Melalui Penyerahan

Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui

penyerahan berdasarkan alas hak (rechts titel) tertentu, seperti jual

beli, sewa menyewa, hibah, warisan dsb. Dengan adanya penyerahan

maka titel berpindah kepada siapa benda itu diserahkan.

4. Dengan Daluwarsa

Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui

pemilik benda itu sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak

milik atas benda itu diperoleh setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang

tersebut menguasai benda yang bersangkutan. Untuk benda tidak

bergerak, daluwarsanya adalah :

a. jika ada alas hak, 20 tahun

b. jika tidak ada alas hak, 30 tahun

5. Melalui Pewarisan

13
Hak kebendaan bisa diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum

waris yang berlaku, bisa hukum adat, hukum Islam atau hukum barat.

6. Dengan Penciptaan

Seseorang yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah

ada maupun sama sekali baru, dapat memperoleh hak milik atas benda

ciptaannya itu.

7. Dengan cara ikutan / turunan

E. Hapusnya Hak Kebendaan

Hak kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal hal :

1. Bendanya Lenyap / musnah

Karena musnahnya sesuatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut

lenyap,

2. Karena dipindah-tangankan

Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila

benda yang bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain.

3. Karena Pelepasan Hak

4. Karena Kadaluwarsa

Daluwarsa untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun

(karena ada alas hak), sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun.

5. Karena Pencabutan Hak

14
Penguasa publik dapat mencabut hak kepemilikan seseorang atas

benda tertentu, dengan memenuhi syarat : harus didasarkan suatu

undang undangdilakukan dan untuk kepentingan umum (dengan ganti

rugi yang layak ).

15
BAB IV

TINJAUAN TENTANG HAK KEBENDAAN

YANG MEMBERI KENIKMATAN

A. Bezit.

Bezit diatur dalam (Ps. 529 s/d 568 BWI). Secara harfiah berarti

Penguasaan. Maksudnya adalah “barang siapa menguasai suatu barang,

maka dia dianggap sebagai pemiliknya”. Menurut Ps. 529 BWI, bezit

adalah keadaan seseorang yang menguasai suatu benda, baik dengan diri

sendiri maupun melalui perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan

atau menikmatinya selaku orang yang memiliki benda itu. Menurut

Prof.Subekti lebih dijelaskan maknanya sebagai berikut : ‘Bezit adalah

suatu keadaan lahir (=fakta), dimana seseorang menguasai sautu benda

seolah olah kepunyaannya sendiri, dengan tiidak mempersoalkan siapa

pemilik benda itu sebenarnya.

Lebih lanjut dalam Ps. 530 BWI disebutkan bahwa ada dua macam

bezit, yaitu yang beriktikad baik ( te goede trouw) dan yang beriktikad

tidak baik.(te kwader trouw).

Unsur bezit ada dua, yaitu :

1. unsur keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda (corpus) ;

2. unsur kemauan orang tersebut untuk memilikinya (animus).

16
Karena pada umumnya orang yang tidak waras tidak mempunyai

unsur animus, maka bezitter (orang yang mempunyai bezit) biasanya

bukan orang gila / orang yang tidak waras .Yang dapat mempunyai hak

bezit adalah orang yang dewasa, sehat pikiran, berkehendak bebas / tidak

dibawah paksaan.

Pengertian bezit yang dengan iktikad baik adalah penguasaan karena

penguasaan atas benda tersebut terjadi tanpa diiketahui cacat cela dalam

benda tersebut (Ps.531 BWI). Bezit harus dibedakan dengan detentie,

yakni keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda berdasarkan

suatu hubungan hukum tertentu dengan pemilik yang sah dari benda

tersebut, misalnya hubungan sewa menyewa, tidak harus menimbulkan

kemauan bagi si penyewa untuk memiliki. Pada diri seorang detentor

tersebut, dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang dikuasai

itu tidak ada. Menurut ketentuan Ps 538 BWI, “ Penguasaan atas suatu

benda diperoleh dengan cara menempatkan benda itu dalam kekuasaan

dengan maksud mempertahankannya untuk diri sendiri”.

Ketentuan tersebut mengandung unsusr-unsur :

1. Kata ‘Menempatkan’ berarti perbuatan aktif yang dapat dilakukan

sendiri atau dilakukan oleh orang lain atas nama.

2. Kata, ‘benda’ meliputi pengertian benda bergerak dan benda tidak

bergerak; benda bergerak meliputi benda yang sudah ada pemiliknya ,

atau yang belum ada pemiliknya.

17
3. Kata “dalam kekuasaan” menunjukkan keharusan adanya hubungan

langsung antara orang yang menguasai dengan benda yang dikuasai.

4. Kata “ mempertahankan untuk diri sendiri” menunjukkan unsur

keharusan adanya animus, yaitu kehendak menguasai benda itu untuk

memilikinya sendiri; setiap pemegang/penguasa benda itu dianggap

mempertahankan penguasaannya selama benda itu tidak beralih ke

tangan orang lain atau selama benda itu tidak nyata-nyata telah

ditinggalkannya ( Ps. 542 BWI).

Cara memperoleh penguasaan (Bezit) dapat dibedakan :

1. Menguasai benda yang tidak ada pemiliknya

Penguasaan atas benda yang tidak ada pemiliknya disebut ‘penguasaan

originair’, atau “bezit occupatio”. Memperoleh penguasaan cara ini

tanpa bantuan orang lain, hanya tertuju pada benda bergerak yang

tidak ada pemiliknya (res nullius), yang kemudian diakui dan dikuasai.

2. Menguasai benda yang sudah ada pemiliknya

Penguasaan atas benda yang sudah ada pemilikya, mempunyai dua

kemungkinan, yaitu dengan bantuan orang lain yang menguasai lebih

dahulu / pemiliknya dan tanpa bantuan orang lain yang terkait.

Penguasaan dengan bantuan orang yang menguasai lebih

dulu/pemiliknya disebut “pengusaan traditio” atau “penguasaan

derivatif”, yakni melalui penyerahan benda tersebut, misalnya

penguasaan atas hak gadai, hak pakai, hak sewa, hak memungut hasil

18
dsb. Memperoleh penguasaan tanpa bantuan orang yang menguasai

lebih dulu/pemiknya disebut “penguasaan tanpa levering”, misalnya

menguasai benda temuan di jalan, benda orang lain yang hilang.

Berdasarkan ketentuan Ps. 1977 ayat (1) BWI, penguasaan berlaku

sebagai alas hak yang sempurna. Dengan demikian orang yang

menguasai benda itu sama dengan pemiliknya.

Hak milik adalah alas hak yang sempurna. Ketentuan tersebut di atas

dibatasai oleh ayat (2) nya, bahwa perlindungan hukum yang diberikan

oelh ayat (1) itu tidak berlaku bagi benda-benda yang hilang atau benda-

benda curian. Terhadap benda-benda ini, bezit sebagai hak yang sempurna

tidak berlaku. Barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam

waktu tiga tahun terhtung sejak hilang atau dicurinya bendanya, berhak

meminta kembali bendanya itu dari pemegangnya. Tetapi jika pemegang

benda itu menguasai benda tersebut karena memperolehnya atau

membelinya dari pedagang yang lazim memperdagangkan benda itu atau

tempat pelelangan umum, pemilik yang kehilangan benda / kecurian

benda yang bersangkutan harus mengem-balikan harga benda yang telah

dibayar oleh pemegang itu (Ps. 582 BWI).

Penguasaan “benda bergerak yang tidak berupa bunga, atau piutang

yang tidak atas tunjuk berlaku ketentuan siapa yang menguasainya

dianggappemiliknya” sebagai yang ditetapkan dalam Ps. 1977 ayat (1),

tidak diatur dalam Buku IIBWI tentang Benda karena ternyata pembentuk

19
undang-undang menyatakan bahwa Ps. 1977 BWI (Buku IV BWI)

tersebut mengatur tentang kadaluarsa yang membebaskan dari perikatan,

artinya, siapa yang menguasai benda bergerak seketika ia bebas dari

tuntutan pemiliknya karena tenggang waktu / daluarsa sudah lampau.

Penguasaan itu sebagai alas hak yang sempurna, sama dengan hak

milik, padahal syarat-syarat sah levering (penyerahannya tidak dipenuhi).

Dalam hal ini ada dua teori yang menjawab soal ini, yaitu

eigendomstheorie dan legitimatietheorie.

1. Eigendoms theorie

Teori ini dikemuakan oleh Meijers, yang menafsirkan Ps. 1977 BWI

secara gramatikal. Menurut Mejers siapa yang menguasai benda

bergerak secara jujur ia adalah pemilik benda itu, tanpa

memperhatikan apakah ada alas hak yang sah atau tidak, apakah

berasal dari orang yang berwenang mengauasai benda itu atau tidak.

Teori ini mengesampingkan Ps. 584 BWI mengenai syarat sahnya

suatu levering, yaitu harus ada alas hak yang sah dan harus dilakukan

oleh orang yang berwenang menguasai benda itu. Masalahnya adalah,

pasal. mana yang harus diikuti diantara dua pasal tersebut dan Mejers

berpendapat Ps. 1977 BWI yang diikuti, berarti mengabaikan dua

syarat sahnya levering, dan oleh karena itu pada masa sekarang teori

Mejers ini sudah ditinggalkan orang.

2. Legitimatie theorie

20
Teori ini dikemukakan oleh Paul Scholten : Pada umunya hak milik

atas suatu barang hanya dapat berpindah secara sah bila seseorang

memperolehnya dari orang yang berhak memindahkan hak milik atas

barang tersebut yaitu pemiliknya. Akan tetapi dapat dimengerti, bahwa

kelancaran lalu lintas hukum akan sangat terganggu, jilka dalam setiap

jual belibarang bergerak si pembeli harus menyelidiki terlebih dahulu

apakan si penjual sungguh- sungguh mempunyai hak milik atas barang

yang dijualnya. Untuk kepentingan kelancaan lalu lintas hukum itulah,

Ps. 1977 BWI menetapkan mengenai barang bergerak si penjual

dianggap sudah cukup membuktikan hak miliknya dengan

mempertunjukkan bahwa ia menguasai barang itu seperti seorang

pemilik, yaitu bahwa menurut keadaan yang tampak barang itu seperti

kepunyaannya sendiri. Jadi ia tidak usah memperlihatkan cara

bagaimana ia memperoleh penguasaan atas benda tersebut, tak usah ia

memperlihatkan tanda bukti tentang hak miliknya dan pembeli yang

percaya atas adanya bezit di pihak penjual tersebut akan dilindungi

oleh undang-undang. Jika kemudian ternyata si penjual bukan pemilik

tetapi misalnya hanya meminjam barang itu dari pemilik, maka barang

itu akan menjadi milik si pembeli (pembeli yang beritikad baik). Bezit

bukan sebagai hak milik, jadi siapa yang secara jujur menguasai benda

tak bergerak ia dilindungi oleh undang-undang. Jika dihubungkan

dengan Ps. 584 BWI tentang syarat- syaratnya sahnya levering, teori

21
Paul Scholten ini mengabaikan satu syarat levering, yaitu “ tidak perlu

berasal dari orang yang berwenang menguasai benda itu”, melainkan

cukup dengan anggapan saja bahwa benda itu memang berasal dari

yang berwenang menguasainya, demi kelancaran lalu lintas hukum.

Tujuan teori ini adalah melindungi pihak ketiga yang jujur, tetapi agar

tidak terlalu luas penafsirannya, maka dikatakan bahwa perindungan

hukum yang dimaksud dalam Ps. 1977 BWI hanya berlaku terhadap

perbuatan-perbuatan dalam perdagangan. Jadi, seseorang yang

bagaimanapun jujurnya menerima suatu benda sebagai hadiah, tidak

dilindungi oleh hukum, karena bisa saja benda itu beasal dari benda

curian, sedangkan kasus pemberian hadiah tidak termasuk sebagai

perbuatan perdagangan. Pembatasan yang diajarkan oleh Paul

Scholten ini disebut “rechtsvefijning” (penghalusan hukum).

B. Hak Milik (Hak Eigendom)

Pengertian hak milik disebutkan dalam Ps. 570 BWI yang

menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati sepenuhnya

kegunaan suatu benda dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap

benda itu asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan

umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berwenang yang

menetapkannya dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang

lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak itu demi

22
kepeningan umum berdasarkan ketentuan perundangan dengan

pembayaran ganti rugi. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan

bahwa eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda.

Memang dahulu hak eigendom dipandang benar-benar mutlak, dalam arti

tidak terbatas, namun pada masa akhir-akhir ini mincul pengertian tentang

asas kemasyarakatan (sociale functie ) dari hak tersebut. Hal tersebut

tercermin dalam UUPA kita yang menonjolkan asas kemasyarakatan

tesebut dengan menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai

fungsi sosial. Hal ini berarti bahwa kita sudah tidak dapat berbuat

sewenang-wenang atau sebebas-bebasnya dengan hak milik kita sendiri.

Bahkan pada masa kini suatu perbuatan yang pada hakekatnya berupa

suatu pelaksanaan hak milik dapat dipandang sebagai bertentangan dengan

hukum, jika perbuatan itu dilakukan dengan tidak menyangkut

kepentingan yang patut, atau dengan maksud semata-mata untuk

mengganggu kepentingan orang lain (“misbruikvanrecht”). Sebagai hak

kebendaan yang sempurna, hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut :

1. Merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain.

2. Ditinjau dari segi kualitasnya, merupakan hak yang paling lengkap.

3. Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang

lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika

menghadapi hak milik.

23
4. Mengandung inti dari hak kebendaan yang lain, sedangkan hak

kebendaan yang lain hanya meupakan bagian saja dari hak milik.

Setiap orang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda, berhak

meminta kembali benda miliknya itu dari siapapun juga yang

menguasainya (Ps. 574 BWI). Permintaan kembali yang didasarkan atas

hak milik dinamakan revindicatie; di dalam sidang pengadilan baik

sebelum maupun pada saat perkara belangsung, pemilik dapat mengajukan

permohonan agar benda yang diminta kembali itu disita terlebih dahulu

( revindicatoir beslag), yaitu penyitaan yang dilakukan terhadap benda-

benda bergerak milik pemohon yang berada dibawah kekuasaan orang lain

dengan tidak perlu mengemukakan atau menguraikan bagaimana cara

memperolehnya hak milik itu. Cara memperoleh hak milik datur dalam Ps.

584 BWI, yang megatur hanya secara limitatif saja :

1. Melalui pengambilan (toegening atau occupatio)

Cara memperoleh hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak

yang sebelumnya tidak ada pemiliknya

2. Melalui penarikan oleh benda lain (natrekking atau accecio)

Cara memperoleh hak milik di mana benda pokok yang telah dimiliki

secara alamiah bertambah besar atau bertambah jumlahnya.

3. Melalui daluwarsa (verjaring).

Cara memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam

hal ada alas hak yang sah atau 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak

24
(Ps. 610 BWI). Kadaluarsa yang dimaksud disini adalah acquisiteve

verjaring, yakni suatu cara untuk memperoleh hak kebendaan setelah

lampau waktu tertentu, disisi lain tedapat extinctieve verjaring yaitu

suatu cara untuk dibebaskan dari suatu hutang setelah terlampauinya

waktu tertentu.

4. Melalui perwarisan (erfopvolging)

Cara memperoleh hak milik bagi para ahli waris yang ditinggalkan

pewaris. Disini para ahli waris memperoleh hak milik menurut hukum

tanpa harus ada tindakan penerimaan benda secara fisik. Ahli waris

bisa berupa ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) maupun

menurut wasiat (testament)

5. Melalui penyerahan (levering atau overdracht).

Cara memperoleh hak milik karena adanya pemindahan hak milik

seseoarang yang berhak memindahkannya kepada orang lain yang

memperoleh hak milik itu. Cara ini merupakan cara yang paling

banyak dilakukan dalam kehidupan masyarakat sekarang. Perkataan

levering mempunyai dua arti. Yang pertama berarti perbuatan berupa

penyerahan kekuasaan belaka atas suatu benda (feicelijke levering);

pengertian kedua berarti perbuatan hukum yang bertujuan

memindahkan hak milik kepada orang lain (yuridische levering).

Penyerahan hak milik atas benda bergerak cukup dilakukan dengan

penyerahan kekuasaan belaka atas benda itu, sedangkan penyerahan

25
hak milik atas benda tak bergerak harus dibuatkan suatu surat

penyerahan yang harus dituliskan dalam daftar hak milik.Mengenai

levering dari benda bergerak yang tidak berwujud dapat dibedakan

atas :

a. Levering dari surat piutang atas tunjuk (aan tonder), berdasarkan

Ps. 613 ayat (3) BWI dilakukan dengan penyerahan surat yang

bersangkutan.

b. Levering dari surat piutang atas nama (op naam), berdasarkan Ps.

613 ayat (1) BWI dilakukan dengan cara membuat akte otentik

atau akte di bawahtangan (cessie). Ini berarti pergantian

kedudukan berpiutang dari kredirur lama (cedent) kepada kreditur

baru (cessionaris), sedangkan debiturnya dinamakan cessus. Jadi

hak berpiutang dianggap telah beralih dari cedent kepada

cessionaris pada saat akte cessie dibuat, bukan pada waktu akte

cessie diberitahukan kepada cessus.

c. Levering dari piutang atas perintah (aan order) yang berdasarkan

Ps. 613 ayat (3) BWI harus dilakukan dengan surat piutang

tersebut disertai dengan endosemen, yaitu menulis dibalik surat

piutang yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dialihkan.

Cara memperoleh hak milik yang tidak disebutkan dalam Ps. 584

BWI :

26
1) Pembentukan benda (zaaksvorming), yaitu dengan cara

membentuk atau menjadikan benda yang sudah ada menjadi

benda yang baru. Misalnya, kayu diukir menjadi patung,

benang ditenun menjadi kain dlsb. Orang yang menjadikan

atau membentuk benda baru tersebut menjadi pemiliknya (Ps.

606 BWI).

2) Penarikan hasilnya (vruchttrekking), yaitu benda yang

merupakan hasil/buah dari benda pokok yang dikuasainya,

misalnya buah pisang dari pohon pisang, anak sapi dari sapi

yang dikuasainya (Ps. 575 BWI).

3) Percampuran atau persatuan benda vereniging), yaitu perolehan

hak milik karena bercampurnya beberapa macam benda

kepunyaan beberapa orang :

- Jika bercampurnya benda itu karena kebetulan, maka benda itu

menjadi milik bersama orang-orang tersebut, seimbang dengan

harga benda mereka semula.

- Jika bercampurnya benda itu karena perbuatan seseorang pemilik

benda, maka dialah menjadi peimilik dari benda baru tersebut

dengan kewajiban membayar ongkos-ongkos, ganti rugi dan

bunganya kepada para pemilik lain dari benda-benda semula (Ps.

607-609 BWI).

27
4) Pencabutan hak (onteigening),, yaitu cara memperoleh hak

milik bagi penguasa dengan jalan pencabutan hak milik atas

suatu benda kepunyaan satu atau beberapa orang. Untuk

melakukan hal ini penguasa harus mendasarkan tindakannya

pada undang-undang dan harus untuk tujuan kepentiangan

umum dengan disertai pemberian ganti rugi yang layak kepada

(para) pemiliknya.

5) Perampasan (verbeurdverklaring), yaitu cara memperoleh hak

milik dari penguasa dengan jalan merampas hak milik atas

suatu benda kepunyaan terpidana yang dipergunakan untuk

melakukan tindak pidana.

6) Pembubaran suatu badan hukum, yaitu dengan pembuabaran

badan hukum maka para anggota badan hukum dapat

memperoleh bagian dari harta kekayaan badan hukum tersebut

(Ps. 1665 BWI).

Pasal 573 BW mengatur tentang adanya suatu benda yang

dipunyai oleh lebih satu orang, sehingga terjadi hak milik bersama

(medeeigendom) atas suatu benda, di mana dinyatakan bahwa

membagi suatu benda menjadi milik lebih dari satu orang, harus

dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan tentang “pemisahan”

dan “pembagian” harta peninggalan. Sedangkan aturan-aturan tentang

28
pemisahan dan pembagian harta peninggalan diatur dalam Buku II Ps.

1066-1125 BWI.

Milik bersama dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hak

milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom) dan hak milik

bersama yang teriikat (gebonden medeeigendom). Contoh hak milik

bersama yang bebas adalah a, b, dan c bersama-sama membeli sebuah

komputer. Contoh hak milik bersama yang terikat adalah hak milik

bersama suami istri terhadap harta perkawinan, terhadap harta

peninggalan, terhadap harta kekayaan suatu badan hukum. Inti

perbedaannya adalah hak milik bersama yang bebas tidak mempunyai

hubungan apa-apa sebelum mereka bersama menjadi pemilik ssesuatu

barang; sedangkan dalam hak milik bersama yang terikat pemilikan

bersama atas suatu benda itu justru sebagai akibat dari hubungan

mereka satu sama lain yang telah ada sebelumnya. Perbedaan yang

lain adalah bahwa di dalam hak milik bersama yang bebas terdapat

kehendak bersama dari beberapa orang untuk memiliki suatu benda;

sedangkan di dalam hak milik bersama yang terikat, kehendak untuk

bersama sama menjadi pemilik hampir tidak ada, yang semata-mata

ada diantara mereka adalah karena hubungan hukum yang telah ada

sebelumnya. Secara umum para ahli hukum mengatakan perbedaan

antara hak milik bersama yang bebas dengan hak milik bersama yang

terikat sebagai berikut :

29
a. Para pemilik dalam hak milik bersama yang bebas dapat meminta

pemisahan dan pembagian atas benda yang merupakan milik

bersama, sedangkan para pemilik di dalam hak milik bersama yang

terikat tidak dapat meminta pemisahan dan pembagian terhadap

benda milik bersama itu. Dalam hal ini terdapat keberatan /

sanggahan dari para ahli hukum yang lain oleh karena mengenai

“harta peninggalan”, para ahli waris dapat meminta pemisahan dan

pembagian harta peninggalan tersebut.

b. Di dalam hak milik bersama yang bebas, masing-masing orang

mempunyai bagian yang merupakan harta kekayaan yang berdiri

sendiri, sehingga masing- masing berwenang untuk menguasai

atau berbuat apa saja terhadap benda tersebut tanpa memerlukan

izin dari pemilik yang lain; sedangkan di dalam hak milik bersama

yang terikat, hal yang demikian tidak mungkin sebab harus

mendapat izin dari pemilik-pemilik yang lain.

c. Di dalam hak milik bersama yang bebas, tiap-tiap pemilik

mempunyai bagian atas benda milik bersama itu; sedangkan dalam

hak milik bersama yang terikat tiap-tiap pemilik berhak atas

seluruh bendanya.

Sebab-sebab yang mengakibatkan hapusnya hak milik adalah :

a. Karena ada orang lain yang memperoleh hak milik atas suatu

benda yang sebelumnya menjadi hak milik seseorang, dengan

30
salah satu cara untuk memperoleh hak milik seperti telah diuraikan

di atas.

b. Karena musnahnya benda yang dimiliki.

c. Karena pemilik melepaskan benda yang dimilikinya dengan

maksud untuk melepaskan hak miliknya.

C. Hak Memungut Hasil (VRUCHTGEBRUIK)

Hak memungut hasil adalah hak untuk memungut hasil dari benda

orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban

bahwa dirinya harus menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti

semula (Ps. 756 BWI).

Kewajiban dari pemegang hak memungut hasil diatur di dalam Ps.

782-806 BWI:

1. Kewajiban pada permulaan adanya hak memungut hasil :

- Membuat pencatatan (inventarisasi) terhadap benda-bendanya

- Mengadakan jaminan-jaminan yang diperlukan (asuransi dlsb)

terhadap benda-benda yang bersangkutan

2. Kewajiban selama adanya hak memungut hasil :

- Mengadakan perbaikan terhadap benda-benda

- Menanggung biaya perbaikan dan pajak yang harus dibayar dalam

pengelolaan benda-benda itu.

- Memelihara benda itu dengan sebaik-baiknya.

31
3. Kewajiban pada waktu berakhirnya hak memungut hasil :

- Mengembalikan semua benda seperti dalam keadaan semula

- Mengganti segala kerusakan / kerugian yang timbul atas benda-

benda itu

D. Hak Pakai dan Hak Mendiami

Di dalam BW hak pakai dan hak mendiami ini diatur dalam Buku II

Ps. 818-829 BWI, akan tetapi tidak ada satu pasalpun yang memberikan

definisi / pengertian tentang kedua hak tersebut. Di dalam Ps. 818 BWI

hanya disebutkan bahwa hak pakai dan hak mendiami itu merupakan hak

kebendaan yang terjadinya dan hapusnya sama seperti hak memungut

hasil.Hak pakai sebetulnya sama dengan hak mendiami, namun apabila

hak ini menyangkut rumah kediaman maka dinamakan hak mendiami.

Bilamana obyek hak pakai adalah binatang, maka pemilik hak pakai

berhak untuk mempekerjakannya, memakai air susunya dan rabuknya,

sekedar dibutuhkan untuk diri sendiri dan anggota keluarganya, akan

tetapi tidak boleh menikmati hak pakai / hak milik (Ps. 824 BWI) terhadap

anak binatang yang bersangkutan.

Dalam Ps. 826 BWI ditentukan bahwa barangsiapa mempunyai hak

mendiami atas sebuah rumah, maka ia boleh mendiami rumah itu sejak ia

masih bujangan hingga ia mempunyai keluarga / keturunan yang diam di

rumah tersebut.

32
E. Erfdienstbaarheid / Servituut (Ps. 674-710 BWI)

Erfdienstbaarheid adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu

pekarangan untuk keperluan pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya

pemilik dari pekarangan A harus mengizinkan orang-orang ang tinggal di

pekarangan B setiap waktu melalui pekarangan A atau air yang dibuang

pekarangan B harus dialirkan melalui pekarangan A. Oleh karena

erfdienstbaarheid itu suatu hak kebendaan, maka haknya tetap melekat

pada pekarangan yang bersangkutan walaupun pekarangan tersebut dijual

kepada orang lain.

F. Hak opstal,

Hak postal yaitu suatu hak untuk mendirikan dan menguasai

bangunan atau tanaman di atas tanah milik orang lain (Ps. 711 BWI).

G. Hak Erfpacht.

Hak Erfpacht yaitu suatu hak kebendaan untuk memungut hasil seluas-

luasnya dalam jangka waktu yang lama atas bidang tanah milik orang lain

dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap

tahun (Ps. 720 BWI). Semua hak pemilik tanah dijalankan oleh orang

yang memegang hak erfpacht, sedangkan bukti pengakuan terhadap hak

pemilik tanah berupa pembayaran sejumlah uang atau penghasilan tiap-

33
tiap tahun (pacht atau canon) tersebut. (Hak ini dahulu banyak

dipergunakan untuk perusahaan perkebunan yang besar atau pembukaan

tanah yang masih belukar sehingga diberikan untuk jangka waktu yang

cukup lama, biasanya selama 75 tahun).

34
BAB IV

HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT

MEMBERI JAMINAN

A. Pengertian

Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan selalu bertumpu atas

benda orang lain, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak. Jika

benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maka disebut hak

gadai (pandrecht), sedangkan benda yang menjadi obyek jaminan adalah

benda tidak bergerak maka hak kebendaannya adalah hipotik. Kreditur yang

mempunyai hak gadai dan atau hipotik mempunyai kedudukan preferens

yaitu hak untuk didahulukan dalam pemenuhan hutangnya dari kreditur-

kreditur yang lainnya (Ps. 1133 BWI).

B. Gadai (Pandrecht)

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda

bergerak yang diberikan debitur kepadanya sebagai jaminan pelunasan

pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat

pembayaran lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan

benda tersebut (Ps. 1150 BWI). Pengertian gadai di atas membuktikan bahwa

hak gadai adalah tambahan atau buntut dari suatu perjanjian pokok, yaitu

perjanjian pinjam meminjam uang, dengan tujuan agar kreditur jangan

35
sampai dirugikan apabila debitur lalai membayar kembali uang pinjaman

berikut bunganya.Jadi tidak mungkin timbul adanya hak gadai tanpa ada

perjanjian pokok berupa perjanjian hutang piutang. Dalam hukum Romawi

terdapat semacam hak gadai yang dinamakan fidutia, yaitu suatu pemindahan

hak milik dengan perjanjian bahwa benda akan dikembalikan apabila si

berhutang sudah membayar lunas hutang dan bunganya. Selama hutang

belum dibayar kreditur menjadi pemilik benda yang dijaminkan itu. Sebagai

pemilik, ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu kepada

debitur sehingga orang yang berhutang ini tetap menguasai bendanya. Hak

gadai senantiasa melekat meskipun hak milik atas benda itu jatuh ke tangan

orang lain seperti ahli warisnya. Pemegang hak gadai yang kehilangan benda

gadai itu, berhak meminta kembali benda itu dari tangan siapapun benda

tersebut berada selama 3 (tiga) tahun (Ps. 1152 ayat (3) jo Ps. 1977 ayat (2)

BWI). Hak untuk meminta kembali ini berdasarkan Ps. 1977 ayat (2) BWI

diberikan kepada pemilik benda bergerak, sehingga Ps. 1152 ayat (3) BWI

dapat diartikan bahwa hak gadai dipersamakan dengan hak milik. Unsur

terpentiing dari hak gadai adalah benda yang dijaminkan harus berada dalam

kekuasaan pemegang gadai. Namun penguasaan tersebut bukan untuk

menikmati, memakai dan memungut hasil, melainkan hanya untuk menjadi

jaminan pembayaran hutang si debitur (pemberi gadai).

1. Obyek hak gadai.

36
Obyek hak gadai berupa benda bergerak, baik benda bergerak yang

berwujud (lichamelijkezaken) maupun benda bergerak yang tidak

berwujud (onlichamelijke zaken) berupa hak untuk mendapatkan

pembayaran uang dalam bentuk surat-surat berharga.

a. Apabila surat berharga yang digadaikan berupa surat berharga atas

bawa / atas tunjuk / aan toonder (pembayaran uang dilakukan kepada

siapa saja yang membawa/ memegang surat itu), maka cara

menggadaikannya adalah dengan cara menyerahkan begitu saja surat

berharga tersebut kepada pemegang gadai.

b. Apabila surat berharga yang digadaikan berupa atas perintah / aan

order (pembayaran uang dilakukan kepada orang yang disebut dalam

surat berharga yang bersangkutan), maka dalam cara menggadaikan

surat berharga tersebut diperlukan adanya endosemen (Ps. 1152 BWI

dst) dan kemudian surat berharga itu harus diserahkan kepada

pemegang gadai.

c. Apabila surat berharga yang digadaikan berupa surat berharga atas

nama / op naam (pembayaran dilakukan kepada orang yang namanya

disebut di dalam surat berharga itu), maka cara menggadaikannya

harus diberitahukan terlebih dahulu kepada orang yang berwajib

membayar uang dan orang yang wajib membayar ini dapat menuntut

supaya ada bukti tertulis izin pemberi gadai. Sebagai konsekuensi

bahwa penguasaan pemegang hak gadai bukan untuk menikmati,

37
memakai atau memungut hasil, maka kalau yang digadaikan adalah

surat-surat berharga yang memberikan berbagai hak, seperti bunga,

Ps. 1158 BWI menentukan bahwa pemegang gadai dapat memungut

bunga itu tetapi bunga itu harus diperhitungkan dengan hutang

maupun bunga yang haruis dibayar oleh pemberi gadai.

2. Subyek hak gadai

Subyek hak gadai adalah pemberi dan penerima hak gadai, hanya

dapat dilakukan oleh orang-orang yang pada umumnya cakap dan mampu

melakukan perbuatan hokum mengasingkan (menjual, menukar, dll)

benda itu. Ps. 1152 ayat (4) BWI menentukan bahwa kalau ternyata

debitur tidak berhak untuk mengasingkan (menjual, menukar,

menghibahkan dlsb) benda itu, gadai tidak dapat dibatalkan sepanjang

penerima gadai (kreditur) betul-betul beranggapan bahwa pemberi gadai

berhak untuk membebankan benda yang bersangkutan dengan hak gadai.

Kalau penerima gadai mengetahui atau seharusnya dapat menyangka

bahwa pemberi gadai tidak berhak mengasingkan obyek gadai, maka

penerima gadai tidak mendapat perlindungan hukum dan hak gadai harus

dibatalkan. Timbulnya hak gadai didasarkan atas perjanjian mengadakan

gadai, baik yang dibuat secara tertulis (otentik atau di bawah tangan) atau

dibuat secara lisan. Akan tetapi dengan perjanjian gadai saja, tidak berarti

hak gadai telah terbentuk dengan sendirinya, melainkan masih harus

disertai dengan penyerahan benda yang digadaikan. Jika barang-barang

38
yang akan digadaikan merupakan barang-barang yang sehari-hari

dipergunakan untuk berusaha maka akan timbul kesulitan apabila benda

itu diserahkan sebagai benda gadai karena ia tidak akan memperoleh

penghasilan untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Jalan keluar yang

ditempuh untuk mengatasi kesulitan terbut di atas adalah dengan

mempergunakan suatu lembaga jaminan yang dinamakan fiduciare

eigendoms overdracht (fidutia) yang disingkat menjadi FEO.

3. Hak-hak pegang gadai (kreditur) :

- Menahan benda yang digadaikan selama hutang pokok , bunga

dan biaya lainnya belum dilunasi oleh debiur.

- Mendapat pembayaran atas piutangnya dari hasil penjualan benda

yang digadaikan. Penjualan benda gadai dapat dilakukan sendiri

oleh pemegang gadai atau melalui pengadilan.

- Meminta ganti seluruh biaya yang timbul yang telah menjadi

beban dirinya dalam memelihara benda gadai.

- Menggadaikan kembali benda gadai, dalam hal kasus seperti telah

menjadi kebiasaan, seperti menggandaikan saham-saham

perseroan atau obligasi.

- Mempunyai hak untuk didahulukan (preferensi) dalam menerima

pembayaran atas piutangnya terhadap piutang-piutang lainnya.

4. Kewajiban pemegang gadai

Kewajiban pemegang gadai adalah :

39
a. Bertanggung jawab atas hilangnya atau berkurangnya nilai barang

yang digadaikan yang disebabkan oleh karena kelalaiannya.

b. Wajib memberitahukan kepada pemberi gadai jika ia bermaksud

untuk menjual barang gadai.

c. Memberikan perhitungan tentang perincian hasil penjualan benda

gadai dan setelah mengambil sebagian untuk pelunasan piutangnya,

harus menyerahkan kelebihannya kepada pemberi gadai.

d. Harus mengembalikan benda gadai bilamana hutang pokok, bunga

dan biaya pemeliharaan benda gadai telah dilunasi oleh debitur.

5. Hapusnya gadai

Gadai menjadi hapus karena :

a. Karena hapusnya perjanjian hutang piutang (perjanjian pokoknya)

b. Karena penyalahgunaan wewenang pemegang gadai sehingga

diperintah-kan untuk mengembalikan benda gadai.

c. Karena benda gadai dikembalikan atas kemauan sendiri oleh

pemegang gadai kepada pemberi gadai (dalam hal hutang dianggap

telah dihapuskan).

d. Karena pemegang gadai oleh sesuatu sebab menjadi pemilik benda

yang digadaikan.

e. Karena dieksekusi oleh pemegang gadai.

f. Karena lenyapnya / hilangnya benda gadai

40
Didalam gadai dikenal lembaga yang disebut parate executie, yaitu orang

yang berhutang (pemberi gadai) sejak semula telah memberikan

persetujuan bahwa jika dirinya lalai dalam memenuhi kewajibannya

kepada kreditur (pemegang gadai), barang jaminan yang diserahkannya

itu boleh dijual oleh pemegang gadai untuk pelunasan hutangnya tanpa

harus melalui pengadilan.

C. Hipotik

Tentang hipotik ini sepanjang yang diatur dalam BWI, terletak di dalam

Buku II titel XXI Ps. 1162 – 1232. Namun sebagaimana telah dikemukakan

dengan berlakunya UUPA maka ketentuan di dalam Buku II BWI, sepanjang

mengenai bumi, air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dinyatakan

tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik. Secara

garis besar dapat dikatakan, sepanjang ketentuan dalam Buku II tesebut

mengatur tentang hak dan kewajiban pemberi dan pemegang hipotik, azas-

azas hipotik, maka ketentuan-ketentuan itu masih berlaku. Sedangkan

ketentuan yang mengatur tentang cara pembebanan hipotik, cara pendaftaran

hipotik, cara peralihan hupotik dan obyek serta subyek hipotik diberlakukan

ketentuan yang terdapat di dalam UUPA serta peraturan-peraturan

pelaksanaannya :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah;

2. Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pejabat

Pembuat Akta Tanah;

41
3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pembebanan

dan Pendaftaran Hipotik dan Credietverband;

4. Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria Nomor 67/DDA/1968 tentang

Bentuk Buku Tanah dan Sertifikat Hipotk dan credietverband;

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978 tentang Biaya

Pendaftaran Tanah.

1. Pengertian Hipotik

Menurut Ps. 1162 BWI yang dimaksud dengan hipotik adalah suatu

hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak (kepunyaan orang lain),

untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu

perikatan. Seperti halnya tujuan gadai, pengertian di atas menunjukkan

bahwa tujuan hipotik adalah juga untuk memberi jaminan kepada kreditur

tentang kepastian pembayaran pelunasan atas uang yang dipinjam debitur

sedemikian rupa, bahwa apabila debitur wanprestasi maka benda-benda

yang dibebani hipotik dapat dijual / dilelang dan pendapatan penjualan

tersebut dipergunakan untuk membayar hutang yang dijamin dengan

hipotik, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. Dengan demikian

perjanjian hipotik merupakan perjanjian tambahan (accessoir) dari suatu

perjanjian hutang piutang sebagai perjanjian pokoknya. Selanjutnya di

dalam Ps. 1163 ayat (2) BWI diterangkan bahwa karena hipotik tetap

melekat pada bendanya, maka meskipun benda itu kemudian dimiliki

42
oleh orang lain hipotik tetap melekat atas benda itu (jual beli tidak

menggugurkan hipotik).

Beberapa sifat yang terdapat dalam hipotik adalah :

a. Sifat Konvensional, artinya perjanjian pembebanan hipotik harus

secara tegas menyatakan hal itu dan dibuat dengan akta otentik;

b. Sifat tidak dapat dibagi (ondeelbaarheid), artinya bahwa hipotik itu

tetap berlangsung walaupun sebagian dari hutang telah dibayar;

c. Sifat tetap melekat pada bendanya (zaaksgevolg), meskipun benda

yang dibebani hipotik berpindah tangan, hipotik tetap melekat pada

benda itu;

d. Sifat mudah dieksekusi, artinya benda yang dibebani hipotik dapat

dijual sendiri oleh kreditur atau dengan perantaraan hakim, tidak

perlu bantuan tenaga penjualan khusus;

e. Sifat didahulukan (droit de preference), artinya pelunasan hipotik

lebih didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, kecuali

ditetapkan lain oleh undang-undang;

f. Sifat accessoir, artinya sebagai pelengkap dari perjanjain pokok yaitu

hutang piutang;

g. Bersifat sebagai jaminan, yaitu untuk menjamin pelunasan suatu

hutang saja dan tidak memberi hak untuk menguasai dan memiliki

benda jaminan.

43
2. Azas-azas hipotik

Secara umum dapat dikatakan bahwa yang merupakan azas-azas hipotik

adalah :

a. Terbuka untuk umum (ovenbaarheid), yaitu bahwa hipotik didasarkan

dalam suatu daftar umum supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga.

Azas ini dikenal pula dengan nama azas publisitas;

b. Azas spesifikasi (specialiteit), artinya bahwa hipotik hanya dapat

dibeban-kan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, berupa

apa, berapa luas, berapa besar, jumlah, ukuran, di mana letaknya /

batas-batasnya dlsb. Hipotik atas benda tak bergerak yang telah

ditentukan secara khusus sebagai unit kesatuan misalnya sebuah

rumah, tidak dapat hanya dibebankan atas paviliun rumah tersebut

atau hanya atas satu atau dua kamar di dalam rumah tersebut.

3. Obyek hipotik

Berdasarkan ketentuan Ps. 1164 BWI, benda yang dapat dibebani

hipotik / obyek hipotik adalah benda-benda tak bergerak yang dapat

dipindah tangankan. Setelah berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960

berikut peraturan pelaksanaannya, maka benda tak bergerak yang dapat

dibebani hipotik adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha

(baik yang berasal dari konversi hak tanah barat, seperti hak eigendom /

hak opstal / hak erfpacht maupun hak tanah adat), dengan syarat hak-hak

44
tersebut telah didaftarkan dalam Daftar Buku Tanah. Dengan demikian

maka hak atas tanah lainnya yang disebutkan di dalam UUPA yang

walaupun harus didaftar dalam Daftar Buku Tanah, tetap tidak dapat

dibebani hipotik atau credietverband.

a.Hak memungut hasil (vruchtgebruik);

b. Hak opstal (Ps. 711 - 719 BWI) dan hak erfpacht (Ps. 720 – 736 BWI);

c.Bunga tanah (Ps. 737 – 739 BWI);

d. Bunga sepersepuluh (Ps. 740 – 755 BWI);

e.Pasar yang diakui pemerintah berikut hak-hak istimewa yang melekat

padanya.

4. Subyek Hipotik

Yang dimaksud dengan subyek hipotik adalah para pihak yang

mengadakan perjanjian hipotik yaitu pihak pemberi hipotik dan pihak

penerima hipotik. Orang yang dapat membeli hipotik atau dalam hal ini

berarti yang berhak menghipotikkan suatu benda haruslah orang yang

berhak mengasingkan benda itu. Orang dilarang membebani hipotik suatu

benda yang tidak atau belum dapat diasingkannya; namun orang boleh

membebani hipotik suatu benda miliknya untuk menjamin pembayaran

hutang orang lain. Di dalam UUPA telah ditentukan siapa saja yang dapat

mempunyai hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha dan hak guna

45
bangunan) yang dapat dibebani hak tanggungan. Yang dapat mempunyai

hak milik atas tanah adalah:

a. Warga negara Indonesia;

b. Badan-badan hukum yang ditetapkan pemerintah :

- Bank-bank milik Negara

- Perkumpulan koperasi pertanian

- Badan-badan keagamaan yang ditunjuk Menteri dalam Negeri

setalh mendengar Menteri Agama

- Badan-badan sosial yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri.

Yang dapat mempunyai hak guna usaha atas tanah adalah :

a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan hukum Indonesia

Yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah :

a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan hukum Indonesia

Dalam UUPA tidak ditentukan siapa-siapa yang dapat menjadi pihak

penerima hipotik ataupun syarat-syarat tertentu untuk menjadi pihak

penerima hipotik. Oleh karena itu tidak dipersoalkan apakah kreditur

(penerima hipotik) itu perorangan atau badan hukum, WNI atau orang

asing, apakah badan hukum Indonesia atau badan hukum asing, apakah

berdomisili di Indonesia atau berkedudukan di luar negeri, semua

dianggap memenuhi syarat prosedur pembebanan hipotik

46
a. Pembuatan hipotik dilakukan oleh kreditur dan debitur dalam suatu

akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (Ps. 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961);

b. Sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Agraria 67/DDA/1968, maka

kepala akta hipotik berbunyi “ Demi Keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti grosse (salinan pertama) akta

hipotik ini mempunyai kekauatan eksekutorial seperti keputusan

pengadilan yang telah memeproleh kekuatan hukum yang tetap;

c. Akta pemberian hipotik dibuat dalam dua rangkap, masing-masing

rangkap ditandatanagani oleh debitur dan kreditur, para saksi dan

PPAT. Satu lembar akta itu disimpan PPAT dan satu lembar lainnya

beserta sertifikat hak atas tanah berikut surat-surat lain yang

diperlukan disampaikan oleh PPAT (atau kreditur) kepada Kantor

Pendaftaran Tanah untuk diidaftarkan dalam Buku Tanah ;

d. Pendaftaran yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pendafataran Tanah

meliputi :

- Memuat Buku Tanah (yang baru) untuk hipotik yang

bersangkutan;

- Membuat sertifikat hipotik yang terdiri dari salinan Buku Tanah

tersebut dan salinan akta pemberian hipotik;

- Mencatat adanya hipotik pada Buku Tanah serta sertifikat hak atas

tanah yang dibebaninya.

47
Setelah itu Kepala Kantor Pendaftaran Tanah menyerahkan sertifikat

hipotik kepada penerima hipotik (kreditur) dan menyerahkan sertifikat

hak atas tanah kepada pemberi hipotik (debitur); namun dalam praktek

umumnya yang terjadi sertifikat hak atas tanah tetap disimpan oleh

kreditur sampai piutangnya dilunasi. Mengenai kapan mulai berlakunya

hipotik ada sementara pihak yang berpendapat bahwa pembebanan

hipotik telah mulai berlaku sah sejak dibuatkan akta otentik oleh PPAT,

namun ada pihak lainnya menekankan azas publisitas, sehingga

berpendapat bahwa setelah terdaftar di Kantor Pendaftaran Tanah maka

hipotik baru mempunyai kekuatan mengikat, karena telah bersifat terbuka

untuk diketahui secara umum.

5. Kuasa memasang hipotik

Kuasa memasang hipotik :

a. Di dalam praktek perkreditan dewasa ini tidak semua jaminan yang

dipegang kreditur (khususnya dalam hal ini bank) berupa hipotik,

karena suatu proses hipotik termasuk di dalamnya proses sertifikasi

hak atas tanah, tentunya memerlukan jangka waktu yang cukup lama

dan biaya yang tidak sedikit. Khusus untuk penyaluran kredit kepada

pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah, pembebanan hipotik

dirasakan terlalu berat, karena kebanyakan hak atas tanah mereka

belum memperoleh sertifikat hak atas tanah, sedangkan mereka sudah

48
memerlukan bantuan berupa kredit baik untuk investasi maupun

untuk modal kerja mereka. Dalam hal ini sebagai jalan keluar maka

kreditur menerima “kuasa memasang hipotik” berikut kuasa untuk

mengurus sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Dengan

demikian maka keditur / bank dapat menyelesaikan proses sertifikasi

hak atas tanah tersebut, dan pemasangan hipotik baru dilakukan jika

benar-benar diperlukan, misalnya jika sudah ada tanda-tanda bahwa

debitur lalai memenuhi kewajibannya. Dalam prakteknya bank selalu

meguasai sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan, selain

untuk kemungkinan pemasangan hipotik seperti diuraikan di atas,

juga untuk menjaga jangan sampai terjadi penyalah gunaan debitur,

misalnya hak tersebut dijadikan sebagai jaminan hutang yang lain

atau dipindah tangankan, tanpa sepengetahuan bank / kreditur.

b. Berdasarkan Ps. 1171 ayat (2) BWI, surat kuasa memasang hipotik

harus dibuat dalam bentuk akta otentik (akta notaris), bukan akta

PPAT;

c. Surat kuasa memasang hipotik mempunyai sifat tidak dapat dicabut /

ditark kembali oleh debitur. Kalau sifat ini tidak melekat pada surat

kuasa tersebut maka kreditur / bank pada saat yang diperlukan bisa

jadi tidak dapat melakukan pembebanan hipotik dimaksud.

Sifat tidak dapat dicabut ini secara yuridis sebenarnya bertentangan

dengan prinsip umum tentang pemberian kuasa sebagaimana yang diatur

49
di dalam Ps. 1813 BWI yang antara lain menyatakan bahwa pemberian

kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasa tersebut oleh pemberi

kuasa.

Hipotik untuk jaminan hutang yang akan ada

Di dalam Ps. 1176 ayat (1) BWI dengan tegas ditentukan bahwa “suatu

hipotik hanyalah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan,

adalah (jumlah ter)tentu dan ditetapkan di dalam akta”. Dalam

kenyataannya yurisprudensi membolehkan hipotik untuk jaminan hutang,

yang pada saat pembebanan hipotik tersebut dilakukan belum seluruh

hutang diserahkan kreditur kepada debitur, sehingga jumlah hutang

debitur yang aktual pada saat pembebanan hipotik lebih kecil dari jumlah

formal yang tercantum di dalam akta. Dalam prakteknya hipotik

semacam ini lazim dilakukan di mana debitur mengambil pinjamannya

hanya sebagian demi sebagian sesuai dengan kebutuhannya pada saat itu.

Setelah sebagian hutang dibayar lunas oleh debitur hipotik tidak

dihapuskan, tetapi dibiarkan terus untuk keperluan pengambilan kredit

bagian berikutnya. Hipotik semacam ini lazim disebut crediet hypotheek.

Hipotik untuk benda yang akan ada.

Berdasarkan Ps. 1175 ayat (1) BWI telah ditegaskan bahwa “hipotik

hanya dapat dilepaskan-atas benda-benda yang sudah ada. Hipotik atas

50
benda-benda yang akan ada dikemudian hariadalah batal”. Akan tetapi

yurisprudensi dengan mempergunakan lembaga crediet hypotheek

memungkinkan terjadinya hipotik dengan jaminan benda yang akan ada,

dalam prakteknya sering terjadi dalam hal pembangunan perumahan.

Kredit diberikan sebagian demi sebagian sesuai dengan kemajuan

pembangunan rumah tersebut, sampai akhirnya jumlah maksimum kredit

tercapai dan rumah yang dijadikan jaminan yang tadinya belum ada

menjadi ada (selesai dibangun).

6. Tingkatan-tingkatan hipotik

Sebidang tanah dapat dibebani lebih dari satu hipotik. Susunan urutan

dari para pemegang hipotik atas sebidang tanah tertentu didasarkan atas

tanggal pendaftaran hipotik pada Buku Tanah di Kantor Pendaftaran

Tanah. Kreditur yang hipotiknya dicatat lebih dahulu mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi dengan ketentuan, bila beberapa pemegang

hipotik mendaftarkan hipotiknya pada hari yang sama namun pada jam

yang berbeda, mereka mempunyai kedudukan yang sama (Ps. 1181

BWI). Tingkatan hipotik ini penting artinya untuk menentukan hutang

siapa yang harus didahulukan pembayarannya. Kalau benda hipotik

dijual, maka pemegang hipotik dibayar dengan uang hasil penjualan itu

sesuai dengan tingakatannya. Bilamana hasil penjualan itu tidak cukup

untuk membayar semua hutang para pemegang hipotik, maka yang lebih

51
dahulu dilunasi adalah hutang pemegang hipotik pertama. Kalau ada

sisanya baru dibayarkan kepada pemegang hipotik kedua, demikian

seterusnya sesuai dengan urutan tingkatannya. Tingkatan-tingkatan

hipotik tidak hanya berkaitan dengan pelunasan hutang pokok, melainkan

sekaligus dengan pelunasan bunga dari hutang pokok tersebut (Ps. 1184

BWI).

7. Peralihan hipotik

Hipotik merupakan hak atas harta kekayaan yang dapat dialihkan, namun

sebagai hak accessoir, peralihannya tidak mungkin terjadi terlepas dari

piutang pokoknya. Dalam hal ini peralihan piutang pokok yang

dijaminkan dengan suatu hipotik yang berwujud penjualan, penyerahan

dan pemberian suatu hipotik menurut Ps. 1172 BWI hanya dapat

dilakukan melalui akta otentik yaitu akta notaris. Selanjutnya peralihan

tersebut harus diberitahukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah

untuk dilakukan pencatatan pada Buku Tanah dan sertifikatnya. Peralihan

hipotik tidak berarti hapusnya hutang debitur, yang terjadi hanyalah

perubahan pemegang hipotik.

8. Hapusnya hipotik

Berdasarkan Ps. 1209 BWI, hipotik hapus karena hal-hal sebagai berikut :

a. Hapusnya perjanjian hutang pokok.

52
Kasus ini merupakan cara hapusnya hipotik yang paling sering terjadi

dibandingkan dengan cara yang lainnya.. Hapusnya perhutangan

(perjanjian) pokok mengakibatkan hapusnya hipotik sebagai hak

accessoir (Ps. 1381 BWI)

b. Pelepasan hipotik oleh debitur

c. Karena keputusan hakim

Diluar Ps. 1209 BWI tersebut di atas masih terdapat banyak cara lain yang

mengakibatkan hapusnya hipotik antara lain :

a. Karena hapusnya benda yang dihipotikkan.

Bilamana suatu hak atas tanah yang dibebani hipotik habis karena

jangka waktunya telah selesai maka hipotik atas tanah itu juga

menjadi hapus;

b. Karena adanya percampuran hutang, yakni pemegang hipotik menjadi

pemilik benda yang dihipotikkan; dalam hal ini berarti penerima

hipotik statusnya juga menjadi pemberi hipotik;

c. Karena berakhirnya hak dari pemberi hipotik sebagai diatur dalam Ps.

1169 BWI;

d. Karena berakhirnya jangka waktu hipotik;

e. Karena dipenuhinya syarat batal untuk mana hipotik diberikan;

f. Karena adanya pencabutan hak atas barang yang dihipotikkan;

Di dalam UUPA terdapat juga ketentuan mengenai hapusnya hipotik

terhadap hak-hak atas tanah yang dituangkan dalam Surat Edaran Menteri

53
Dalam Negeri Nomor DA 10/241/10 tanggal 27 Oktober 1970 tentang

hapusnya hak atas tanah yang dibebani hipotilk dan tanahnya kembali

dalam kekuasaan negara.

Kemungkinan terjadi hapusnya hak atas tanah itu adalah karena :

a. Karena waktunya berakhir;

b. Karena Dipenuhinya salah satu syarat batal, walaupun jangka waktu

hak yang bersangkutan belum berakhir;

c. Karena dicabut untuk kepentingan umum;

d. Karena pelepasan secara sukarela oleh pemilik hak atas tanah yang

bersangkutan.

Dengan hapusnya hak atas tanah yang dibebani hipotik tidak

mengakibatkan hapusnya perhutangan pokoknya berupa perjanjian pinjam

meminjam uang. Yang hapus hanyalah hipotiknya saja, sehingga kreditur

bukan lagi merupakan kreditur yang preference.

9. Pencoretan (roya)

Jika hipotik hapus maka dilakukan pencoretan / roya terhadap daftar

hipotik pada Buku Tanah. Pencoretan hanya dapat dilakukan berdasarkan

persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan atau atas keputusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Ps. 1195

BWI). Dalam praktek perbankan, hapusnya hipotik ini diberitahukan

secara resmi oleh pihak bank kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah

54
untuk dapat dilakukan pencoretan atas permintaan pihak yang

berkepentingan. Pencoretan dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran

Tanah setelah menerima surat tanda bukti hapusnya hipotik (Ps. 29 ayat

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961). Atas dasar permintaan

pencoretan, maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah mencatat pada Buku

Tanah Hipotik bahwa jipotik seluruhnya dihapuskan. Kemudian pada

Buku Tanah dan sertifikat tanah dicatat bahwa hipotik pada tanggal,

bulan, tahun sekian dengan nomor sekian, dihapuskan (Peraturan Menteri

Agraria Nomor 7 Tahun 1961 Ps. 47). Perbedaan antara gadai dan hipotik

D. Fidusia

Dasar hukumnya adalah Undang Undang No.42 Tahun 1999 tentang

Fidusia.Dalam hokum Romawi terdapat semacam hak gadai yang dinamakan

fidutia, yaitu suatu pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda

akan dikembalikan apabila si berhutang sudah membayar lunas hutang dan

bunganya. Selama hutang belum dibayar kreditur menjadi pemilik benda

yang dijaminkan itu. Sebagai pemilik, ia berhak menyuruh memakai atau

menyewakan benda itu kepada debitur sehingga orang yang berhutang ini

tetap menguasai bendanya.Dari asal katanya, fidusia berarti Kepercayaan,

sehingga dapat diartikan bahwa fidusia merupakan lembaga kaminan atas

dasar kepercayaan, tanpa harus menyerahkan fisik suatu benda yang

dijaminkan .Syaratnya harus ada perjanjian peralihan hak.

55
Perjanjian Peralihan Hak tersebut bisa berupa constitutum possessorium

untuk benda bergerak berwujud, atau cessie, untuk benda bergerak tidak

berwujud (hutang piutang). Constitutum possessorium adalah penyerahan

suatu hak milik tanpa menyerahkan fisik benda yang bersangkutan. Adapun

tahapan perjanjian peralihan hak itu ada tiga, masing masing :

1. Perjanjian Obligatoir, merupakan perjanjian utama yang karena adanya

perjanjian pinjaman (hutang piutang) ini, maka ada jaminan fidusia dari

pihak peminjam ;

2. Perjanjian Kebendaan, dimana melalui perjanjian ini terjadi penyerahan

hak milik atas benda yang bersangkutan dari debitur kepada kreditur ,

baik secara constitutum possessorium maupun secara cessie .

3. Perjanjian Pinjam Pakai, dimana melaui perjanjian ini maka benda obyek

fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada kreditur, dipinjam-

pakaikan oleh kreditur kepada debitur, sehingga benda tersebut se-olah

olah masih berada dibawah kekuasaan debitur.

Akta Jaminan Fidusia harus berupa Akta Notaris, dibuat dalam bahasa

Indonesia dan berisi hal hal yang perlu dijelaskan seperti identitas penerima

dan pemberi fidusia, data tentang perjanjian pokoknya, nilai hutang piutang

terkait, benda yang dijaminkan serta besarnya nilai benda yang

dijaminkan,dengan syarat benda yang dijaminkan harus benda bergerak, baik

berwujud maupun tidak berwujud .

56
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia” , PT.Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2000

F.X. Suhardana , “Hukum Perdata I, Buku Panduan Mahasiswa”,


P.T.Prenhallindo, Jakarta. 2001

R. Subekti, SH, “Pokok-Pokok Hukum Perdata” , P.T. Internusa, Jakarta, 2001

R. Subekti, SH, Prof. , “Perbandingan Hukum Perdata” , Pradnya Paramita,


Jakarta, 2001

Ridwan Syahrani, “Seluk Beluk Hukum dan Azas-Azas Hukum Perdata” ,


Penerbit Alumni, Bandung, 2000.

57
.

58

Anda mungkin juga menyukai