Anda di halaman 1dari 23

HALAMAN PENGESAHAN PRESENTASI KASUS DEMAM THYPOID

Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal 02 AGUSTUS 2010

Menyetujui Dokter Pembimbing

(dr. DWI AMBARWATI Sp.A)

BAB I PRESENTASI KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Alamat No.RM II. ANAMNESIS Keluhan utama: Demam Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan demam selama 7 hari, naik turun. Demam terjadi terus menerus dan meningkat pada malam hari. OS mengeluh pusing (+), nyeri kepala (-), menggigil (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), riwayat bepergian ke daerah endemis malaria (-), ruam di ekstrimitas dan badan (-), telinga merah (-), nyeri telinga (-), tidak ada cairan yang keluar dari telinga, mimisan (-), gusi berdarah (-), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan turun (+), Batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), seseg (-). BAK dbn, frekuensi 3-4 kali sehari, warna kuning, tidak nyeri. BAB terakhir 1 hari SMRS, setelah 3 hari tidak BAB, konsistensi padat. diare (-). Sebelumnya pasien sudah pernah diperiksakan ke puskesmas, namun tidak ada perubahan. Riwayat penyakit dahulu: Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat kejang (-), batuk (-), pilek (-). : An. R : 2 tahun : Laki-laki : Jungkup, Sidorejo Lor, Salatiga : 121788

Masuk Rumah Sakit : 27 Juli 2010 (14.10 WIB)

Riwayat penyakit keluarga: Dalam keluarga pasien tidak pernah sakit seperti ini. Demam (-). Riwayat kehamilan ibu: ANC dilakukan > 4 kali di bidan, keluhan selama kehamilan (-), kelainan (-). Riwayat Persalinan ibu: Lahir spontan di bidan, presentasi kepala, aterm (masa gestasi 39+2 minggu), BBLC (BBL 2700gr), langsung menangis (+). Riwayat pertumbuhan dan perkembangan Pertumbuhan dan perkembangan baik dan sesuai umur. Riwayat makanan Asi sampai usia 2 minggu, dilanjutkan dengan PASI.
Riwayat imunisasi Lengkap, dilakukan di puskesmas, ibu pasien menyatakan lupa tanggal dilakukan imunisasi. 0 bulan : BCG, Polio, Hepatitis B 2 bulan : Polio, Hepatitis B, DPT 4 bulan : Polio, DPT 6 bulan : Polio, DPT 7 bulan : Hepatitis B 9 bulan : camapak

Riwayat keluarga Susunan keluarga: pasien adalah anak pertama dan belum mempunyai saudara kandung.
Tabel.1 Data orangtua pasien

Nama Umur

Ayah Tn. S 25 tahun

Ibu Ny. SM 22 tahun


3

Pendidikan terakhir Agama Pekerjaan Alamat

SMP Islam Swasta Jungkup,

SMP Islam Ibu rumah tangga

Sidorejo Jungkup, Sidorejo Lor, Salatiga Lor, Salatiga

Riwayat perumahan dan sanitasi Pasien tinggal bersama kedua orang tua di desa Jungkup, Sidorejo Lor, Salatiga. Terdapat penerangan listrik dan sumber air berasal dari sumur. Tempat tinggal pasien jauh dari tempat pembuangan sampah dan jalan raya. Lingkungan rumah cukup bersih. Kesan: keadaan lingkungan tempat tinggal pasien baik. III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Sedang : Compos mentis : HR : 105 x/menit (kuat, regular) Suhu: 38,6 C RR:32 x/menit (regular) Data antropometri Berat badan Tinggi badan Status gizi : 11 kg : 92 cm : antara -2SD dan -1SD (gizi sedang)

A. Status Generalis 1. Pemeriksaan Kepala : Normosefali, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, edem pada muka (-/-). Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung (-)

Hidung Telinga Mulut Gigi geligi Tenggorok

: Bentuk normal, nafas cuping hidung -/-, sekret -/-, konka hiperemis (-) : Bentuk telinga normal, sekret -/-, nanah (-), ruam belakang telinga () : Mukosa mulut basah (+), hiperemis (-), sianosis (-) lidah kotor (+), tremor (-), koplik spot (-), stomatitis (-) : Karies (+), tidak nyeri, perdarahan gusi (-) : Faring hiperemis (-), tonsil hiperemis (-) membesar (-), uvula simetris ditengah

2. Pemeriksaan Leher : Pembesaran kelenjar limfonodi (-), JVP tidak meningkat 3. Pemeriksaan Thorak : Inspeksi Palpasi Perkusi : dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi dada(-), Iktus kordis tidak tampak. : Ketinggalan gerak (-), fokal fremitus kanan=kiri, tidak ada massa. NT (+) + pada VL. : seluruh lapangan paru sonor dx=sn Cor: S1S2 murni, regular. 4. Pemeriksaan Abdomen Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi : Simetris, Tidak tampak ada massa, sikatrik(-), flat, distensi (-) : Bising Usus (+) Normal : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar lien tidak teraba. : timpani (+), distensi (-) Auskultasi : paru: SD: Vesikuler normal, ST: ronkhi (-), wheezing (-)

5. Pemeriksaan Ekstrimitas : Akral hangat (+), oedema (-), CRT < 2, petechie spontan (-), RL tes (-)

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 27 Juli 2010 Darah Rutin Leukosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC Trombosit LED I II Hitung jenis leukosit Basofil Eosinofil Batang Segmen (36-66) Limfosit (22-40) Monosit : 4 % (4-8) : 31 % : 0 % (1-4) : 0 % (0-1) : 0 % (2-5) : 65 % : 37,4 : 80,5 fl (85-106) : 27,5 pg (28-31) : 34,2 g/dl (30-35) : 435 x 103 /uL (150-450) : 7 mm (L: 3-8 ; P: 6-11) : 12 mm (L: 5-18 ; P: 6-20) : 7,2 x 103 /uL (4,5-10) : 4,65 x 106/uL (L=4,5-5,5 ; P=4-5) : 12,8 g/dL (L=14-18 ; P=12-16)

Uji widal S. typhi O S. paratyphi A-O S. paratyphi B-O S. paratyphi C-O S. typhi H S. paratyphi A-H S. paratyphi B-H S. paratyphi C-H : 1/320 : (-) : 1/80 : 1/80 : 1/160 : (-) : (-) : (-)

V.

ASSESMENT Observasi febris H-8

VI.

DIAGNOSIS BANDING Thypoid Fever Infeksi Saluran Kemih DF DHF Malaria Campak OMA

VII.

DIAGNOSIS KERJA Thypoid Fever


7

VIII. PENATALAKSANAAN Rawat inap dan tirah baring Diit lunak IVFD Medikamentosa: IX. Injeksi antibiotik : ceftriaxone 2x250 mg Injeksi dexametashone ekstra 0,3ml Per oral: puyer: Antipiretik : Paracetamol 3x500 mg

FOLLOW UP a. Tanggal 28 Juli 2010 Keluhan : demam (+), mual (-), muntah (-), nyeri perut(-), batuk (+), dahak putih kental, pilek (-), makan/minum (+) <<, BAB (+) konsistensi padat, BAK (+) HR: 98 x/menit kuat, regular. Suhu: 37,6 C NT epigastrik (+) b. Tanggal 29 Juli 2010 Keluhan : demam (+), mual (-), muntah (-), batuk (+), pilek (-), makan/minum (+), BAB (+) sedikit, BAK (+). HR: 96 x/menit kuat, regular. Suhu: 37,4 C NT epigastrik (+) c. Tanggal 30 Juli 2010 Pasien pulang atas permintaan sendiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. DEFINISI Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi sistemik bersifat akut yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyers patch.1,4 Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal, mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya yang sangat luas. Di Indonesia penderita demam tifoid diperkirakan 800/100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir
9

sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.1,6 II. ETIOLOGI Sembilan puluh enam persen demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi dan sisanya adalah Salmonella paratyphi. Salmonella typhi termasuk dalam genus Salmonella (termasuk dalam genus ke IV). Termasuk keluarga Enterobactericeae.1 Berbentuk batang, bergerak dengan flagel perintih. Bakteri ini adalah bakteri gram negatif, motil, tidak membentuk spora. Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup dalam beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu, kotoran yang kering maupun dalam pakaian.
1,4,6

Menurut Reaksi biokimianya, Salmonella dapat dibagi menjadi tiga spesies: S. Typhi, S. Choleraesius, S. Enteritidis. Spesies Ini kemudian dibagi menjadi serotipe, yang diidentifikasikan menurut antigen-antigen O (Somatik) dan H (Flagelar) yang spesifik.1,4 Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang yang berada pada keadaan bakteremia kepada bayinya.1,6 III. PATOGENESIS Salmonella masuk bersama makanan/minuman ke dalam tubuh melalui mulut. Setelah melalui lambung, kuman mencapai usus halus. Di usus halus bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterikal ke sirkulasi darah (bakteremia

primer) mencapai RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah melalui periode inkubasi (lamanya ditentukan oleh respon imun pejamu dan jumlah serta virulensi kuman) maka Salmonella akan mengalami bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intraektraintestinal). Bakteri yang ada di darah akan memacu mediator kimiawi kemudian menimbulkan gejala klinis. Masa inkubasi 10-14 hari.1,4,6 Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi.1,9,10 IV. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis demam tifoid bervariasi, dari gejala ringan yang tidak memerlukan perawatan khusus sampai berat sehingga perlu dirawat. Semua pasien tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam yang timbul setiap hari akan meningkat bertahap mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan tinggi sampai minggu ke-4, kemudian demam turun perlahan secara lisis. Pada saat demam tinggi dapat terjadi gejala sistem saraf pusat, seperti gangguan kesadaran dari delirium, apati, sampai koma.1 Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan.
11

Gejala gastrointestinal penyakit tifoid bervariasi. pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, maupun konstipasi kemudian disusul episode diare. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus. Di Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali daripada splenomegali. 1,4,6 Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, sering dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstrimitas, dan punggung pada orang kulit putih. Pada anak Indonesia tidak pernah dilaporkan munculnya rose spot ini. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan 2-3 hari. Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak.1 V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : 1. Uji Widal Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan9,10 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas

dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).9,10 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat1,9,10 2. Tes TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang. 9,10 3. Enzyme immunoassay (EIA) Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
13

fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.9,10 Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.9,10 Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non- tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. 9,10 Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.10 4. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 5. Pemeriksaan dipstik. Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.9,10 Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan
15

adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas VI. DIAGNOSIS Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar riwayat penyakit, gambaran klinik dan laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang meningkat). Tapi tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Dari anamnesa dapat ditemukan demam yang naik bertahap tiap hari, suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, atau perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat ditemui penurunan kesadaran, kejang, dan ikterik. Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia (umumnya karena supresi sumsum tulan, defisiensi Fe, ataupun perdarahan usus), leukopenia, limfositosis relatif, trombositopenia (pada demam tifoid berat).1,4,6 Pemeriksaan laboratorium untuk konfirmasi kecurigaan tadi ialah kultur darah, dilakukan sewaktu ada demam tinggi yang merupakan pertanda bahwa kuman sedang menyebar dalam darah (sehingga lebih mudah dikultur).1 Kultur tidak bisa dilakukan pada hari permulaan demam karena cenderung masih negatif. Kita harus menunggu hingga demam sudah tinggi dan konstan (2 minggu pertama sakit). Biakan yang dilakukan dari urin dan feces kemungkinan keberhasilannya kecil. Biakan spesimen yang berasal dari sumsum tulang mempunyai sensitivitas tinggi, hasil positif pada 90% kasus akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik. Namun pengobatan sudah bisa dilakukan atas dasar penilaian klinis, sambil menunggu hasil kultur. Banyak peneliti yang

mengemukakan tes Widal kurang dapat dipercayai karena terlalu banyak test yang false positif (pada daerah endemis) maupun false negative (pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif) VII. PENATALAKSANAAN Tujuan perawatan dan pengobatan demam tifoid anak adalah meniadakan invasi kuman dan mempercepat pembasmian kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, mencegah relaps dan mempercepat penyembuhan. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi S.typhi berhubungan dengan keadaan bakteremia.1,4,5,6

Antibiotik : Kloramfenikol (drugs of choice) 50-100 mg/kg bb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Amoksisilin, 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari. Kotrimoksasol 6mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari. Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, IM atau IV, 1 kali sehari selama 5 hari. Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.

Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari IV, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik. Perawatan pada kasus demam tifoid biasanya bersifat simptomatis istirahat dan dietetik. Tirah baring sempurna terutama pada fase akut. Masukan cairan dan kalori perlu diperhatikan. Chloramphenicol adalah obat pilihan utama untuk demam tifoid sejak dikenalkan pada tahun 1948. Alternatif lain adalah ampicillin (atau amoxicillin) atau trimethoprimsulfamethoxazole. Tetapi multidrug resistance yang terjadi pada era 1970 1990 menyebabkan obat-obat tersebut saat ini lebih sering digantikan dengan
17

fluoroquinolone atau cephalosporin generasi ketiga. Anak baring terus di tempat tidur dan letak baring harus sering diubah-ubah. Lamanya sampai 5-7 hari bebas demam dan dilanjutkan mobilisasi bertahap yaitu : hari I duduk 2 x 15 menit, hari II duduk 2 x 30 menit, hari III jalan, hari IV pulang.1 Dahulu dianjurkan semua makanan saring, sekarang semua jenis makanan pada prinsipnya lunak, mudah dicerna, mengandung cukup cairan , kalori, serat, tinggi protein dan vitamin, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Makanan saring / lunak diberikan selama istirahat mutlak kemudian dikembalikan ke makanan bentuk semula secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari I makanan lunak, hari II makanan lunak, hari III makanan biasa, dst.1,6

VIII. PENCEGAHAN Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. S.typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57o C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air, pengaturan pembuangan sampah, serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi.1 Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadin demam tifoid. Vaksinasi ini disarankan bagi orang yang berisiko tinggi terkena demam tifoid, termasuk petugas laboratorium yang harus memeriksa sampel tinja penderita serta wisatawan yang bepergian ke daerah endemik tifoid. Sekarang dikenal 3 macam vaksin, yaitu berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup, dan komponen Vi dari Salmonella typhi. (i) Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. Paratyphi A, S.paratyphi B telah digunakan puluhan tahun dengan cara pemberian suntikan subkutan, daya kekebalannya terbatas,dan efek samping pada tempat penyuntikan cukup sering. (ii) Vaksin yang berisi S.typhi hidup yang dilemahkan (Ty21a) diberikan peroral 3x

dengan interval pemberian selang 1 hari, memberikan perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak > 2 tahun. (iii) ViCPS (Virulence polysaccharide antigen) yang berasal dari kapsul bakteri tersebut yang diawetkan dalam phenol dan diberikan melalui injeksi intramuskular atau subkutan dalam. Keadaan karier kronis dapat dibedakan dari infeksi dini melalui respon serologis terhadapVipolysaccharide, karena umumnya karier mempunyai titer antibodi yang sangat tinggi terhadap antigen tersebut. Vaksin yang berisi komponen Vi dari S.typhi memberikan perlindungan 6070% selama 3 tahun.

BAB III PEMBAHASAN Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.4 Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak, tersebar di mana-mana, dan ditemukan hampir sepanjang tahun. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun.1 Dengan keadaan seperti ini, adalah penting untuk melakukan pengenalan dini Demam Tifoid, yaitu adanya 3 komponen utama: Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan saluran pencernaan, dan Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran. Pada kasus ini ditemukan demam terus-menerus, meningkat pada malam hari, gangguan traktus gastrointestinal berupa mual dan nyeri perut regio epigastrik, tetapi pada pasien ini tidak ditemukan gangguan susunan saraf pusat. Gangguan kesadaran (delirium sampai koma) biasanya terdapat pada kasus demam tifoid berat. Pada kasus kali ini diagnosis banding DHF dapat disingkirkan karena pada uji bendung negatif, tidak ditemukan asites, pasien tidak mimisan, tidak ada perdarahan gusi, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan hepatomegali, dan pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan trombositopenia. Diagnosis banding
19

ISK dapat disingkirkan karena BAK pasien normal, frekuensi berkemih (3-4 kali sehari), berwarna kuning, tidak nyeri, dan tidak ditemukan nyeri pinggang. Otitis Media Akut dapat disingkirkan karena pada pasien ini tidak ada nyeri telinga maupun sekret atau nanah yang keluar lewat lubang telinga. Malaria dapat disingkirkan karena pada fase demam pasien tidak menggigil kemudian berkeringat, pasien juga tidak mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri otot, riwayat bepergian ke daerah endemis malaria dalam 1 bulan terakhir disangkal. diagnosis banding campak dapat disingkirkan karena pada tubuh pasien tidak ditemukan ruam kemerahan, koplik spot di mukosa bukal tidak ditemukan, batuk (-), hidung berair (-), mata merah (-), dan riwayat imunisasi campak (+). 11 Dalam mendiagnosis demam tifoid pada anak ini masih digunakan uji widal. Uji widal mempunyai kelemahan, yaitu:

Bisa memberikan hasil positif palsu pada anak yang sudah menerima vaksin tifoid. Indonesia merupakan daerah endemik tifoid (endemik = merata di seluruh kawasan tertentu). Kebanyakan kota besar di Indonesia seolah sudah seperti kakus terbuka raksasa, air yang tercemari oleh tinja penderita dengan mudah masuk ke dalam minuman atau makanan. Oleh karena itu, kemungkinan besar semua orang di kota besar Indonesia tidak ada yang tidak pernah menelan kuman tifoid. Dengan demikian, bila ditemukan seseorang di Indonesia yang mempuyai reaksi Widal positif, belum tentu menderita demam tifoid.1,9

Uji Widal memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas sedang (moderate). Pada kultur yang terbukti positif, uji Widal yang menunjukkan nilai negatif bisa mencapai 30 persen. 9,10 Obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, tetapi obat ini memiliki efek

samping yang mengakibatkan obat ini jarang dipakai. Efek sampingnya antara lain: Reaksi hematologik Terdapat dalam 2 bentuk yaitu; i.Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.

Kelainan ini berhubungan dengan dosis, menjadi sembuh dan pulih bila pengobatan dihentikan. Reaksi ini terlihat bila kadar Kloramfenikol dalam serum melampaui 25 mcg/ml. ii.Bentuk yang kedua bentuknya lebih buruk karena anemia yang terjadi bersifat menetap seperti anemia aplastik dengan pansitopenia. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Efek samping ini diduga disebabkan oleh adanya kelainan genetik. Reaksi alergi Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam Tifoid walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai. Reaksi saluran cerna Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis. Sindrom gray Pada bayi baru lahir, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kg BB) dapat timul sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke 9 masa terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusui, pernafasan cepat dan tidak teratur, perutkembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat. Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabuabuan; terjadi pula hipotermia (kedinginan). Reaksi neurologik Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala. Ceftriaxon, cefotaxime, dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant. Antibiotik ini menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu, dengan angka kegagalan 5-10%. Walaupun secara efisien membunuh Salmonella secara in vitro, cephalosporin generasi pertama dan
21

kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif menangani infeksi klinis. Penanganan standard dengan chloramphenicol atau amoxicillin terkait dengan angka relaps secara berturut-turut sebesar 5-15% atau 4-8% dimana quinolon jenis terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka penyembuhan yang lebih tinggi. Merebaknya typhoid multi drug resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek typhoid, terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara dimana penyakit ini menjadi endemik. 1,4,6

DAFTAR PUSTAKA 1. Soedarmo, Poorwo, S, dkk,. (2008). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. 2. Ranuh, I.G.N, dkk,. (2008). Pedoman Imunisasi Indonesia. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi 3. 3. Departemen Kesehatan,. (2008). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. Jakarta. 4. Pusponegoro, Hardiono D,. (2002). Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 5. Sukmagara, Jefri, dr, dkk,. (2008) Art of Therapy. Pustaka Cendekia Press Yogyakarta. 6. Mansjoer, Arif, dkk,. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jilid Kedua. Jakarta.
7. Neal, M.J,. (2005). At A Glance Farmakologi Medis. Edisi kelima. Erlangga, Jakarta.

8.

Soetjiningsih, dr, SpAk,. (2005) Tumbuh Kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

9. Prasetyo, R.V. & Ismoedijanto. (2006). Metode diagnosis demam tifoid pada Anak. Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo. Surabaya.

10. Myron, M., Levine., Grados, O., Robert, H., William, E., Rene, S. & Waldman,

W. (2001). Diagnostic Value of the Widal Test in Areas Endemic for Typhoid Fever. Semarang.
11. Sunarto. (2008). Diagnosis Klinis Awal: Dari Masalah Menuju Diagnosis. EGC.

Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai