Anda di halaman 1dari 3

Anton A.

Setyawan-Artikel Politik

MENJUAL SELEBRITI SEBAGAI PEMIMPIN DAERAH

Anton A. Setyawan
Dosen Fak Ekonomi Univ Muhammadiyah Surakarta dan Mahasiswa
Program Doktor Ilmu Pemasaran UGM
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta 571002
Telp : 0271-730021 (home) dan HP 08156718444
e-mail : agussetyawan-a@mailcity.com dan rmb_anton@yahoo.com

Kemenangan pasangan Ismet Iskandar dan Rano Karno sebagai


pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tangerang menandai sebuah
era baru dalam politik Indonesia. Baru kali ini, seorang selebriti (artis
sinetron/bintang film) menjadi pemimpin daerah. Rano Karno sebagai
bintang film, bintang sinetron dan sutradara kawakan sukses menerjuni
dunia politik dengan kemenangannya dalam Pilkada Kabupaten Tangerang.
Fenomena artis atau selebriti menjadi pemimpin sudah biasa di Amerika
Serikat. Sebagai contoh, Clint Eastwood yang pernah menjadi walikota dan
Arnold Schwarzeeneger yang sukses menjadi gubernur California. Bahkan
mantan presiden AS, almarhum Ronald Reagan adalah mantan bintang film
terkenal. Di kawasan Asia Tenggara, ada juga bintang film yang sukses
menjadi presiden, yaitu mantan presiden Filipina Joseph Estrada. Ada
kemungkinan pemilihan gubernur Jateng nanti juga diramaikan oleh calon
dari kalangan selebiriti yaitu perancang mode terkenal Poppy Dharsono,
yang menyatakan maju sebagai kandidat.

Partisipasi politik adalah hak setiap warga negara, demikian juga


halnya dengan hak untuk memilih dan dipilih. Selebriti Indonesia
merupakan bagian dari rakyat sehingga mereka juga mempunyai hak yang
sama. Hanya saja hal ini menjadi menarik karena mereka adalah public
figure yang sering menjadi pusat perhatian masyarakat. Artis adalah salah
satu kelompok selebriti. Selebriti dalam pengertian definitifnya adalah
pengikat masyarakat (Kasali, 2003). Keterlibatan mereka dalam pilkada
akan dianalisis sebagai bagian dari partisipasi warga negara Indonesia.
Selain itu, peran mereka sebagai vote getter bagi parpol yang mereka wakili.
Hal ini erat kaitannya dengan fenomena kesadaran politik di negara ini,
apakah keterlibatan mereka akan meningkatkan kesadaran politik rakyat
ataukah hanya menjadi salah satu “pemanis” dalam pilkada.

1
Fak. Ekonomi UMS-Februari 2008
Anton A. Setyawan-Artikel Politik

Analisis Perspektif Marketing dalam Politik

Sebenarnya kurang lazim untuk menjelaskan fenomena politik dari


perrspektif teori marketing, namun penulis tertarik untuk melakukannya,
karena fenomena artis dalam pemilu ini menyerupai penggunaan pop
marketing dalam dunia bisnis. Pop marketing adalah penggunaan fenomena
instant, popular dan massal (Kasali, 2003). Bagian dari ilmu pemasaran ini
digunakan untuk mengejar peningkatan penjualan dengan memanfaatkan
fenomena-fenomena atau figur yang populer. Namun, dampaknya tidak bisa
berlangsung lama. Hal ini sesuai dengan istilah budaya pop itu sendiri yang
berarti budaya populer yang cenderung pragmatis dan serba instant.

Konsep manajemen pemasaran untuk parpol adalah sama dengan


konsep manajemen untuk organisasi nir-laba. Sebuah artikel lama dari
Kotler & Levy (1969) dengan judul Broadening Concept of Marketing
mengemukakan, dalam konsep pemasaran bagi organisasi nir-laba,
penyampaian value kepada konsumen sangat tergantung dari praktik 4 P
yaitu price (harga), product (produk), place (distribusi) dan promotion
(promosi). Kebijakan harga terkait dengan seberapa berharga sebuah parpol
dimata pemilihnya. Pada saat parpol dianggap bernilai tinggi maka si
pemilih akan rela melakukan apa saja demi parpol tersebut. Kebijakan
produk berhubungan dengan program kerja parpol yang bersangkutan. Hal
ini meliputi apakah sebuah program kerja parpol aplikatif dan sesuai dengan
kebutuhan masa pemilihnya. Kebijakan distribusi terkait dengan keberadaan
parpol secara fisik diantara pemilihnya, yaitu pembukaan DPP, DPW, DPD
sampai dengan DPC dan DPRt. Adapun kebijakan promosi kaitannya
dengan mengkomunikasikan parpol tersebut dengan massa pemilihnya.
Pemanfaatan artis oleh parpol adalah bagian dari strategi promosi yang
dilakukan institusi nir-laba ini.

Pop marketing yang dilakukan parpol mempunyai dua implikasi yang


kontradiktif, yaitu positif dan negatif. Dari aspek negatif, penggunaan pop
marketing yang didasari dari budaya pop dengan segala “serba instant”
merupakan cerminan masyarakat Indonesia kontemporer yang serba ingin
cepat dan praktis, namun melupakan aspek yang lebih substansial. Aspek
substansial dari sebuah pemilu adalah keterlibatan rakyat dalam sebuah
pengambilan keputusan publik. Hal ini harus dilakukan karena menyangkut
nasib mereka sendiri. Pada saat parpol “menyamarkan” substansi tersebut
dalam sebuah kemasan menarik dari figur artis maka tidak akan terjadi
2
Fak. Ekonomi UMS-Februari 2008
Anton A. Setyawan-Artikel Politik

peningkatan pemahaman politik dari rakyat negeri ini. Adapun aspek


positifnya adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam pilkada. Partisipasi
rakyat Indonesia dalam pilkada rata-rata diatas 60 persen, hal ini
menunjukkan semangat mereka untuk terlibat dalam keputusan publik,
meskipun seringkali ditipu oleh elite politik. Selain itu, parpol yang
mempunyai niat baik untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat tidak
akan berhenti hanya menggunakan artis sebagai daya tarik, namun juga
sarana pendidikan politik.

Jangan Membohongi Rakyat

Saat ini hampir sebagian besar rakyat Indonesia kehilangan


kepercayaan terhadap pemerintah dan elite politik. Pemerintah dan legislatif
baik pada level pusat maupun daerah jauh dari harapan rakyat pemilih
karena kinerja mereka sangat buruk. Isu-isu krusial yang menjadi agenda
reformasi seperti pemberantasan KKN dan penegakan hukum sama sekali
tidak dilakukan. Elite politik hanya menggunakan isu-isu temporer jangka
pendek yang tidak berdampak langsung terhadap rakyat. Sebagai satu contoh
adalah penggunaan APBD oleh pemerintah daerah di Indonesia. Kualitas
pembelanjaan APBD yang didominasi oleh anggaran rutin dan kemandegan
banyak proyek pembangunan menunjukkan ketidakmampuan elite politik
daerah mengatasi masalah krusial di daerahnya sendiri. Padahal perencanaan
pembangunan sebagai bagian dari belanja APBD sangat penting untuk
dilakukan.

Dalam perspektif marketing rakyat negeri ini termasuk konsumen


yang irasional. Mereka melihat parpol tidak dari produk yang ditawarkan
yaitu program kerja lengkap dengan pelaksanaan janji-janjinya, melainkan
hanya dari figur siapa pemimpinnya dan kemasan manis lainnya termasuk
selebriti yang menjadi calon pemimpin. Hal ini menyebabkan parpol sebagai
penyedia jasa dengan mudah memanipulasi irasionalitas konsumennya. Para
pemimpin parpol tidak perlu repot-repot menyusun visi, misi dan program
kerja karena konsumen tidak akan memperhatikan. Mereka hanya perlu
mengemas parpolnya dengan “bungkus yang manis” termasuk mengundang
keterlibatan selebriti untuk membantunya. Pembodohan seperti ini akan
menghasilkan pemimpin daerah yang rendah kualitasnya.

3
Fak. Ekonomi UMS-Februari 2008

Anda mungkin juga menyukai