Anda di halaman 1dari 72

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas

Catatan-Catatan Pengalaman Capacity Building Kabupaten/Kota di Nanggroe Aceh Darussalam

Oleh: Emil E. Elip

Yogyakarta, Januari 2011

Pengantar: Maksud Buku Ini


Buku sederhana ini diangkat dari pengalaman-pengalaman penulis berinteraksi, baik dalam kesempatan ngobrol individul, diskusi kelompok, lokakarya maupun training Nanggroe Darussalam (NAD). Selama dua tahun lebih bergabung dengan program Aceh Local Governance Programme (GTZ-ALGAP/AGSI, 2007-2010), penulis sudah berinteraksi dengan hampir semua eselonsi di instansi, badan, kantor, dalam kesempatan informal maupun formal, dari Kab. Bener Meriah, Kab. Aceh Tengah, Kab. Pidie Jaya, Kab. Aceh Timur, Kab. Aceh Utara, Kab. Pidie, Kab. Aceh Besar, Kota Banda Aceh, dan Kota Sabang. Secara ringkas program dari GTZ itu bertujuan untuk mengembangkan kapasitas pemerintahan kabupaten/kota, dengan sasaran 23 kabupaten/kota di NAD. Desentralisasi dan otonomi daerah yang telah digulirkan Pemerintah Pusat menuntut kesiapan daerah (kabupaten/kota) dalam berbagai hal. Salah satunya adalah kesiapan dibidang kapasitas aparatur pemerintahan kabupaten/kota agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya baik dalam konteks unit kerjanya ataupun dalam konteks satu kesatuan sebagai sistem pemerintahan kabupaten/kota. Upaya pengembangan kapasitas ini sangat relevan dan urgent bagi NAD. Di latar belakangi oleh konflik yang panjang, bencana Tsunami 2004, dan MoU Helsinki, pemerintahan NAD termasuk dengan berbagai pihak di jajaran pemerintahan daerah dari beberapa kabupaten/kota di Aceh

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 1

pemerintahan kabupaten/kota di wilayahnya memerlukan semacam revitalisasi kembali. Revitalisasi ini tidak hanya internal pemerintahan, tetapi juga memformulasikan kembali dialog dan interaksi antara pemerintahan dan publik (masyarakat) Aceh. Sebagai kumpulan artikel tentang pengalaman lapangan, buku ini memang dimaksudkan untuk menghadirkan sebuah diskripsi. Jika sidang pembaca mengharap mendapatkan konsep-konsep yang mendalam mengenai pengembangan kapasitas, tentang desentralisasi, atau konsep mengenai goodgovernance, maka buku ini tidak dimaksudkan untuk memenuhi harapan yang semacam itu. Buku ini sekedar ingin menyajikan sebuah sharing pengalaman serta kerja-kerja lapangan dalam hal pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dari berbagai kabupaten/kota di NAD. Pengembangan kapasitas pemerintahan daerah tentu saja akan menyinggung pula tema-tema seperti goodgovernance, desentralisasi, transparansi keuangan, kebijakan dan regulasi daerah, dll. Kehadiran buku ini di hadapan sidang pembaca diharapkan akan menyajikan secuil gambaran akan realitas tatapemerintahan di NAD. Meskipun buku ini diangkat berdasarkan pengalaman dalam kerja-kerja lapangan bersama program GTZ tersebut, namun isi tentang buku ini sepenuhnya merupakan intepretasi dan tanggung jawab penulis. Buku ini tidak mewakili gambaran keseluruhan content program GTZ tersebut .

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 2

Melalui buku ini refleksi baru atas pemahaman kita terhadap realitas capacity bulding pemerintahan daerah (kabupaten) di NAD semoga hadir di dalam diri kita.

Yogyakarta, Januari 2011 Selamat membaca, Emil E. Elip

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 3

Daftar Isi
Pengantar: Maksud Buku Ini | Hal. 1 | Hal. 5 Hal. 14 | Hal. 19

1. Capacity Building: Selayang Pandang

2. SDM: Kebutuhan yang Mendesak di Aceh | 3. Menuju The Right Men in The Right Place 4. Sebuah Contoh Kasus: Saudara Dalam Praktik Birokrasi Pemerintahan |

Hal. 30 | Hal. 38

5. Tiga Gangguan Proses Akumulasi Kapasitas 6. Potret Laku Sistem Perencanaan Daerah |

Hal. 42 Hal. 53

7. Penyusunan Resntra: Dari Tender ke Mandiri | 8. Potret Tentang Organisasi SKPK 9. Penutup | Hal. 69 | Hal. 60

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 4

1. Capacity Building: Selayang Pandang


Pengembangan Kapasitas: Apa Itu? 1
Pertanyaan mendasar pertama yang perlu dijawab adalah apakah kapasitas itu?. Memang banyak definisi diajukan mengenai apa kapasitas itu, namun umumya semua konsep dan definisi tersebut mengacu pada kemampuan individu atau organisasi untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sesungguhnya kapasitas berarti lebih dari sekadar kompetensi teknis, atau ketersediaan sumber daya keuangan dan materiil yang memadai. Sebagian besar orang menganggap kapasitas sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, multidimensi, dan secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor kontekstual (Brown et.al. 2001). Kapasitas dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan khusus dengan tugas, dan batasanbatasan kapasitas bersifat spesifik karena berkaitan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi atau sistem tertentu pada suatu jangka waktu tertentu (Milen 2001). Kapasitas dapat memiliki konotasi kuantitatif, tetapi seringkali dihubungkan dengan pertimbanganpertimbangan kualitatif. Kapasitas dapat dilihat baik sebagai suatu proses maupun sebagai hasil.
1

Disarikan dari Modul Capacity Building Need Assessment (CBNA): GTZALGAP; Banda Aceh, 2007 Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 5

Kapasitas adalah kemampuan seorang individu, sebuah organisasi atau sebuah sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan mencapai tujuan-tujuan secara efektif dan efisien. Hal ini harus didasari pada suatu tinjauan yang terus-menerus terhadap kondisi-kondisi kerangka kerja,dan pada penyesuaian dinamis dari fungsi-fungsi dan tujuan. Kapasitas dapat diukur secara kuantitatif, tetapi dalam konteks pemerintahan daerah dan penyediaan layanan hal itu seringkali dilihat dari sudut pandang bagaimana proses pengambilan keputusan dilakukan, mutu layanan apa yang akan diberikan, dan apa hasil dan dampak yang dicapai. Banyak alat dan instrumen pengkajian kapasitas organisasi yang mengukur kapasitas organisasi sebagaimana dipersepsikan oleh para anggota organisasi yang bersangkutan, dan kadang-kadang melengkapi kajian internal ini dengan pandangan luar, yaitu pengkajian kapasitas organisasi sebagaimana dilihat oleh stakeholder di luar organisasi (misalnya: pelanggannya). Apabila tolok ukur mutu (quality benchmarks) telah ditetapkan untuk layanan tertentu, tolok ukur tersebut dapat dipergunakan sebagai alat ukur untuk mengkaji kapasitas organisasi tersebut. Perbandingan dengan organisasi sejenis dalam konteks yang sama (misalnya memperbandingkan kinerja/prestasi satu Dinas Pertanian dengan Dinas Pertanian yang lain) juga dapat menghasilkan penilaian yang signifikan tentang kapasitas organisasi tersebut.

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 6

Pengembangan

kapasitas

adalah

suatu

proses

yang

meningkatkan kemampuan orang, organisasi atau sistem untuk mencapai maksud dan tujuan yang telah ditetapkan (Brown et.al. 2001). Pengembangan kapasitas dapat dilihat sebagai suatu proses untuk melakukan, atau menggerakkan, perubahan di berbagai tingkatan (individu, kelompok, organisasi dan sistem) untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan penyesuaian diri dari orang dan organisasi sehingga mereka dapat merespons lingkungannya yang selalu berubah (Morrison 2001). Dengan demikian, pengembangan kapasitas adalah menciptakan organisasi pembelajaran. Pengembangan kapasitas, seperti halnya kapasitas, bersifat spesifik terhadap tugas, dan sementara itu mungkin terdapat alat dan instrumen yang sama untuk digunakan, program pengembangan kapasitas harus dirancang sesuai dengan keadaan khusus setempat (Milen 2001). Walaupun pengembangan kapasitas terdiri atas tahapan (seperti pengkajian, perumusan strategi, pelaksanaan tindakantindakan, pemantauan dan evaluasi, serta perencanaan kembali) yang berkaitan secara erat satu sama yang lain, kejadiannya tidak harus selalu berurutan secara linier (Milen 2001). Pengembangan kapasitas harus meliputi berbagai tingkatan yang berbeda, seperti tingkatan individu, tingkatan kelembagaan (organisasi), dan tingkatan sistem (UNDP 1998). Pengembangan kapasitas dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok, organisasi, atau masyarakat untuk (i) menganalisis lingkungan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 7

mereka, (ii) mengidentifikasi masalah-masalah, kebutuhan, isuisu dan peluang, (iii) merumuskan strategi untuk mengatasi masalahmasalah, isu-isu dan kebutuhan tersebut, dan memanfaatkan peluang yang relevan, (iv) merancang sebuah rencana tindak, dan (v) mengumpulkan dan mempergunakan secara efektif dan atas dasar sumber daya yang berkelanjutan untuk melaksanakan, memantau dan mengevaluasi rencanarencana tindak tersebut, dan (vi) mempergunakan umpan balik untuk pembelajaran (ACBF 2001). Sebagaimana dapat dilihat berdasarkan definisi di atas, pengembangan kapasitas bersifat lebih luas dari sekadar mengirimkan staf untuk mengikuti program pelatihan. Dalam rangka pengembangan kapasitas, seseorang juga harus mempertimbangkan cara staf tersebut dapat memanfaatkan pengetahuan dan keahliannya yang baru, seseorang harus mempertimbangkan misalnya apakah sistem kerja di lembaga yang bersangkutan memungkinkan mereka untuk mencapai kinerja yang baik, seseorang harus mengkaji struktur organisasi dari lembaga tersebut dan hubungannya dengan lembaga lainnya dalam pemerintahan daerah. Karena hanya dengan cara seperti demikianlah seseorang dapat memastikan bahwa kapasitas pada tingkatan individu akan meningkat (anggota staf yang mengikuti pelatihan dapat belajar sesuatu yang baru), dan bahwa terdapat dampak positif pada cara institusi bersangkutan memberikan layanannya pengembangan kapasitas kelembagaan) dan memberikan kontribusi kepada perbaikan proses secara keseluruhan dan kondisi pembangunan daerah.
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 8

Komprehensif, Non-Partsial, dan Sistemik


Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa pengembangan kapasitas banyak dipahami semata-mata sebagai sebuah tindakan untuk mengirimkan staff ke pusat-pusat pelatihan, kursus-kursus, atau menyekolahkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Banyak sekali kasus menunjukkan bahwa sekembalinya mereka dari pendidikan tersebut mereka tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun sebagian besar dari mereka menginginkan agar dapat mengimplementasikan ilmu yang pernah mereka peroleh. Ada beberapa kendala mengapa upaya peningkatan kapasitas yang semacam ini tidak aplikable. Pertama, adalah dari sudut individu yang dikirim untuk dikembangkan kapasitasnya. Pemilihan seorang individu tidak didasarkan pada prediksi kebutuhan tertentu di lembaga bersangkutan. Dengan kata lain individu tersebut dikirim dengan asal tunjuk, atau karena ada hubungan tertentu dengan penguasa. Kedua, baik sistem, perundangan, atau peraturan di instansi bersangkutan tidak disiapkan untuk mengantisipasi keinginankeinginan perbaikan dan perubahan yang dibawa oleh individu bersangkutan, sekembalinya dia dari mengikuti training, kursus, atau pendidikan lanjutan. Akibatnya ilmu dan ketrampilan yang terlah dimiliki menjadi membeku. Ada banyak dari mereka menjadi putus asa karena institusi di mana dia bekerja seakan-akan tidak mengakomodir ide-ide gagasan-gagasan baru.

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 9

Ketiga, ada banyak anggapan atau landasan pikiran bahwa mengirim orang untuk training, kursus, atau pendidikan lanjutan tersebut bukan demi kepentingan institusional atau perkembangan sistem kerja. Hal demikian juga dipahami bagi si individu yang dikirim, bahwa keberangkatannya untuk meningkatan kapasitas adalah anugerah dan keuntungan invidual semata demi meningkatkan kum atau akreditasi idividual, dan tidak mau tahu demi kepentingan kelembagaan. Penjelasan di atas menggambarkan dengan cukup jelas bahwa di banyak terjadi, kapasitas kasus yang pengembangan diimplemenTidak sedikit staf di pemerintah daerah kabupaten/kota yang telah dikirim untuk mengikuti training dan kursus mengenai Renstra (Rencana Strategis). Namun sistem penyusunan renstra dan isi renstra di dinas-dinas di berbagai kabupaten/kota dari tahun ke tahun isinya sama saja. Visi misinya kurang jelas, outputnya mengawang, programnya itu-itu saja, tidak berbasis kondisi terkini. Dengan kata lain: Copy Paste.

tasikan secara partsial, sepotong-potong.

Pokoknya asal sudah mengirimkan staff ke training, kursus, atau jenjang pendidikan lebih tinggi, sudah disebut upaya pengembangan kapasitas. Persoalan-persoalan apakah individu tersebut cocok dengan pendidikan yang akan diperoleh, apakah lembaga mempersiapkan sebuah posisi, peraturan kerja atau rencana pengembangan tertentu setelah si individu pulang dari pendidikannya, tidak dipertimbangkan dengan matang. Artinya bahwa perangkat perubahan sistem perundangan-peraturan dan kelembagaan tidak dipertimbangkan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 10

dengan matang akibat dari perubahan akan pembaharuan dari seseorang yang telah dikirim untuk dikembangkan kapasitasnya. Jadi pengembangan kapasitas itu menyangkut tiga aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pertama, pengembangan kapasitas individual staff atau karyawan. Kedua, pengembangan kapasitas dibidang yang terkait dengan tata laksana organisasi/institusi. Ketiga, pengembangan kapasitas yang terkait dengan perangkat sistem, peraturan, atau perundangan. Bagan berikut ini menggambarkan keterkaitan ketiga hal tersebut di atas.
Bagan 1.

Pengembangan Kapasitas Sebagai Kesatuan Sistem


Peraturan perundangan Kebijakan pendukung

Tingkatan Sistim

Tingkatan Lembaga

Sumber Daya Ketatalaksanaan Struktur Organisasi Pengambilan Keputusan

Kapasitas Pemerintahan Daerah

Tingkatan Individu

Pengetahuan Keterampilan Kompetensi Etika

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 11

Pengembangan Kapasitas Demi Good Governance


Jawaban dari setiap pertanyaan apakah perlu pengembangan kapasitas itu? bagi para personil birokrasi di ekskutif maupun legislatif pemerintahan daerah? Jawaban konvensional yang biasanya muncul adalah sangat perlu, karena akan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka sehingga kinerja mereka membaik. Para birokrat tersebut dimungkinkan akan meningkat pula kesejahteraannya, karena eselonsi dan atau akreditasi mereka meningkat. Dan memang hanya seperti inilah yang akan diperoleh oleh suatu sistem pemerintahan daerah, jika konteks pengembangan kapasitas terus menerus dianggap sebagai individual approach. Lantas dimanakah pemerintahan daerah sebagai suatu sistem memperoleh manfaat karena telah mengembangkan kapasitas para personil birokrasinya? Muara dari semua pertanyaan itu adalah apakah manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat (rakyat) di suatu wilayah pemerintahan daerah, setelah pemerintahan tersebut menjalankan program pengembangan kapasitas dengan mengirimkan para personilnya mengikuti pendidikan kemana-mana. Apakah arah pembangunan pemerintahan daerah menjadi lebih jelas? Apakah sistem dan kinerja birokrat menjadi lebih efektif dan efisien? Apakah pelayanan publik membaik, mudah, murah, tidak berbelit-belit? Agaknya pengembangan kapasitas di suatu pemerintahan daerah harus selalu diletakkan dalam koteks kriteria-kriteria menuju tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Apakah Good
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 12

Governance itu? Meskipun banyak penafsiran mengenai Good Governance, namun pada hakekatnya mengarah kepada suatu pengertian yaitu pencapaian suatu kondisi penyelenggaraan kepemerintahan secara seimbang oleh semua sektor 2 . Setiap aktor harus tahu apa yang dilakukan oleh sektor lainnya melalui terbangunnya ruang koordinasi dan dialog untuk saling memberikan masukan dan perbaikan. Dan ujung dari proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik tersebut adalah demi tercapainya kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Good Governance merupakan trend performa tata kelola pemerintahan daerah saat ini. Minimal ada tiga aspek yang harus dilakukan perbaikan di tibih tatakelola pemerintahan daerah agar mampu menuju kondisi Good Governance. Pertama, reformasi perundangan dan kebijakan. Kedua, reformasi birokrasi pemerintahan. Ketiga, reformasi pelayanan publik (Riza Nirsali, 2006 dan Sofian Effendi, 2009) 3 . []

Lihat buku Transparansi, Akuntabilitas, Integritas dalam Pelaksanaan Proyek dan Pengelolaan Keuangan. Support for Good Governance (SfGG): GTZJakarta, April 2007. 3 Lihat Pemberantasan Korupsi Melalui Good Governanve oleh Riza Nirzali, disampaikan dalam Seminar Perkembangan Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindak Pidana Khusus, Kerjasama FakultasHukum Unsyiah dengan Forum HEDS, Banda Aceh, 7 Oktober 2006. Lihat juga Agenda Reformasi Birokrasi Pemerinthan yang Responsif, Efisien dan Effektif-bahan presentasi Seminar Nasional Reformasi Birokrasi: Agenda Pembangunan Nasional 2010 2014, Bappenas-Pilhukam, Jakarta 2 Juli 2009. Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 13

2. SDM: Kebutuhan yang Mendesak di Aceh


Pemerintah Aceh pasca MoU Helsinki bisa dibayangkan semacam gerbong kereta api yang sedang membawa penumpang dan bagian-bagiannya yang kompleks menuju suatu tata kelola pemerintahan yang lebih ideal. Tentu saja diharapkan bahwa gerbong tersebut membawa harapan baru bagi masyarakatnya menuju sekesajteraan yang lebih baik pasca konflik dan Tsunami. Pemerintah-pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam sedang berpacu meningkatkan performance gerbong pemerintahannya yang bermanfaat bagi rakyat mereka di wilayah masing-masing. Pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat. Di seluruh tata kelola organisasi maupun institusi, baik NGO, swasta, maupun pemerintah, maka tingkat pendidikan staf atau pegawainya adalah modal utama. Memang bahwa tingkat pendidikan ini hanyalah salah satu sekian institusi good good
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 14

saja

dari banyak

kriteri agar sebuah memiliki corporate

governance atau

Tabel Tingkat Pendidikan PNS di Kota Sabang No. Pendidikan Jumlah Prosentase 1. SD 21 1,07 2. SLTP 40 2,04 3. SLTA 606 30,86 4. Diploma I 63 3,51 5. Diploma II 137 6,98 6. Diploma III 207 10,54 7. Sarjana (S1) 840 42,76 8. Pasca Sarjana 44 2,24 Total 1964 100 Sumber: BKD Kota Sabang 2007 (Diolah kembali)

governance. Berikut ini akan dipaparkan sekedar untuk memberikan gambaran secara umum bagaimana kondisi tingkat pendidikan para pegawai negeri di beberapa kabupaten/kota di Aceh.
Tabel Tingkat Pendidikan PNS di Kab. Gayo Luwes No. Pendidikan Jumlah Prosentase 1. SD 24 0,93 2. SLTP 39 1,51 3. SLTA 933 36,06 4. Diploma I 65 2,51 5. Diploma II 509 19,68 6. Diploma III 237 9,16 7. Sarjana (S1) 757 29,26 8. Pasca Sarjana 23 0,89 Total 2587 100 Sumber: BKPP Kab. Gayo Luwes, 2008 (Diolah kembali) Tebel Tingkat Pendidikan PNSdi Kab. Aceh Singkil No. Pendidikan Jumlah Prosentase 1. SD 4 0,17 2. SLTP 35 1,46 3. SLTA 951 39,59 4. Diploma II 359 14,95 5. Diploma III 249 10,37 6. Sarjana (S1) 774 32,22 7. Pasca Sarjana 30 1,25 Total 2402 100 Sumber: BKPP Kab. Aceh Singkil, 2008 (Diolah Kembali)

Di Kota Sabang, misalnya, tingkat pendidikan ratarata PNS-nya didominasi jenjang selain S1, juga tingkat SLTA yang besarnya mencapai 30,86%. Kondisi ini masih cukup baik karena tumpuan masih kualitas bisa peme- rintahan

diharapkan dari Diploma III ke atas, yang jumlahnya lebih dari 50% dari jumlah PNS yang ada. Kondidi di Kota Sabang agaknya sedikit lebih baik dibandingkan dengan yang ada di salah satu kabupaten di wilayah pegunungan Tengah Aceh, yaitu Kabupaten Gayo Luwes. Dii kabupaten ini donimasi tingkat pendidikan PNS-nya adalah setingkat
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 15

SLTA yang mencapai 933 orang (36,06%). Kondisi ini setidaknya dapat diintepretasikan bahwa gerbong pemerintahan di kabupaten ini didominasi oleh staff dengan kadar pendidikan yang masih redah. Umumnya mereka ini adalah para staff administrasi atau staff bawahan di suatu bagian, yang tidak memiliki kewenangan dan kekuatan pengambilan keputusan. Membengkaknya kelompok pegawai negeri berstatus pendidikan SLTA ini tidak hanya terjadi di 3 wilayah tersebut. Namun terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota. Ada beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebabnya. Pertama, memang cukup sulit mencari tenaga berpendidikan minimal S1 di daerah-daerah. Kedua, dikarenakan rekrutmen tenaga honorer dilakukan tanpa dirancang dengan matang. Di latarbelakangi dengan sistem tata laksana organisasi SKPK yang kurang baik dalam hal kurang jelasnya job description yang kemudian berdampak pada tidak meratanya pemerataan beban kerja, maka tumbuh berbagai kondisi indisipliner pegawai. Diakui oleh banyak pegawai bahkan juga beberapa
Salah satu penyebabnya adalah job description yang kurang jelas dan merata. Pekerjaan menumpuk pada seseorang, sementara lainnya cenderung menganggur.

pegawai dalam posisi jabatan penting di Dinas Kepegawaian Pendidikan dan Patihan (DKPP), bahwa rata-rata pegawai kurang disiplin. Salah satu penyebabnya adalah job description yang kurang jelas dan kurang merata. Pekerjaan bertumpuk pada seseorang,
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 16

sementara yang lainnya cenderung menganggur, dan ini berdampak pada seringnya pegawai tidak masuk kantor atau keluyuran pada jam kerja. Kebutuhan Ke Depan Propinsi NAD tidak hanya membutuhkan orang pintar saja ke depan. Saya kira bagi Aceh ini merupakan hal yang mudah saja karena saya melihat potensi besar orang-orang Aceh mengenai daya kritis dan strugle for life-nya. Tidak sedikit ilmuwan-ilmuwan negeri ini yang berasal dari Aceh, entah dimasa perjuangan kemerdekaan dulu maupun era dewasa ini. Sementara itu hal yang enteng bagi propinsi ini, karena ketersediaan dana yang relatif melimpah dibanding propinsi lain, untuk menyekolahkan putra-putra dearahnya yang potensial ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Persoalan yang perlu dipikirkan bersama antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota yang paling utama yaitu bagaimana meningkatkan taraf pendidikan masyarakatnya, khususnya yang di wilayah-wilayah terisolir. Tema persoalan berikutnya, yaitu yang lebih terkait dengan gerbong percepatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan adalah membaca peningkatan SDM di bidang dan sektor mana yang perlu dikembangkan dalam mengantasipasi Aceh 10 atau 20 tahun mendatang. Pembacaan kebutuhan SDM ini mestinya dimulai dengan visi dan misi apa yang diinginkan Aceh dalam pembangunan 10 atau 20 tahun mendatang. Aceh pasca konflik sampai akhir tahun 2010,
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 17

menurut pembacaan penulis belum mempunyai arah pembangunan yang jelas. Sudah amat banyak kritik pembangunan dari masyarakat Aceh, para aktivis LSM, maupun para pakar yang amat menyesalkan ketidakjelasan mau di bawa ke mana Aceh 20 tahun mendatang. Jika visi dan misi propinsi Aceh cukup jelas 20 tahun mendatang, begitu visi dan misi pemerintah kabupaten/kotanya, maka baru bisa dirancang capacity building para birokratnya khususnya pengembangan kapasitas yang terkait pembangunan ke depan, baik dalam perencanaan, kesehatan, pendidikan, pengembangan berbagai sektor ekonomi, tata pemerintahan, pengembangan qanun, dll. []

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 18

3. Menuju The Right Men in The Right Place


The Right Men in The Right Place sudah menjadi semacam motto atau jargon bagi setiap upaya penataan pengembangan sumber daya manusia, atau penataan kepegawaian/staff di lembaga, instansi, atau organisasi baik di lingkungan pemerintah, swasta, maupun LSM. Ada banyak sekali aliran pendekatan dan konsep yang berkaitan dengan upaya mewujudkan the right men in right place. Namun secara sederhana saja, motto tersebut hendak mengingatkan kita bahwa kinerja dan nilai tambah seseorang akan sangat didukung oleh kecocokan antara pengalaman-nya dan posisi atau jenis pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan kata lain harus dilakukan dengan suatu proses yang terencana untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya. Tentulah pekerjaan yang begitu besar dan hampir tidak mungkin dilakukan oleh penulis, untuk mereview kondisi dan situasi tata-kelola sumber daya manusia (SDM) pegawai dari seluruh kabupaten/kota wilayah di NAD. Oleh karena itu pembahasan mengenai situasi SDM atau kasus-kasus yang melatarbelakangi diskusi mengenai SDM di sini, adalah berdasarkan kondisi di tiga kabupaten utama dimana penulis pernah menjadi fasilitator. Ketyiga kabupaten itu adalah dua di wilayah pegunungan Tengah Aceh dan satu kabupaten di wilayah pesisir Timur bagian Utara. Gambaran mengenai SDM tersebut akan diperkaya dengan kondisi-kondisi
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 19

wilayah NAD yang lain berdasarkan laporan-laporan kegiatan pengembangan kapasitas di kabupaten/kota lain. Secara umum dan kurang lebih terjadi di seluruh kabupaten/kota di NAD mengenai The Right Man in The Right Place dalam problema tatakelola kepegawaian, adalah menyangkut sedikitnya sebagai berikut: Pertama, rekrutmen SDM pegawai belum berlandaskan pada analisa kebutuhan pegawai. Kedua, belum tersedia data yang memadai secara komprehensif dan terbaharukan mengenai data-data pegawai. Ketiga, kurang tepatnya penempatan aparatur pada posisinya sesuai dengan pengalaman kerja dan karir. Keempat, lemahnya sistem pengembagan kapasitas SDM dan kesempatan. Kelima, kurangnya pemantauan terhadap kinerja aparatur. Berikut ini disajikan sebuah kasus yang beraitan dengan berbagai kesenjangan di bidang kepegawaian, yang diambil dari hasil assessment di salah satu kabupaten di wilayah pegunungan di Nanggroe Aceh Darussalam. Rekrutmen pegawai belum berlandaskan pada analisa kebutuhan. Salah satu kesenjangan yang terkait dengan rekrutmen pegawai baru di kabupaten ini adalah bahwa proses rekrutmen belum berdasarkan pada analisa kebutuhan pegawai (misalnya bidang yang dibutuhkan, standar tingkat pendidikan yang dibutuhkan, dll). Hanya di SKPK-SKPK (Satuan Kerja Perangkat Kabupaten) teknis seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan dan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 20

Pengajaran, bidang atau latar pendidikan pegawai baru yang dibutuhkan relatif lebih jelas, terutama adalah tenaga berlatar pendidikan bidang kesehatan atau berlatar pendidikan guru. Dalam beberapa tahun terakhir rekrutmen pegawai di kabupaten ini lebih dilandasi oleh target pemenuhan jumlah pegawai. SKPKSKPK biasanya mengajukan kebutuhan tenaga baru kepada bupati berlandaskan pada perkiraan kebutuhan jumlah pegawai baru. Kompetensi calon pegawai tentu saja menjadi soal yang relatif kurang penting dipertimbangkan. Sementara itu disinyalir masih ada intervensi kepentingan tertentu dalam proses rekrutmen pegawai baru tersebut. Lemahnya data base kepegawaian Salah satu masalah yang meluas hampir diseluruh kabupaten/kota di Aceh, termasuk di kabupaten ini, adalah manajemen data base kepegawaian yang sangat lemah. Dinas Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (DKPP) belum memiliki data pegawai yang yang komprehensif memuat
Salah satu masalah yang meluas di seluruh kabupaten/kota di Aceh adalah manajemen data base kepegawaian yang sangat lemah

Golongan, Pangkat, Latar belakang pendidikan formal, Tahun masuk, Diklat Teknis maupun Diklat fungsional yang pernah diikuti untuk setiap pegawai. Terkadang DKPP hanya mempunyai rekap DUK (Daftar Urut Kepegawaian) yang sesungguhnya

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 21

kurang memadai dipakai sebagai bahan analisa persoalanpersoalan yang terkait dengan manajemen kepegawaian. Lemahnya penataan dan penempatan aparatur Penataan dan penempatan aparatur di Kab. Bener Meriah juga mengalami berbagai kendala. Beberapa kesenjangan utama dalam masalah penataan dan penempatan aparatur ini antara lain: Pertama, terutama dalam hal bahwa posisi jabatan yang ada ditempati oleh aparatur yang kompetensinya secara pendidikan dan pengalaman diklatnya (diklat teknis dan diklat fungsional) kurang sesuai atau kurang memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Hal ini terkait pula dengan kurang berkembangnya perencana pengembangan karir terhadap aparatur melalui pendidikan dan latihan, yang akan dibahas dalam point tersendiri. Permasalahan Kedua, belum pernah dilakukan analisa terhadap kompetensi aparatur yang ada di Kab. Bener Meriah untuk keperluan pengaturan penempatan aparatur pada posisi-posisi jabatan yang ada. Penempatan aparatur pada jabatan masih berlandaskan pada keseuaian golongan saja. Ketiga, tim Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) belum berfungsi secara efektif sebagai lembaga yang memberikan masukan terhadap penataan dan penempatan aparatur pada posisi-posisi jabatan yang ada. Kurangnya pembinaan terhadap motivasi dan kedisiplinan pegawai
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 22

Ada dua kesenjangan utama yang berpengaruh terhadap kondisi kurangnya motivasi dan kedisiplinan pegawai. Pertama, belum diterapkannya Apel Pegawai di seluruh SKPK di Kab. Bener menerapkan mekanisme Apel Pegawai sebagai salah satu upaya meningkatkan kedisiplinan pegawai. Mekanisme ini baru berjalan di lingkungan Sekdakab Bener Meriah. Kedua, kebijakan reward yang diberikan ke pegawai melalui TPK (Tunjangan Prestasi Kerja) dirasa masih belum mencukupi. Hal ini terkait dengan kondisi APBD Bener Meriah yang kecil. Lemahnya pemantauan terhadap kinerja dan kompetensi pegawai Pembangunan sebuah kabupaten, apalagi kabupaten baru seperti Bener Meriah, sangat didukung oleh semangat mengabdi, kinerja dan kompetensi aparatur yang mengelola kepemerintahan tersebut. Namun mengelola kinerja dan kompetensi pegawai membutuhkan pilitical will bersama yang kuat. Salah satu kesenjangan dalam hal ini adalah Pertama, belum ada kebijakan berupa qanun, Surat Keputusan Bupati, atau Surat Edaran Bupati yang dapat dipakai petunjuk implementasi pemantauan tugas dan kinerja pegawai. Kesenjangan Kedua, belum ada kejelasan mengenai uraian tugas bagi para staff di SKPK-SKPK yang dapat menjadi pegangan tugas-tugas dan tanggung jawab mereka. Oleh karena itu banyak staff tidak jelas atau tidak mengerti harus berbuat apa jika tidak ada lagi tugas dari atasannya (Kabid atau Kabag). Dalam hal tidak
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 23

ada tugas khusus yang diberikan maka para staff ini nampak seperti banyak waktu luang (menganggur). Ketiga, belum ada perangkat atau media yang bisa dipakai untuk mengukur atau minimal memantau kinerja para pegawai. Pada Tahun 2005 pernah diterapkan LKHA (Laporan Kerja Harian) sebagai salah satu alat memantau penyelesaian tugas-tugas serta kinerja pegawai. Saat ini LKHA tersebut tidak berjalan di SKPKSKPK sebagai salah satu upaya pengawasan dan pemantauan kinerja. Mekanisme LKHA ini masih berjalan hanya di lingkungan Sekdakab Bener Meriah. Keempat, kinerja pegawai di subbagian atau kelompok kerja tertentu kadang menjadi surut karena adanya mutasi yang intervalnya pendek. Hal ini sangat dirasakan bagi bidang yang tugas stafnya memerlukan keterampilan tertentu seperti akuntan, para perencana, pengelola pegawai, keadministrasian, dll. Lemahnya pembinaan karir melalui pengembangan diklat Lima atau sepuluh tahun lagi Bener Meriah pasti akan masalah pengelolaan tahun menghadapi bagaimana terhadap semakin
Salah satu yang harus dilakukan dalam mengelola pegawai adalah membina kapasitas dan karir mereka melalui berbagai bentuk pendidikan dan latihan, agar kapasitas mereka sesuai dengan posisi-posisi jabatan dan tugas yang ada seiring tuntutan pembangunan yang terus berkembang.

pegawai yang semakin

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 24

bertambah sesuai perkembangan tuntutan kondisi pembangunan yang terus berjalan. Salah satu yang harus dilakukan dalam mengelola pegawai adalah membina kapasitas dan karir mereka melalui berbagai bentuk pendidikan dan latihan, agar kapasitas mereka sesuai dengan posisi-posisi jabatan dan tugas yang ada seiring tuntutan pembangunan yang terus berkembang. Terkait dengan hal tersebut kesenjangan Pertama adalah, belum ada atau belum dilakukan analisa kebutuhan (need assessment) diklat bagi aparatur di Bener Meriah dalam rangka mengembangkan dan membina kompetensi dan karir kepegawaian. Selama ini kebanyakan kegiatan diklat ini adalah mengirim peserta ke berbagai diklat yang ditawarkan pemerintah propinsi, pemerintah pusat, atau pihak swasta lainnya. Sementara itu pilihan terhadap peserta yang mewakili belum dilandasi pada analisa kompetensi. Kesenjangan Kedua, belum dikembangkannya model-model pengembangan kurikulum diklat internal baik yang berkaitan dengan upaya: (a) Penjabaran dan pemahaman uraian tugas masing-masing pegawai; (b) Diklat-diklat khusus untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas pegawai misalnya Diklat perencanaan, Diklat akuntansi pemerintahan, Diklat kearsipan dan keadministrasian organisasi kepemerintahan; dll. yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Kesenjangan berikutnya, Ketiga, masih lemahnya kapasitas SDM yang berwenang untuk mengembangkan kebutuhan-kebutuhan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 25

diklat dan kurikulum bagi para pegawai di Kabupaten Bener Meriah. Yang masih sering kita temui adalah atasan menganggap staf atau bawahannya tidak bisa melakukan tugas dengan baik, sering melakukan kesalahan, tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan dan menganggap karyawan ini prestasinya jelek. Padahal dari konsep pendayagunaan tadi, kita perlu menilai, mengevaluasi apakah karakter dia, kompetensi dan kemampuannya sesuai atau cocokdengan pekerjaannya. Kadang atasan membandingkan prestasi karyawan dengan yang lainnya tanpa menilai lebih dalam lagi. Sebagai atasan/pimpinan kita juga harus melihat karyawan kita secara pribadi. dari tingkat pendidikan mungkin sama, tetapi bisa jadi ada perbedaan antar yang satu dengan yang lainnya. Menjadi tanggung jawab pimpinan untuk mendayagunakan karyawan tersebut bisa lebih berdaya guna lagi sehingga bisa menghasilkan kinerja yang diinginkan. Berkaitan dengan hal tersebut sangat diperlukan bagaimana pandangan kita terhadap perbedaan. Ada sebuah kisah 4 yang menarik untuk disimak tentang perbedaan ini. Alkisah ada seorang ayah mempunyai 3 orang anak yang mempunyai karakter yang berbeda. Anak yang pertama mempunyai sifat yang tenang namun kurang peduli. Anak kedua sangat menyenangkan, suka membantu dan penyayang. Anak ketiga anak yang paling menyusahkan, sifatnya
Melihat Perbedaan Kompetensi: Put The Right Man in The Right Place, oleh Siti Salimah, S.Si,Apt (dalam http://indosdm.com, posted 4 Februari 2009, diakses 11 November 2009). Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 26
4

tidak sabaran, pemarah dan suka membuat ulah. Dalam kehidupan sehari-hari ulah ketiga anak-anaknya kadang-kadang membuat kesal dan kecewa sang ayah. Pada suatu hari, anak ketiganya membuat ulah di sekolah sehingga sang ayah dipanggil, Betapa malu dan marah sang ayah. Kekesalannya memuncak dan membuatnya hampir lupa diri. Namun sang ayah berusaha mengendalikan dirinya. Dalam waktu sholatnya dia bawa permasalahannya ini kepada Allah SWT, dan bertanya kenapa dia diberikan tiga anak yang berbeda sifatnya dan kenapa tidak seperti anak yang kedua seperti yang diinginkan sang ayah. Sang ayah pasrah dan memohon bimbingannya agar bisa mendidik anakanaknya. Pada suatu hari, sang ayah mendapatkan undangan makan malam di sebuah restoran dari teman kantornya. Saat menikmati berbagai hidangan yang disuguhkan, sang ayah menggunakan sendok, pisau dan garpu. Ketiga benda tersebut digunakan dengan bergantian. Ketika makan spageti, garpulah yang punya banyak peran. Saat makan steak, pisau dan garpulah yang digunakan. Kadang hanya sendok saja yang di gunakan. Sendok, pidau dan garpu, tiga benda ini tiba-tiba mengusik hatinya. Seolah-olah Allah menunjukkan kepadanya akan makna tiga benda yang punya fungsi yang berbeda, tertapi bisa digunakan dan mempunyai peran yang penting dalam sebuah aktivitas makan. Dalam benaknya sang ayah membandingkan dengan ketiga anaknya. Seketika sang ayah tersentak dan mendapat pencerahan. Lalu
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 27

ia bersyukur dan berdoa Ya Allah, terimakasih Engkau telah memberikan saya anak-anak yang luar biasa dalam kehidupan ini Ya, Allah telah memberikan ketiga karakter yang berbeda dalam diri anak-anaknya. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan ibaratnya ketiga benda tersebut yaitu sendok, garpu dan pisau. Anak pertamanya dia ibartkan dengan sendok, yang dapat dipakai tanpa perlu ada garpu. Namun pada saat tertentu garpu dibutuhkan, ia akan menjadi pasangan yang baik dimeja makan. Sedangkan pisau, yang sangat tajam namun apabila digunakan pada saat yang tepat akan sangat dibutuhkan. Akhirnya sang ayah menyadari, betapa Allah telah memberikan ketiga anak yang luar biasa, tinggal bagaimana sang ayah akan merawat dan tahu kapan menggunakannya. Seperti dia mempunyai sendok, garpu dan pisau. Bukankah tanpa garpu akan sangat sulit menikmati spageti dan apabila tanpa pisau bagaimana kita bisa menikmati steak yang panas di sebuah meja makan. Kini Sang ayah hidup penuh syukur karena menyadari alangkah indahnya mempunyai sesuatu yang berbeda ketimbang mempunyai 3 buah garpu. Karena akan sulit digunakan. Makna cerita tersebut merupakan refleksi tidak langsung bagaimana kita melihat perbedaan pada awalnya hingga kita menemukan bagaimana perbedaan itu menjadi kekuatan dan lalu kita berkata Put your right man in the right place. Kita bisa merefleksikannya dalam kehidupan keluarga kita atau di lingkungan kantor kita dengan adanya perbedaan pada karyawan kita. Akan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 28

menjadi sebuah kekuatan apabila kita bisa mencari peluang pendayagunaan dari sebuah perbedaan. Apabila kita bisa menilai dan memahami makna kompetensi (sekumpulan sifat, pengetahuan dan ketrampilan yang kita miliki yang membedakan kita dengan yang lain) secara lebih baik dan menempatkannya pada tempat yang sesuai, maka kita bisa mempergunakannyasebagai kekuatan untuk mendapatkan sinergi tanpa merusak makna dari perbedaan itu.[]

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 29

4. Sebuah Contoh Kasus: Saudara Dalam Praktik Birokrasi Pemerintahan 5


Artikel berikut hanyalah sebuah contoh kasus saja, yang ingin menggambarkan bahwa praktik-praktik birokrasi pemerintah kita masih dekat dengan hubungan kekoncoan, perkawanan, persaudaraan, kolusi dan nepotisme. Sejauh nuansa-nuansa disebut tadi masih bekerja maka besar pula setting kultural mempengaruhi ranah-ranah tingkah laku (patern for) dalam praktik birokrasi dan tata laksanaka pemerintahan lokal. Penulis hendak menampilkan gambaran tersebut berdasarkan pengamatan di salah satu kabupaten pegunungan di Aceh. Penggambaran berdasarkan pengamatan di suatu wilayah tersebut sungguh tidak berpretensi untuk mengangkat kasus di wilayah tersebut. Kasus-kasus yang sama sangat mungkin terjadi di wilayahwilayah lain di Aceh. Sebagian besar orang Gayo cenderung akan memanggil orang lain, terutama laki-laki, yang umurnya bertaut cukup panjang di atasnya dengan sebutan cik (mungkin dapat diterjemahkan paman). Tidak peduli orang itu masih bertalian saudara atau bukan, bahkan mungkin baru saja bertemu. Ada nuansa kekeluargaan, kedekatan, dan
5 Dipublikasikan juga di http://emilianuselip.wordpress.com dan Ebook: Dari Bintang Sampai Lhok Nga: Catatan Perjalanan di Aceh, dalam http:// www.scribd.com/doc/45728062/Ebook-Dari-Bintang-Sampai-Lhok-Nga-CatatanPerjalanan-di-Aceh-Emilianus-Elip

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 30

lebih dari itu adalah kehangatan yang mau ditunjukkan oleh orang Gayo. Sadar atau tidak konsepsi berpikir semacam ini dibangun dari budaya dapur, dimana orang selalu berkumpul menghidupkan suasana kehangatan keluarga. Meskipun kadarnya ikatan kekerabatannya tidak serapat orangorang Batak dalam menyadari, memakai dan mempraktikkan sistem marganya, sebagian kelompok masyarakat Gayo pun mengenal sistem marga meskipun dalam banyak hal nama-nama marga itu tidak dipakai. Layaknya orang-orang Batak, atau masyarakat lain yang mengenal marga, orang-orang Gayo relatif paham dari mana dan siapa rumpun keluarga-keluarga saudaranya berasal. Memang dalam kehidupan kondisi saat ini, dimana dinamika migrasi dan merantau cukup tinggi di Gayo 6 , kadar praktik ikatanikatan keluarga jauh berkurang. Namun dalam kebutuhan-kebutuhan tertentu misalnya pesta perkawinan, pesta kelahiran, atau saling membantu dalam kebutuhan-kebutuhan ekonomi, ikatan persaudaraan keluarga ini muncul menjadi nilai ikatan untuk mempersatukan mereka. Ada semacam struktur dalam bangunan tata nilai kebudayaan Gayo. Struktur tata nilai dalam budaya berdiang dan berkumpul di dapur, dimana orang satu sama lain harus mengenal siapa kerabat dan saudaranya, dan dalam posisi mana dia dalam bangunan struktur
6 Banyak orang mengamini kadar ikatan kekeluargaan yang jauh berkurang saat ini. Menurut mereka pada sisi lain orang Gayo, adalah orang yang terbuka, akomodatif dan inkulturatif terhadap orang, komunitas, atau masyarakat lain.

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 31

kekerabatannya (ikatan keluarga). Struktur nilai sosialitas (berwarga) baik sebagai warga keluarga maupun warga komunitas Gayo ini termanifestasikan, atau gampangnya terwujudkan dalam tata krama komunikasi melalui bahasa Gayo. Sepertinya kita semua sepakat, jika bahasa merupakan wujud kebudayaan. Semua tata nilai, aturan, maupun sistem di dalam berbahasa sebuah masyarakat dengan kata lain membuktikan struktur nailai-nilai yang dianut masyarakat tersebut. Dalam bahasa Gayo dikenal konsep tutur, yaitu tata nilai kesopanan dalam memanggil orang lain. Yusradi Usman Al-Gayoni dalam artikelnya Pemakaian Tutur Dalam Bahasa Gayo 7 , hendak mengatakan bahwa tutur berisi serangkaian sebuatan panggilan sesuai dengan struktur kekerabatan-keluarga yang dikenal orang Gayo untuk menunjukkan sikap hormat dan kesopanan. Bahkan tutur ini penerapannya mengenal dua jalur, yaitu tutur yang dipakai untuk jalur keluarga baik jalur dari pihak perempuan (istri) maupun jalur pihak laki-laki (suami). Kita ambil contoh saja beberapa, misalnya:
... Awan Pedih : Kakek ( bapak dari ayah ); Anan Pedih : Nenek ( ibu dari ayah ); Awan Alik : Kakek ( bapak dari ibu ); Anan Alik : Nenek ( ibu dari ibu ); Uwe: Kakak tertua dari ibu kandung; Ama Kul : Bapak Wo ( saudara laki-laki sulung dari bapak ); Ine Kul : Mak Wo ( istri dari Pak Wo/ istri abang tertua dari bapak ); Ama : Bapak; Ine : Ibu; Ama Engah : Bapak Engah ( tengah ), adik dari ayah; Ine Engah : Ibu Engah ( tengah ), adik dari ibu. ... 8

Lih. http://www.gayolinge.com/ - diakses 3 Februari 2009 Lih. Artikel H. Mustafa, AK. Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga) dalam http://www.gayolinge.com/ - diakses 3 Februari 2009.
8

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 32

Coba bayangkan jika seorang anak, entah anak dari siapapun dalam struktur ikatan keluarga Gayo, tidak mampu memanggil generasi di atasnya dengan tutur yang benar 9 . Dipermalukanlah anak itu beserta orang tuanya dalam ikatan tersebut. Tata nilai kesopanan tentu saja akhirnya tidak hanya sesederhana diukur dari hafal benar tidaknya menyebutkan tutur dalam generasi keluarganya. Nilai-nilai kesopanan berbahasa dan bersosialitas pasti menuntut sikap-siap penghormatan lain seperti: menyapa duluan jika berpapasan, menahan diri, tidak emosional, bahkan sangat mungkinkan mendahulukan privelese (kepentingan) tingkat generasi keluarga yang harus dihormati lebih dulu. Nampaknya tata nilai kemargaan atau kekeluargaan ini tidak sebegitu mudah dilepaskan. Dalam jaringan-jaringan ekonomi dan perdagangan jelaskan ikatan-ikatan itu bekerja. Bahkan dalam ranah pekerjaan publik yang membutuhkan pentingnya kapasitas, profesionalitas, dan akuntabilitas diri, rasa dan nilai ikatan keluarga

Memang diprihatinkan oleh Yusradi Usman Al-Gayoni dan H. Mustafa, AK., bahwa pemakaian tutur di masyarakat Gayo kontemporer saat ini sudah sangat luntur, selain karena budaya ikatan kerabat yang mulai terkikis juga karena sikap adaptif orang Gayo terhadap bahasa-bahasa lain seperti bahasa Aceh, Jawa, Batak, Minang, Inggris dan Indonesia. Namun bagi penulis, bentuk bahasa, penuturan, ekspresi kekerabatan, atau ekspresi kultural lain bisa berubah, namun struktur sistem nilai kebudayaan Gayo tidak mudah dan belum hilang seperti yang ditakutkan banyak pihak. Meski begitu memang benar, upaya-upaya mempertahankan nilai-nilai budaya yang transformatif perlu dilakukan. Kultur Gayo adalah kultural adaptif dan akomodatif, maka strategi mempertahankan nilai-nilai kultural tidak bisa inklusif-defensif tetapi hendaknya mencari upayaupaya yang enklusif-transformatif. Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 33

tersebut masih ditelusuri praktik-praktik kerjanya. Ambil contoh saja dalam sistem kepemimpinan dan pemerintahan lokal. Jangan lupa bahwa di dalam kebudayaan petani-petani dataran tinggi, ikatan-ikatan keluarga itu telah memunculkan apa yang disebut nilai-nilai paternalisme. Sebuah tata nilai yang muncul dari pola berpikir pentingnya penghormatan dan pleasure bagi mereka yang segaris keluarga apalagi yang lebih tua. Konon tata nilai keluarga yang paternalistik ini telah berpraktik ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat, apalagi di dalam masyarakat yang oleh karena tantangan kondisi alamnya membutuhkan pentingnya bersatu (grouping), berkelompok, saling mendukung-membantu. Dengan kata lain nilainilai tersebut telah menjadi struktur dari bangunan strategi hidup. Maka jika pemimpin di tingkat lokal, misalnya saja kepala kampung A, baik berasal dalam dari segi keluarga A maka praktik-praktik keputusan, pemerintahan kampung tersebut sangat bernuansa keluarga besar pengembilan kebijakan, pembangunan 10 , bahkan mungkin oknum perangkatnya. Sistem ikatan keluarga inipun terjadi dalam praktik-praktik governance di Bener Meriah dan Aceh Tengah, meskipun tidak di dalam semua lini.

Dalam satu kesempatan diskusi mengenai mekanisme perencanaan tingkat kampung, seseorang dari utusan kampung mengungkapkan bagaimana pembangunan di kampungnya cenderung melayani kebutuhan-kebutuhan jalinan keluarga si kepala kampong. Ternyata kepala kampung ini memang mempunyai konstituen terbanyak di kampungnya dan itu berasal dari luasnya ikatan-ikatan keluarganya. Ditambahkan oleh utusan tersebut, bahwa hal ini tidak hanya terjadi di kampungnya tetapi di banyak kampong yang lain. Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 34

10

Dalam mekanisme rekrutmen PNS (Pegawai Negeri Sipil) pola tata nilai mana keluargaku tidak perlu dipungkiri, masih berjalan. Pola penempatan pejabat di dalam konteks kultur seperti di jelaskan sebelumnya, adalah perkara lain yang amat rumit. Mungkin sama rumitnya dengan permainan efek domino atau puzsle. Seorang calon pejabat aselon sebelum ditempatkan akan dipertimbangkan secara pola nilai dikotomi Kiri-Kanan. Dikotak sebelah Kiri: Profesionalitas, Pengalaman, Performance. Di kotak sebelah Kanan: Masih muda atau sudah tua 11 , Saudara atau orang lain, Apa kelak dia akan menguntungkan atau tidak. Tentu saja efek-efek berikutnya sebagai dampak dari kendalakendala kultural dalam membangun good-governance di atas adalah, relatif rumit merealisasikan ukuran akuntabilitas kinerja individual maupun management-instansional. Seseorang pejabat akan menimbang berlipat-lipat saat harus menilai negatif kinerja orang lain yang sesungguhnya harus dia hormati sebagai cik. Alih-alih jika seseorang tersebut jelas benang merah pertalian kekerabatannya dengan dia. Kadar kesopanan dan kesantunan adalah produk nilai dasar dari kultur sebuah komunitas (masyarakat), dalam hal ini yaitu
11 Disini mengacu serta berlaku tata nilai dibalik istilah cik (paman), sebuah penghormatan paternalis kepada yang lebih tua. Meskipun saya secara kapabilitas dan profesionalitas sudah layak menjadi pejabat aselon II misalnya, tetapi di sana ada seorang paman yang lebih pantas secara umur menduduki jabatan tersebut, maka sudah sepantasnya saya relakan jabatan itu untuk sang paman karena itu salah satu bentuk penghormatan saya. Bangunan nilai semacam ini kadang disadari kadang tidak, namun yang jelas kita tidak mampu melepaskan dari jeratnya. Dan penghormatan dalam sistem genealogis selalu datang dari yang lebih muda.

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 35

kultur paternalisme-petani. Nuansa relasi praktik-praktik governance di Bener Meriah dan Aceh Tengah mungkin juga di wilayah Gayo Luwescenderung santun-konservatif. Banyak para ahli tatapemerintahan dan politik lokal akan menelaah bahwa kecenderungan semacam itu sebagai kontra produktif demokratisasi, anti transparansi, serta cenderung badgovernance. Akankah selalu begitu?! Adakah yang salah dengan tata nilai dan struktur berpikir produk dari kebudayaan sebuah masyarakat, yang telah teruji dari jaman ke jaman menjaga serta mengorganisir komunitas tersebut? Persoalannya adalah terletak pada kepemimpinan (leadership). Jangan lupa karakter kepemimpinan budaya paternalisme komunitas petani-petani dataran tinggi cenderung primus-interparest. Power (kekuasaan) yang tertinggi adalah untuk sang pemenang, sang jagoan, sang pemilik resources (sumberdaya). Sesungguhnya sangat mudah bagi si Primus-Interparest ini untuk memainkan ke mana gerbong organisasi ini mau dibawa, apalagi jika dia menjadi penguasa di masyarakat yang dominan kultur tertentu. Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan (Bali) menjadi dieluelukan yang pertama kali mampu merealisasikan budaya good-governance, bukan karena semua perangkat dan birokrasi daerahnya pada paham good-governance. Dalam nuansa intepretasi yang lain, oleh karena sang Primus-Interparest-nya berani mengambil resiko mengembalikan makna leadershipnya kepada kultur aslinya. Namun diimbangi dengan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 36

jiwa-jiwa nuansa modernis seperti rasionalitas, pengabdian, negosiasi, problem-solving, dll. Mimpi menjadi negeri di atas awan niscaya akan membawa kemaslahatan masyarakat jika para primus-interparestnya menyadari jebakan-jebakan leadeship tersebut. Jika tidak, maka negeri itu setali tiga wang dengan negeri-negeri lain kebanyakan. []

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 37

5. Tiga Gangguan Proses Akumulasi Kapasitas


Pengembangan kapasitas tidak bisa dikerjakan secara partsial. Artikel-artikel di atas menganjurkan bahwa pengembangan kapasitas merupakan proses yang berkelanjutan (sutainability), bahkan harus dirancang dengan saksama supaya menghasilkan upaya yang maksimal. Seorang pegawai disertakan dalam proses pengembangan kapasitas harus disesuaikan dengan posisi jabatan dan pengalamannya, agar pengembangan kapasitas yang diperolehnya bisa diterapkan secara individu maupun kelembagaan. Namun banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi ketika seseorang hendak diberangkatkan atau mengikuti kegiatan pengembangan kapasitas. Faktor-faktor lain tersebut ingin disebut sebagai gangguan proses pengembangan kapasitas. Beberapa gangguan tersebut adalah seperti dijelaskan berikut ini. Praktik Paternalisme. Ada banyak definisi primordialisme. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa paternalisme adalah isme kebapakan. Ada pula yang menekankan bahwa paternalisme itu adalah sebuah keinginan yang mengutamakan saudara. Pada prinsipnya isme ini dilandasi perasaan yang kuat untuk mengutamakan saudara. Jika dirumuskan secara singkat, paternalisme adalah sebuah perasaan kewajiban yang mengutamakan (jaringan) saudara dalam berbagai urusan.
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 38

Paternalism refers usually to an attitude or a policy reminiscent of the hierarchic pattern of a family based on patriarchy, that is, there is a figurehead (the father, pater in Latin) that makes decisions on behalf of others (the "wife" and "children") for their own good, even if this is contrary to their wishes. 12

Di beberapa kabupaten di NAD, dan saya kira juga hampir di seluruh kabupaten/kota, praktik paternalisme di dalam perekrutan dan penempatan pegawai juga terjadi. Kasus-kasus hubungan saudara memagang beberapa jabatan penting sudah biasa. Bahkan satu keturunan saudara berada di dalam satu dinas/instansi. Ah...itu sudah biasa, begitu komentar dari banyak kalangan. Manakala paternalisme itu bekerja di internal sistem kekerabatan sendiri berkaitan dengan urusan-urusan kekerabatan, maka tidak menjadi persoalan. Namun ketika paternalisme itu dibawa oleh seseorang atau sekelompok orang ke dalam ranah-ranah sistem kebijakan, atau hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka persoalan muncul dan merambah kemana-mana. Persoalan yang perlu dicermati adalah hubungan saudara seperti digambarkan di atas sering kali menimbulkan banyak problema yang berkaitan dengan kinerja pegawai. Beberapa problema itu kurang lebih semacam ini. Pertama, pendelegasian tugas menjadi memiliki kendala. Tidak mudah secara psikologis, memerintah atau dengan bahasa halus mendelegasikan tugas kepada saudara entah saudara jauh atau saudara dekat. Memang kita bisa memberi alasan tidak peduli ini kan
12

Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Paternalism (diakses 17/11/2009) Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 39

hubungan kerja, hubungan profesionalisme. Mudah diucapkan , namun praktiknya tidak segampang diucapkan. Yang terjadi adalah si pemberi tugas merasa tidak enak, si penerima tugas pun bisa sangat mudah berkelit. Jika terjadi indisipliner atau kinerja buruk, maka semakin sulit diukur. Bagi orang-orang lain ini cenderung menumbuhkan keirian dan rasa tidak respek. Semuanya itu menumpuk dan berakumulasi menjadi benang ruwet nonakuntabilitas kinerja sebuah lembaga/instansi. Ketidakadilan kesempatan Mengikuti kursus maupun training, apalagi berkesempatan untuk melanjutkan studi merupakan dambaan bagi setiap birokrat di pemerintahan. Kesempatan-kesempatan tersebut kurang lebih akan berdampak pada peningkatan jenjang karir personal. Namun problamatika kesempatan itu menjadi masalah di hampir di sebagian besar pemerintahan daerah tidak terkecuali di wilayah NAD. Pertanyaannya adalah mengapa bisa begitu?! Program pengembangan kapasitas yang tidak terencana, apalagi tidak tertata dengan baik, akan membuat sistem pemberian kesempatan itu menjadi tidak merata alias jatuh ke orang-orang tertentu dan itu itu saja. Dan oleh karena itu sering kali materi kesempatan itu jatuh ke orang yang tidak tepat, baik dari segi bidang kerja, pengalaman kerja, maupun pemanfaatannya ke depan. Akibatnya tambahan kapasitas

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 40

yang diperoleh menjadi sama sekali tidak berguna dan tidak bisa diakomodir oleh unit instansi bersangkutan. Mutasi Tanpa Pertimbangan Mutasi seperti yang sering kita dengar, merupakan suatu tindakan yang absurd (untuk tidak mengatakan tidak jelas) di hampir semua pemerintahan daerah di wilayah NAD. Bagi birokrat yang telah mencapai jabatan dan eselon cukup tinggi, suatu tindakan mutasi yang harus dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tersebut sudah harus naik pangkat sehingga perlu dilakukan mutasi ke jenjang jabatan yang cocok dengannya. Persoalan cocok tidaknya pengalaman kerja dan latar belakang pendidikan itu soal nomor kesekian. Sementara itu mutasi-mutasi yang terjadi di jabatan-jabatan yang masih rendah, terjadi dengan berbagai macam latar belakang pertimbangan antara lain seperti kecocokan jabatan, like and dislike, dll. Begitulah paling tidak, tiga hambatan-hambatan utama mengapa pengembangan kapasitas menjadi tidak mempunyai implikasi apa-apa terhadap perkembangan birokrasi menjadi lebih baik. []

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 41

6. Potret Laku Sistem Perencanaan Daerah (Kabupaten)


Sistem perencanaan pembangunan daerah idealnya mengacu kepada tentang perundangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam

perundangan tersebut sistem perencanaan daerah secara ideal dimulai dengan apa yang disebut Mubangdus (Musyawarah Pembangunan tingkat Dusun), Musbangdes (Musyawarah Pembangunan Tingkat Desa), lantas diikuti pertemuan-pertemuan di tingkat kecamatan dihadiri para utusan desa. Pertemuan di tingkat kecamatan ini pada prinsipnya mendiskusikan mana yang akan menjadi prioritas di masing-masing desa. Pada pertemuan perencanaan di tingkat kecamatan tersebut idealnya dan seharusnya dihadiri para wakil dari dinas, badan, kantor di tingkat kabupaten (instansi ini biasa disebut SKPK=Satuan Kerja Perangkat Kabupaten) dan para anggota DPRD yang berkepentingan dengan lokasi tersebut sebagai wilayah konsituen pemilihnya. Pihakpihak SKPK bekepentingan menyerap aspirasi rakyat dan mengkonsolidasikan dengan perencanaan program yang akan diajukan oleh instansinya. Sementara anggota DPRD menyerap apa keinginan para konsituen pemilihnya. Anggota DPRD ini tidak dimaksudkan untuk mengintervensi program, tetapi idealnya adalah mendengarkan keinginan rakyat, melakukan analisa benarkah itu sungguh keinginan rakyat banyak, lantas nantinya memperjuangkan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 42

keinginan

rakyat

konstituennya

itu

pada

saat

siding-sidang

perencanaan pembangunan daerah di gedung parlemen. Seperti apa realitas yang terjadi? Gambaran ideal udang-undang perencanaan nasional yang idealnya bisa diterapkan di daerah-daerah (kabupaten/kota) ternyata sebagian besar meleset di kabupatenkabupaten/kota di NAD. Di seluruh kabupaten/kota yang pernah penulis kunjungi, banyak orang menyatakan dengan agak sedikit dongkol, bahwa sekitar 70% sampai hampir 90% rencana pembangunan daerah tahunan yang di tok di gedung parlemen meleset dari keinginan-keinginan rakyat yang dirembug di tingkat dusun maupun Gampong/Kampong (desa). Apa pasalnya?!! Belum Melek Data, Cuma Copy-Paste Banyak orang bisa bicara yang tinggi muluk-muluk mengenai pembangunan yang diharapkan dan diinginkan. Namun menurunkan harapan menjadi tahapan strategis implementasi pembangunan tentu saja pembangunan yang menguntungkan banyak pihak-tidaklah mudah semudah saat diucapkan. Pembangunam bagi semua tidaklah sekedar apa yang ingin dibuat ke depan, tetapi pembangunan adalah langkah strategis yang konsisten antara apa yang telah dibuat di masa kemarin, apa yang sedang dikerjakan, dan apa prediksi yang akan dibuat ke depan. Konsistensi tersebut membutuhkan data base yang akurat, sehingga para pelaku pembangunan mampu membangun konsepsi dan strategi yang visioner dan menjaga keberpihakan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 43

secara konsisten pula, tidak terpenggal-penggal, ego sektoral, atau demi kepentingan jangka pendek. Konsistensi perencanaan jangka panjang (juga jangka pendek) membutuhkan kesinambungan data base yang akurat. Harus diakui secara jujur, bahwa para pelaku perencana pembangunan di instansiinstansi pemerintah kabupaten/kota di Aceh ini dapat dikatakan belum melek data sehingga data amat amburadul. Jika diajukan sebuah pertanyaan: Sesungguhnya kondisi macam mana yang diinginkan di Aceh 5, 10 sampai 20 tahun ke depan?. Tanpa data base yang akurat dan selalu terbaharui, pertanyaan ini tidak bisa dijawab dalam sebuah dokumen perencanaan yang srategis, sitematis dan visioner. Ngeri sekali mendengar dari kalangan masyarakat bawah, bahwa sudah bertahun-tahun di Gampongnya sangat sedikit tersentuh pembangunan. Kalaupun ada cuma itu itu saja. Pada hal dana tersedia cukup banyak. Itulah sebabnya banyak pernyataan muncul dari kalangan bawah, mau di bawa ke mana pembangunan kita Aceh ini. Selidik punya selidik, juga mendengar dari berbagai diskusi, lokakarya, maupun pelatihan mulai tingkat grassroot sampai para birokrat eselon, cara kita melakukan dan membuat dokumen perencanaan (termasuk Rencana
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 44

Ngeri sekali mendengar dari kalangan masyarakat bawah, bahwa sudah bertahuntahun di Gampongnya sangat sedikit tersentuh pembangunan. Kalaupun ada cuma itu itu saja. Pada hal dana tersedia cukup banyak.

Kerja Tahunan/Renja) di SKPK-SKPK adalah copy-paste. Jiplak habis dari tahun kemarian dan tahun kemarinnya lagi, lantas disulap budgetnya: Jadilah!! Alasan klasik yang muncul: Waktunya mepet sudah dikejar dead-line ; Kurangnya data base; Toh nanti pada dipangkas dananya oleh para anggota dewan yang kurang paham pembangunan; dll. Jadi kehadiran para birokrat dari SKPK-SKPK waktu perencanaan dilakukan di tingkat kecamatan itu tidak ada maknanya. Ada beberapa alasan mengapa hal itu menjadi tidak bermakna. Pertama, mereka dengan sadar menganggap bahwa kehadiran di tingkat kecamatan hanya sekedar formalitas agar sesuai peraturan sistem perencanaan harus dilakukan. Kedua, mereka sungguh tidak tahu bagaimana menyerap aspirasi dan mengakomodasikannya dalam perencanaan tahunan di instansinya. Hal ini diakui mereka sebab sudah terlalu banyak templete program beserta Pos Anggaran yang sudah ditetapkan baik dari Pusat dan Propinsi. Ketiga, aspirasiaspirasi dari rakyat itu kalau cuma begitu-begitu saja mending diabaikan ambil saja dari kegiatan tahun kemarin, kecuali jika ada hal yang luar biasa seperti bencana alam, atau kalau ada kasus-kasus luar biasa seperti gizi buruk, penyekit endemik berlarut-larut seperti Deman Berdarah. Perencanaan yang copy paste pasti akan menghasilkan pembangunan yang copy paste pula. Yang paling mudah dilakukan copy paste adalah pembangunan yang bernuansa fisik. Sehingga
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 45

memang setiap tahun ada pembangunan, namun bukan berorientasi untuk kaum miskin. Itulah pembangunan semu untuk kaum miskin. Perencanaan dan pembangunan yang dirancang dengan komitmen yang baik bagi kaum miskin, tidak mudah dilakukan dan tidak mungkin dilakukan dengan hanya metode copy paste. Alasan Anggaran Terbatas Gambaran seperti apa proses Musbangdus dan Musbangdes yang dilakukan di Gampong-Gampong atau Kampong di NAD, sesungguhnya sangat sulit dibayangkan mendekati proses perencanaan partisipatif yang ideal. Tidak ada fasilitator (petugas pendamping penyusunan perencanaan dari isntansi pemerintah) yang relatif berpengalaman yang mendampingi masyarakat dusun dan Gampong, kecuali di desa-desa yang memperoleh program PNPM Perdesaan. Di desa-desa proyek PNPM tersebut memang disediakan fasilitator desa yang telah terlebih dahulu ditraining mengenai perencanaan partisipatif. Musbangdus dan Musbangdes hampir seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarapat dan perangkat desa. Oleh karena itu sangat mungkin terjadi bias kepentingan. Banyak para perangkat di tingkat bawah mengatakan bahwa perencanaan itu dilakukan sendiri oleh para perangkat dusun atau desa, dengan melibatkan beberapa orang representatif dari masyarakat seperti tokoh pemuda, unsur PKK dan tokoh masyarakat dan agama. Dengan demikian analisaMeretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 46

analisa kebutuhan yang kurang mendalam dan bau kepentingan sangat mungkin terjadi. Hampir diseluruh kabupaten/kota yang diajukan atau yang dimintakan oleh masyarakat adalah sarana-sarana fisik saja seperti pembangunan jalan, MCK, pembagunan got, pembangunan pasar, dll. Hampir tidak ada program-program berupa pengembangan ekonomi, lingkungan, atau pengembangan kapasitas yang diusulkan dari masyarakat, pada hal kenyataan kemiskinan merupakan realitas nyata dihadapan mata di masyarakat tingkat bawah di Aceh, apalagi di pelsosok-pelosok dusun. Ini membuktikan ada proses teknis dan strategis yang belum diselesaikan secara tuntas di dalam metode dan strategis perencanaan partisipatif di tingkat bawah. Banyak birokrat Bappeda kabupaten berasalan lantaran dana yang terbatas. Kita ambil contoh saja di salah satu kabupaten baru di wilayah pegunungan Tengah di NAD. Kabupaten tersebut mempunyai 14 kecamatan, 16 kemukiman, 266 kampung dan 794 dusun 13 . Membiayai proses pertemuan untuk 266 kampung tentu tidak sedikit, belum lagi menyediakan para fasilitator untuk memfasilitasi di kampung-kampung tersebut. Jarak antar kampung di pelosok-pelosok pegunungan bagian Tengah di Aceh relatif berjauhan. Selain itu jika benar-benar di ke 266 kampung tersebut dilakukan fasilitasi proses perencanaan, maka membutuhkan waktu
Bagian Pemerintahan Kampung Setdakab Aceh Tengah, 2007 (dalam RPJMD Kab. Aceh Tengah 2007-2012) Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 47
13

yang sangat lama. Oleh sebab itu Musbangdus dan Musbangdes merupakan inisiatif lokal. Cenderung bergulir begitu saja tanpa mampu dilakukan pendampingan yang signifikan oleh pemerintah kabupaten. Melipat Dalam Tikungan Carut marut proses dan mekanisme perencanaan ini nantinya semakin mendapatkan tekanan-tekanan luar biasa oleh para anggota dewan yang mulai memainkan jurus negosiasi dan intervensi. Media intervensi anggota dewan ini adalah nogosiasi kepada instansi SKPKSKPK karena disanalah bermula buget-budget pembangunan daerah disusun. Kemudian ketika SKPK-SKPK ini siap dengan perencanaan dan budget pembangunan tahunan, mereka harus mempresentasikan di dalam rapat Tim Anggaran dan rapat paripurna DPR kabupaten/kota. Di dalam kedua rapat tersebut para anggota mempertegas kembali negosiasi dan intervensi bagi kepentingan proyek-proyek mereka untuk wilayah pemilihan masing-masing. Itulah sebabnya mengapa terjadi meleset antara 70% sampai 90% dari keinginan-keinginan masyarakat di tingkat bawah. Jadi perencanaan pembangunan daerah setidak-tidaknya menghadapi tiga tingkatan bias. Pertama, di tingkat grass-roots sendiri tidak bisa dipastikan fasilitasi perencanaan yang benar. Kedua, di tingkat SKPKSKPK tidak mampu mengakomodir kebutuhan-kebutuhan realistik yang berkembangan di tingkat grass-root. Ketiga, para birokrat
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 48

SKPK-SKPK harus menyesuaikan dengan tekanan-tekanan para anggota dewan demi citra politik mereka dihadapan konstituennya. Banyak kepala Bappeda di kabupaten/kota di NAD dan kepala SKPK-SKPK yang lain mengeluhkan besarnya intervensi para anggota dewan ini. Namun mereka tidak mampu berkata tidak. Kalau para birokrat ini tidak akomodatif terhadap kepentingan anggota dewan, mereka mengakui sering kali mendapatkan kesulitankesulitan dalam mempresentasikan anggaran-anggaran dinas/kantor/badan yang dia pimpin sewaktu rapat-rapat anggaran di parlemen. Mereka mengeluhkan perlunya peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap para anggota dewan ini tentang sistem perencanaan daerah. Lebih dari itu para birokrat tersebut menginginkan sebuah kesepakatan mekanisme dimana atau melalui arena apa para anggota dewan ini dapat berkesempatan menegosiasikan program-program yang mereka inginkan. Diluar arena yang sudah disepakati tersebut anggota dewan diharapkan sudah tidak bisa melakukan intervensi. Kesepakatan-kesepakatan tersebut sebaiknya juga dikuatkan dengan qanun (peraturan daerah). Komitmen Membangun Kapasitas Dengan geografi yang luas terdiri dari 23 kabupaten/kota. Dilatar belakangi pula spektrum etnisitas yang boleh dibilang tidak seragam, konflik panjang, tata kelola pemerintahan Gampong yang sedang mencari bentuk yang pas, dan dampak Tsunami, maka

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 49

membangun Aceh tidak hanya butuh uang banyak. Lebih dari itu, Aceh membutuhkan elite politik dan jajaran birokrasi yang kuat dalam visi pembangunan. Berikut ini sekadar sumbangsih yang perlu dilakukan ke depan untuk membangun Aceh Baru yang Lebih Baik, Damai, Berkeadilan, Sejahtera dan Bermartabat melalui tema perencanaan pembangunan. Pertama, membangun SDM dalam kapasitas perencanaan dijajaran praktisi pembagunan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota adalah hal yang tidak bisa ditolak. Saat ini di SKPK-SKPK diseluruh kabupaten/kota di Aceh sudah terbentuk unit/bagian yang mengurus perencanaan. Tetapi posisi ini belum semuanya terisi, kapasitas orang yang ada masih sangat jauh dari yang diharapkan, bahkan mungkin tupoksinya pun belum jelas. Dari posisi jabatan itu saja bisa dibayangkan ada ribuan orang (pegawai) dalam 5 tahun ke depan di seluruh Aceh yang harus ditingkatkan kapasitasnya dalam hal perencanaan pembangunan. Sudah saatnya Diklat di tingkat propinsi mengembangkan kurikulum dan kursus/pelatihan khusus di bidang ini. Bukankah ini merupakan asset yang luar biasa yang berspektrum jangka panjang bagi Aceh?! Kedua, mengembangkan format data base pembangunan yang memadai baik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Data base ini hendaknya dimulai dari tingkat Gampong dan atau Mukim yang sekurang-kurangnya mencakup beberapa data sebagai berikut: Kependudukan; Kondisi dan ukuran-ukuran penduduk miskin; DataMeretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 50

data kesehatan; dan Data-data pendidikan yang terup-date minimal satu tahun sekali. Tahap berikutnya, setelah budaya data ini terinternalisasi dengan baik, baru dikembangkan elektronik data base yang bisa diakses antar pelaku pembangunan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, antar instansi pemerintah (SKPK, SKPA), maupun pelaku pembangunan lain seperti Universitas, LSM, atau sektor Swasta. Ketiga, dibutuhkan keberanian untuk mendongkrak platform budget bagi pembangunan di bidang sosial dan ekonomi kerakyatan, terkait dengan potensi masing-masing kabupaten/kota. Beberapa program yang bisa dilakukan seperti: (1) Membangun dermaga nelayan ikan dan tempat pelelangan ikan yang memadai dan menjamin jalur distribusi penjualan ikan; (2) Mengembangkan agro-pertanian dan pola distribusi penjualan hasil bumi; (3) Membangun dan mengembangkan organisasi/lembaga/kelompok petani kebun, petani padi-sawah, nelayan, dll. Keempat, selain perencanaan yang lemah pengawasan (monitoring dan evaluasi) terhadap proses pembangunan juga masih lemah pula. Oleh karena itu forum konsolidasi pembangunan antar pihak sangat perlu diperkuat, dilakukan rutin dan dengan kualitas yang lebih baik. Forum SKPK setahun sekali dalam rangka Musrenbang saja tidak cukup sebagai media konsolidasi, monitoring, dan evaluasi pembangunan. Forum semacam ini sangat bermanfaat untuk mengurangi kecenderungan ego sektoral.
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 51

Kelima, banyak Geusyik tidak tahu, tahu-tahu di Gampongnya dilakukan pembangunan ini itu. Apalagi masyarakatnya!! Bayangkan masyarakat sasaran tidak tahu pembangunan apa yang akan diberikan atau dilaksanakan oleh mereka, kapan dilaksanakan, berapa besaran platform budgetnya. Kondisi semacam ini rentan dengan penipuan dan korupsi. Maka perlu civil society strengthening sebagai kontrol atas pembangunan. Di sinilah kelompok-kelompok organisasi petani, organisasi nelayan, LSM-LSM, organisasi perempuan, forum Geusyik, dll perlu mengembangkan jejaring dan kapasitas fungsi kontrol terhadap kebijakan pembangunan dan proses jalannya pembangunan. Jika kontrol semacam ini bisa berjalan baik, maka diharapkan akan terjadi otokritik terhadap proses perencanaan. Tentu saja perlu koridor-koridor yang sopan dan beradab, tanpa mengorbankan agresifitas daya kritis yang ada. Tidak ada kata terlambat bagi upaya menuju perbaikan. Modal sosial masyarakat Aceh yang kritis seyogyanya dapat diakumulasi dan dikonsolidasikan secara terarah. Disertai dengan komitmen bersama yang tinggi, serta proses pengembangan kapasitas yang berkelanjutan khususnya dalam hal ini di bidang perencanaan pembangunan, niscaya kesejahteraan untuk semua di Aceh akan semakin membaik dari waktu ke waktu. []

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 52

7. Penyusunan Renstra: Dari Tender ke Mandiri


Di salah satu kota di wilayah yang dahulu amat dikenal dengan wilayah petro-dollar, Bappeda kota tersebut selama ini melakukan tender untuk penyusunan renstra kota tersebut. Tentu saja bukan pekerjaan yang berat bagi pemerintah kota tersebut, khususnya dalam hal dana, untuk men-tender-kan pekerjaan penyusunan renstra kota tersebut kepada pihak ketiga. Mungkin dengan alasan praktis saja, lagi pula dana juga tersedia, sehingga penyusunan renstra dikerjakan oleh pihak ketiga. Kalau pekerjaan penyusunan renstra tersebut dikerjakan sendiri di internal Bappeda, justru mungkin dana sebesar itu tidak bisa diturunkan. Kalau tidak turun tidak menguntungkan. Ataukah sesungguhnya pihak-pihak internal Bappeda kota tersebut kurang percaya diri mampukah mereka menyusun renstra sendiri. Realitasnya hampir seluruh kabupaten/kota melakukan pekerjaan tender untuk penyusunan renstra ini. Harganya bervariasi dari wilayah satu ke wilayah lain tergantung kekuatan keuangan yang dimiliki masing-masing wilayah. Jadi alasan ketersediaan dana menjadi gugur, sebab kabupaten/kota yang miskin maupun kaya sama saja tetap melakukan tender untuk pekerjaan penyusunan renstra. Sehingga nampaknya alasan praktis saja yang paling kuat. Biar tidak repot, toh budget penyusunan renstra tidak begitu signifikan besarnya dibanding proyek-proyek fisik yang lain.
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 53

Awal Yang Sangat Berat Akhirnya Bappeda kota tersebut sepakat untuk menyusun renstra secara mandiri diprakarsai oleh internal Bappeda. Dibentuklah tim penyusunan renstra dengan melibatkan berbagai unit/bagian di dalamnya. Tim juga dikuatkan dengan surat keputusan walikota. Dan akhirnya dimulailah berbagai pertemuan baik di tingkat unit/bagian maupun yang kemudian diikuti dengan pertemuan-pertemuan forum antar unit/bagian. Dan sejak itu diketahui berbagai kendala muncul, yang harus dipecahkan bersama-sama. Memang bisa dikatakan bahwa kapasitas staff Bappeda dalam hal apa itu perencanaan masih rendah. Tetapi kapasitas yang dimaksud bukan dalam pengetahuan tentang perencanaan, namun lebih kepada sangat tidak terbiasanya mereka berpikir secara runtut mengikuti alur metode perencanaan dan kebiasaan menuliskan hasil diskusi ke dalam naskah-naskah perencanaan. Hal ini bisa dimaklumi sebab telah berpuluh tahun Bappeda kota tersebut memberikan pekerjaan penyusunan renstra tersebut kepada pihak ketiga, sehingga mereka sendiri kurang mengasah skill penyusunan renstra. Kendala yang lain, sepertinya kendala klasik di mana-mana, adalah informasi data yang sangat lemah. Misalnya saja secara umum, ternyata Bappeda hanya mempunyai rekapan data-data dasar sementara data ditail masih berada di dinas/kantor/badan yang lain. Data-data tersebut mencakup spektrum yang luas seperti data tentang potensi pertanian, data arus perdagangan, peternakan, luasan dan
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 54

produksi kehutanan, data-data dasar dibidang kesehatan, data potensi dan produksi pertambagan/galian, dll. Data-data yang tak mampu terbaca ini terpaksa harus dihitung ulang oleh Bappeda, atau harus mencari tahu di sumbernya masing-masing yaitu di dinas/kantor bersangkutan. Persoalannya adalah memang di hampir semua kabupaten/kota di NAD tidak memiliki sistem data base yang baik. Baik di dinas/kantor/badan yang masing-masing mengenai maupun data yang telah tersistematisasi dalam sebuah server data di Bappeda sebagai badan bertanggungjwab perencanaan pembangunan. Kalaupun ada data sering kali data tersebut belum terbarukan, artinya bahwa updating data juga menjadi salah satu persoalan besar. Kalau kita mau merunut sedikit ke tingkat grass-roots, maka sama sekali tidak ada data pembangunan yang relatif memadai baik di tingkat gampong/kampung, kemukiman, maupun kecamatan. Di tingkat dinas data-data tersebut pun terpecah-pecah ke unit/bagian masing-masing. Unit/bagian yang satu, meski secara realitas pembangunan harus saling terkait satu sama lain, namun mereka saling tidak tahu data unit/bagian lain. Inilah awal-awalnya yang mendasari mengapa perencanaan kabupaten/kota sangat ego sektoral, tidak jumlah unit/bagian satu dengan yang lain, dan sepertinya tidak ada koneksi antara dinas/kantor/badan yang satu dengan yang lain. Ego sektoral!!!

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 55

Konon ceritanya renstra itu bermula dari sebuah strategi perencanaan yang ada di kalangan militer. Semua hal harus diturunkan dalam rumusan-rumusan naskah yang mudah terbaca, mudah dimengerti, tidak mengawang-ambigu, targetnya jelas hasilnya jelas diprediksi, bahasanya harus menukik tajam apa maunya dan bukan bahasa-bahasa verbal yang multi-intepretatif. Memfasilitasi staff Bappeda untuk setidaknya sedikit saja mampu mengeti soal-soal yang demikian bukan pekerjaan mudah. Tapi kita mesti mengerti, bertahun-tahun meski mereka staff Bappeda, mereka tidak biasa melakukan hal demikian. Sementara itu amat sering terjadi, bahwa staff Bappeda yang potensial dalam berpikir perencanaan, bahkan sudah dikursuskan atau disekolahkan ke Jawa, yang nantinya diharapkan sebagai praktisi perencanaan yang berkapasitas akhirnya terkena mutasi tanpa pertimbangan seiring semakin meningkatnya pangkat, jabatan, maupun eselonsi orang tersebut. Akhirnya para staff di Bappeda tersebut sangat menyadari bahwa diperlukan data base yang terus menerus terbarukan di semua sektor. Serta di sisi lain perlunya memiliki pusat data yang terintegrasi dari seluruh pelaku dan sektor pembangunan. Sudah mereka rasakan sendiri bahwa data tidak bisa diremehkan. Serampangan dalam mensikapi data akan berbuah keruwetan dalam menyusun berbagai jenis dan bentuk perencanaan. Ego sektoral yang kental merupakan salah satu kendala paling signifikan mengapa pembangunan di sebuah kabupaten/kota tidak
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 56

kunjung menuai hasil seperti diharapkan. Berikut ini salah satu contoh kasus saja yang kita ambil dari renstra di salah satu kabupaten di NAD dalam bentuk ego sektoral itu:
Di salah satu kesempatan diskusi forum antar sektor terpapar bahwa Dinas Pekerjaan Umum (PU) merancang perencanaan prasarana fisik pembuatan jalan hanya diseputar wilayah kota dan jalur-jalur jalan protokol antar kabupaten selama lima tahun mendatang. Sementara itu dari beberapa analisa kekinian (existing condition), sebagai contoh saja, diketahui bahwa: (a) kabupaten tersebut mengalami tingkat akses pendidikan yang parah di beberapa lokasi kecamatan; (b) di beberapa kecamatan kabupaten tersebut penduduknya mengalami kadar tingkat kesehatan yang parah dalam kematian ibu dan anak karena kesulitan akses sarana kesehatan; (c) kabupaten tersebut juga menghadapi rendahnya perdagangan dan pengembangan sektor pertanian lantaran kurangnya akses jalan ke beberapa wilayah potensi pertanian. Akhirnya diketemukan sintesa bersama, bahwa sudah bertahun-tahun kondisi pendidikan, kesehatan, dan perekonomi di beberapa wilayah itu mengalami stagnan karena tidak terdukung oleh perencanaan pembangunan fisik di dinas PU.

Para staff Bappeda salah satu kota lama di Aceh ini pun sempat mengalami frustasi. Frustasi harus dimulai dari mana, bagaimana melengkapi datanya, bagaimana menyusunnya atau menuliskannya, bagaimana menganalisa potensi daerah serta kendala yang ada sehingga menghasilkan langkah strategis yang applicable. Belum lagi harus membagi waktu dengan pekerjaan harian mereka. Tetapi tanggungjawab harus terus dilanjutkan karena telah mendapatkan kepercayaan dan restu dari walikota.

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 57

Akhirnya Puas dan Bangga!! Jika ditenderkan pekerjaan menyusun renstra ini paling lama kelar dalam tiga bulan. Sementara penyusunan renstra secara mandiri ini memakan waktu hampir 6 bulan. Tentu saja ini merupakan waktu yang tidak ideal alias terlalu lama. Namun disadari bersama bahwa itu terjadi karena banyak staff Bappeda tidak terbiasa menyusun renstra secara mandiri. Akhirnya renstra kota tersebut tersusun, meski belum sempurna benar, dengan mencapai jumlah halaman hampir 200 halaman. Ketika dilakukan presentasi dan diskusi bersama antar unit/bagian terasa benar para staff Bappeda mampu bicara dengan relatif meyakinkan apa yang mereka inginkan untuk lima tahun mendatang. Mereka bangga mampu menyusun renstra sedetail itu dan setebal itu. Alangkah bagusnya jika dinas/badan/kantor lain di kota ini bisa menyusun renstra secara mandiri seperti ini, begitu komentar beberapa petinggi Bappeda kota tersebut. Rata-rata jumlah SKPKSKPK di kabupaten/kota di NAD mencapai antara 25 sampai 40 SKPK. Betapa luar biasa jadinya sebuah kabupaten/kota jika seluruh SKPK-nya mampu menyusun renstra secara mandiri, dan mulai melepaskan ego sektoral mereka yang selama ini sangat kental. Pekerjaan Besar Tersisa Pemaparan di atas hanyalah sebuah contoh nyata dari satu institusi di satu kota, yakni instiusi Bappeda sebagai motornya
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 58

perencanaan di daerah. Institusi atau SKPK lain jauh lebih parah. Penulis berkesempatan mendampingi renstra untuk Bappeda, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Dinas PU paling tidak di 4 kabupaten/kota. Begitulah memang idealnya, bahwa semua SKPK seyogyanya mampu menyusun renstra mereka masing-masing, yang secara terbuka mampu mengakomodir aspirasi dari tingkat Gampong/Kampong dan terintegrasi antar sektor. Tentu ini bukan merupakan pekerjaan mudah, dan tidak ada satupun lembaga konsultan atau LSM yang punya energi untuk memfasilitasi semuanya itu. Instansi-instansi seperti misal saja Bappeda kota tadi yang bertugas menyebarkan keterampilan yang telah dimilikinya kepada SKPK-SKPK lain. Pekerjaan besar masih tersisa!!! []

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 59

8. Potret Tentang Organisasi SKPK


SKPK yang merupakan singkatan dari Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota, adalah institusi berupa badan, kantor, dinas, sekretariat dan BUMD milik pemerintah daerah kabupaten/kota, yang disusun berdasarkan peraturan Pusat yakni Peraturan Pemerintah(PP) No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Susunan dan struktur organisasi tersebut di kabupaten/kota ditetapkan melalui qanun (perda) kabupaten/kota. Institusi ini pernah disebut dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Besarnya atau banyaknya jumlah SKPK di kabupaten/kota tergantung kepada luas dan jumlah penduduk suatu kabupaten/kota. Berikut ini penulis tampilkan gambaran jumlah SKPK di beberapa kabupaten dan kota di NAD.
Tabel Jumlah SKPK di Beberapa Kabupaten/Kota di NAD 14 Kabupaten/Kota Luas (Km2) Penduduk Jumlah SKPK Gayo Luwes 571,958 71.663 23 Aceh Tengah 4.318,39 179.360 38 Kota Banda Aceh 61,36 35 219.659 Pidie 3.086,90 386.833 36 Aceh Utara 3.296,86 502.288 27

Yang

menarik

untuk

dicermati

dari

institusi-institusi

pemerintah ini adalah kapasitasnya dalam berorganisasi. Sudah banyak disinyalir bahwa budaya organisasi pemerintah ini sangat bernuansa
14 Sumber: RPJMD Aceh Tengah, 2007; RPJMD Kab. Gayo Luwes 20072012; http://www.gayolueskab.go.id; RPJMD Kab. Pidie Jaya 2007-2012; Buku Perencanaan Pembangunan Kab. Aceh Utara 2007-2012; BPS Kota Banda Aceh, 2007; http://www.acehutara.go.id;

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 60

organisasi kenvensional. Berjiwa segitiga organisasi dimana pucuk pimpinan merupakan penguasa tunggal. Pimpinan adalah pemilik kekuasaan dan kebijakan. Unit-unit atau bagian dibawahnya, beserta perangkat staffnya, kental terasa hanya menjadi pion-pion saja yang sangat sedikit kesempatannya untuk mengkreasikan ide-ide, belajar berorganisasi secara benar, apalagi menggerakkan sebuah perubahan. Oleh karena itu banyak pihak termasuk masyarakat luas sering mengeluhkan bahkan sampai melakukan tindak demonstrasi terhadap kinerja organisasi atau institusi pemerintah, apalagi jika institusi tersebut merupakan institusi yang langsung memberikan pelayanan publik. Seperti dikatakan oleh salah seorang ahli tata administrasi negara Yeremias T. Keban 15 , bahwa gambaran yang sebenarnya tentang kinerja lembaga dan aparat pemerintahan selama ini sulit diketahui. Implikasinya, sulit juga diberikan saran atau input untuk melakukan perbaikan kinerja, misalnya berkenaan dengan ketrampilan, pengetahuan, keahlian, sistim penempatan, dukungan kepemimpinan, struktur, dan manajemen. Sekilas Learning Organization Sejak kuatnya berhembus konsep reformasi birokrasi, penilaianpenilain kinerja organisasi/instuitusi pemerintahan juga mulai dikembangkan. Banyak peraturan telah dikembangkan dalam rangka memperbaiki kinerja dan akuntabilitas instansi pemerintah tersebut,
15

Lihat Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan: Yeremias T. Keban. Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 61

antara lain mengenai: peraturan pemerintah mengenai susunan organisasi dan tatalaksana instansi pemerintah (daerah); LAKIP (laporan kinerja instansi pemerintah); format laporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah; dll. Peraturan dan perundangan tersebut tidak habis-habisnya diperbaiki seturut dengan kian maraknya kritik dan keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik instansi-instansi tersebut. Sementara itu organisasi-organisasi swasta (non-pemerintah) terus menerus meningkatkan performa organisasi mereka, untuk memberikan pelayanan prima kepada konsumen atau masyarakat melalui apa yang dikenal dengan learning organization. Apakah learningh organization itu? Moya K. Mason mengutip sebuah pendapat bahwa:
A learning organization is one that seeks to create its own future; that assumes learning is an ongoing and creative process for its members; and one that develops, adapts, and transforms itself in response to the needs and aspirations of people, both inside and outside itself ( Navran Associates Newsletter 1993) 16 .

Sementara

itu

Yogesh

Malhotra 17

dalam

artikelnya

Organizational Learning and Learning Organizations: An Overview mengutip beberapa pendapat:


16 What is a Learning Organization? by Moya K. Mason, dalam http://www.moyak.com/papers/learning-organization.html 17 Lih. Organizational Learning and Learning Organizations: An Overview dalam http:// www.brint.com/papers/orglrng.htm

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 62

Senge (1990) would define Learning Organization as an "Organization with an ingrained philosophy for anticipating, reacting and responding to change, complexity and uncertainty." The concept of Learning Organization is increasingly relevant given the increasing complexity and uncertainty of the organizational environment. As Senge (1990) remarks: "The rate at which organizations learn may become the only sustainable source of competitive advantage." McGill et al. (1992) define the Learning Organization as "a company that can respond to new information by altering the very "programming" by which information is processed and evaluated."

Apa yang hendak ditegskan oleh Moya dan Yogesh adalah bahwa sebuah institusi maupun organisasi bukan saja tempat orang bekerja, menerapkan ketrampilan semata untuk memperoleh honorarium atau gaji. Tetapi organisasi adalah juga tempat orang belajar berinteraksi (human interaction) dengan sesama, tempat sekumpulan orang mengreasikan ide-ide (creative process), tempat orang saling belajar satu sama lain sekaligus meningkatkan kapasitas dan performa organisasinya (organization development process). Dalam artikel Moya tersebut, ahli learning organization Senge, selanjutnya menegaskan ada lima strategi agar institusi bisa menjadi sebuah learning organization, yaitu: Pertama, Systems Thinking, dimana ada sebuah gambar besar visi, misi, dan strategi yang menjadi pegangan dan sungguh dipahami oleh semua staff. Kedua, Personal Mastery, dimana setiap staff merasa menjadi bagian penting di dalam misi institusinya, sehingga mereka penuh semangat
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 63

mengejar kapasitas pribadi (karir) sebagai manusia pembelajar. Ketiga, Mental Models, yakni menumbuhkan jiwa pembaharuan demi kemajuan isntansi. Mental semacam ini harus dimulai dengan mekanisme rutin untuk reflkeksi-aksi yang terorganisir secara baik oleh organisasi/institusi. Keempat, Building Shared Visions, dimana visi dan misi institusi harus dibangun dari dan dipahami oleh semua staff. Semua harus merasa berkontribusi dalam membangun visi dan misi sebab ini akan menjadi komitmen perkembangan jangka panjang. Kelima, Team Learning, institusi harus dipahami sebagi team work (kerja tim), yang satu berkontribusi terhadap yang lain. Tidak mungkin performa institusi bersangkutan hanya merupakan hasil kerja seseorang atau sebuah unit kerja saja. Pemahan bekerja sama ini harus ditanamkan di dalam sebuah intitusi. Sudahkah performa institusi-institusi di pemerintah kabupaten/kota kita, dalam hal ini di NAD, setidak telah menuju proses learning organization? Seperti apa protret kapasitas institusiinstitusi tersebut? Gambaran Kapasitas Institusi Ada sebuah instrumen yang disebut OCAT (Organization Capacity Assessment Tools) untuk mengukur performa kapasitas oranisasi. Program GTZ-ALGAP dalam melakukan proses capacity building pemerintahan kabupaten/kota pernah menerapkan instrumen OCAT tersebut kepada sebagian besar SKPK di 23 kabupaten/kota di Aceh. Ada lima tema yang diukur di dalam OCAT ini yakni: Kinerja pemerintahan institusi bersangkutan; Praktik-praktik
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 64

manajemen;

Sumberdaya

manusia;

Sumberdaya

pengelolaan

keuangan; Kapasitas penyediaan layanan; dan Hubungan eksternal dengan instansi/organisasi lain. Metode mengukur OCAT yakni dengan menggunakan format ukuran yang didiskusikan bersama secara partisipatif, yang harus diikuti oleh semua bagian/unit di sebuah institusi, melibatkan unsur eselon dan staff. Dalam sub-bab ini penulis hendak menyajikan intepretasi performa dari institusi Bappeda di beberapa kabupaten/kota. Bappeda Kab. Aceh Selatan menunjukkan performa institusi yang cukup baik. Sebagian besar dari kriteria yang diukur memnunjukkan sudah mencapai awal-awal institusi yang bisa disebut dewasa. Hanya saja dalam hal pengembangan SDM dan pengelolaan sumbedaya keuangan masih lemah. Meskipun sebagai institusi secara umum sudah cukup baik, namun nampaknya dari segi pelayanan masih perlu dikembangkan. Ini terbukti dari ukuran bahwa komitmen stakeholder yang masih perlu dikembangkan.

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 65

Beberapa subkriteria yang masih harus dikembangkan antara lain: Sistem informasi; Pelaporan program; dan Pengeloaan SDM Melihat institusi dibilang Pidie dari visual hasil performa Bappeda Bappeda Jaya agak Kab. Pidie Jaya, bisa

tertinggal dibanding Bappeda Kab. Aceh Selatan. Tentu saja hal ini bisa dimaklumi lantaran Kab. Pidie Jaya merupakan kabupaten yang baru. Kabupaten ini berdiri resmi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Secara umum performa institusi Bappeda Kab. Pidie Jaya dapat dikatakan berada pada posisi institusi yang sedang muncul dan menuju berkembang. Hanya ada satu criteria yang telah mencapai awal kondisi dewasa, yakni kemampuannnya untuk melayani
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 66

institusi-institusi lain. Hal ini mungkin bias dimaklumi karena sebagai kabupaten baru peran Bappeda menjadi sangat krusial dalam menopang perencanaan institusi lain demi mengejar ketertinggalan pembangunan dengan kabupaten dan kota lain di Aceh. Beberapa point yang lemah masih antara sangat lain:

Share visi dan misi yang kurang dipahami oleh waian Bappeda; administrasi; informasi; seluruh staff; kepegainsternal Prosedur Sistem dan manajemen

Pengembangan SDM internal Bappeda. Sebagai kabupaten baru, yang dengan demikian Bappeda-nya juga baru, tentu persoalan SDM menjadi problema yang sangat serius dalam perencanaan pengembangan kapasitas yang lebih terarah.

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 67

Demikianlah gambaran mengenai keorganisasian SKPK di beberapa institusi pemerintahan daerah di Aceh, yang secara umum masih sangat membutuhkan pengembangan dari dalam di banyak aspek. Kultur berorganisasi dalam banyak aspek masih membutuhkan perhatian dari berbagai pihak []

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 68

9. P e n u t u p
Jika kita semua mau memaknai bahwa institusi pemerintah daerah bukan sekedar instrumen teknis-mekanistik untuk menjalankan pemerintah(an) daerah, namun lebih dari itu bahwa, instrumen-instrumen tersebut juga sebagai arena demokratisasi menuju kesejahteraan bersama, serta media publik untuk pemenuhan rasa keadilan, maka masih banyak sekali yang harus dikembangkan dalam hal kapasitasnya. NAD merupakan salah satu propinsi yang tergolong miskin di antara propinsi-propinsi lain Indonesia. Alasan sejarah panjang konflik sosial, penghisapan dari Pusat dan bencana Tsunami memang bisa kita sebut sebagai salah satu penyebab kemiskinan itu. Namun NAD sekarang dengan otonomi khususnya adalah NAD yang sedang menyongsong masa depan di tangannya sendiri. Belum optimalnya aspek pengembangan kapasitas di pemerintahan daerah (kabupaten/kota) di NAD bisa sangat mungkin mempertajam kondisi kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. Program pengembangan kapasitas (capacity building) oleh para birokrat di kabupaten/kota di wialayah NAD sekedar hanya dimaknai sebagai upaya pendidikan dan atau kursus bagi para staff pemerintah (an). Oleh karena itu program pengembangan kapasitas yang ada lebih banyak berfungsi untuk menambah cum atau angka akreditasi secara individual pegawai (staf) yang dikirim, dan setelah itu berhenti di situ.
Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 69

Pengembangan kapasitas kurang diikuti dengan sebuah upaya visioner untuk memperbaiki sistem ber-pemerintahan, baik dalam sistem penataan kebijakan dan peraturan daerah, sistem berorganisasi/berinstitusi sebagai media pembelajaran, sistem reward and punishment, dll. Itu sebabnya maka meskipun budget pengembangan kapasitas selalu dianggarkan setiap tahun, namun kurang memberikan perubahan terencana yang signifikan dalam bertata pemerintahan yang membaik. Program pengembangan kapasitas yang digulirkan oleh GTZALGAP dan AGSI ini semoga memberikan model pembelajaran yang dapat dikembangkan oleh pemerintahan kabupaten/kota di wilayah NAD []

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 70

Tentang Penulis
Penulis berlatar belakang pendidikan Antropologi (UGM-Yogyakarta). Bersama beberapa kawan mendirikan Lembaga Nawakamal (Yogyakarta) tahun 1994. Dan kemudian terlibat dalam aktivitas berbagai NGO dan berkesempatan melakukan kerja pemberdayaan dan penelitian sosial-budaya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pernah belajar social development leadership di Asian Health Institute (NagoyaJepang, 1995) dan di ActionAid (Bangalore-India, 1996). Bergabung di GTZ ALGAPII-AGSI (program local government capacity building di Aceh) sejak November 2007 sampai Oktober 2010. Bisa dihubungi melalui email: emilianus_elip@yahoo.com

Meretas Jalan Pengembangan Kapasitas di NAD | hal - 71

Anda mungkin juga menyukai