Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI KORNEA

A. STRUKTUR KORNEA

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm


horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya,
kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui
lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dalam bahasa latin
“cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat
tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas :

1. Epitel

Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 %
(0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan
permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari
ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi
2. Membran bowman

Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel. Merupakan
lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan
stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.

3. Stroma

Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada
kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang saling
menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan.

4. Membran Descemet

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan
oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop
elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40
mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh
aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya
regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi
kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi
dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma
bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi
(kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada
kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan
pada kornea. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh
lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause
ditemukan pada daerah limbus.

B. FISIOLOGI KORNEA

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan
deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh
“pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam
mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau
fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada
epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel
epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam
menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh
dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea,
obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap
masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang
avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba, dan jamur
KERATITIS VIRUS

KERATITIS HERPES SIMPLEKS

Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering ditemukan
dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dg adanya infiltrasi sel radang &
edema pada lapisan kornea manapun.

Gejala Klinis

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi
primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat
unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien
atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5
tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur
40 tahun ke atas. Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi perikornea,
dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai
terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati
bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak
adanya foto-fobia.

Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisnie yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom.
Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan
sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri
berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan
terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres
emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi
imunosupresi. Kremer, dkk. (1991) melaporkan pada 1,16% pasien pasca cangkok ginjal yang
disertai penggunaan imunosupresan dalam kurun waktu 4 minggu ternyata timbul keratitis
herpes simpleks. Jumlah kasaus keratitis herpes mungkin semakin meningkat sehubungan
dengan bertambahnya kasus penderita AIDS di masa mendatang.

Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama, dan
meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan angka yang lebih
besar yaitu 4657% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi
primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun
waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.

Terjadinya kekambuhan lebih sering terjadi pada pasien dengan HLA-B5. Hasil
penelitian di Tanzania melaporkan adanya peningkatan jumlah kasus keratitis herpes simpleks,
yang Sebagian besar diderita oleh kelompok umur balita. Di Tanzania kejadian keratitis herpes
simpleks dihubungkan dengan terjadinya wabah malaria.

Keratitis herpes simpleks kambuhan atau lazim disebut keratitis herpes simpleks
dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis.
Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika
merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus
dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran
bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi keratitis geografika, hat ini terjadi
akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid.

Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil. Tooma dkk. melaporkan 29
kasus keratitis bentuk dendrit, setelah dilakukan konfirmasi ternyata yang benar-benar keratitis
herpes simpleks hanya 17, 7 kasus merupakan herpes zoster, 2 kasus lainnya berhubungan
dengan penggunaan lensa kontak, dan sisanya merupakan defek epitelial akibat trauma.
Tirosinemiajuga sering menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya bilateral dan terjadi pada
anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan sebagai akibat infeksi Acanthamoeba,
trauma kimia, dan akibat toksisitas thiornerosal.

Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam hat ini terjadi
perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril, deepitelisasi meluas sampai
stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran beberapa mm dan bersifat tunggal.
Pada kasus ini dapat dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana
Descemet. Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi
berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatiftidak cukup. Ulkus metaherpetik dapat
menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang kurangnya 6 minggu. Terdapat dua


bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis interstitial. Keratitis disciform
dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi
akibat reaksi hipersensitivitas imun komplek. Karakteristik keratitis disciform berupa edema
stroma berbentuk lonjong atau gambaran meiingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57
mm, biasanya disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma, tetapi
dapat juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya dijumpai menempel di
endotel kornea belakang daerah edema. Keluhan penderita antara lain: penglihatan kabur, rasa
tidak enak, dan fotofobia terjadi bila disertai adanya iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa disertai
nekrosis dan neovaskularisasi penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa
meninggalkan sikatriks. Pada kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu sampai 1
tahun atau lebih, bahkan sering terjadi penyullt berupa penipisan kornea maupun perforasi.
Keratitis disciform dapat pula terjadi akibat infeksi herpes zoster, varisela, campak, keratitis
karena bahan kimia, dan trauma tumpul yang mengenai kornea. Pada keratitis disciform dapat
diisolir virus herpes simpleks dan cairan akuos.

Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal maupun beberapa
tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis bakteri maupun jamur. Infiltrat tampak
mengelilingi daerah stroma yang edema, dan dijumpai adanya neovaskularisasi. Kadang-kadang
dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai
infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks.
Beberapa penyulit keratitis stroma antara lain: kornea luluh, descemetocele, penipisan
kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya kornea luluh disebabkan oleh mekanisme aktif
enzim kolagenase, nekrosis, replikasi virus, dan efek steroid. Enzim ko-lagenase dilepaskan oleh
epitel rusak, sel polimorfonuklear, dan fibroblas selama reaksi radang.

Klasifikasi Diagnosis

Hogan dkk. (1964) membuat kiasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks sebagai berikut:

1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma, geografika.


2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan, stroma dan
ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini keratouveitisdibedakan
atas bentuk ulserasi dan non ulserasi. Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna,
karena bentuk keratitis pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak
dimasukkan. Selain itu, pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma
sekunder yang diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum. Untuk membuat diagnosis,
sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:
 Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika, dendrogeografika,
geografika.
 Ulserasi trophik atau meta herpetika.
 Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
 Uveitis anterior dan trabekulitis.

Klasifikasi menurut Pavan-Langston ini pun belum sempuma, mengingat sangatjarang


ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri sendini tanpa melibatkan ada-
nya keratitis.
Penatalaksanaan

 Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi
di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel
sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement
dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak
manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
hars diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnyadala
72 jam. Pengobatan tabahan dengan anti virus tpikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat
topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.

 Terapi obat

Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine,
vidarabine, dan acyclovir. Trfluridine dan acyclovirjauh lebih efektif untuk penyakit stroma dari
pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral
ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik
yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study
multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease study). Replikasi
virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea, umumnya
sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid
topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga
mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perporasi kornea. Jika memang
perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali
ditambahkan obat anti virus secuukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
 Bedah

Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang


mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit
herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan
kortikosteroid topikal yang diperlukanuntuk mencegah penolakantransplantasi kornea. Juga sulit
dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens. Perforasi kornea akibat
penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti
penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi
kecil dan graft “petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinanterjadi
penilakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafimungkin diperlukan untuk
pemulihandefek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek.

 Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV

Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus dalam 2 tahun
serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah denga teliti
mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai
untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin
dapat diminum sebelum menstruasi.
Pemilihan Antiviral

Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan replikasi virus, tanpa
merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti idoksuridina dan vidarabina memiliki toksisitas
semacam dan khasiat sepadan guna menghentikan replikasi virus. Efek samping pembenian
idoksuridina antara lain: keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan
oklusi pungtum lakrimalis. Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan kenatitis dendritik
sebesar 80%, sedang trifluridina mempunyal efektivitas 97% dengan waktu penyembuhan 2
minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna trifluridma lebih baik dibanding kedua obat
antivinal tendahulu, karena lebih mudah larut dalam air. Pada 3-5% kasus ternyata dalam 1
minggu tidak ada penbaikan dengan tnifluridin, dalam hal ini dipenlukan debridement. Resistensi
terhadap triflunid sangat jarang, dan bila dijumpai ternyata tidak dijumpai resistensi silang
tenhadap idoksunidina maupun vidarahina.

Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina pertama kali dilaponkan
oleh Collum dkk. (1980), didapatkan hasil benupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata-
rata 4,4 hari dan secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina. Untuk
kasus-kasus keratitis geognafik memerlukan waktu penyembuhan rata-rata 5,6 hari. Keratitis
stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridina maupun asiklovin.
Penggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid topikal dapat meningkatkan waktu
penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan reaksi radang, dan menghambat
vaskuIarisasi. Pornier dkk. (1982) membuktikan bahwa asikiovin topikal menghasilkan daya
penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun trifluridina. Pada pasien-pasien keratitis
stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan betametason 0,01%
ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari.

Porter dkk. (1990) membandingkan pengobatan asiklovir secara topikal dan oral pada kasus-
kasus keratitis disciform. Masing-masing kelompok menggunakan tambahan prednisolon 0,05%
tetes mata 5 kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan perbaikan visus
lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang waktu penyembuhan tidak berbeda
danmemerlukan waktu rata-rata 25,6 hari. Selain itu tidak dijumpai perbedaan angka
kekambuhan pada pengamatan sampai 3 tahun pasca penyembuhan.
Mengenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk idoksuridina sebesar 37%, dan
vidarabina sebesar 11 %. Berdasarkan hash uji laboratonik sensitivitas, beberapa antiviral
terhadap virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun gansiklovir
tidak sampai 10%; sedang untuk foscarnet, vidarabina, dan icloksuridina didapatkan penurunan
sensitivitas jauh lebih banyak.

Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan calon obat antiviral yang


potensial, karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada percobaan binatang. Interferon
tetes mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi akan lebih
efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabina. Mekanisme dasar interferon sebagai
terapi adalah membuat sel-sel sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok penyebaran
virus.

Pada keratitis stroma pemberian kombinasi steroid dan interferon memberikan hasil yang
baik pada percobaan binatang. Kombinasi antiviral dan interferon diharapkan dapat mengatasi
resistensi virus herpes simpleks di masa mendatang.
BAB III

PENUTUP

Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur.
Biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena : yaitu keratitis superfisialis
apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis profunda apabila mengenai lapisan
stroma.

Keratitis herpes simplek merupakan keratitis superfisial yang membentuk garis infiltrat
pada permukaan kornea yang kemudian membentuk cabang. Disebabkan oleh virus herpes
simpleks, yang bisanya bermanifestasi dalam bentuk keratitis dengan gejala ringan seperti
fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun, konjungtiva hiperemia disertai dengan
sensibilitas kornea yang hipestesia. Bentuk dendrit ini terjadi akibat pengrusakan aktif sel epitel
kornea oleh virus herpes simpleks disertai dengan terlepasnya sel di atas kelainan. Bentuk
dendrit ini dapat berlanjut menjadi bentuk geografik, yang biasanya tidak mengenai
jaringan stroma kornea. Pengobatan kadang – kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh
spontan dengan melakukan debridement. Dapat juga dengan memberikan antivitus dan
sikopegik, antibiotika dengan bebat tekan. Antivirus seperti IDU 0,1% diberikan setiap 1 jam
atau asiklovir. Keratitis dendritik dapat menjadi indolen sehingga terjadi tukak kornea
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea, San

Fransisco 2006-2007 : 8-12, 157-60.

2. Vaugan Daniel G, Asbury Taylor, Riordan Paul-Eva. Oftalmologi umum edisi

14 : Kornea. Widya Medika Jakarta 1995 : 136-38

3. Ilyas, Sidarta. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2000 :52.

4. Ilyas, Sidarta . Ilmu penyakit mata PERDAMI. Edisi kedua. CV sagung seto

jakarta, 2002 114 -5,120 -31

5. Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta,

2005 : 147-58

6. http://en.wikipedia.org/wiki/Cornea#Structure

7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media

Aesculapius FKUI. Hal: 56

8. Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis ". Journal of the

American Medical Association; 144:1544-1549. Available at : http://webeye.

ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm

9. Ilyas, Sidarta. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Balai

Penerbit FKUI, Jakarta, 2003.

10. www.medscape.com/ Keratitis article

Anda mungkin juga menyukai