Anda di halaman 1dari 5

M q n de i, g i w men de i y sh ng y ngyu n sh y sh b q ng zh sh fch r b qi hubo xing tiyng b n w nnu n qun shji Kasih ibu kepada beta

Tak terhingga sepanjang masa Hanya memberi tak harap kembali Bagai sang surya menyinari dunia

 Seorang pensiunan guru yang pernah menjadi guru terbaik nomor 3 di Taiwan, Lin Hong Chang (65), mengadaptasi lagu KASIH IBU di atas ke dalam lirik berbahasa mandarin. Dengan arti yang kurang lebih sama, beliau mengajarkan lagu ini, dan aneka lagu anak-anak Indonesia, di berbagai sekolah dasar yang memiliki murid dari perkawinan dua bangsa, Taiwan dan Indonesia. Lagu yang sangat sederhana dan mudah dinyanyikan ini menggambarkan kasih sayang seorang ibu, bagai sumbu bagi api, tak berpamrih, hangat sepanjang hayat. Menurut data pemerintah Taiwan, jumlah pasangan beda bangsa semakin meningkat. Sebanyak 19 % dari 45ribu pernikahan antarbangsa di Taiwan adalah dengan orang Indonesia. Satu dari setiap 6 bayi yang lahir merupakan anak dari pernikahan antarbangsa. Banyak di antara para ibu ini harus menghadapi masalah bahasa, budaya, kebiasaan, hubungan sosial dengan keluarga dan masyarakat,dan masalah pendidikan anak-anak mereka. Masih ditambah kerinduan akan kampung halaman. Menjadi ibu adalah salah satu pekerjaan paling berat di dunia. Tidak saja mengurusi anak dan keluarga, para ibu adalah pendidik pertama bagi putera-puterinya. Dia memiliki beban tanggungjawab untuk menjadikan putera puterinya sejahtera lahir batin. Bagaimanakah pula jika para wanita yang menyandang status ibu ini harus menjadi perantau di negeri seberang? Para wanita pemberani yang pergi jauh dari keluarga di Indonesia karena berbagai alasan, salah satunya ke Taiwan. Sekali lagi, dalam banyak keadaan, cinta menjadi alasan dan bahan bakar yang menyalakan sumbu keberanian mereka. Inilah sekelumit kisah mereka. ***

Seorang wanita paruh baya mengetuk-ketuk kapur ke papan tulis. Deretan tanda baca mandarin tertulis di sana. Ikuti saya, Pe.. Phe.. Me.. Fe.. ucapnya dalam bahasa mandarin. Serentak para murid mengikuti membaca setiap tanda baca yang ditunjuknya. Para murid kemudian belajar membaca dan menulis huruf-huruf mandarin yang diajarkan He Ju Zhi Laoshi. Setiap hari ada enam huruf baru. Kelas dipenuhi keceriaan dan canda tawa karena sang guru sering menceritakan kisah-kisah lucu atau berjoget di depan kelas. Guru berusia 70 tahun ini tidak mengajar murid-murid biasa. Mereka adalah para ibu dari Indonesia dan Vietnam yang menikah dengan orang Taiwan. Ada pula beberapa orang sepuh Taiwan yang mungkin ketika muda tidak mendapatkan pendidikan formal. Caswi (33) adalah salah satu di antara mereka. Setiap pukul 7 malam dari Senin hingga Kamis, ibu dari seorang putera ini berjalan atau mengayuh sepeda ke SD Tatong (Tatong Guo Siao) Chiayi tak jauh dari toko merangkap rumahnya, untuk belajar baca-tulis mandarin. Ada pula Lini (31) yang memiliki anak balita. Para ibu yang belajar di sekolah ini rata-rata memiliki anak yang masih berusia sekolah dasar. Saya tidak mau kalah dengan anak saya, Neng, ungkap Caswi suatu ketika. Setelah menyiapkan makan malam bagi suami dan puteranya, atau setelah selesai mengurusi toko Indo miliknya, dia bergegas menuju kelas di mana sang guru telah menunggu. Para ibu ini mendapat surat pemberitahuan dari pemerintah mengenai program belajar ini. Sejak 3 bulan lalu, SD Tatong di Chiayi sebagaimana berbagai SD di Taiwan menyelenggarakan sekolah non-formal baca-tulis mandarin. Siapapun boleh masuk sebagai murid dan tidak dipungut biaya. Para murid diberi buku pelajaran dan buku tulis. Terkadang mereka diberi pelajaran kerajinan tangan sebagai selingan. Kelas mandarin ini juga menjadi sarana bertemu para ibu dari berbagai bangsa untuk saling mengobrol dan berbagi informasi. Latar belakang mereka yang semula datang ke Taiwan untuk bekerja sebagai BMI tidak memberikan cukup bekal baca-tulis mandarin. Maka lewat program semacam ini para ibu ini dapat meningkatkan kemampuan mereka agar bisa mendampingi putera puteri mereka belajar dan mendidik mereka secara lebih baik. Mengikuti kelas bahasa mandarin sebanyak 72 jam juga menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan KTP Taiwan. Dengan memiliki bekal pengetahuan baca tulis mandarin yang memadai, merekapun dapat lebih mudah menangkap informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari label kemasan makanan, surat pemberitahuan dari pemerintah atau informasi di media massa yang mungkin berguna bagi keluarga mereka.

*** Selain kendala bahasa, boleh jadi kendala yang dihadapi para ibu adalah kehidupan di Taiwan itu sendiri. Beberapa wanita menikah dengan orang Taiwan ada pula yang harus menghadapi situasi rumah tangga yang sulit, dengan mertua yang serba menuntut atau suami yang abusive, suka dengan kekerasan. Keberadaan anak-anak seringkali menjadi alasan mereka bertahan dengan situasi sulit tersebut. Diam dan menerima keadaan. Yani (32, bukan nama sebenarnya) beberapa tahun yang lalu bekerja sebagai pengasuh anak-anak hingga kawan majikannya tertarik untuk mengajaknya menikah. Namun suaminya ternyata sering mabuk. Meski ia tahu hal itu tidak baik bagi perkembangan anak-anak mereka, namun tak banyak yang bisa diperbuat olehnya. *** Anak saya satu, perempuan, sekarang sedang belajar di pesantren, Mbak. Saya kerja keras di sini demi dia dan buat orang tua juga, ucap seorang wanita berusia tigapuluhan tahun yang bekerja di sebuah pabrik di Chungli, tanpa menyebutkan keberadaan suaminya. Dengan waktu kerja 12 jam atau lebih per hari dan satu hari libur pada akhir pekan kedua dan ke empat setiap bulannya, dia merasa sangat bersyukur bisa mengirim cukup uang ke kampung halaman. Anak saya juga pinter Mbak, sering menulis cerita pendek. Katanya pengin dibuat buku, lanjutnya lagi. Kerinduan nampak jelas di mata dan senyumannya. Tak ada keinginan agar sang putri membalas kebaikannya. Ia hanya berharap sang putri bisa menjadi sang sholehah penyejuk hati Seorang ibu lain yang bekerja di Tainan county bercerita, Suami saya ada kerja juga di Malaysia, tapi uangnya belum cukup buat sekolah anak-anak, buat nabung. Sekarang mereka dengan neneknya lah. Ketika ditanya mengenai anak-anaknya, ternyata ibu ini dua tahun lalu meninggalkan putera bungsunya sejak berusia kurang dari satu tahun di sebuah kota di Jawa Tengah. Seorang ibu tega meninggalkan puteranya dalam usia yang sangat dini tentu memiliki keberanian, keteguhan yang besar. Atau boleh jadi keterpaksaan. Namun toh mereka berangkat juga. Demi keluarga. Cerita lain lagi datang dari Nia, asal Indramayu. Datang ke Taiwan untuk bekerja dalam usia yang sangat muda, tahun kelahiran yang tertera di ARC dilebihkan dari tahun sebenarnya. Dia belum menikah dan belum berputera namun mengambil peran besar dalam menopang ekonomi keluarganya.

Awal saya datang ke Taiwan dua tahun lalu karena ibu saya masuk rumah sakit dan butuh biaya besar. Semua kakak saya tidak ada yang bisa menanggung. Dua tahun saya kerja di Taipei jaga akong, ibu saya meninggal. Lalu salah satu kakak saya kecelakaan dengan suaminya, dua-duanya meninggal. Saya punya tanggungan ponakan dari kakak saya ini. Saya kerja buat sekolahin dia. Alasan Nia datang ke Taiwan memang persoalan ekonomi, sebagaimana ratusan ribu orang lainnya yang berprofesi sama. Namun pendorong terbesarnya adalah kondisi kesehatan ibunya. Setelah ibu dan kakaknya meninggal, tanggungjawab pendidikan keponakan jatuh di pundaknya. *** Ada pula ibu yang bukan berasal dari kalangan pekerja migran. Ada pula yang pernah menempuh pendidikan formal kemudian menikah di Taiwan dan dapat bekerja di sektor publik. Seorang ibu muda berputra dua yang bekerja pada salah satu agen BMI di Chiayi berbagi mengenai bagaimana menjadi seorang ibu dari pernikahan antarbangsa. Tantangan yang harus dihadapinya adalah permasalahan adat budaya baik dengan suami maupun dengan mertua, kemandirian ekonomi, maupun agama. Dalam pernikahan, badai akan selalu ada. Masalah sama suami atau mertua itu pasti ada lah. Dulu pernah kepikir pengen pulang atau cerai saja. Tapi makin kita dewasa, makin bisa berpikir bijaksana. Ia menyarankan agar setiap ibu mandiri secara ekonomi dan memperjuangkan kebahagiaannya. Sehingga jika ada masalah dengan keluarga, ibu memiliki kekuatan atau posisi tawar dibandingkan yang tidak mandiri. Iapun menyarankan untuk mendidik anak-anak mereka dengan pengetahuan agama maupun kebudayaan Indonesia, agar anak-anak itu tidak kehilangan akar Indonesia sama sekali. *** Dengan semakin meningkatnya jumlah pelajar Indonesia di luar negeri, banyak pula ibu yang harus merantau ke negeri seberang untuk menuntut ilmu. Banyak di antara mereka yang tidak membawa keluarga namun ada pula yang membawa serta putera-puteri mereka ke Taiwan. Bagi para ibu sekaligus pelajar ini, mereka harus pandai-pandai membagi waktu dan bekerjasama dengan suami, yang umumnya juga menimba ilmu di Taiwan. Para ibu ini harus berjibaku di antara mengurus keluarga dan kewajiban-kewajiban akademik di samping kewajiban sosial melakukan pendampingan ruhani di masjid-masjid.

Seorang ibu yang sekaligus pelajar di Taipei memberi saran, jika kita menolong agama Allah, maka Insya Allah Dia akan memberikan banyak sekali kemudahan dalam studi maupun banyak hal. Itu terjadi pada saya. *** Hari ibu atau bukan hari ibu, sampaikanlah cintamu pada ibu selagi masih bisa, selagi masih ada waktu. Tak hanya lewat kata, namun juga lewat doa. Sebagaimana sang ibu juga selalu menyebut nama anak-anaknya dalam doa-doanya. Mu qin jie kuai le, Mama!

Anda mungkin juga menyukai