Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Perubahan iklim dan pemanasan global atau global warming adalah dua kata yang selama sekitar 15 tahun terakhir ini menjadi hal yang sangat menakutkan bagi kita. Sayangnya pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim belum menjadi kesadaran multipihak. Pemanasan global telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup konsumtif ). Tidak banyak yang memahami dan peduli pada isu perubahan iklim. Hal tersebut disebabkan karena dampak pemanasan global terhadap lingkungan biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan. Bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia yang masih berpikir tentang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan kesejahteraannya saja, dua kata tersebut bukanlah hal yang menakutkan. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpikir besok makan apa, atau besok makan siapa, atau besok dimakan siapa inilah yang sehari-hari ada didepan mata kita. Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia kemungkinan besar berpikiran perubahan iklim memang sudah menjadi takdir, perubahan iklim menurut sebagian besar masyarakat Indonesia tidak ada kaitannya dengan kesalahan manusia, kalau pun ada kaitannya dengan kesalahan manusia hal yang demikian ini tidak usah dikaitkan dengan hak Rakyat yang sekedar berfikiran untuk makan esok hari. Perubahan pola cuaca yang terjadi belakangan telah mengakibatkan banyak hal. Hal itu tidak hanya memengaruhi pertanian yang bergantung pada

musim, tapi juga menimbulkan berbagai jenis bencana alam dan penyakit. Perubahan cuaca tersebut hanya satu contoh dampak yang dilahirkan perubahan iklim global. Perubahan iklim global tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di semua belahan bumi. Tetapi, perubahan iklim itu juga disebabkan hal lain, yaitu pemanasan global. Bencana banjir yang belakangan ini sering melanda daerah- daerah di Indonesia merupakan salah satu dampak dari pemanasan global. Oleh karena itu pembahasan mengenai Dampak Pemanasan Global terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut di Indonesia ini kiranya menjadi hal yang penting agar dapat dikaji lagi akar permasalahan dari bencana banjir di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Apakah penyebab pemanasan global 2. Bagaimana dampak pemanasan global terhadap iklim dan lingkungan 3. Bagaimana dampak peningkatan permukaan laut di Indonesia

C. Tujuan Kajian

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui realita dan mencari solusi dari penjabaran rumusan masalah diatas. D. Manfaat Hasil Kajian Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberi bahan kajian dan referensi tentang Dampak Pemanasan Global terhadap

Kenaikan Permukaan Air Laut di Indonesia. Selain itu diharapkan makalah ini dapat memberi kesadaran bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya akan pentingnya manjaga lingkungan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyebab Terjadinya Pemanasan Global Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 0.18 C (1.33 0.32 F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, " Sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut. Pemanasan global bermula dari Revolusi Industri pada akhir abad ke-18. Revolusi industri adalah perubahan pola produksi yang dulu menggunakan tenaga manusia (pekerja) menjadi menggunakan mesin dan teknologi (industri). Tujuan dari revolusi industri ini adalah untuk mencapai keuntungan yang lebih besar, karena penggunaan mesin dianggap lebih efisien dari pada menggunakan tenaga manusia. Sejak saat itu juga bahan bakar fosil mulai digunakan secara intensif. Misalnya, untuk membajak sawah sebelum revolusi industri menggunakan sapi atau kerbau, setelah revolusi industri mulai menggunakan traktor. Tetapi dibalik kemajuan yang diberikan melalui revolusi industri ada

masalah baru yang akan timbul, yaitu pemanasan global, karena setiap mesin yang digunakan akan menghasilkan gas buangan dari hasil pembakaran yang menimbulkan polusi (emisi gas rumah kaca). Seperti telah disebutkan di atas penyebab utama pemanasan global adalah gas rumah kaca. Selama ini mungkin banyak salah persepsi mengenai efek rumah kaca. Banyak orang yang mengira bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh bangunan yang menggunakan banyak kaca, sehingga cahaya matahari terpantul dan melubangi atmosfer, namun bukan seperti itulah efek rumah kaca yang sebenarnya.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanasan Global

1. Efek rumah kaca Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas

dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 C (59 F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 C (59 F) dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Gambar 1. Ilustrasi Efek Rumah Kaca 2. Efek umpan balik

Penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer. Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona

mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah. 3. Variasi Matahari Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950. Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Frhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis

Gambar 2. Variasi Matahari selama 30 Tahun Terakhir. C. Dampak dampak Pemanasan Global 1. Iklim Mulai Tidak Stabil Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata,

sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. 2. Peningkatan permukaan laut Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

Gambar 3. Perubahan Tinggi Rata-rata Muka Laut Diukur dari Daerah dengan Lingkungan yang Stabil secara Geologi. 3. Suhu global cenderung meningkat Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah

10

pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat. 4. Gangguan ekologis Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesiesspesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah. 5. Dampak sosial dan politik Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakitpenyakit yang berhubungan dengan panas ( heat stroke ) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat

11

pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

BAB III PEMBAHASAN MASALAH A. Indonesia dan Global Warming Pemanasan global juga terjadi di Indonesia. Indonesia menyumbang tujuh persen pencemaran dengan kadar karbon atau sebanyak 2,5 miliar ton CO yang berdampak pada terjadinya global warming . Hal ini terjadi karena laju dan tingkat penggundulan hutan di Indonesia mencapai satu juta hektar per tahun. Rachmat Witoelar mengatakan bahwa pemanasan global sedang menjadi isu sentral di berbagai belahan dunia. Salah satu penyebab pemanasan global ini terkait kegiatan penebangan pohon di kawasan hutan yang tidak diimbangi dengan penanaman pohon pengganti atau disebut deforestasi. Sektor kehutanan di seluruh dunia menyumbang sebanyak 20 persen atau sekitar 7,5 miliar ton

12

kandungan CO, yang memicu terjadinya pemanasan global. Dari angka tersebut, Indonesia menyumbang sepertiganya, atau sebanyak tujuh persen dengan total kontribusi sekitar 2,5 miliar ton CO. Untuk menekan pemanasan global yang berasal dari deforestasi, Indonesia perlu menekan laju penggundulan hutan yang sudah mencapai satu juta hektar per tahun. Jika berhasil, maka emisi akan berkurang 1,2 miliar ton CO. Saat ini, negara-negara di dunia yang tergabung dalam PBB sedang gencar membahas ancaman dan dampak pemanasan global. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan Kyoto tahun 1997 silam, pada 3-14 Desember 2007 akan digelar Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim bertempat di Bali. Di sisi lain, masih ada sejumlah negara yang menolak untuk mengakui fenomena global warming, salah satunya Amerika Serikat dan Australia. Sampai sekarang, kedua negara tersebut masih belum bersedia untuk melaksanakan hasil pertemuan Kyoto Protocol. AS belum mau mengurangi pemakaian emisi gas buang dari bahan bakar minyak karena itu merugikan industri perminyakan yang setiap tahunnya menghasilkan 450 miliar dollar AS per tahunnya. Salah satu hasil dari Kyoto Protocol itu ialah Flexible Mechanism, sebuah metode yang dapat diterapkan oleh negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi industri. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : 1. Gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai. 2. Gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara. 3. Gangguan terhadap permukiman penduduk.

13

4. Pengurangan produktivitas lahan pertanian. 5. Peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir. B. Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat Seperti yang telah diketahui bahwa bencana banjir dalam beberapa tahun ini sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia. Sayangnya banyak masyarakat tidak menyadari bahwa banjir adalah dampak komulatif dari pemanasan global yang menyebabkan permukaan air laut naik. Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : 1. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir. 2. Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove. 3. Meluasnya intrusi air laut. 4. Ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir. 5. Berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrem). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

14

Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.

Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.

Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera , genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua , hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih buram apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang

15

potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.

Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulaupulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.

Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan khususnya yang berfungsi lindung akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.

C. Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Sudah seharusnya Pemerintah membuat langkah antisipasi terhadap banjir akibat naiknya permukaan air laut sehingga bencana alam dapat diminimalisir. Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan

16

pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikrooperasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :

1.

Relokasi Alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrem, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.

2.

Akomodasi

17

Alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture).
3.

Proteksi Alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip working with nature. Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan

untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.

18

BAB V PENUTUP A. Simpulan Bencana banjir yang akhir-akhir ini sering melanda berbagai daerah di Indonesia tidak terlepas dari peran pemansan global (global warming) yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut. Pemanasan global sendiri pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Indonesia sendiri menyumbang tujuh persen pencemaran dengan kadar karbon atau sebanyak 2,5 miliar ton CO yang berdampak pada terjadinya pemanasan global . Hal ini terjadi karena laju dan tingkat penggundulan hutan di

19

Indonesia mencapai satu juta hektar per tahun. Maka diperlukan langkah antisipasi yang tepat terutama dari pemerintah guna meminimalisir bancana akibat dari naiknya permukaan air laut. Terutama penanganan daerah daerah pesisir pantai yang rawan terkena dampak kenaikan air laut dan kawasan konservasi yang berperan sebagai penyeimbang ekosistem. B. Saran Peranan pemerintah sangat diharapkan untuk dapat mengelola daerahdaerah pesisir serta melindungi kawasan hutan lindung agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu , khususnya hutan tropis , perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir. Diperlukan ketegesan dan intervensi dari pemerintah bila diperlukan. Namun pemerintah saja tidaklah cukup, diperlukan juga kesadaran dari masyarakat Indonesia sendiri untuk menjaga lingkungannya.

20

Summary for Policymakers. (PDF) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 2 Februari 2007 NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August 31, 2007. Soden, Brian J., Held, Isacc M. (01-11-2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in Coupled Ocean-Atmosphere Models" (PDF). Journal of Climate 19 (14) Diakses pada 21 April 2007. Stocker, Thomas F.; et al. 7.5.2 Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 11 Februari 2007 Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare, J.K.B. Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl, D.A. Siegel, M.W. Silver, D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S. Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the ocean's twilight zone." Science 316: 567-570. Marsh, Nigel, Henrik, Svensmark (November 2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" (PDF). Space Science Reviews 94: 215-230. DOI:10.1023/A:1026723423896 Diakses pada 17 April 2007. Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12). Diakses pada 8 Mei 2007 Hegerl, Gabriele C.; et al. Understanding and Attributing Climate Change. (PDF) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 20 Mei 2007 Kutipan:

21

Recent estimates (Figure 9.9) indicate a relatively small combined effect of natural forcings on the global mean temperature evolution of the seconds half of the 20th century, with a small net cooling from the combined effects of solar and volcanic forcings http://www.ipcc.ch/ipccreports/ar4-syr.htm

22

Anda mungkin juga menyukai