Tiada seorangpun yang mengatahui, kapan dia tiba. Dan tiada seorangpun yang
mendengar gerak langkahnya. Ia muncul dengan tiba-tiba seolah-olah memiliki ilmu
siluman. Meskipun topengnya tak bertaring, tetapi hebat perbawanya. Pandangnya
beku dan menyayat hati. Ia tegak bagaikan patung, sehingga tak seorangpun
berani mengadu pandang.
Fatimah heran melihat tibanya Adipati Surengpati. Ia belum pernah berjumpa atau
mengenal nama besarnya. Karena itu tak segera ia menjawab. Maklumlah, hatinya
penuh curiga. Meskipun ia melihat para pendekar terkejut juga melihat
kedatangannya, siapa tahu dia justru pemimpinnya.
"Eh... anak!" katanya. "... hidungmu berdarah karena kena diserang babi bang-
kotan itu. Apa sebab engkau tak membalas?"
"Aku tak mampu melawan dia. Apalagi membalas," sahut Fatimah sambil mengusap
darahnya.
"Siapa bilang kau tak mampu membalas," potong Adipati Surengpati cepat.
"Kaudekati dan hajarlah seperti caranya. Kau dipukul sekali dan engkau harus
membalas sepuluh kali. Itulah utang-piutang wajar dengan bu-nganya sekali."
Panas hati Cocak Hijau kena gaplokan itu tanpa dapat menangkis. Segera ia
memasang kuda-kudanya. Tangan kirinya ditarik untuk melindungi dada. Apabila
tangan Fatimah hendak menyambar hidungnya lagi, ia hendak menyodok dari
bawah. Tapi kali inipun ia tak berdaya juga. Sewaktu tangan kirinya hendak
dibenturkan, kembali ketiaknya terasa kena tusuk dengan mendadak. Lalu
lengannya lemas dengan sendirinya dan melayang turun tanpa tenaga. Karena itu,
untuk yang kedua kalinya Fatimah berhasil menggaplok hi-dungnya. Bahkan kali ini
gaplokannya jauh lebih hebat daripada tadi. Bluk! Tubuhnya ter-goyang-goyang dan
nyaris terjengkang ke belakang.
Selagi Cocak Hijau kaget dan kesakitan berbareng heran, semua yang hadir di situ
tak kurang-kurang pula herannya. Manyarsewu, Yuyu Rumpung, Abdulrasim dan
Sawungrana adalah pendekar-pendekar yang mahir pula menggunakan senjata
rahasia dalam suatu pertempuran jarak jauh. Karena itu, pendengarannya tajam
melebihi manusia lumrah. Mereka mendengar suara kesiur angin halus luar biasa,
setiap kali Cocak Hijau hendak menggerakkan tangannya. Mereka tahu, pastilah itu
suara senjata rahasia Adipati Surengpati. Hanya saja mereka tak mengenal macam
senjata rahasia apa yang dipergu-nakan. Biasanya seseorang akan mati kera-cunan
kena sambitan senjata rahasia. Tapi Cocak Hijau hanya mati kutu belaka. Inilah
suatu bukti, bahwa senjata rahasia Adipati Surengpati adalah lain daripada
biasanya.
Tentu saja mereka tak mengenal senjata rahasia Adipati Surengpati. Karena senjata
rahasia Adipati Surengpati berwujud jarum halus yang dilepaskan dari balik lengan
jubahnya. Siapa dapat mengelakkan serangan begini?
Cocak Hijau terkejut. Karena kedua tangan-nya kini terasa menjadi lumpuh,
sedangkan ia tak sudi menerima bogem mentah tanpa dapat menangkis, maka ia
bermaksud hendak me-loncat mundur. Tapi baru saja ia hendak mengangkat kaki,
tiba-tiba urat-uratnya menjadi kejang. Dan kedua kakinya mati kaku. Itulah
sebabnya ia kaget setengah mati. Maka tahulah dia, bahwa pukulan Fatimah yang
ketiga inipun tak dapat dielakkan. Hatinya mendongkol dan ingin menjerit tinggi.
Tetapi kalau sampai menjerit, habislah sudah nama besarnya. Karena itu, buru-buru
ia menguasai diri. Tapi justru ia berbuat demikian, air matanya sekonyong-konyong
hendak meloncat ke luar. Bagi seorang pendekar, mengeluarkan air mata
merupakan pantangan besar pula. Celakalah dia! Karena menahan rasa
mendongkol dan sakit hati, air matanya akhirnya merembes juga ke luar. Gugup ia
hendak mencoba menyusutnya. Tapi kedua lengannya telah kehilangan tenaga
gerak. Karena itu akhirnya air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya.
Suara lembut itu bahkan lebih hebat menyayat hati daripada gaplokan betapa
keraspun. Maklumlah, dia adalah seorang pendekar besar yang mempunyai nama.
Sepak terjangnya disegani, dihormati dan ditakuti orang. Kini, terang-terangan
dihina seorang gadis kemarin sore di hadapan para pendekar undangan Pangeran
Bumi Gede. Hati siapa takkan hancur menghadapi peristiwa demi-kian. Mendadak
saja tubuhnya menggigil dan bergoyang-goyang. Terus saja ia berbatuk-batuk
menyemburkan gumpalan-gumpalan ludah dan liur jantung. Lalu ia menoleh
kepada Adipati Surengpati dengan mata membelalak. Membentak, "Tuan! Siapakah
engkau sebenarnya? Secara menggelap engkau melukai aku. Apakah itu seorang
pendekar?"
Adipati Surengpati tertawa dingin. Menyahut, "Hm... apakah kau cukup berharga
untuk mengetahui namaku? Kau ini macam manusia apakah sampai berani
berbicara demikian kepadaku?"
Mereka tadi mendengar belaka percakapan antara Adipati Surengpati dan Fatimah.
Mereka semua tahu dan kenal sepak terjang Adipati Surengpati yang bengis kejam
dan tak mengenal ampun. Itulah sebabnya, walaupun perintah itu mengejutkan
tetapi hati mereka lega juga. Maklumlah, untuk mengangkat kaki dengan diam-
diam, mereka merasa malu. Sebaliknya hendak melawan apakah bekal-nya? Karena
itu, semenjak tadi mereka ber-sikap diam. Kini mendengar perintah terang-terangan
agar meninggalkan benteng. Ini berarti, bahwa Adipati Surengpati mengampuni
mereka. Apakah ini bukan suatu anugerah?
"Iblis!" bentak Adipati Surengpati. "Telah kuberi kalian ampun, kenapa belum ada
yang bergerak? Apakah kamu menghendaki aku membunuh kalian semua?"
Matanya melotot dan merah membara. Tapi Adipati Surengpati tak memedulikan.
Bahkan dengan suara dingin ia berkata, "Kau mau mendesak aku minggir? Hm...
jangan mimpi! Dengarkan! Siapa yang menyayangi nyawa-nya, hendaklah
merangkak keluar melalui selakanganku!"(Kedua kakinya)
"Kamu sayang akan nyawamu tidak? Bi-lang!" bentak Adipati Surengpati dengan
bengis.
Tiada seorangpun berani menjawab. Mereka seolah-olah telah merasa apa artinya
bentakan Adipati Surengpati kali ini. Karena itu, tanpa mengindahkan kehormatan
diri lagi Yuyu Rumpung terus saja merangkak keluar melewati selangkangan Adipati
Surengpati.
Surapati tadi telah kena tangkap Manyarsewu. Ia belum dapat bergerak dengan
leluasa. Karena itu tak dapat pula merangkak ke luar.
"Aku bukan termasuk golongan mereka. Aku murid Ki Hajar Karangpandan yang
mem-punyai tempat sendiri dalam masyarakat," katanya berani.
"Hm," dengus Adipati Surengpati. "Apakah kau bosan hidup? Aku takkan mengha-
langimu. Nah, keluar!"
Adipati Surengpati tahu, bahwa sebagian tenaga Surapati belum pulih. Mendadak
saja ia mengibaskan tangannya. Suatu kesiur angin mendarat tajam pada pinggang
Surapati. Dan sebelum pemuda itu sadar apa artinya, tenaganya telah pulih
kembali. Serentak ia bangun berdiri dan memandang tajam kepada Adipati
Surengpati. Katanya ketus, "Kau memang hebat. Tapi jangan mimpi kau bisa
menggertak murid Ki Hajar Karangpandan!"
"Hm, apa sih hebatnya Ki Hajar Karang-pandan," dengus Adipati Surengpati tak
senang, la menjumput sebatang galah sepan-jang satu kaki, lalu dilemparkan acuh
tak acuh kepada Surapati. Cara melemparnya nampaknya enteng dan sederhana.
Tapi kesudahannya hebat. Pemuda itu dengan mengerahkan segenap tenaganya
mencoba menangkis. Namun ia kena tolak juga. Belum lagi memperbaiki diri, tahu-
tahu giginya copot dua biji.
Sudah barang tentu, sakitnya bukan alang kepalang. Mulutnya lantas saja menyem-
burkan segumpal darah.
"Akulah Adipati Surengpati yang kau harap memperlihatkan tampangnya. Inilah
tam-pangku. Kau mau apa sekarang?" kata Adipati Surengpati.
Surapati terkejut dan tercekat hatinya. Menilik bunyi perkataannya, terang sekali
Adipati Surengpati telah mendengar ucapan-nya tadi. Gusti Ayu Retnaningsih—
meskipun pernah bentrok dengan pemuda itu—kebat-kebit juga hatinya, mengingat
sepak-terjang Adipati Surengpati yang luar biasa. Fatimah pun tak terkecuali.
Pikirnya dalam hati, pemuda ini bisa celaka menghadapi dia. Rupanya Adipati
Surengpati mendengar belaka semua ucapannya yang takabur. Entah hukuman apa
yang bakal dijatuhkan...
"Tiap orang memang kenal nama besarmu. Tetapi apa sebab tingkah lakumu
bergitu kerdil? Kau hanya berani menggertak seorang tak berarti seperti aku."
"Aku kau suruh memakimu? Baik, dengarkan! Kau iblis! Kau setan! Kau siluman!"
Pada dewasa itu, pangkat adipati bukanlah pangkat sembarangan. Pangkat itu
hanya bisa dikenakan oleh kaum bangsawan. Barang-siapa bertemu dengan
seorang adipati, harus cepat-cepat bersembah. Bahasanya harus rapi apabila harus
menjawab sesuatu pertanyaan. Sedikit terdengar kekasarannya, segera akan
dikenakan hukuman. Karena dia akan dipandang memusuhi sang adipati. Tapi kali
ini, Surapati tidak hanya berlaku kasar malahan berani memaki pula. Bisa
dibayangkan betapa hebat hukuman yang akan diterimanya.
Mendengar pertanyaan ulangan itu, wajah Gusti Ayu Retnaningsih agak terkesiap
dan lambat-laun berubah menjadi merah dadu. Gugup ia mengangguk mengiakan.
"Pemuda tadi murid Ki Hajar Karangpandan. Meski pun gurunya tiada pautnya
dengan Pangeran Bumi Gede, tetapi dia sendiri sudi menjadi begundalnya. Dengan
demikian, dia termasuk pula lawan tunanganmu. Lain kali hendaklah engkau
berwaspada dan jangan gampang-gampang percaya kepada mulut manis," kata
Adipati Surengpati menggurui. "Belum pernah aku bersua dengan tunanganmu.
Tetapi aku mengagumi dia. Kudoakan mulai hari ini, mudah-mudahan dikemudian
hari ia menjadi seorang pahlawan bangsa yang berarti. Semuanya itu Nona,
sesungguhnya terletak di atas pundak Nona."
"Mengapa aku?" potong Gusti Ayu Retna-ningsih. "Aku hanya seorang perempuan."
Adipati Surengpati tertawa dingin. Menya-hut, "ssst, dengarkan! Semua laki-laki dan
perempuan di dunia ini dilahirkan dari rahim perempuan. Dan bayi yang
dikandungnya manunggal hidup dengan ibunya. Ia makan dan senapas dengan
ibunya selama sembilan bulan. Kalau ibunya seorang pengecut anak yang bakal
dilahirkan pastilah menjadi seorang pengecut besar. Sebaliknya manakala ibunya
berwatak jantan, anak yang bakal dilahirkan akan menjadi seorang pendekar gagah
tiada tara. Itulah sebabnya, hampir dapat kukatakan, bahwa pembentukan watak
manusia ini sesungguhnya tergantung pada sikap dan pandangan hidup seorang
wanita. Dan apabila watakmu engkau bina semenjak melayani suamimu..., hm...
aku yakin, bahwa anakmu kelak akan menjadi manusia gagah. Malahan oleh cara
mengasuhmu itu, suamimu akan menjadi manusia gagah pula. Karena
sesungguhnya bersuami-isteri ialah saling memberi dan saling membentuk. Nona
mempunyai saham separo lebih."
"Paman!" kata Gusti Ayu Retnaningsih setengah berbisik. "Kalau saja aku bisa
menepati setengah petuahmu, hatiku sudah senang rasanya."
Untung, Adipati Surengpati tak mende-saknya lagi. Dia seorang pendekar yang
angkuh hatinya. Manakala pertanyaannya tiada memperoleh jawaban, tak sudi lagi
ia mengulang. Ia percaya kepada dirinya sendiri, bahwa tanpa memperoleh
keterangan akan bakal menemukan anaknya. Tetapi ia biasa menghukum. Karena
itu lantas berkata, "Aku bertanya padamu, apa sebab engkau tak men-jawab?
Bagus! Mulai saat ini, kalian kularang meninggalkan benteng tanpa izinku."
Setelah berkata demikian, ia menyeret sebuah meja panjang dan dilintangkan di
ambang pintu. Kemudian ia melompat ke atasnya dan menggeletak tanpa segan-
segan lagi. Sebentar kemudian terdengarlah deng-kurnya perlahan-lahan.
Waktu itu matahari hampir tenggelam. Oleh suatu kesibukan dan ketegangan yang
terjadi terus-menerus, mereka yang berada dalam benteng lupa pada waktu. Tahu-
tahu suasana alam telah menjadi remang-remang dan akhirnya benar-benar
menjadi gelap pekat.
Fatimah segera menyalakan dian dan dipasang pada dinding. Kemudian duduk ter-
pekur di samping Gusti Ayu Retnaningsih yang berada di atas kursi dengan
pandang kosong.
Titisari yang berada di atas loteng lega hatinya menghadap malam yang bakal tiba.
Ini berarti bahwa Sangaji hampir melampaui dua hari dua malam dengan selamat.
Dengan penuh perasaan ia meraba dada Sangaji yang terasa hangat dan bernapas
perlahan.
"Aji! Kurang lima hari lagi, engkau akan memperoleh kesehatanmu kembali,"
bisiknya. "Ayahku berada di sini. Ini berarti tiada lagi bahaya yang mengancam."
Tetapi baru saja ia habis berbicara atau sekonyong-konyong terdengar suatu siulan
panjang menusuk pendengaran. Itulah siulan sakti Gagak Seta yang pernah
didengarnya tatkala sedang mengadu kepandaian. Apa sebab pendekar sakti itu
melepaskan siulan demikian? Apakah dia sedang menghadapi bahaya?
"Hai, pengemis bangkotan!" Terdengar Kebo Bangah berseru nyaring. "Kau mau
mengajak adu lari? Bagus! Mari kita berlomba. Tapi kita berdua mulai lari dari
Klaten menuju Yogya dan terus kemari. Kesudahannya sekali tiga uang. Nah,
sekarang ke mana arah kita?"
Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. "Mari kita adu lari sampai ke ujung dunia! Kali
ini mendaki pinggang Merapi. Lantas turun dan berlomba mencapai pantai selatan.
Siapa yang menang, dialah orang gagah nomor wahid di dunia."
Titisari terkejut. Jarak dari Klaten ke Yogya dan dari Yogya ke benteng ini hampir
seratus kilometer jauhnya. Tetapi mereka berdua ternyata bisa mencapai hanya
dalam beberapa jam saja. Inilah membuktikan betapa kuat dan pesat.lari mereka.
Dalam pada itu terdengar suara Kebo Bangah. "Meskipun kau lari sampai ke ujung
langit, aku akan mengejarmu."
Gagak Seta tertawa terbahak-bahak lagi. Terdengar ia menyahut. "Baik. Malam ini
biarlah kita tak tidur. Hayo!"
"Mulutmu memang mulut babi! Masakan aku harus selalu mengulang bunyi
perlombaan ini?"
Sebentar saja langkah mereka tak terdengar lagi. Meskipun Titisari berada di atas
loteng tahulah dia, bahwa mereka berdua sudah jauh meninggalkan benteng. Diam-
diam ia berpikir. "Paman Gagak Seta agaknya sengaja menjauhkan Kebo Bangah
dari benteng dengan mengajak adu lari. Inilah suatu pengorbanan hebat. Ia bakal
kehabisan tenaga juga."
Mendadak teringatlah dia kepada ayahnya, la kenal watak ayahnya yang mau
menang sendiri. Dalam hidupnya kini hanya tiga orang yang dihargai. Yakni, Kyai
Kasan Kesambi, Kebo Bangah dan Gagak Seta. Sekarang, ia melihat Kebo Bangah
dan Gagak Seta sedang mengadu lari. Masakan dia akan tinggal men-jadi penonton
belaka?
"Lihat di sana!" sahut Fatimah. "Bukankah itu Adipati Surengpati yang ikut berlari-
larian menjajari dua bayangan? Lihat!"
"Ya, benar." Gusti Ayu Retnaningsih menghela napas. "Kenapa dalam sekejap saja
mereka sudah meninggalkan benteng begitu jauh? Kenalkah engkau siapa mereka
berdua? Merekapun agaknya sejajar ilmunya dengan Paman Adipati."
Mendengar ujar Gusti Ayu Retnaningsih, Titisari berkata dalam hati. Hm... sekalipun
engkau pernah berkenalan, apakah keuntungannya bagimu. Malahan kalau kau
sampai kepergok Kebo Bangah, engkau merupakan makanan empuk baginya.
Setelah melongok ke luar, Gusti Ayu Retnaningsih kembali duduk di atas kursinya.
Wajahnya nampak menjadi resah. Ia memandang jauh ke luar pintu, agaknya ingin
dia meninggalkan benteng. Hanya saja hatinya beragu, karena malam hari sudah
tiba dengan diamf-diam.
Melihat Gusti Ayu Retnaningsih resah hati, Fatimah datang menjajari. Ia mencoba
menghibur. "Sebentar lagi matahari akan ter-bit. Apakah kau takut menginap dalam
ben-teng kuno ini?"
Dengan'menghela napas puteri bangsawan itu menyahut. "Paman Adipati telah
mening-galkan benteng. Mestinya kita bukan menjadi tawanannya lagi. Apakah kau
takut mening-galkan benteng?"
"Takut sih tidak. Hanya saja... aku belum bisa meninggalkan benteng," kata
Fatimah. Titisari tahu—Fatimah teringat akan Sangaji dan dia. Dia sudah berjanji
hendak menjaga benteng sebaik-baiknya. Karena itu tak bisa sembarangan pergi
meninggalkan benteng.
Mendengar ujar Fatimah, wajah Gusti Ayu Retnaningsih berubah menjadi terang.
Tapi ia berkata lagi minta keterangan. "Setelah engkau mengantarkan aku
menginap di rumahmu, apakah engkau lalu kembali ke mari seorang diri?"
"Tongkat ini biasanya kubuat mengganjal pintu sekalian alat penggebuk anjing.
Kalau aku mesti pergi meninggalkan benteng, ia kusimpan dalam kamar itu!"
Mendengar ujar Fatimah, Gusti Ayu Retna-ningsih tersenyum geli. Teringat akan
watak Fatimah yang sok angin-anginan, ia berkata menggoda. "Apakah itu tongkat
wasiat?"
Fatimah tak menjawab, ia memasukkan tongkat itu ke dalam kamar melalui lobang
dinding dengan sikap acuh tak acuh.
"Hm," terdengar suara mendengus. Itulah suara Titisari menyesali Fatimah. "Kau
hendak meninggakan benteng. Apa sebab mendekati kamar? Dinding banyak
matanya. Kalau sampai ketahuan seseorang, nyawamu akan kuambil."
"Kau berkata yang bukan-bukan seperti anak bawel. Apa sebab tidak menghaturkan
terima kasih? Aku mengantarkan ini demi kebaikanmu."
Gusti Ayu Retnaningsih yang mengira Fatimah sedang menyesali dirinya, segera
menyahut gugup. "Bukan aku tak tahu terima kasih. Hanya saja, aku memang
usilan.1 Baiklah, aku sangat berterima kasih kepada-mu... atas kesedianmu
mengantarkan aku menginap ke kampung."
"Meskipun ini bukan wasiat, tapi tongkat ini cukup untuk membuat pecah batokmu.
Kau tahu?"
Keruan saja, yang kaget ialah Gusti Ayu Retnaningsih. Ia adalah seorang puteri
bang-sawan yang tak biasa mendengar kata-kata kasar yang ditujukan kepadanya.
Dan celakanya, ia mengira dampratan Fatimah itu dialamatkan kepadanya. Karena
itu ia kemudian menyahut gemetaran.
"Adikku Fatimah! Sekiranya engkau tak senang hati memberi keterangan tentang
tongkat itu, biarlah aku tak usah mendengar. Untuk kelancanganku ini, maukah
engkau memaafkan?"
Klontang! Tongkat itu telah dilemparkan Fatimah ke dalam kamar melalui lobang
dinding. Kemudian berbalik cepat mengung-kurkan pintu sambil berkata nyaring.
"Aku akan pergi. Kau boleh mampus di situ!" Benar-benar Gusti Ayu Retnaningsih
menjadi gelisah. Hatinya rasa runyam tak keruan. Pikirnya bingung dalam hati, aku
hanya minta keterangan tentang tongkat itu dan ia agaknya benar-benar tak
senang hati. Kalau dipertimbangkan, memang akulah yang usilan. Terang sekali
benda itu adalah tongkat biasa, tapi aku menyebutnya sebagai tongkat wasiat.
Tentu saja ia merasa tertusuk hatinya. Kata-kata sendaku ini mungkin dianggapnya
mengejek dirinya. Baiklah aku minta maaf padanya.
"Minta maaf padaku? Apa yang harus kumaafkan? Hayo, kita pergi!"
Tetapi Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang puteri yang perasa. Ia belum puas
sebelum memperoleh keterangan sejelas-jelasnya, apa sebab ia kena maki dan
kutuk. Maka ia berkata minta keterangan:
"Fatimah! Kau tadi memaki dan mengutuk aku. Apakah aku terlalu salah
kepadamu?"
Gusti Ayu Retnaningsih berlega hati. Namun ia masih minta penjelasan. "Kalau aku
tidak terlalu salah kepadamu, apa sebab engkau memaki dan mengutuk aku?"
Kembali Fatimah terhenyak. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Lantas tertawa lebar sambil
berkata, "Pertanyaanmu terlalu melit. Aku memaki, biarlah aku memaki. Aku
mengutuk, biarlah aku mengutuk. Tapi tenteramkan hati-mu... aku tak bermaksud
sungguh-sungguh kepadamu." Setelah berkata demikian, kemu-dian mengalihkan
pembicaraan. "Hayolah kita berangkat! Kau mau menunggu siapa lagi? Rupanya
kau kurang senang kutemani di sini."
Fatimah heran melihat sang Dewaresi, yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu.
Dengan pemuda itu, belum pernah bertemu. Selagi ia mengamat-amati, mendadak
saja ia kaget mendengar jerit Gusti Ayu Retnaningsih.
Berbeda dengan Fatimah, Gusti Ayu Retna-ningsih kenal siapakah dia. Orang itulah
yang dahulu menculiknya di Desa Gebang. Dan hampir saja rusaklah kehormatan
dirinya, apabila tiada memperoleh pertolongan Sangaji dan Titisari.
"Siapa lagi kalau bukannya si bocah Sangaji dan Titisari." "Siapa mereka?"
"Hm—di hadapanku masakan engkau bera-ni berlagak pilon?" desak sang Dewaresi.
"Kalau aku benar-benar pilon, kau mau apa?" Fatimah membawa adatnya yang
angin-anginan.
Melihat kedua gadis itu memperlihatkan rasa cemasnya sang Dewaresi bertambah
yakin. Tanpa berbimbang-bimbang lagi, terus saja ia mendupak daun pintu. Pintu
itu berusia tua melebihi umurnya sendiri. Kena tendangannya, sekaligus terjeblak
dan runtuh beran-takan.
Menuruti kebiasaannya, ingin ia segera memasuki dengan sikapnya yang girang.
Tetapi ia ingat, kali ini dia akan menghadapi Sangaji dan Titisari. la pernah
merasakan ketangguhan Sangaji dan kecerdikan Titisari yang melebihi manusia
lumrah. Anak Adipati Surengpati itu pernah mengingusinya sampai dua kali
berturut-turut tanpa bisa membalas. Yang pertama di serambi kadipaten Peka-
longan dan yang kedua di Desa Gebang. Bahkan beberapa hari yang lalu ia hampir
mati, kena jarum Titisari di hadapan paman-nya tatkala sedang diuji Adipati
Surengpati. Teringat akan hal itu, mau tak mau ia harus berhati-hati dan tiada
berani berceroboh. Itulah sebabnya, ia menunggu beberapa saat dengan sikap
waspada. Apabila tiada reaksinya, diam-diam ia jadi curiga bercampur heran.
Karena ruang kamar gelap gulita, cepat ia turun dan datang kembali dengan
membawa obor.
Sekarang ia melihat Titisari yang duduk berjajar dengan Sangaji. Wajah Sangaji
nampak pucat dan kuyu. Napasnya berjalan perlahan-lahan dan nampak tiada
bertenaga. Diam-diam ia bersyukur dalam hati, karena sebagai seorang yang sudah
berpengalaman tahulah dia, bahwa lawan yang disegani itu sedang menderita luka
parah. Sebaliknya terhadap sikap Titisari ia jadi gemas dan cemburu. Gadis itu
walaupun nampak kucai tiada mengurangi kejelitaannya. Matanya masih saja
bersinar menyala. Ia duduk menempel bagai seorang mempelai baru yang ingin
disanjung rayu. Kulitnya yang kuning bersih kelihatan padat dan montok.
"Adikku! Apakah kau sedang berlatih di sini?" Sang Dewiresi minta keterangan.
Sudah barang tentu sang Dewaresi tahu, bahwa gadis itu sedang menolong
mengembalikan kesehatan Sangaji. Tetapi ia emoh melihat kenyataan demikian.
Dalam lubuk hatinya, benar-benar ia tak rela Titisari bekerja untuk saingannya.
Baik Sangaji maupun Titisari tiada memperlihatkan reaksinya. Sangaji tak bergerak
dan sedang tenggelam dalam semadinya. Dan Titisaripun yang sehat bersikap acuh
tak acuh, meskipun hatinya tergetar bukan main.
"Tetapi... aku belum dapat menggunakan tenaga tangan," sahut Sangaji dengan
berbisik pula.
Tatkala sang Dewaresi menuruni tangga hendak mengambil obor, teringatlah dia
kepa-da ganjal pintu besi yang dimasukkan Fatimah lewat lubang dinding. Tanpa
berpikir panjang lagi ia segera menariknya ke samping.
Dalam pada itu sang Dewaresi masih jeri terhadap Sangaji. Benar ia telah
memperoleh keterangan dari pamannya, bahwa Sangaji terluka parah kena dilibat
orang-orang tertentu (Wilatikta dan kawan-kawannya) tetapi ia tak berani gegabah
menghadapi pemuda itu. Dasar cerdik, ia mau mencoba dahulu.
"Adikku! Keluarlah! Apa perlunya menyekap diri dalam kamar selembap itu..."
Sang Dewaresi kaget sampai berjingkrak. Untung ia gesit. Ia bisa mengelak dan
cepat mundur. Meskipun bebas jantungnya berde-gupan tak keruan.
Titisari menyesal bukan kepalang, karena serangannya gagal. Seumpama dia bisa
ber-gerak dengan leluasa, pastilah ia akan melom-pat memburu dan menyusul
kemplangan. Tetapi tangannya tak boleh terlepas dari genggaman Sangaji. Sekali
terlepas, akibatnya tak bisa dibayangkan. Itulah sebabnya, terpaksa ia
menundukkan kepala dengan hati jengkel dan pepat.
Ia sadar akan arti kegagalan itu. Sebab untuk seterusnya, sang Dewaresi akan
bersikap lebih berwaspada dan sewaktu-waktu malah bisa melancarkan serangan
balasan.
Dalam pada itu Gusti Ayu Retnaningsih heran bukan main mendengar suara tongkat
besi menghajar lantai, la melihat pula sang
Dewaresi meloncat mundur dengan gugup. ~erang sekali, ia lagi menghindari suatu
hajaran. Siapakah yang menghajarnya? Teringat akan kata-kata sang Dewaresi
tentang Sangaji dan Titisari, ia jadi sibuk sendiri. Apakah mereda benar-benar
berada di dalam kamar itu?
Sang Dewaresi tatkala itu sudah berdiri tegak mengancam di pintu, la tahu, Sangaji
Jan Titisari tak dapat berbuat banyak. Segera ia mengumpulkan keberanian dan
memu-tuskan hendak membalas menyerang.
Meskipun Titisari sudah menduga akan menghadapi serangan balasan demikian,
namun hatinya tercekat pula. Maklumlah ia tak bisa bergerak dengan leluasa.
Dengan sebisa-bisanya ia mencoba menghalau setiap serangan dengan tongkat
besinya. Tetapi ia berlawanan dengan sang Dewaresi yang cerdik. Setiap kali ia
menyodokkan tongkat besinya, sang Dewaresi mundur. Kemudian maju menyerang
dengan cepat dan lincah, apabila Titisari sedang menarik tongkat besinya.
Diserang maju mundur demikian, lambat laun Titisari merasa kuwalahan juga.
Diam-diam, hatinya mulai mengeluh. Sadarlah dia, bahwa akhirnya ia akan berada
dalam kekuasaan jahanam itu.
Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih melihat kesukaran Titisari. Tanpa memedulikan
keselamatan diri, serentak mereka memanjat tangga hendak membantu. Masing-
masing bersenjata golok dan merupakan dua sekawan murid Suryaningrat. Tadi
mereka telah memperlihatkan suatu kerja sama tatkala menghadapi Cocak Hijau
dan Surapati. Meskipun belum rapi, namun kesanggupan dan kemampuan mereka
tak boleh dipandang ringan.
Sang Dewaresi tertawa lebar melihat maju-nya mereka. Dia adalah seorang
petualang tangguh dan pernah pula mencekuk Gusti Ayu Retnaningsih dengan
gampang. Karena itu ia tak memandang sebelah mata kepadanya. Dengan suatu
gerakan gesit, ia menyambar tubuh Sangaji dan sama sekali tak mengacuhkan
mereka.
Iga-iga sang Dewaresi belum pulih kembali seperti sediakala kena pukulan Sangaji,
namun dalam mengadu tenaga dengan Titisari tak usah dia kalah, la seorang yang
berpengalaman dan berkepala besar. Dengan sebe-lah tangan ia menarik dan
tangan lainnya di-kerjakan untuk menyerang musuh.
Sang Dewaresi terkejut. Ia pernah merasakan kesaktian senjata biji sawo di Desa
Gebang. Dahulu—seumpama tiada ditolong Gagak Seta—ia bisa jatuh terkapar
tiada berdaya. Karena itu, tatkala melihat benda ber-keredep, cepat ia menjatuhkan
diri dan bergulingan menjauhi. Itulah cara satu-satunya untuk menghindarkan diri
dari serangan senjata rahasia Titisari. Tapi justru pada saat itu, Fatimah dan Gusti
Ayu Retnaningsih datang menyerang dengan berbareng.
Sang Dewaresi cerdik. Dengan matanya yang jeli, ia melihat keadaan Fatimah.
Maka sambil tertawa ia melompat dan menyambar tengkuknya dengan mudah.
Kemudian sebat luar biasa ia menarik lengan Fatimah dan dibawa mundur ke luar
pintu.
Tapi ia menghadapi sang Dewaresi yang tangguh. Kecuali itu, sudah mengetahui
kelemahannya. Dengan sebat ia mengelak sambil mendorongkan tubuh Fatimah
sebagai perisai. Kemudian tangannya menyelonong hendak mendekap dada. Sudah
barang tentu, Gusti Ayu Retnaningsih takkan membiarkan dadanya kena dekap laki-
laki buaya itu. Dalam gugupnya ia menarik babatannya. Kemudian dengan cepat
melindungi dadanya. Meskipun demikian, tak urung tangan sang Dewaresi masih
saja bisa merobek bajunya. Dan tak dikehendaki sendiri, terbukalah dada puteri
bangsawan itu.
Saking kagetnya, wajah Gusti Ayu Retnaningsih pucat lesi. Sebagai seorang
bangsawan besarlah arti terbukanya dadanya. Tak terasa, goloknya terlepas sendiri
dari genggamannya. Lalu dengan tersipu-sipu ia mencoba menutupi dadanya.
Dalam pada itu, sang Dewaresi mencelat mundur sampai ke tangga. Kemudian
dengan menggondol Fatimah ia turun ke bawah dan duduk melepaskan napas di
atas meja. Mau tak mau, hatinya tergetar mengingat hebatnya serangan senjata
rahasia Titisari. Ia bergidik sendiri, manakala membayangkan betapa aki-batnya
seumpama kena bidikan Titisari.
Anak Surengpati itu benar-benar hebat, pikirnya. Baiklah aku akan menyerangnya
dari sudut ketenangan hati. Aku akan mempermainkan anak bangsawan dan gadis
ini di depan hidungnya. Apabila ketenangan jahanam itu bisa kukacaukan... dia
akan mati lemas sendiri.
Memperoleh pikiran demikian, bukan main girangnya sang Dewaresi. Pikirnya, kalau
bocah itu mampus... masakan Titisari tak kumiliki? Hm, apakah daya andalan
seorang perempuan?
Lalu berkatalah dia nyaring kepada Gusti Ayu Retnaningsih yang masih berada di
loteng. "Eh, Nona! Kau biarkan temanmu ini mati. dalam genggamanku atau tidak?"
Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang pu-teri bangsawan yang halus perasaan.
Tadi saja goloknya terlepas tanpa tersentuh tangan sang
ewaresi karena dadanya terbuka. Apalagi kini ia melihat tingkah laku sang Dewaresi
di hadapannya hendak menyakiti Fatimah. Seketika itu juga, ia bingung bukan
main. Tak dikehendaki sendiri, ia lari turun dari tangga sambil berkata membujuk.
"Sang Dewaresi! Janganlah engkau menyakiti dia? Letak kehormatan seorang gadis
hanyalah sekali itu saja. Karena itu merdekakanlah dia... inilah permintaanku!"
Mendengar ujar Gusti Ayu Retnaningsih, sang Dewaresi tertawa gelak sampai
tubuhnya tergoncang-goncang. Menyahut, "hm, tak kusangka, bahwa seorang
bangsawanpun akhirnya akan merasa kembali sebagai manu-sia lumrah. Siapa
mengira, bahwa engkau akhirnya akan meminta-minta belas kasih-anku."
Hebat ejekan sang Dewaresi terhadap gadis bangsawan itu Namun Gusti Ayu
Retnaningsih tak memedulikan martabatnya lagi demi keselamatan Fatimah. Ia
maju selangkah sambil berkata membujuk lagi.
"Dia murid Suryaningrat seperti aku. Kalau sampai kau rusak kehormatannya...
akibatnya akan panjang..."
"Biar dia murid dewa, apa peduliku?" sahut sang Dewaresi cepat. "Siapa suruh dia
mem-bacok aku? Coba kalau aku tiada cepat-cepat menggulingkan tubuhku, pada
saat ini kepalaku telah terpisah dari tubuhku. Hm—hm jangan mencoba engkau
menggertak dengan nama Suryaningrat! Apakah kau kira aku jeri terhadap murid-
murid perguruan Gunung Damar? Sekiranya Kyai Kasan Kesambi turun gunung
hendak menuntut dendam, dia ada tandingnya. Selain pamanku sendiri, Adipati
Surengpati tidak bakal tinggal diam memeluk tangan. Karena beliau adalah
mertuaku. Kau tahu?" .
Gusti Ayu Retnaningsih tak tahu, apakah Adipati Surengpati benar-benar mertua
sang Dewaresi atau tidak? Hanya saja ia heran, mengingat pergaulan Titisari yang
erat dengan Sangaji.
"Hm... mana bisa aku membebaskan dengan gampang," sahut sang Dewaresi.
Mendadak saja matanya berkilatan. Kemudian berkata lagi, "Baiklah... dia akan
kubebaskan. Tetapi engkau harus bersedia meluluskan per-mintaanku."
"Marilah kita mengadakan suatu perjanjian tukar menukar," sahut Sang Dewaresi.
"Gadis ini akan kubebaskan tetapi engkau harus bersedia menjadi penggantinya.
Kau setuju tidak?*'
Meskipun sudah dapat menebak maksud sang Dewaresi namun ia terkejut juga
mendengar kata-kata itu. Untuk mencoba melawan, betapa dia mampu. Sebaliknya
mengharapkan suatu pertolongan lain adalah tak mungkin. Karena itu dia jadi
berputus asa. Tiba-tiba saja, tenaganya seolah-olah lenyap. Dan tak setahunya
sendiri, air matanya mengucur perlahan-lahan.
'Hai! Kita boleh mampus! Tapi janganlah engkau mengucurkan air mata!" teriak
Fatimah.
Mendengar suara Fatimah, sang Dewaresi tertawa melalui hidung. Dengan pandang
menatap Gusti Ayu Retnaningsih, ia berkata pasti. "Kalau menolak... hm... gadis ini
tidak-lah cukup berharga bagiku. Lihat! Dia akan Kutekak tengkuknya."
Setelah berkata demikian, tangannya menggempur meja. Dan meja itu semplak
berantakan.
Gusti Ayu Retnaningsih terperanjat. Pikirnya, Guru sendiri belum tentu memiliki
tenaga begi-ii.
"Nah—bagaimana?" desak sang Dewaresi galak begitu melihat rasa was-was Gusti
Ayu Retnaningsih.
"Kau harus tunduk dan tak membangkang segala perintahku dan kehendakku.
Kalau tidak... tengkuk gadis ini akan kupatahkan." Dan ia mengancamkan
tangannya ke tengkuk Fatimah. Sudah barang tentu, Gusti Ayu Retnaningsih yang
tak pernah menyaksikan suatu peristiwa ngeri bermain di depan matanya, terkejut
melihat ancaman itu. Sampai tak dikehendaki sendiri ia menjerit.
"Bagus!" seru sang Dewaresi menang. "Sekarang—tutuplah pintu depan itu!" Gusti
Ayu Retnaningsih enggan bergerak.
Kena bentakan itu, mau tak mau Gusti Ayu Retnaningsih melakukan perintahnya.
Dengan hati berdebaran, ia menutup pintu.
"Bagus!" kata sang Dewaresi sambil melem-parkan Fatimah di atas meja. Berkata
nyaring, "Sekarang gadis ini kujadikan barang tanggungan. Tulang sambungnya
akan kugempur sedikit agar tak dapat bergerak."
"Di sini tak akan ada yang mengganggu kita. Kau sedia mengikuti perintahku
bukan?"
Semenjak kanak-kanak, Fatimah hidup bebas dan boleh dikatakan setengah liar.
Karena itu tak pernah takut kepada segala. Sehingga sering membawa adatnya
sendiri yang angin-anginan. Kini menghadapi sang Dewaresi yang hendak
membuktikan ucapan-nya ia jadi takut bukan kepalang. Dan inilah untuk pertama
kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa takut. Fatimah jadi menggigil
ketakutan. Mau ia meronta, tetapi tenaganya telah dipunahkan sang Dewaresi.
Satu-satunya jalan, ia hanya bisa meludah dan mencaci kalang kabut.
Baik Fatimah maupun Gusti Ayu Retnaningsih benar-benar merasa dirinya tak
berdaya. Fatimah tak dapat bergerak dan berbicara, namun telinganya dapat
mendengar dengan terang. Diapun sedang menghadapi saat-saat yang
mengerikan. Ingin ia berteriak minta pertolongan Titisari, tetapi celakanya mulutnya
tak dapat dibukanya. Karena itu hatinya seolah-olah akan meledak. Sedang Gusti
Ayu Retnaningsih takut bukan main menghadapi bencana demikian. Apalagi, kalau
sampai sang Dewaresi bertindak dengan kasar. Hal itu, tak sanggup ia
membayangkan.
Dalam pada itu Titisari telah memperbaiki diri. Tongkat besi yang tadi kena rebut
sang Dewaresi dapat digapainya kembali. Kemudian ia mempersiapkan cundrik dan
sen-ata rahasianya untuk berjaga-jaga menghadapi serangan sang Dewaresi
kembali yang mungkin sekali terjadi dengan tiba-tiba. Tatkala mendengar peristiwa
yang terjadi di ruang bawah, hatinya mendongkol dan panas. Sebagai seorang
wanita, ia bisa ikut merasakan penderitaan batin Gusti Ayu Retnaningsih dan
Fatimah. Tetapi dasar hatinya masih kanak-kanak, maka timbulah suatu keinginan
lain hendak ikut pula menyaksikan apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Ia mendengar Gusti Ayu Retnaningsih. Mendadak berkata nyaring dan tegas. "Kau
bunuh sajalah aku!"
Sang Dewaresi tercengang sejenak. Sama sekali tak diduganya, Gusti Ayu
Retnaningsih hendak memutuskan sikap demikian. Sekonyong-konyong ia melihat
benda ber-keredap mengarah padanya. Itulah cundrik Gusti Ayu Retnaningsih yang
ditimpukkan dengan tak terduga. Tetapi sang Dewaresi bukanlah seorang laki-laki
lemah. Cepat ia mengibaskan tangan dan menangkis cundrik itu dengan mudah.
Melihat serangannya gagal, Gusti Ayu Retnaningsih tak mau susah. Dengan sekali
lompat ia hendak memungut cundriknya. Sebaliknya, sang Dewaresi sadar akan
bahaya. Diapun melompat pula dan merampas cundrik. Pada saat itu tiba-tiba
terdengar pintu diketuk dari luar:
"Kula nuwun! Kula nuwun. Itulah suaranya seorang wanita yang ingin bertemu
dengan pemilik benteng.
Wajah Gusti Ayu Retnaningsih terus saja bersinar terang. Dalam kepepatannya ia
mem-peroleh sepercik harapan. Demikianlah dengan hati berdebaran segera ia
menghampiri pintu dan membuka dengan cepat. Dan di ambang pintu, terlihatlah
seorang gadis cantik molek yang terpotong rambutnya dengan mengenakan
pakaian Jawa. Di pinggangnya terselip sebatang golok. Pandang wajahnya agak
kuyu, namun tak mengurangi kejelitaan-nya.
Gusti Ayu Retnaningsih belum pernah mengenal atau bertemu dengan gadis itu.
Namun karena menaruh harapan besar, ia mau men-ganggapnya sebagai bintang
penolongnya. Itulah sebabnya dengan agak gemetaran ia menyambut. "Silakan
masuk, Nona!"
Gadis itu berdiri keheranan melihat Gusti Ayu Retnaningsih yang berparas elok dan
mengenakan pakaian serba mahal. Sama sekali tak diduganya, bahwa pemilik
benteng atau setidak-tidaknya penguasa benteng itu adalah seorang gadis begini
agung. Itulah sebabnya setelah mengamat-amati sejenak, Daru ia berkata "Aku
kebetulan lewat di sini. Dari luar kulihat nyala dian. Apakah Nona penghuni benteng
kuno ini?"
Sebenarnya Gusti Ayu Retnaningsih akan memberi keterangan tentang dirinya dan
apa sebab sampai berada di benteng. Tetapi mengingat bahaya yang lagi
mengancamnya tanpa banyak cing-cong lagi terus ia mengiakan sambil
mempersilakan.
"Masuklah!"
Gadis itu kembali heran dan nyaris tak percaya kepada penglihatannya sendiri.
Pikirnya, benar-benarkah gadis ini penghuni benteng? Katanya menegas lagi.
"Maksudku... apabila Nona mengijinkan, aku hendak menginap di sini."
Memperoleh sahutan itu, tiada ragu-ragu lagi masuklah gadis itu. Tatkala
menebarkan penglihatannya, mendadak ia melihat sang
Sang Dewaresi kala itu telah memperdengarkan tertawanya, lalu datang mendekati
menghadang pintu.
Gadis yang datang itu sesungguhnya Nuraini. Ia pernah kena tawan sang Dewaresi,
dan pernah pula dicemarkannya.
Setelah bentrok hebat dengan Sanjaya, habislah sudah harapannya. Hatinya jadi
tawar dan merasa diri seorang yatim piatu. Di depan Titisari, ia memangkas
rambutnya. Kemudian melarikan diri tanpa tujuan tertentu. Pada malam harinya, ia
membanting dirinya dan menyesali nasibnya yang buruk. Setelah kepepatannya
agak surut, mulailah ia bisa berpikir dan menimbang-nimbang. Ia tak bisa
mempersalahkan Sanjaya. Sebaliknya— teringat kepada yang membuat gara-gara
— hatinya berdendam, tapi betapa bisa melawan sang Dewaresi yang gagah
perkasa dan mem-punyai kaki tangan tak terhitung jumlahnya.
Dewaresi. Tanpa berbicara lagi, terus saja ia menyambar Gusti Ayu Retnaningsih
sambil membabatkan goloknya.
Sang Dewaresi benar-benar tangguh dan waspada. Dengan sekali menjejak tanah,
ia meloncat menghadang dan menangkis golok Nuraini. Dan pada detik itu juga, ia
berhasil menangkap tangan Nuraini, kemudian dibekuknya sampai tak dapat
berkutik.
Dalam pada itu, Gusti Ayu Retnaningsih lari menghampiri Fatimah setelah terlepas
dari bahaya. Ia hendak membebaskan Fatimah hanya saja tak tahu bagaimana
caranya. Selagi ia sibuk memijat-mijat, sang Dewaresi sudah berhasil, memeluk
Nuraini dan dibawa menghampiri. Ia berkata sambil tertawa menang.
Seperti diketahui, Sanjaya keluar benteng jengan Pangeran Bumi Gede bersama-
sama lengan kaburnya Manyarsewu, Cocak Hijau, Yuyu Rumpung dan lain-lainnya.
Pada saat itu rertempuran makin lama makin sengit. r3sukan gabungan antara
Pangeran Bumi Gede dan Patih Danureja II kena didesak mundur oleh laskar
kasultanan dibawah pimpinan Pangeran Ontowiryo. Meskipun demikian, kekalahan
ini belum merupakan kekalahan mutlak. Masing-masing pihak masih bisa saling
menerobos garis pertahanan. Karena itu, Pangeran Ontowiryo dapat datang sampai
di benteng itu. Sebaliknya Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya saat itu berada di
belakang garis depan laskar kasultanan.
Ia belum kenal Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah, tetapi sudah dapat menduga-
duga tujuh bagian sebelumnya.
"Jangan cemburu, nDoromas. Akupun tak kan serakah. Kau boleh pilih, mana saja
yang kausukai."
Sang Dewaresi tertawa perlahan. Kemudian oerkata acuh tak acuh. "Ketiga-tiganya
ini adalah milikku. Apakah mereka kurang cantik? Kukira, aku sependapat dengan
nDoromas bahwa mereka ini mempunyai kecantikan masing-masing."
Mendengar ujar Sanjaya, Nuraini terkejut. Hatinya sakit dan panas bukan main.
Diam-diam ia mengerling kepada Sanjaya. Melihat sikap dan lagak lagu pemuda itu,
mendadak saja hatinya dingin dan bertambah tawar. Ingin ia membunuh diri di
depannya, agar terbebas dari suatu penderitaan. Oleh pikiran ini tangannya lantas
saja menggerakkan goloknya. Tapi belum sampai ia berbuat sesuatu, sang
Dewaresi telah mencengkeram pergelangan-nya. Mau tak mau, ia harus
melepaskan goloknya yang segera jatuh bergelontangan di atas lantai.
"Galak benar gadis ini," gerutu sang Dewaresi. "Biarlah ini bagianku. Aku senang
kepada gadis yang galak. nDoromas kuberi gadis yang berada di atas meja.
Bagaimana pendapatmu?"
Ketiga gadis itu tak akan berkutik. Namun pendengaran dan penglihatan mereka
tak ter-ganggu. Karena itu, mereka mendongkol mendengar dan melihat sepak
terjang mereka. Meskipun hatinya mau meledak, tapi mereka tak dapat berbuat
apa-apa.
Hebat ucapan itu. Baik Nuraini maupun Sanjaya tergetar hatinya. Seumpama tiada
-terasa dirinya terdorong ke pojok, gadis sehalus Nuraini tak kan mungkin
mengucapkan kata-kata sekasar itu. Sanjaya pun belum pernah kena maki
demikian. Selama hidupnya entah sudah berapa kali ia bersenang-senang rengan
kaum wanita, tapi belum pernah dihinggapi nafsu untuk hendak mencemarkan.
Karena itu ucapan Nuraini benar-benar menusuk hatinya. Tapi dasar licik dan licin,
ia Disa menguasai diri. Dengan tersenyum ia nembuang muka dan berkata kepada
sang Dewaresi. "Benar," kata sang Dewaresi. "Dia sangat galak."
"Nanti dulu!" cegah Sanjaya. "Golok ini harus kita singkirkan dahulu. Berdekatan
dengan seorang perempuan, harus bebas dari rasa ngeri."
"Aku adalah kelinci yang kejatuhan rejeki. Sebenarnya tak berhak ikut menentukan.
Tapi karena sang Dewaresi minta pertimbanganku, baiklah terserah kepada sang
Dewaresi menanggalkan pakaiannya sepotong demi sepotong. Itulah lebih
menggetarkan hati..."
"Bagus!" sahut sang Dewaresi. Habis berka-ta demikian, terus saja ia hendak mulai
beker-ja. Mula-mula ia memperbaiki pakaiannya dahulu, kemudian membungkuki
Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini.
Sudah barang tentu Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini mendongkol bukan main
diperlakukan demikian. Kalau saja hatinya kurang tabah, pastilah mereka akan
jatuh pingsan dengan berbareng. Diam-diam mereka sudah mengambil keputusan.
Apabila mereka berani mencemarkan namanya, akan menggigit lidahnya sendiri
sampai mati.
Pada saat itu, Sanjaya membungkuk memu-ngut golok Nuraini yang tadi jatuh
bergelon-tangan di atas lantai. Dengan sudut matanya ia mengerling sang Dewaresi
yang lagi menumpahkan seluruh perhatiannya kepada Gusti Ayu Retnaningsih dan
Nuraini. Kedua tangannya mulai bekerja. Dengan cekatan, ia hampir dapat
menyibakkan kain Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini berbareng. Mulutnya
engulum senyum luar biasa puas. Karena hatinya ikut berbicara, dahinya sampai
ber-keringat. Itulah suatu tanda, bahwa seluruh perasaannya terpusat pada apa
yang bakal terlihat nanti.
Kejadian ini datangnya sangat tiba-tiba dan di luar dugaan. Baik Nuraini, Gusti Ayu
Retnaningsih, Fatimah, Titisari dan Sangaji kaget bercampur heran. Sang Dewaresi
sendiri mula-mula tak percaya akan kenyataan itu. Itulah sebabnya pula, ia seperti
terpaku tatkala kena tikaman yang pertama kalinya. Tetapi begitu merasa sakit
tersadarlah dia. Sebat luar biasa ia menangkis tikaman Sanjaya yang kedua sambil
melemparkan tubuh Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini berjungkir-balik. Kemudian
dengan kecepatan mengagumkan, ia menimpuk Sanjaya dengan cundrik Gusti Ayu
Retnaningsih yang tadi kena dirampasnya.
"Jahanam! Kau mau lari ke mana?" gertak sang Dewaresi. Karena kesannya
bercampur aduk luar biasa, mendadak saja ia tertawa terbahak-bahak seperti iblis.
Wajahnya menyeramkan dan berubah bengis luar biasa. Dengan meminjam tenaga
tangan, ia mencengkram pinggiran meja siap hendak meloncat menubruk.
"Hanya satu hal aku tak mengerti," katanya. "Aku sang Dewaresi yang biasa hidup
malang-melintang tanpa tandingan mengapa harus mampus di tanganmu? Sanjaya!
Apa sebab engkau membunuh aku?"
Ia kena dikalahkan Sangaji. Bahkan kini ilmu kepandaiannya sama sekali tak berarti
apabila dibandingkan dengan Sangaji. Kenyataan yang pahit benar-benar mengge-
lisahkan hatinya. Dj luar dugaan, mendadak saja ia mulai berkenalan dengan Kebo
Bangah—paman sang Dewaresi yang terkenal sebagai salah seorang tokoh sakti
pada zaman itu. Maka timbullah hasratnya untuk menjadi muridnya. Ia percaya
manakala Kebo Bangah mau mengambilnya sebagai murid di kemudi-an hari pasti
bisa menandingi Sangaji. Tetapi adat Kebo Bangah bukanlah seperti kebanyakan
pendekar. Dia tak dapat ditimbuni harta benda agar bisa menerimanya sebagai
murid. Dalam hidupnya ia hanya menerima seorang murid belaka. Yakni, sang
Dewaresi. Oleh kenyataan itu Umbulah niatnya hendak menyingkirkan sang
Dewaresi. Pikirnya, kalau sang Dewaresi tiada pastilah Kebo Bangah membutuhkan
seorang ahli waris ilmu kepandaiannya. Tetapi ia merasa diri tak mampu
menyingkirkan sang Dewaresi dengan terang-terangan. Dalam segala hal, ia
merasa kalah. Satu-satunya jalan hanyalah dengan menikam dari belakang secara
tiba-tiba. Tetapi niat itu tak mudah dilaksanakan. Sang Dewaresi adalah tokoh
pendekar yang sangat berwaspada dan tak gampang-gampang bisa diingusi.
Mendadak saja terjadilah peristiwa itu. Ia melihat betapa sang Dewaresi terlibat
dalam nafsu kebinatangannya hendak memperkosa tiga gadis dengan sekaligus
yang sebenarnya bertujuan untuk menggugurkan ketenangan hati Sangaji. Begitu
bernafsu dia sampai ia jadi lengah. Tahu-tahu sebatang golok menikam perutnya
dua kali berturut-turut.
Sanjaya tak menjawab. Ia berusaha menguasai diri hendak lari secepat mungkin
meninggalkan benteng.
Tetapi selagi tubuhnya bersiaga hendak me-loncat, tiba-tiba lehernya telah kena
cengke-ram. Cengkeraman itu keras luar biasa bagai gaetan besi.
"Baiklah... aku akan memberi keterangan," sahut Sanjaya dengan suara putus asa.
Dengan gemetaran ia menuding kepada Nuraini yang masih saja rebah tak berkutik
di atas meja. Katanya kemudian "Tahukah kau siapakah dia?"
"Dialah tunanganku," sahut Sanjaya. "Dua kali engkau menghina aku. Yang pertama
di lumbung desa. Dan kini... di sini. Masakan aku akan menjadi seorang penonton
belaka?"
"Benar" kata sang Dewaresi. Ia tertawa perlahan melalui dada. "Marilah kita pulang
ke neraka dengan berbareng..."
Terus saja ia mengangkat tangan hendak menetak tengkuk. Ia adalah seorang yang
memiliki tenaga kuat luar biasa. Tadi ia bisa mengempur meja sampai semplak.
Karena itu dapat dibayangkan betapa akibatnya apabila tengkuk Sanjaya kena
kemplang.
Sanjaya menutup matanya. Tahulah dia, bahwa saat kematiannya akan tiba. Dalam
benaknya, berkelebatlah pengalaman-pengalamannya yang lalu. Dalam detik itu
terasalah suatu kesedihan mencekam ulu hatinya.
Tetapi sekian lama ia menunggu, tangan sang Dewaresi belum juga turun. Ia jadi
heran dan menebak-nebak. Hati-hati ia menjenakkan mata. Pandang mata sang
Dewaresi masih tetap kejang dan wajahnya menyeringai iblis. Mulutnya kelihatan
mengulum senyum maut. Tangannya terangkat setinggi kepala, namun sama sekali
tak bergerak.
Sanjaya meronta dan merenggutkan diri. Ternyata tenaga sang Dewaresi tiada lagi.
Dengan suara gedebruk, tubuh sang Dewaresi terjengkang ke belakang dan jatuh
tersungkur di atas lantai. Nyawanya melayang pada saat tangannya terangkat
hendak menetak tengkuk.
Dalam pada itu, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih telah memperbaiki
pakaiannya. Hati mereka masih penuh kesan peristiwa yang baru saja terlampaui.
Namun begitu, mereka tak lupa menyatakan terima kasih kepada penolongnya.
Mereka tahu, siapakah Sanjaya. Ternyata dia anak Pangeran Bumi Gede lawan
Pangeran Ontowiryo. Meskipun demikian, mereka tetap memberi hormat sebagai
penolongnya yang membinasakan sang Dewaresi. Demikianlah... setelah
membungkuk hormat—mereka berjalan dengan bergandengan tangan keluar dari
benteng. Sebagai manusia yang tahu apa artinya berhutang budi, tak mau mereka
menganggap Sanjaya sebagai musuhnya lagi. Itulah sebab-nya, golok dan cundrik
mereka dibiarkan menggeletak di atas lantai di bawah sinar obor yang berkelebat-
kelebat dari dinding ke dinding.