Anda di halaman 1dari 163

Kumpulan Puisi

Emil E. Elip

“PERJALANAN
DAN MIMPI”

September 2018
Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

Hal- 1

Perjalanan dan Mimpi


Puisi-puisi di dalam kumpulan puisi ”Perjalanan dan Mimpi” ini bersumber dari
dua kumpulan puisi, yaitu ”Puisi-Puisi Perjalanan” dan ”99 Mimpi yang Hilang”,
yang saya muat di www.emilianuselip.wordpress.com dan kompasiana, dengan
penambahan beberapa puisi baru.

Jelas...saya bukanlah seorang penggubah puisi atau penyair. Saya hanya


seseorang yang selalu rindu menuliskan pengalaman perjalanan dan mimpi-
mimpi saya dalam bentuk puisi. Daya ingat saya tentang kegetiran, berjumpaan
yang mengharukan, penglihatan atas sesuatu yang menyentuh, emosi-emosi
yang tersembul lantaran melihat kesemrawutan, dan macam-macam lain, tak
mampu saya ingat satu per satu.

Sebab itulah saya mencoba menuliskannya. Dan karena bukan seorang penyair,
maka mungkin larikan-larikan kata-kata itu terkesan ”ndeso” (katrok), kering,
nggak asyik..... Tapi sudahlah. Maafkan saya soal itu semua, dan semoga
menjadi pemicu bagi saya memperbaikinya terus...menerus...dan terus!

Semoga semua ini memetikkan kenangan, atau mungkin makna baru bagi
pembaca.

Yogya - Jakarta, 2012 - 2017.


Emil E. Elip

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-1- Hal- 2
EMBUN DAN BAU BUNGA KOPI
Oleh: Emil E. Elip

Untung tidak Bang punya kebun kopi?


--Jangan tanya aku!! Tanya tu toke-toke!!
Lantas, mengapa Abang pliara terus kopi-kopi tua itu.
--Terlanjur disebut ”petani kopi”. Itu masalahnya!!

Bau bunga kopi pagi hari


Menjalar diseluruh lereng pegungan Gayo
Tapi aroma keuntungan,
Tidak selalu pasti hinggap di setiap petani kopi.

Perempuan-perempuan berkerudung,
Bersama embun tersembul di dedaunan
dan buah-buah kopi basah
Lereng-lereng begitu terjal. Gelap. Bahkan sangat gelap!

Aku sering tak sadarkan itu.


Ketika duduk di warung kopi ”Singgah Mata”
”Mantaapp...”, gumamku selalu
Maafkan aku.

Takengon, Desember 2008

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-2- Hal- 3
SURAT DARI SAHABAT -1-
“Kedamaian dan Keindahan”
Oleh: Emil E. Elip

Dan ku lantunkan nyanyian getaran jiwa :

Berkali kali. Sudah kulalui jalan-jalan ini:


Banda Aceh-Lhokseumwe-Medan. Siang dan Malam.
Jalan kelok-kelok, Biereun sampai Takengon
Berpuluh kali. Siang atau malam, ku lalui.

Telah ku pijak tanah ini berbulan-bulan.


Airnya aku minum berulang kali. Siang sampai malam.
Tidak benar!! orang banyak bilang.
Negeri ini tiada menumbuhkan ”keindahan”.

Bisakah kau serap nikmatnya:


Orang saling sapa, lempar canda..dan tertawa
Di dalam labi-labi, L300, bus malam, warung kopi,
pasar-pasar, terminal, pematang sawah, kebun...
Dengan hati awal yang bersih.
Tiada pasang batas curiga

Dan jika ”perempuan” sang pembawa generasi,


Merasakan indahnya dan damainya sendiri
Maka tidak pantas kita ragu!!!
Kedamaian dan keindahan. Makin dalam di tanam!!

Redelong, November 2008

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-3- Hal- 4
DIALOG DENGAN "ORANG RUMAH" (1)
Oleh: Emil E. Elip

“Padi di lumbung sudah habis bang”


Petik dan jual dululah pinang-pinang
“Musim pinang belum juga datang”
Kebun Pisang! Ya jual semua pisang
”Kedahuluan kera-kera datang menerjang!!”

Gila! Apa tersisa buat kita.


”Aku punya mimpi, Bang...”
Punya mimpi apa kau hai!! Orang rumah
“Aku bukan –orang rumah- lagi: Aku Perempuan”
“Ijinkan aku mengejar mimpi mimpi...”
Aku pun mau mengejar mimpiku!!
”ke mana Abang mau mengejar mimpi?”
”Samakah mimpi kita Bang!!!”

Malam pun menjelang. Dan esok kembali terulang.


Berulang kali terulang......Entah sampai kapan...

Meureudu, Januari 2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-4- Hal- 5
SURAT DARI SAHABAT -2-
“Perempuan dan Kehidupan”
Oleh: Emil E. Elip

Generasi – Perempuan -- dan Sorga


Banyak kebudayaan percaya
Sejak berabad-abad. Adalah ”Satu”.
Entah kenapa!!

Maka bebaskan ”perempauan”


Berkesempatan mewariskan
generasi kebaikan dan keindahan
Di segala macam bentuk kehidupan....

Meureudu, Februari 2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-5- Hal- 6
AKANKAH PERAHUMU KEMBALI
Oleh: Emil E. Elip

Sudah berpuluh purnama,


Perahu Abang semakin lama makin menjauh
Tidak ku kenal tempat-tempat itu
Seperti kita waktu masih muda dulu...
Entah kemanalah ikan-ikan tu
Apakah mereka kian membeci kami
Atau kamilah yang mengusir mereka menjauh

Jika suara samudra menderu-deru,


Angin menjilat-jilat atap, kencang begitu rupa
Bang, hatiku menjerit seperti tercabik-cabik
Aku panjatkan Sholat. Ku dekap erat anak-anak
Tepat di belakang pintu!!!

Setelah berpuluh purnama,


Perahu Abang semakin tidak terlihat
Hanya desir angin yang ku tangkap.
Kian lama kian jelas hembus bisiknya
Aku tertunduk. Aku tahu ...
Abang tidak akan pernah pulang.

Meureudu, April 2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-6- Hal- 7
DIALOG DENGAN ORANG RUMAH (2)
Oleh: Emil E. Elip

Maafkan abang, di separoh hidup kita


Hanya “mimpi” yang bisa aku nyatakan

Mimpi memang membingungkan


Sebagian orang bilang, tanpa mimpi kita tidak hidup
Orang lain lagi berdalih, mimpi saja itu omong kosong

Tapi inilah kenyataannya ...


Separoh hidup kita bersama, hanyalah mimpi
Dan kita lantas ”bertekak”. Terus menerus ...

Aku tidak tahu dalil-Nya.


Semoga mimpi, dan hanya mampu bermimpi
tidaklah dosa, baik di dunia maupun akhirat

Entahlah...apa di sorga nanti kita masih bisa bermimpi


Mungkin kerena semuanya sudah ada
lalu kita tidak mampu ”bermimpi” lagi

Banda Aceh, November 2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-7- Hal- 8
SOSOKMU, DI BATAS CAKRAWALA
Oleh: Emil E. Elip

Suatu sore, selepas Mahrib


Bapakku pamit, katanya dia mau ke Parangtritis
Seingatku itu sudah berkali-kali terjadi

Berbulan bulan aku bertanya. Mencari jawab


Berceritalah bapak: begitu yang dia lakukan
kalau rindu sanak saudaranya
di Timur padang sabana
Berpulau-pulau...berhari hari jauhnya
Kampung halaman bapak dari jarak dia berdiri

Sore ini...selepas mahrib, aku masih berdiri


di pantai Ulee Heuleu, memandangi batas cakrawala
Siang belumlah hilang,
Gelap malam masih malu menyelimuti bumi
Tempatku berdiri...berpulau-pulau....
berhari-hari jauhnya dari kampungku
Dan tak kusadari sudah berkali-kali ini terjadi

Kurasakan getaran Bapakku duduk bersamaku


Kami bersama-sama memandangi cakrawala ...

Banda Aceh, November 2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-8- Hal- 9
HIBURAN OO... HIBURAN
Oleh: Emil E. Elip

Akhir pekan masih semalam lagi kawan


Kau lintang pukang bak cacing kepanasan
Membunuh waktu dan merobek robek kalender

”Hai...ganteng kali”
”mau ke mana rupanya”, tanyaku
”Mau pergi, cari hiburan”
”Kalau kau tidak ikut terserah”,
Jawabnya seperti ajakan sekaligus ancaman.

Ooo...kemanakah kau yang bernama ”hiburan”


Mengapa kau penjara dia dalam keresahan
Kau seret pula aku dalam kebimbangan
Tidak cukupkah di sini...
Warung-warung kopi, Mie Razali, Ka-Ef-Ci
Pantai Uleu-leu, Panti Pirak dan yang lain....
Main games, atau internet.
Tidak cukupkah di sini saja...

”Kawan kita di sini saja”


”Ataukah kau mulai lemah iman!?”
”Jangan kau bicara iman!”
”Carilah iman di tempat-tempat ibadat atau panti asuhan”
”Selebihnya kau, bak mencati jarum dalam sekam!!”,
Bahasanya tegas, dalam logat yang khas.

Banda Aceh, Desember 2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-9- Hal- 10
TETAP SAJA TAK TERBENDUNG
Oleh: Emil E. Elip

Saudarara- saudari ...


Nampaknya nafsu kita tetap saja
Ombak menjulang bergulung-gulung
Bumi dipijak menari bak tarian rampak
Tetapi, saudara-saudari ...
Nafsu kita tetap saja nampaknya

Oo ... jiwaku lemas


Terkuras kesedihan dan tangisan
Ratapanku dunia ini fana ... fana ... fana

Saudara-saudari ...
Tetapi memang nafsu kita tetap saja
Menumpuk bata tinggi-tinggi
Pertebal kanan kiri semen dan pasir
Bersolek terus ... semakin puas rasanya

Aku cakar bumi dalam-dalam


Aku sangga langit tinggi-tinggi
Mmm ... aku bunuh sudah ratapan
Aku bayar habis kesedihan
Nafsuku, ... tetap saja tidak terbendung
Saudara-saudariku ...

Banda Aceh, Januari 2010

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-10- Hal- 11
DI SISI MANA AKU BERSIMPUH
Oleh: Emil E. Elip

Dari Teuku Umar, Cut Nyak Dien,


Malahayati sampai Cik Di Tiro ...
Berpuluh purnama ku cari
Jejak makam “pahlawan’ku

Tapi!!! Setiap kali berdiri


Tepat di hadapan pusaramu
Aku bingung ...
Di sisi kiri atau di sisi kanankah
Aku mestinya bersimpuh

Dari pagi sampai kumandang mahrib siap


Tidak kunjung berkesudahan bingungku
Termangu dalam renungan

Sudah tidak penting lagikah bagimu


Pahlawanku...
Di sini mana mesti aku bersimpuh?!
Karena bagi roh jiwa pembebasan
Ruang dan waktu tetaplah baik adanya

Ataukah...
Hai pahlawanku. Sedang kau ajarkan padaku
Terus menjunjung pembebasan
Menepis kesewenangan dan ketidakadilan:
... pada siapapun, di sisi manapun...!!!

Banda Aceh, Maret 2010

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-11- Hal- 12
MERAH AIR RANUB SIRIH
Oleh: Emil E. Elip

Baru saja nenek tua meludah ke tanah


Secepat itu mulutnya lalu komat-kamit
Melumat ranub-sirih

Dari Aceh sampai Maluku dan Timor


Nenek tua serupa dia, mengunyah sirih
Di pesta-pesta istana
Silaturahmi antar suku dan bangsa
Dari tirai-tirai hajat kawin
Sampai ritual-ritual penyembuhan
Sirih nenek tua hadir sebagai ”simbol”...

Pagi itu. Nenek tua kembali memilin ranub-sirih


Anak laki-laki dan perempuan, cucu-cucu,
Mak Cik dan keponakan...
Keluar memberi salam lalu pergi menyongsong hari
Bersepeda, labi-labi, becak, mobil
Ke gedung-gedung tinggi bergulat dengan kehidupan
Persaingan, kemenangan, keuntungan, pangkat,
Kekalahan ...bahkan sampai penipun dan pengkhianatan

Sore menjelang. Nenek tua mengunyah ranub-sirih


Menunggu mereka kembali....
Hanya diakah yang mampu meresapi
Makna mengunyah ”sirih” persahabatan
...kesantunan dan jiwa silaturahim...

Banda Aceh, Mei 2010

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-12- Hal- 13
KEKUASAAN MHEEHH........!!!
Oleh : Emil E. Elip

Agak aneh bagiku kalau kau masih percaya pada rezim kekuasaan. Dalam sejarahnya
manusia sepertinya tidak ada rezim kekuasaan yang ”murni”. Murni untuk
kemaslahatan dan perut rakyat. Jadi jangan percaya pada kekuasaan dan rezim
pengusungnya. Sepertinya semuanya itu semu..... persis seperti gula-gula. Di emut-
emut, sudah itu hilang rasa.

Apa yang dibayangkan indah, mulanya...akhirnya pahit juga. Egaliter, demokratis,


tahta untuk rakyat, pemerataan toh akhirnya isapan jempol belaka. Janji dari sebuah
rezim atas ”kekuasaan” itu propaganda saja, iklan belaka, negosiasi melulu.

Jadi kalau perutmu lapar dan kau merasa dizolimi oleh ”kekuasaan”, apa yang mau
kau lakukan!!!!

Banda Aceh, Oktober 2010

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-13- Hal- 14
DIDONG DAN BUNGA KOPI
Oleh: Emil E. Elip

Semalaman aku terpekur setengah tidur


Bersandar pada panggung bambu
Terbuai syair-syair ritmis parodis
Dendangnya menembus melintasi generasi
dan embun pun takzim dalam sunyi pagi.

Hai..kau Chek Didong tua, dendangkan padaku


Genderang perlawanan atas risauku
Banyak orang menangis pilu
dalam miskin yang membelenggu.
Jangan manjakan telinga orang-orang tu
pada cinta dan propaganda semu!!

Subuh menjelang.
Bau embun dan biji kopi segera datang
Ikan-ikan depik bergerak dari sarangnya
Kehidupan esok pagi sebentar lagi tiba
Turun dari punggung bukit-bukit kopi
Syair-syairmu bersamaku pergi
dalam niat baru yang mesti digenapi

Tepi Danau Lot Tawar, Januari 2008

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-14- Hal- 15
HALIMUN, MERBABU, TAKENGON DAN WAMENA
Oleh: Emil E. Elip

Orang-orang yang tinggal berpagar gunung. Orang ”gunung” sebutannya oleh banyak
orang. ....udik, ndeso, bodoh, tradisional, begitu orang bilang

Wangi embun tumbuh di kebun-kebun talun di Halimun


Bau patah bunga col menyeruak pagi di Merbabu
Bunga kopi dan sayuran menyebarkan aroma bersama embun pagi di Takengon
Rumput padang sabana dan bau ketela rambat bersama embun di Wamena.....

Entah mengapa orang-orang kota selalu gagal ”menghargai”


apa lantaran gunung dianggap tidak penting
Aroma ugahari selalu dianggap konvensional dan bodoh....

Jogja, Desember 2010

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-15- Hal- 16
SUDAH...BEGINI SAJALAH
Oleh: Emil E. Elip

memang waktu tak kan mungkin kembali


meski sesungguhnya ia adalah panjang
tetapi aku tidak pernah sampai menemukan di mana batasnya
karena itu tidak pernah suntuk aku berharap
pun tidak sekalipun berhenti menghujat.

untuk apa berharap kembali seperti semula


tidak mungkin kita inginkan dunia ini kembali
seperti awalnya diciptakan oleh Sang Waktu.

sudahlah... dari sini saja dimulai


apa saja yang bisa dilakukan
apa saja yang bisa diharap
apa saja yang bisa diraih
persetan dengan hasil.
karena waktu...itupun kita tidak tahu
lantaran ia menjadi satu
antara ”akhir” dan ”permulaan”
... begini sajalah!!!!

Yogya, Maret 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-16- Hal- 17
JAKARTA: DARI SEBUAH SUDUT JENDELA
Oleh: Emil E. Elip

Aku duduk dibalik jendela, menatap jakarta


setelah lebih dari tujuh tahun lalu.

Kota yang tidak pernah suntuk ku telusuri


lorong-lorongnya
Terlalu kuatkah kota ini untuk ku kuasai
liku-likunya....

Bersama hujan dulu ku tinggalkan kota ini


Bersama hujan akhir tahun aku kembali di sini
Duduk dari sebuah sudut jendela...

Ada keraguan, bercampur keinginan


Ada sumpah yang tercecer, dan kini hilang...
Dari sudut jendela...aku ingin terbang ke cakrawala

Jakarta, Desember 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-17- Hal- 18
POHON GADISKU
Oleh: Emil E. Elip

Anak gadisku telah tumbuh dewasa


Di dahi dan hatinya muncul pohon asam
Pohon paling rindang di Timur padang sabana

Sesekali aku memergokinya


Bersolek di rindang pohon-pohon asam tua
Melenggang lenggok mempercantik diri di depan kaca
Memainkan tentun-tenun ikat nenek buyutnya

Dedaunan di dahinya hijau menyebar


Akar di hatinya kian menjalar
Sebentar lagi, semuanya akan bertumbuh
Lebih kuat, kokoh, dan menyejukkan:
“manusia”

Yogya-Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-18- Hal- 19
SEPERTI DULU, BERSAMA KERETA
Oleh: Emil E. Elip

Duduk di bangku nomor berapa mas, tanyaku


Dia agak lama tidak menjawab....
”halaman limabelas”, balasnya.
Jelas-jelas aku bingung mana ada nomor kursi kereta
berjudul ”halaman limabelas”.

Berminggu-minggu kemudian sejak itu, aku terbiasa juga


Ber-halaman-halaman telah kududuki dan kutiduri
Macam-macam koran, di atas kereta, Jakarta-Yogya

Tetapi itu dulu. Kini aku duduk dan selalu duduk


di nomor kursi yang benar. Di kereta api yang lebih baik ...
Entahlah mungkin hanya sementara
tetapi mungkin juga akan terus begini.
Duduk di kursi kereta yang lebih elok...

Rupa-rupa dunia kulirik dari balik sudut jendela kereta


... tetap saja pengap, berjubel,
berpacu dalam amarah di luar sana ...
Aku tertidur saat kepala semakin pusing dan berat

Yogya-Jakarta, Januari 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-19- Hal- 20
MISTERI
Oleh: Emil E. Elip

Seorang ibu datang pada ku


Meratapi rahimnya yang tidak penuh berkat
Anak-anaknya tumbuh menjadi generasi melarat
Ia ingin mengakhiri hidupnya yang penuh ngilu

Aku teringat seorang perempuan


Yang hidup dua ribu tahun silam
Anak tunggalnya dicaci-maki dan ditikam
Tetapi pribadinya dielukan orang sepanjang zaman.

Rahim...selalu bersih dan penuh miteri, ibu


Sayang, sang ibu terlanjur pergi
Mengakhiri hidupnya beberapa saat lalu.

2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-20- Hal- 21
DI RUAS JALAN DI PELOSOK
TIMUR INDONESIA
Oleh: Emil E. Elip

Hampir tengah malam


Aku terguncang-guncang
Di hampir seluruh jalan sepanjang 6 jam
Melalui tebing curam, hutan belantara, dan perkampungan
Itu saja saya termasuk beruntung kata orang-orang disana
Kadang tidak ada mobil,
atau janji jam 20:00 tapi dijemput jam 13:00

Aceh sebagai profinsi baru, jalan-jalan di sana jauh lebih baik


Tapi di sini diantara Toju Una Una dan Banggai
Setelah sekian lama merdeka negeri ini
terasa baru kemarin saja mengenyam kemerdekaan
Tapi apa kita harus diam saja, kata orang yang duduk di sampingku
Kalau matilah kita
Harus bergerak!!
Kita harus bergerak ada atau tidak ada ”republik ini”

Dari pembicaraan yang panjang soal kehidupan ini,


tertangkap sudah...
Tidak penting bagi orang ini ada atau tidak negara
yang disebut dalam buku-buku sebagai ”Indonesia”
Misi hidupnya adalah ”survaival”
bagaimana keluarganya bisa tetap makan setiap hari.

Siapa kepala desanya, siapa camatnya,


siapa bupatinya, siapa gubernurnya,
siapa presiden dan menteri-menterinya:
”taik kucing!!”
Siapa Gadjah Mada, siapa hayam Wuruk,
siapa WR. Supratman, siapa...siapa...siapa
Dan apa yang mereka perbuat...
Tidak penting lagi bagi orang-orang ini.

Semua kata-kata orang ini


Menyerang beban kepala ku lebih penat
Aku terkulai lemas tertidur
saat mulai mempertanyakan kembali:
”siapa aku.........”

Antara Toju Una Una dan Banggai, Desember 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-21- Hal- 22
MEMIMPIKAN MIMPI DI DALAM MIMPI
Oleh: Emil E. Elip

Anakku terkecil, lebih dari tiga tahun umurnya


bicara ceplas-ceplos seperti Socrates bermimpi
tentang ”negara” dan ”demokrasi” berabad-abad lalu
...pingin jadi dokter, pingin jadi pilot, pingin jadi sopir
ngapain kerja, kalau tidak ada uang mbok ambil uang di bank...

Dunia ini tanpa makna.


Tapi dunia ini juga terlalu penuh makna.
Hidup ini berat. Tapi hidup ini bisa juga sangat mudah.
Bermimpilah karena itu bumbu hidup.
Namun ada juga yang hidup saja enggan, apalagi bermimpi.
Bahkan mungkin kita tidak tahu apa kita pernah bermimpi.
Apalagi mengetahui yang mana sajakah dari mimpi-mimpi kita
yang pernah kesampaian.

Para kakek, nenek, dan tetua-tetua menganjurkan


hiduplah seperti ”air mengalir”.
Dia tidak pernah bermimpi tetapi tahu pasti
tujuan akhirnya adalah ”dibawah”.
Bermimpi atau tidak pernah bermimpi,
kita semua pasti ”mati”, yang sering kali,
bermimpi untuk mati saja kita takut!

Mungkin ada baiknya


”bermimpilah di dalam mimpi-mimpi”:
sebelum mati ...

Jakarta, awal Januari 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-22- Hal- 23
ATAS NAMA ....
Oleh: Emil E. Elip

Atas nama uang, pejabat saling tuding


Atas nama kepentingan, tanah rakyat digusur
Atas nama harga diri, antar rakyat saling serbu
Atas nama ”lahan parkir”, antar preman saling bunuh
Atas nama agama pun, antar umat saling melukai
Atas nama yang ”semu” generasi muda sudah jemu
Kita hidup dalam dunia tipu-tipu.

Lalu semua sibuk menggali ”solusi”


tetapi terlalu arogan untuk ”ber-refleksi”

Jakarta, September 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-23- Hal- 24
CUKUPKAN KAMI
Oleh: Emil E. Elip

Lepas tengah malam, akhirnya aku putuskan “berdoa”


Tapi entah ini doa atau sekedar mimpi…..

“Cukupkan rizki kami, Tuhanku ke dalam rizki-Mu yang agung”


“Cukupkan kesehatan kami dan keluarga kami Tuhanku,
ke dalam tubuh-Mu yang tak kan pernah lelah”
“Kurangkan kekhawatiran-kekhawatiran kami, Tuhanku
ke dalam luasnya samudera jiwa-Mu” …

…dalam perjalanku menuju kesunyian mimpi abadi…..

Jakarta, Februari 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-24- Hal- 25
TERUS SAJA BERMIMPI
Oleh: Emil. E. Elip

Mungkin, tinggal “bermimpi” dan “berdoa”


bagian dari hidup yang luput dari dosa.
Maka terus sajalah “bermimpi”.

Jangan kau berhenti bermimpi


meski hidup dalam miskin dan sepi.
Terus saja bermimpi sebab tidak sesosok pun
bisa menghentikan mimpi-mu.
Meski kau berjalan dalam “lorong sunyi keabadian”.

Jakarta, Februari 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-25- Hal- 26
SAMPAH MAKANAN DAN KOSUPSI
Oleh: Emil E. Elip

Pagi ini sehabis sarapan aku berjalan ke kantor


Tepat didepan mataku dua orang pemulung
makan sampah sisa tadi malam.

Dihari yang sama, sore harinya


Televisi menyiarkan “The New Gatus” dengan
korupsi melebihi yang sudah-sudah.

Aku menyesal bertemu dengan dua “perjumpaan” ini. Ataukah…


hidup ini hanya mimpi dengan begitu banyak “rona”.

Jakarta, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-26- Hal- 27
BAGAI MIMPI
Oleh: Emil E. Elip.

Sebagian darahku mengalir para pelari gunung


batu-batu kering dan padang sabana Timur
Sebagian lain, menetes darah dari perbukitan sunyi di Selatan
Bermimpi…adalah jalan untuk lepas dari kesunyian,
paceklik, dan menghindar melihat sapi-sapi
dan kuda mati kekeringan.

Kami adalah orang-orang aneh


Hidup dalam diam, menyapa seperlunya saja
Kami adalah orang-orang keras kepala tetapi mudah terhanyut
kasihan dan romantisme.
Kami tidak menginginkan mimpi, mungkin karena tidak sempat dan
tak butuh mimpi.

Hidup yang kami jalani dari hari ke hari


sudah “bagaikan mimpi”!

Jakarta Maret 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-27- Hal- 28
IKAN-IKAN KITA KOSONG
Oleh: Emil E. Elip

Jika kau melaut nanti malam


tolong bisikkan kepada cadik-cadik perahu
Ikan-ikan di tong-tong plastik
di dapur-dapur kampung kita
sudah kosong.

Ajak bicara kepada laut-lautmu.


Jika perlu memohonlah
agar ikan-ikan datang mendekat
ke jala-jalamu.

Jangan hanya bermimpi pulang membawa ikan


Besok pagi adalah hari pasar ikan.
Sudah berulang-kali
bahkan tidak terhitung lagi kali bulan purnama,
pasar ikan sepi karena kita hanya bermimpi
menjual ikan.

Tak mungkin kita kembali ke gunung


Menanami bebatuan karang dan padang sabana
dengan biji-biji jagung
Atau memungut Kemiri dari pohon-pohon tua :
….anak-anak kita bagaikan bermimpi
tentang makan dan sekolah….

Antara Kupang dan Soe, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-28- Hal- 29
PINGGIR JALAN “BONGKARAN”
Oleh: Emil. E. Elip

Sehabis ngos-ngosan dia selalu duduk


di remang pinggir jalan dekat penjual bakmi
Dipandanginya pasangan-pasangan lalu lalang
bersama anak-anak mereka
Dan tentang semacam itu
dia terawangkan mimpi…..

Malam kemarin dan kemarinnya lagi


Malam berikut dan berikutnya lagi
Bagai ritme-mistis berkubang peluh
berulang kali tak terhitung lagi.

Selalu saja sehabis ngos-ngosan dia duduk


diremang pinggir jalan dekat penjual bakmi
dia terawangkan mimpi!

Yang mana sesungguhnya “kehidupan”


tidak mampu lagi dia tanyai diri sendiri.
Yang pasti, dalam ritme mistis
dan mimpi dekat penjual bakmi….
anak-anaknya terus bersekolah:
mengejar mimpi !!

Tanah Abang, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-29- Hal- 30
MIMPI ABADI
Oleh: Emil. E. Elip

Ketika aku kecil dulu mimpiku


pingin jadi dosen, pingin jadi ilmuwan,
pingin jadi pengusaha…
Pokoknya pingin jadi orang kaya.

Hampir setengah abad kini,


jejak-jejak mimpi masa kecil
tidak kunjung datang menjelang
Aku takut kematian segera datang
dan mimpi-mimpi itu lenyap
hilang entah ke mana!

Ah sudahlah….
Mimpi-mimpi mungkin akan semakin indah….
nanti dalam perjalanan panjang kematian abadi!

Jakarta, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-30- Hal- 31
MEMBAKAR ILUASI
Oleh: Emil. E. Elip

“Mbok, tidak pingin jualan gudeg di kios?”


tanyaku pada penjual gudeg jalanan
lenggananku bertahun-tahun.
“Nggak ngimpi mas”, jawabnya lugas.
“Misalnya ada yang mau kasih pinjam kios?”
“Kalau dapat duit banyak dan bisa sewa kios?”
“Kalau ada yang mau memberi ruang kiosnya
berdua sama Simbok?” ….
Untuk semuanya itu dia hanya diam!
“Aku cuma ingin paling tidak ada sepuluh orang saja
yang beli gudeg ku setiap hari”, sahut si Simbok.
Kami adalah segerombolan masyarakat “pinggiran”
yang untuk bermimpi saja enggan!
Untuk berandai-andai saja menghindar
apa lagi bermimpi terlalu jauh!
Hidup dan mimpi mesti sepadan
dengan perjalanan hari-hari.
Melampaui batas itu adalah “ilusi”!
Bergeloralah sesak di dada!
Ketika harga BBM dikabarkan akan naik
Ke dalam sudut hidup yang macam mana lagi
kami harus beringsut.
Ke sisi hidup yang seperti apa
kami menata kian rumit!
Apa yang mesti dilakukan kalau sakit!
Bagaimana dengan sekolah anak-anak!
Bagaimana harus memenuhi perut kami!
Bagaimana untuk ke sana ke mari!
Bahan pangan pasti kian naik!
Lantas pasti naik pula segala macam kebutuhan lain!
Jangankan untuk bermimpi esok hari
berencana untuk hari ini saja kian sulit.
Jangan kami “kau” ajak bicara ilusi-ilusi
tentang desa yang indah,
tentang kota yang merakyat,
tentang negara ini itu….
Kami, adalah gerombolan orang-orang “pinggiran”
yang sedang membunuh mimpi-mimpi!
Kami adalah gerombolan orang-orang “pinggiran”
yang sedang kalap menunggu makan ini hari!
Kami adalah gerombolan orang-orang “pinggiran”
yang sedang penuh api untuk membakar iluasi-iluasi!!

Jakarta, Maret 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

Hal- 32
-31-
JALAN-JALAN MIMPI
Oleh: Emil. E. Elip

Tanah-tanah di sekitar Sang Petani sudah lama kering.


Puluhan tahun pestisida masuk.
Iklim tidak berpihak lagi….
dan janji penguasa mengalirkan air
tak pernah dipenuhi.

Tetapi Sang Petani tidak pernah lelah berdoa


mengharap paksa tanah-tanah itu
memberi biji-biji padi yang bernas.

Di antara Bus Way, taxi, angkot, dan metro mini


motor dan mobil pribadi
Sang Tukang Becak terus berkelana mencari penumpang
yang kian lama kian terasa sepi.
Padahal penduduk terus bertambah.
Sang Tukang Becak tidak sedikitpun surut
memanjatkan doa, berharap paksa jalan-jalan
menyisakan cukup penumpang.

Sang Pencipta telah terus menerus mencari cara


Ingin mengingatkan bukan begitu mencari makan
sampai Sang Petani dan Sang Tukang Becak
masuk dalam “perjalanan abadi”.

Semua mereka bertemu…


Sang Petani dan Sang Tukang Becak sekedar menanyakan
salahkah cara hidup mereka
Tabu sesungguhnya mempersoalkan sisa hidup masa lalu
dalam “lorong perjalanan abadi”.

Dan…perdebatan diantara mereka tidak pernah selesai


Yang satu kukuh pada etiket kehidupan,
yang lain jibaku pada realitas kehidupan
Tetapi Sang Petani dan Sang Tukang becak
tidak sudi hidup kembali
meski ditawari yang kedua kalinya.

Jakarta, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-32- Hal- 33
KUBUR ELIT
Oleh: Emil E. Elip

Aku terkejut melihat sebuah brosur


menawarkan “tempat kubur” bagaikan perumahan elit,
lengkap dengan kapling-kapling, dan model bangunan mewah.

Tetangga-tetanggaku di sekitar kampung kumuh Tanah Abang


hidup keseharian bagaikan tinggal di “pekuburan”:
kumuh, atap bocor, dinding triplek, sumpek dan bau…..
Kami tidak khawatir kemanapun kami mau pergi.
Karena tidak ada yang perlu kami khwatirkab.
Kami tidak takut akan mati,
sebab cara kami mati pun cuma sebuah kejadian kebetulan.

Ada apa dengan para pemesan kubur mewah itu!


Dalam kematianpun mereka bermimpi masih hidup,
dengan harta kemewahan yang dimiliki…
dan catatan nama emas di batu nisan.

Sekali lagi…Kami tidak takut mati.


Hidup kami kini adalah ambang antara hidup dan mati.
Kami mungkin saja, dan bisa jadi, justru bermimpi “mati”.
Untuk apa setelah mati bermimpi untuk hidup kembali.
Batu nisan dan tanah kubur kami tidak perlu tinggi-tinggi!
Dan kami rasa tidak perlu nama jelas.
Kami mau mati dalam sepi saja supaya tenanglah :
“Lorong Perjalanan Abadi” kami…..

Jakarta, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-33- Hal- 34
PERJALANAN ABADI
Oleh: Emil. E. Elip

Nampaknya!
Hanya satu mimpi akhir yang nyata
Hanya satu mimpi
yang paling mudah terjadi.
Hanya satu mimpi yang tidak perlu kita minta…
Yaitu “Perjalanan Abadi”…

Jakarta, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-34- Hal- 35
COMMUTER
Oleh: Emil E. Elip

Terus terang baru ini kali aku naik kereta commuter.


Kunikmati juga, berjubel diantara pekerja kelas menengah ke bawah ini.
Ada yang bercakap-cakap soal ini itu dan yang tentang aneh-aneh

Tetapi sebagian besar dari kami terdiam…termenung…


Seperti terlalu lelah menyabung hidup hari ini...
hari kemarin…dan kemarinnya lagi.

Hari esok! Kami pikir besok. Besok saja kami jalani.


Sudah pasti akan mirip hari ini…hari kemarin…dan kemarinnya lagi.
Gerbong-gerbong ini adalah saksi bertahun-tahun hidup tetap saja begini
Perubahan hidup yang terjadi bukan kerna kami punya mimpi
Tetapi mungkin karena mukzizat yang kesasar dan sudi hinggap ditubuh kami.

Gerbong-gerbong datang dan pergi


membawa berlalu kami dari hari ke hari
Dan mengangkut kami pulang ke keluarga kami!

Jakarta, Maret 2011.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-35- Hal- 36
KAMPUNG AMARAH
Oleh: Emil. E. Elip

Puluhan orang dari kampung kami


sontak turun ke jalan memburu si jambret
Si jambret nyebur ke selokan yang baunya minta ampun
Tapi warga tak mau kalah …
nyemplung juga ke selokan.

Seperti ada “amarah” tidak terbendung


yang butuh pelampiasan sah.
Golok, parang, pentungan…berderu-deru memburu.
Musik keroncong, Tanji Dor, dan Gambus
yang sering kami mainkan di gang-gang di kala malam….
selawat-selawat yang kita dengar….seperti tak mampu
membungkam energi amarah tersembunyi.

Dan si jambret menjadi bulan-bulnanan massa.


Untung saja petugas segera datang.
Warga pulang dengan ringan, amarah sempat tersalurkan.
Besok hari hidup kembali rutin:
Tanpa mimpi. Kerja keras. Rugi. Kelelahan. Ketidakpastian
Penipuan. Pengkhianatan. Hutang ….
dan macam-macam lain … berputar bergulir.

Dari sanakah pundi-pundi amarah kami


menumpuk kembali!?

Jakarta, April 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-36- Hal- 37
MIMPI SANG BAYI
Oleh: Emil. E. Elip

Karena penasaran atas kabar yang merebak


aku temui Mariam malam itu di sudut balik kandang.
“Manis kali anakmu Mariam”, kataku.
“Memang begitu…Sepertinya dia bukan bayi biasa”,
sahut Mariam berbisik.

Jengkerik malam bersahut-sahutan


suaranya menimpali hati kami berdua tentang anak itu.
“Boleh aku menggendongnya satu saat nanti, Mariam…”,
tanyaku memohon.
Tampak sekali rautmuka Mariam begitu berat.
“Mengganti popoknyanya saja mungkin aku tak sanggup…tak layak,”
jawab Mariam.

Aku mengerti maksud Mariam


Dia begitu senang namun juga berbeban sangat berat
seperti sedang menggendong bertumpuk-tumpuk batu….
“Apa yang kau impikan tentang anakmu itu”, tanyaku berikutnya.
Tidak segera ada jawaban.
Burung hantu malam mulai keluar dari sarangnya,
dikejauhan kicaunya redup.
Mariam terdiam sejenak…

“Sepertinya Dia membawa mimpinya sendiri


tentang Kehidupan dan Keselamatan”,
sahut Mariam kemudian, sangat pelan.
Setelah kata-kata itu tubuh Mariam lemas bergetar.
Dia kelihatan bimbang, tetapi matanya berbinar dan terang.
Anaku laki-laki pun manis, seperti anak Mariam.
Kini dia tumbuh dan bermain apa saja dengan sebayanya.
Aku bangga padanya, tetapi juga terasa berat beban biayanya

“Mariam,…beri air susu mu yang terbaik.


Usahakan makan yang bagus biar Dia tumbuh sehat,”
pesanku diakhir pertemuan kami.
Bukan apa-apa.
Aku hanya khawatir,
banyak anak-anak di kampung kami yang miskin
mati kurang gizi karena kehidupan kami
yang rata-rata melarat!!!

Jakarta, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-37- Hal- 38
KAU PINJAM WAJAH IBUKU?!
Oleh: Emil E. Elip

Ibuku dikubur dekat dari pohon asam tua itu


Pohon paling teduh
di antara padang sabana Timur

Kata orang kulit ibuku kuning kecoklatan


Cukup manis tetapi pendiam
Rambutnya ikal, panjang, dan hitam
Tidak tinggi dia, tetapi tidak juga dikatakan pendek
Aku tidak melihatnya lagi
sejak aku belajar awal berlari

Misa Minggu pagi padang sabana sepi


Wajah seseorang memerangkap mataku
Duduk menunduk tidak jauh dariku
Wajah yang sepertinya aku tahu
Tidak hitam tetapi tidak terlalu kuning juga
Ikal hitam rambutnya panjang sebahu
Aku takut dia meminjam “wajah ibuku”
yang berpuluh-puluh tahun
kucoba gambar di ingatanku dalam rindu

Disamping gereja aku menunggunya


Begitu banyak orang keluar seusai Misa
Saling berpelukan bagaikan bertemu saudara jauh
Orang lalu lalang ke sana kemari amat riuh
Aku tidak menemukan perempuan itu
yang memakai “wajah ibuku”
Mungkin dia sudah berjalan ke kampungnya
menelusuri rindang pepohonan asam tua
dan padang sabana

Di bawah pohon asam tua samping gereja


Aku masih merindu: …sampai sepi….

NTT, Maret 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-38- Hal- 39
KU KIRIM MIMPI
Oleh: Emil. E. Elip

Ku kirim mimpi kepadamu


Melalui travel pos mobil terakhir tadi malam.
Mimpiku hanya mau minta maaf
atas kebohongan-kebohongan ku
yang terucap padamu.
Atas “muntahan” keresahan-keresahan
tentang ketidakadilan kehidupan.

Aku tidak berhak tahu


kau membaca atau tidak kiriman itu.
Mungkin juga ia hanya berhenti di depan pintu…
Diterpa angin lalu terbang
ke ruang-ruang tak menentu.

Soe, Mei 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-39- Hal- 40
RONGSOKAN MIMPI
Oleh: Emil E. Elip

Sudah ku jual mimpi-mimpiku beberapa tahun silam


Di pasar loak dan tukang tadah barang malingan
Tidak lagi aku percaya mimpi di genggaman tangan
Hidup ternyata hanya perlu dijalani
dengan sekedar bermain siasat, silat lidah
dan doa-doa malam.

Ada banyak juga orang


Yang telah melipatgandakan ternak mimpinya
pun lewat tikaman, siasat, silat lidah
dan doa-doa malam.

Jakarta, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-40- Hal- 41
DAUN JATI TERAKHIR – (1)
Oleh: Emil E. Elip

Tanah-tanah retak sebentar lagi merebak


Kau memanen daun Jati berikat-ikat
Aku tahu itu berarti kau segera akan pergi
Seperti yang lain-lain di akhir musin ini
Kau pergi karena kita mengerti
Tiada yang bisa ditanam di sini
Hidup tidak boleh berhenti
meski semua di telan bumi

Lembar terakhir daun jati sudah lama jatuh


ber bulan-bulan purnama yang lalu
Tanah-tanah retak dan semilir angin kering
bagai setan menggoda rindu dan gundahku
akan kabarmu dari jauh
Butir-butir cinta yang tersisa segera ku tanam
pada biji benih-benih jagung
agar tetap ada hidup yang kembali kita tanam:
…di akhir musim kering daun jati …

Gunungkidul, Panggang-2010.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-41- Hal- 42
DAUN JATI TERAKHIR – (2)
Oleh: Emil E. Elip

Di saat musim tanah-tanah retak datang


Kau pergi demi hidup mendatang
Saat itu aku mengerti
musim ngangsu banyu di perigi segera dimulai:
Jalan kaki berkilo-kilo jauhnya dari kampung ini!

Ingatanku kembali ke masa lalu


Sewaktu kecil tanganmu menggandengku
Menembus lorong pohon-pohon elo
Berkubang mandi bersama sapi-sapi di telaga
Semuanya kini sudah tidak tersisa

Kau mengerti kapan saatnya musim pulang


Bawalah pohon berbatang-batang
Dari tempat tempat yang hijau
Aku ingin, kau kembali menggandengku
Menembus rindang pepohonan:
…Entah kapan itu akan datang…

Gunungkidul, Panggang - 2010

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-42- Hal- 43
DAUN JATI TERAKHIR (3)
Oleh: Emil E. Elip

Angin musim kering


Menghempaskan cinta melayang terbang
Di gunung-gunung seribu karang

Hidup adalah kubangan-kubangan


harapan tanpa batas
Cinta yang terlanjur sobek-sobek
mesti dipungut kembali melekat
kepada dahannya

Angin musim kering akan terus berulang


Cinta silih berganti terhempas
di gunung-gunung seribu karang.

Gunungkidul, Panggang- 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-43- Hal- 44
SEONGGOK DAGING
Oleh: Emil E. Elip

Terlalu lelah sudah tubuhku berjalan


Jiwa tidak lagi sabar
Terperangkap dalam daging yang lamban.

Maka ku letakkan tubuhku terkulai


Di bawah teduhnya pohon asam tua
Dekat pusaran ibunya
yang hampir setengah abad tidak bertemu.

Jiwaku riang pergi melayang


Tak lagi khawatir atas waktu dan ruang …

Jakarta, 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-44- Hal- 45
KEPADA:
“Kesempurnaan dan Kebenaran”
Oleh: Emil E. Elip

Tidak ada yang sempurna di dunia ini


Pun tidak ada kebenaran
yang mutlak.

Yang miskin kebanyakan minder


Yang kaya berlebihan angkuhnya
Yang tidak miskin, tidak juga kaya
kurang jelas rona kepribadiannya

Kalau tidak ada kesempurnaan


yang sebenar-benarnya sempurna
Kalau tidak ada kebenaran
yang sesungguh-sungguhnya benar
Lantas mengapa kita mendaraskan
tentang mazmur-mazmur
hingga mulut berbuih berbusa

Mungkin hanya ada satu kesempurnaan


dan kebenaran:
“adalah jangan dirimu sampai merugikan
orang lain”

Jakarta, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-45- Hal- 46
MAAFKAN AKU
Oleh: Emil E. Elip

Sampai lelah aku


mengemis mimpi-mimpi
di pojok rumah-mu, sahabatku
Maka ku putuskan melompati
pagar rumahmu yang berduri
Pergi menerobos hidup yang berliku

Begitu banyak orang


sudah lelah bermimpi
melalui dendang dan rapal dogma
Lalu pergi menerjang kehidupan
sebagai lari sunyi penghiburan dan harapan

Maafkan aku,
telah banyak mencuri waktumu
Maafkan aku,
tidak berhenti selisih pendapat denganmu
Nanti pada waktunya:
ku kembalikan anggur-anggurmu
yang kita tenggak bersama-sama dulu
di pojokan rumah-Mu

Jakarta, 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-46- Hal- 47
HALAMAN SURGA
Oleh: Emil E. Elip

Sewaktu kanak-kanak
aku selalu minta waktu
lebih lama kepada ibuku
bermain di halaman gereja
yang rapi dan indah.

Baru tengah siang


jalan kaki kami pulang
berkilo-kilo jauhnya ke kampung
yang gersang, berdebu, berbatu
di Timur padang sabana.

Minggu berikutnya datang


dan berikutnya lagi
Tidak jenuh-jenuhnya aku
bermain di halaman “surga”
Sampai suatu saat aku bertanya
kepada ibuku:
“mengapa kampung kita
tidak seindah gereja, Ibu…”

Yogyakarta, 2009.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-47- Hal- 48
SURGA
Oleh: Emil E. Elip

Meski sudah enam bulan masuk surga


si petani miskin masih gamang
mengapa ia yang miskin
bisa lolos masuk surga.

Ah! Mungkin karena dulu sering:


diperalat
ditipu
dipermainkan
dikhianati
juga tanah-tanahnya diserobot!

Tetapi tiga bulan terakhir


si petani sakit-sakitan
Pasalnya karena tidak pernah
keluar keringat:
mau makan, tidak terasa lapar
mau minum, sepertinya tak haus
mau belanja, tidak ada pasar
mau macul, cangkul dan sawah tak ada…

Dalam kebingungan, ia punya rencana lain


Ingin menghadap Gusti, mengajukan surat
Pingin dideportasi kembali ke bumi:
…ia mau menjadi pertapa…

Jakarta, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-48- Hal- 49
PERUT
Oleh: Emil E. Elip

Dokter terpaksa membedah si pasien berdasi


Bertahun-tahun perutnya mengaduh tiada henti
Sang dokter terperanjat, kok bisa ini terjadi:
Uang, mobil, toko, dan macam-macam perhiasan
membusuk di perut.

Pemulung yang lewat depan rumah sakit bertanya:


“Bolehkah barang-barang itu diambil?”
“Silahkan! Itu yang membuat perut pasienku kronis!”
sahut dokter.

Perut?! Betapa besar mulutnya!!


Betapa ngeri keiingannya!!
Seberapa besar rakus otaknya?!
Si pemulung urung menjumput
Terlanjur ngeri….

2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-49- Hal- 50
WARUNG DEMOKRASI
Oleh: Emil. E. Elip

Di pojok negeri antah berantah


Ada warung jualan demokrasi:
menu demokrasi oseng pedas
menu demokrasi sambal terasi plus lalapan
menu demokrasi bacam monarki
menu demokrasi pedas lombok ijo
…dan macam-macam demokrasi lain…

Para pengunjung bebas memilah milih


Harga bersaing dijamin pasti terjangkau
Tua, muda, laki-laki, perempuan
kaya, miskin, maupun kaum papa
Silahkan pilih menu demokrasi yang
cocok di lidah dan perut masing-masing

Saking lezat dan larisnya


si pemilik warung pasang himbauan:
“Jangan makan menu demokrasi berlebihan
Makanlah dengan perasaan cinta
Jaga perut dan mulut Anda
Jangan muntah dan berak demokrasi di warung”

2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-50- Hal- 51
KAPUK RANDU
Oleh: Emil E. Elip

Seiring beterbangan pucuk kapuk randu


sore itu dari pojok dusun-dusun,
Ia menjahit kata-kata mimpi dalam puisi

Putihnya begitu indah berarak-arakan


bagai awan menutupi cakrawala senja
Bersamanya langkah dan kata
satu per satu pergi, meninggalkan jejak
puisi mimpi

Suwarsih harus pergi ke kota-raja


Memintal mimpi-mimpi baru
bersama Suwarsih Suwarsih lain
bekerja di pabrik pintal benang kapas
Sebab kapuk randu sudah tidak laku

2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-51- Hal- 52
MENCANGKUL
Oleh: Emil E. Elip

Sudah aku cangkul tanah ini sejak aku remaja


Peluhku tidak terhitung lagi
Mimpi sesekali bersemi
bersama hijau dedaunan
yang cepat kering sebelum musim selesai

Cangkulku kini rapuh di pojok rumah


Aku sudah pergi jauh
mencari kehidupan lebih ramah

Tetap saja aku mencangkul


bersama keranjang dan bau anyir
menjimpit plastik sepikul demi sepikul
Di kampung tanahku menatap nyinyir

2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-52- Hal- 53
KERETA SENJA SUDAH BERANGKAT
Oleh: Emil E. Elip

Kereta senja sudah berangkat,


dan esok hari aku sampai di tujuan

Kereta senja sudah berangkat,


selalu saja berhenti di tempat yang sama
di antara gunung dan ngarai

Kereta senja sudah berangkat,


dan di tempat yang sama anak-anak berteriak
“Beri kami sebungkus nasi atau receh uangmu Tuan!”

Kereta senja sudah berangkat,


di antara sepi gunung dan ngarai
aku menjawab teriak anak-anak itu
“Aku mau cari makan dan uang!”

Sudah bertahun-tahun kereta senja berangkat,


anak-anak tetap saja berteriak
seakan mimpinya tak mampu diakhiri
Aku terus berlari bergerak
menelusuri mimpi yang sulit digenapi

Kereta senja sudah berangkat,


di tempat yang sama aku menyapa anak-anak itu
“Jangan putus asa. Terus saja berteriaakkkk…”
“Baik Tuan! Tuan juga jangan putus asa.

Kereta senja akan selalu berangkat, Tuan!”

2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-53- Hal- 54
RAHIM
Oleh: Emil E. Elip

Orang berbaju putih bercahaya


datang kepada seorang perempuan dan berkata:
“Nanti tengah malam akan datang mimpi kepadamu
dan kamu hanya bisa menjawab: ya!”

Beratus ratus tahun kemudian


anak-anak dari mimpi itu
menghormati sang perempuan:
Rahim menjadi sumber mimpi kehidupan.

2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

Hal- 55
-54-
LINTANG PANJER WENGI
Oleh: Emil E. Elip

Kepada lintang panjer wengi


Aku menitipkan pesan rindu
Rindu untuk melihat mu
Dari langit malam yang sepi

Sinar lintang panjer wengi memenuhi rinduku


Aku pun tahu kau di sana baik-baik saja
Bahkan mungkin lebih dari yang bisa ku kira

Lintang panjer wengi terus saja bercahaya


Dan aku, tidak sanggup lagi menatapnya.

2009

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-55- Hal- 56
KEMBALIKAN HIDUPKU
Oleh: Emil E. Elip

Suatu sore aku terlalu lelah.


Banyak kerja seharian, dan terlibat banyak hal.
Ku putuskan masuk ke sebuah cafe cofee,
sekedar membuang lelah.

Ku letakkan ”hidupku” di atas meja


dekat laptop ku. Aku keluar sebentar
membeli rokok. Rokokku tinggal
sebatang lagi.
Ketika kembali aku terkejut.
”Hidupku” hilang, laptopku tetap dimeja.
Aku celingak celinguk siapa tahu
memergoki pembawa pergi ”hidupku”.

Hampa... ke mana semua kesedihan


Dimana harus ku kumpulkan lagi
kegembiraan. Berapa lama aku perlu
merangkai kembali kenangan.
Tawaku, gundahku, amarahku, semangatku
Kemana...

Tuhan! Temukan ”hidupku”


Kembalikan ”hidupku” kepada ku
Meski penuh beban dan luka
Aku perlu ”hidupku” saja.

September, 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-56- Hal- 57
MATA – HATI – DAN PIKIRAN
Oleh: Emil E. Elip

”kawan lihat pengemis itu ...


ahhh bukan, lihat perempuan bahenol itu.
hai...lihat lelaki berdasi itu kembali kekita
membawa amplop”,
kata sang Mata.

”jangan kau terima dan ambil amplop itu.


siapa tahu itu sogokan. dan kita tidak kenal
dia. kita tahu resikonya berat”,
sahut sang Hati.

”kalian sok suci!! kita butuh uang itu


untuk makan dan hidup. penghasilan tidak
menentu. mau kita kasih apa anak istri
di kampung. pikirkan itu...!”,
timpal sang Pikiran.

”sekali bukan hak kita, tetap bukan.


jangan pikiran pendek bung! cari rejeki
secara elegan dan jujur”,
sahut sang Hati bersungut-sungut.

”aku tidak berpendapat. tugasku hanya


melihat. melihat apa pun di depanku.
aku sudah jujur, gamblang, dan sudah
ku berikan kepada kalian. aku cuma melihat”,
sahut sang Mata menimpali.

”sudah sudah...lebih baik kita pergi


ke warung kopi. pusing pikiranku. mari kita
lihat, rasakan, dan pikirkan satu hal saja: kopi...”
potong sang Pikiran.

Akhirnya jadilah Mata, Hati, dan sang Pikiran


terbenam dalam satu hal yang sama:
”secangkir kopi”.

Jakarta, November 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-57- Hal- 58
MEMANG ASU
Oleh: Emil E. Elip

Pesawat Jakarta – Medan tertunda berangkat


Ruang tunggu menjadi seperti terminal Lebak Bulus
di musim Lebaran.
Orang-orang mulai menggebrak meja, berkeringat
dan mengumpat: ”Panggil manajer mu kemari, cepat!”

Tentu sang manajer tidak pernah akan datang


Seperti para petinggi di negeri ini
menghindar berperkara di depan masa
jika kisruh datang menerjang.

Mereka bukan lantaran takut.


Tetapi karena terlanjur pengecut
Sebab kejujuran teramat sulit mereka buktikan.

Jakarta, Desember 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-58- Hal- 59
PIJAT ZAITUN
Oleh: Emil E. Elip

Siapa namamu
Namaku Pariyem, tuan
pemberian seorang penyair.

Bau minyak apa ini


Minyak zaitun, tuan
minyak mewah, mahal, kesukaan para bangsawan
hangat, tuan.

Bukankah itu minyak Maria Magdalena


waktu bersimpuh membasuh kaki Yesus.
Saya Pariyem, tuan
Tidak kenal saya Maria Magdalena dan Yesus
Sudikah tuan bercerita kepada saya
minyak zaitun dan Maria Magdalena itu, tuan

Saya akan mengusapi badan tuan


dengan minyak zaitun ini
sebelum saya pijat, tuan.

Jakarta, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-59- Hal- 60
MENDARAS DOA
Oleh: Emil E. Elip

Istriku mari kita tidur


semoga puisi doa-doa mengalir mendaras
dalam mimpi yang lelap dan mendengkur.

Kita tunggu anak-anak tumbuh


menerjang kehidupan yang mungkin
tida bisa kita tahu.

Malam sudah semakin suntuk.

Desember, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-60- Hal- 61
MATA MAHA TAHU
Oleh: Emil E. Elip

Sang anak protes kepada ibunya


mengapa ia menjadi anak tuna netra.
”Apakah kakak dan adikku seperti aku, ibu”
”Tidak nak. Mereka semua awas”
”Mengapa aku sendiri yang tidak awas, ibu”
”Karena Tuhan memilih mencintaimu, nak”

Anak yang tumbuh remaja itu tidak puas


dengan jawaban ibunya.
”Apa buktinya Tuhan mencintai ku”
”Nak, ...kelak kamu akan tahu”.

[”Kami yang awas ini sesungguhnya


sudah buta nak”, kata sang ibu sederhana itu
di dalam hati]

November, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-61- Hal- 62
NYANYIAN PEPOHONAN
Oleh: Emil E. Elip

I.
Kau membabat habis hidupku
Seperti tidak mau tahu kau
siapa kawan hidupmu.
Kau tidak mampu menahan nafsu
kebutuhan hidupmu.
Seperti tidak ada akal budi padamu.
Kau kian lama semakin menjadi
manusia tidak berakar dan liar.

II.
Kau kini saling tuding
Satu sama lain terpisah terpecah
untuk saling membanting.
Yang satu terus menghabisiku seperti maling,
yang lain saling berkelit.
Akal budimu semakin liar tak bertepi
Kau semakin salah belajar beradab.

III.
Aku tidak akan pernah bersalah
Dirimu pun tidak pernah mau mengalah
Bahkan ketika hidupmu hanyut
diterjang banjir bandang ke laut
Hidupmu luluh lantak lenyap
dilalap kekeringan yang megap-megap.
Kau tetap saja menghabisiku
Sungguh sudah bebal kau belajar:
”pohon dan akar”.

Jakarta, Januari 2013.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-62- Hal- 63
SERDADU SERDADU NAFSU
Oleh: Emil E. Elip

”Mengapa banjir ini tidak segera surut.


Hampir satu minggu air menggenagi
rumah kita”, tanya lelaki yang tumbuh remaja.

”Karena pohon-pohon dan hutan


di gunung-gunung semakin gundul.
Habis ditebangi, Nak”, jawab bapaknya.

”Itu pula yang ku baca dari buku buku pelajaran.


Itu juga yang ku dengar dari guru-guruku di sekolah”,
timpal sang anak.

Jutaan remaja tumbuh dewasa.


Mewujud serdadu serdadu nafsu yang beringas
Menggulung gunung dan semua isinya
dengan segala macam alasan.

Kian tahun semakin jutaan remaja bersekolah


Jutaan buku-buku pelajaran tentang pohon
dan hutan dibagikan. Jutaan guru mengajar
di depan kelas tentang pohon, hutan, dan lingkungan.

Banjir semakin kerap terjadi


Air bandang meluas menerjang
Makin dalam kita bebal ”belajar kehidupan”.

Jakarta, Desember 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-63- Hal- 64
JAKARTA (1): PARADE KLAKSON
Oleh: Emil E.Elip

Jam sembilan tiga puluh


Jalan semakin merayap padat
dan akhirnya mandeg mampat.
Tiba-tiba semua mobil sepanjang ratusan meter
membunyikan klakson.
Sontak parade jalanan begitu meriah
memekakkan telinga.

Tidak satu meter pun mobil beringsut.


Tiba-tiba semua kepala keluar dari mobil
dan berteriak: ”Hentikan kemacetaaannn...”
Suaranya membahana bagai mars jalanan.

Setiap hari ratusan bahkan ribuan mobil baru


keluar dari sarangnya. Seakan ingin
dan sungguh siap memeriahkan ”parade klakson”
dan ”teriak mars jalanan”.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-64- Hal- 65
JAKARTA (2): HABIS DI JALANAN
Oleh: Emil E. Elip

Maunya aku bisa cepat sampai dirumah


dengan tubuh yang tidak begitu capek.
Lantas menyeruput kopi sore, makan gorengan
bercanda dengan anak istri di teras belakang
rumahku yang sejuk rindang bertaman.
Maka aku putuskan beli mobil yang bagus.

Tetapi jalanan Jakarta menentukan lain.


Jam sepuluh malam adalah waktu paling pas
untuk pulang kantor agar terhindar macet melelahkan.
Jam sebelas malam atau kadang lebih
aku baru sampai di rumah. Sudah sepi...
Hijau pepohonan telah lunglai tertidur
Bekas lembab taman yang tersiram air sudah lama kering.

Esok paginya sehabis subuh


aku harus sudah berangkat ke kantor. Harus.
Kalau ingin tidak terperangkap macet jalanan.
Jadi mobil bagusku tidak mampu membawaku
lebih cepat melipat jalanan dan waktu
untuk selalu bisa menikmati soreku
yang indah di rumah.

Aku praktis hanya menikmati rumahku


yang ku rancang indah, asri, dan sejuk
bersama istri dan anak-anak di hari Sabtu dan Minggu.
Itu pun kalau tidak tugas luar kota. Pun kalau
kami sekeluarga tidak weekend luar kota.

Aku kadang sampai lupa dimana letak


sudut-sudut rumahku yang mengesankan indah.
Saat pagi gelap dan malam lelap, ia ku
tinggal dan ku datangi. Aku tidak bersamanya
ketika terang.

Astaga... persisinya aku lupa


bagaimana mestinya
”ziarah tentang nikmatku”.

Jakarta, 2013.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-65- Hal- 66
JAKARTA (3): KEHIDUPAN
Oleh: Emil E. Elip

Ku kira awalnya bahwa kehidupan itu


adalah segala sesuatu yang dapat ku sentuh
dengan rasa sepenuh hati
pada semua sudut-sudut milikku terdekat.

Aku ingin meraba semua lekuk dan suara istri


serta anak-anakku. Semua sudut rumah,
bau bunga serta tanah di taman halamanku.
Aku hampir-hampir tidak pernah melihat lalat
di rumahku. Aku tidak pernah tersentuh angin
semilir menderu di teras rumahku.
Aku amat jarang mendengar suara anakku
berteriak gembira atau merengek, kecuali
di dalam handphoneku.

Hanya sedikit waktu hidupku di rumahku. Hanya ku


kecup kening istri dan anak-anaku, setelah itu
pergi menyosong hari di sebagian besar waktuku.

Aku mesti mencari cara baru


berziarah tentang waktu dan kehidupanku.

Yogya-Jakarta, 2012.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-66- Hal- 67
GENDERANG PERANG
Oleh: Emil E. Elip

Kelaparan dan resah yang panjang


mengingatkanku pada strategi perang.
Gunakan cara apa saja yang penting menang akhirnya
sebab kegagahan dan kejayaan hanyalah ilusi semata.

Yang dulu berjalan gagah berani dan tampak suci


kini bagai daki jalanan nan tiada henti dicaci.
Yang dulu hanyalah debu trotoar
kini merapalkan doa dengan berkoar-koar.

Jangan percaya pada tampak sepanjang ”perjalanan”


hanya kematianlah yang terbukti suci abadi.

Jakarta, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-67- Hal- 68
MENCLA MENCLE SEMUA
Oleh: Emil E. Elip

Pemerintah sering dituduh leda-lede


rakyat pun sesungguhnya mencla mencle.
Merasa paling benar, semua
Merasa ingin paling didengar, semua
Merasa paling harus diperhatikan, semua
Persis di situ: ”semua tidak saling percaya!”

Aku teringat seorang filsuf berfatwa:


”manusia pada dasarnya tidak bisa dipercaya”.
Maka siapapun pemimpinnya
hati-hatilah untuk percaya:
”begitukah sebaiknya?!”.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-68- Hal- 69
HUJAN YANG KECEWA
Oleh: Emil E. Elip

Setetes hujan bermimpi jatuh dengan anggun


di tempat yang aman dan empuk: dedaunan.
Semua tubuhnya pecah sakit dan ngilu
ambyar ... di beton-beton, aspal , dan batu
Tidak ada lagi tempat nyaman seperti dulu.
Hujan kecewa!

Sang hujan semakin kecewa,


menemukan kawan-kawannya
menggenang bau di lorong-lorong jalan
merusak semua isi bumi
Manusia menjerit ngeriiiii.
Hujan merasa berdosa!

Sambil menahan beratnya yang tak tertahankan


Sekawanan awan-awan tak henti litani doa
semoga jatuhnya tidak makin merusak isi bumi
dan terus berharap kian tumbuh ”dedaunan”
Hujan tetap ingin jatuh rebah ke bumi
tanpa menyengsarakan siapapun titah Ilahi.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-69- Hal- 70
B-O-D-O-H
Oleh: Emil E. Elip

Ribuan janji datang bertubi


lenyap pergi begitu saja ditelan korupsi.
Buai angan-angan sejahtera seisi negeri
selalu ditiup-tiup demi ambisi pribadi.
Begitu terus terulang ulang kembali.
Demikiankah kiranya demokrasi
bagai sekedar mimpi dan ilusi?

Bodohlah engkau jika tertipu lagi!!!

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-70- Hal- 71
SAYA INGETKAN!
Oleh: Emil E. Elip

Seorang filsuf berfatwa:


”Manusia pada dasarnya tidak bisa dipercaya”.

Maka beginilah kiranya dalam politika:


Setiap musuh bisa menjadi kawan
Setiap kawan bisa jadi adalah lawan
Setiap janji terpaksa diingkari
Setiap gerak harus dimata-matai
Setiap keputusan selalu mungkin dicederai
Kebijaksanaan adalah kata-kata karet ilusi

Maka saya mau ingetkan:


Jangan melibatkan Tuhan
di dalam setan politika!!!

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-71- Hal- 72
PESTA KAOS
Oleh: Emil E. Elip

Setiap Pemilu adalah pesta


Para elite pesta mengumbar janji
Rakyat kecil juga punya pesta
dengan caranya sendiri.

Seorang paroh baya datang kerumah pagi-pagi


menyodorkan amplop dan berpesan ”pilihlah ini”.
Selang beberapa hari bapak itu datang lagi
menyodorkan amplop dan berpesan ”pilihlah ini”.
Beberapa hari berikutnya lagi datang kembali
menyodorkan amplop dan berpesan ”pilihlah ini”.

Selalu begitu sampai ber kali-kali


Berseragam kaos berbeda-beda warna-warni
Tak tertahankan aku iseng bertanya:
”Sampeyan kok pinter dan berani-beraninya”
”Halaahh...pak sedoyo meniko,
rak namung pados upo to...”.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-72- Hal- 73
PERKARA SYAHWAT
Oleh: Emil E. Elip.

Jangan menjadi petani, kalau kau


tidak mampu mencintai pupus hijau tanamanmu.
Jangan menjadi nelayan, kalau kau
tidak mampu menari di atas cadik perahumu.
Jangan menjadi guru, kalau kau
tidak mampu berkelana dengan mimpi di dalam kelasmu.
Jadilah wakil rakyat saja,
karena kau hanya perlu tahkluk
di bawah ketiak syahwatmu!!

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-73-- Hal- 74
BELAJAR DARI SANG ”GURU” (1)
Oleh: Emil E. Elip

Sang bidan perempuan paroh baya


berjalan atau kadang bersepeda
berpuluh kilometer di padang tandus NTT
hanya untuk menolong bayi
yang diduga akan lahir sungsang.
Cintanya pada kelahiran
tulus bagai semilir angin padang sabana.

Sang guru laki-laki paroh baya


menembus hutan perdu dan belantara
di pegunugan Leauser hanya untuk bertemu
beberapa gelintir murid di SD gubuk bambu.
Cintanya kepada kepandaian
semurni air segar pegunungan.

Sang birokrat - wakil rakyat muda di pusat negara


tidak sekalipun berjalan diterik padang sabana
tidak pernah merambahi hutan belantara.
Meski mereka bilang mengerti
sesungguhnya tak pernah merasai di hati.
Cintanya kepada kehidupan hanyalah fana
dilipat nafsu korup dan tamak kuasa.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-74- Hal- 75
BELAJAR DARI SANG ”GURU” (2)
Oleh: Emil E. Elip

Sang guru SD desa menangis di pojok kebun sekolah


Mengapa meratapi murid-muridmu Pak Guru, tanyaku
Tidak kuimpikan mereka
menjadi orang-orang tamak seperti ini, jawabnya.
Setiap orang punya kehidupannya sendiri
setiap orang lahir kembali
dari lingkungannya Pak Guru, jawabku.

Aku dan jutaan temanku mendidik setiap waktu


dengan segenap rasa dan jiwaku, kata Pak Guru.
Begitu tamakkah negara ini memburu
mencerabut mereka menjadi orang-orang bebal
yang kini tidak ku kenal.

Sang guru tiba-tiba lari ke bukit


sujud menangisi sang merah putih
yang tertancap berkibar puluhan tahun silam
sejak kali pertama menjadi guru di situ:
”Maafkan aku”.

Segera setelah itu, dia mundur pensiun.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-75- Hal- 76
KEPADA POHON SIWALAN
Oleh: Emil E. Elip

Menelusuri sungai-sungaimu yang berliku jauh


Menembus hutan jati gersang didekat dusunmu
Menyusuri pantai tepi kotamu dan kepada
pohon-pohon siwalan yang melambai
Aku menitipkan pesan mimpi untukmu.

”Aku tidak janji”, kata pohon siwalan serempak


”Sebab dia sudah sangat jarang terlihat dan membeli buahku”.

Pesanku adalah pesan mimpi


Hanya untuk memafkan sesal diri
Menjelang perjalanan abadi
yang mungkin tidak lama segera di mulai.

2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-76- Hal- 77
MENGHIBUR DIRI
Oleh: Emil E. Elip

Puisiku puisi penghiburan diri


Kata-katanya muncrat persis sebelum bobok
Maknanya, doooyongg bak orang mabok
Karena itu puisiku tidak mendatangkankan rejeki.

Mungkin aku tidak pernah bisa membuat puisi


Jika setiap hari ada kesempatan berkorupsi
Sibuk bersilat lidah berkelit diri
Jangan sampai meringkuk dalam jeruji besi.

Oo.. betapa indahnya yang bisa korupsi


Sekaligus piawai menuangkannya dalam puisi
Tidak perlu berharap pembaca untuk membeli.

2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-77- Hal- 78
POHON TREMBESI
Oleh: Emil E. Elip

Anaku harus berpijak menghujam bumi


Tumbuh berdiri bagai pohon trembesi
Bapak-ibunya mungkin hanyalah ilusi
yang tak mampu suntuk menghidupi
Semoga rapal doa-doa selalu menemani
pengelanaannya mengejar mimpi.

Jakarta, 2010.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-78- Hal- 79
DESIS DOA
Oleh: Emil E. Elip

Kupingku keluar nanah,


Nanah dari kepala yang tergerus mimpi.
Mataku keluar api,
Api dari kepala yang dihantam amarah.

Dari mulutku hanya keluar desis


Desis doa yang ragu ...

Yogya - Jakarta, 2013.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-79- Hal- 80
LEKAS MATI
Oleh: Emil E. Elip

Seorang teman canda-ngenyek padaku:


”hari-hari kok bikin puisi”
Sempat keder juga hatiku
Tapi lantas aku menghibur diri:
Kalau semuaaaa orang menjadi politisi
seperti di negeri ini
kita mungkin lekas mati
Mati tanpa berkafankan puisi
Hiiii...medeni!

Jakarta,2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-80- Hal- 81
POHON AREN
Oleh: Emil E. Elip

Bersama embun sebelum pagi


Aku sudah dekat mancung pohon aren
Tetes-tetes legennya ku tampung
pada saku rindu bajuku

Rindu nasi jagung dan secuil ikan asin


Rindu minum teh dan ngremus gula aren
Dibukit-bukit pepohonan aren

Saku bajuku takkan pernah penuh kini


Tinggal satu dua pohon aren tersisa
Punah entah kemana.

2010

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-81- Hal- 82
SMS SAJA!
Oleh: Emil E. Elip

Bersama kokok ayam ketiga sebelum pagi


Aku bergegas ke jalan di pojok dusun
Menitipkan surat mimpi dari desa
kepada para pedagang yang hendak ke kota

”Kepada siapa harus kami berikan ini, tuan”, kata pedagang


”Kepada siapa pun di kota” sahutku

Sesudah mahrib seorang pedagang datang ke rumah


Menitipkan surat mimpi dari orang di kota
Aku bergegas membukanya:
”Kalau cuma mau utang, sms aja Bro”
”Tidak perlu seromantis ini!!”

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-82- Hal- 83
BURUNG BURUNG PUTIH
Oleh: Emil E. Elip

Kepada sekawanan bangau putih terbang petang


yang sedang pulang kandang
aku menitipkan pesan mimpi

Kami terbang tidak menentu, tuan


Terbang kami semakin jauhhhh dan lelahhh
Apa gerangan yang terjadi
Sudah sangat sedikit pohon tersisa
untuk kami pulang, tuan
Kalau begitu jatuhkan saja surat ini
di salah satu bukit yang kalian lewati

Surat mimpiku hanya berisi pesan


untuk sahabat-sahabatku di atas bukit
Tanamkan kembali pohon-pohon
Kota sudah sangat menjerit!!

Keesokan petang sebelum mahrib


Seekor bangau putih datang ke rumah:
”Kami siap mengantarkan surat mimpi
setiap hari, tuan”.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-83- Hal- 84
KAPAN WAKTUKU
Oleh: Emil E. Elip

Kepada jati-jati kering


Di pegunungan kapur Selatan
Aku menitipkan pesan mimpi
Rinduku mimpi sepucuk tunas yang ingin
segera tersembul dari ranting kering.

Wangi-wangi bunga kopi


Dari perbukitan Bergendal Gayo
Aku menitipkan pesan mimpi
Rinduku mimpi sebaris syair Didong yang ingin
segera dirapalkan oleh chek-chek tua.

Kepada padang-padang sabana dan pohon kemiri tua


Dari Bajawa sampai Larantuka
Aku menitipkan pesan mimpi
Rinduku mimpi selajur benang yang segera ingin
ditenun tangan nona dan para mama.

Pesan mimpiku mungkin akan tertelan rindu


Rindu yang tidak pernah ku tahu
Kapan waktuku, untuk berlalu...

Yogya-Jakarta, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-84- Hal- 85
TARIAN TUBUH
Oleh: Emil E. Elip

Jika genderang-genderangmu ditabuh


Seruling-serulingmu telah ditiup riuh
Dan di sana tarian tubuhmu rapuh-mengaduh
Maka segera lepas-bebaskan mimpi-mimpi
Biar angin yang membawanya pergi
Kepada relung-relung warna cakrawala, tiada tepi.

Tubuh menari dalam ziarah sepi.

Yogya, 2011

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-85- Hal- 86
MAAFKAN HUJAN
Oleh: Emil E. Elip

Sang hujan marah,


karena tidak satupun mahkluk di bumi
mau menghentikannya berlari.

Ia pun bersumpah,
menyingkir saja jauh-jauh pergi
dan tidak akan tumpah kebumi sesukati.

Kami geraaahhhh,
Terus menerus berkeluh kesaaahhh,
Saling tuduh satu sama lain siapa yang salah,
Memeras memeras memeras otak susah payah,
Seperti tak mengerti lagi, apa yang mesti berubah.

Maafkan hujan, kami memang orang-orang payah!!!

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-86- Hal- 87
BIJI KEDAMAIAN
Oleh: Emil E. Elip

Sambil menyuapiku nasi jagung


diteduh pohon asam tua samping rumah
Ibuku menanam dendang biji-biji mimpi
dalam benakku

Sambil menyuapi anakku bubur tajin


disejuk teras belakang rumah
Aku menanam dendang biji-biji mimpi
dalam benak anakku

Mimpi kami serupa dan sederhana


Seperti juga mimpi semua para perempuan
Mimpi tentang tegur sapa dan kedamaian
Yang kini kian langka dalam kehidupan

2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-87- Hal- 88
MIMPI YANG MINGGAT
Oleh: Emil E. Elip

Mimpi-mimpiku tiba-tiba saja marah


Mengumpat-umpat siapapun yang lewat
Dan mengancam akan minggat
Mencari tubuh lain yang lebih punya berkat.

Ia kini melenggang pergi sendiri


Pontang-panting kesana-kemari
Bernegosiasi dengan bermacam-macam takdir.

Terserahlah! Tubuhku pun memilih pergi


Menunggui cakrawala berbatas tabir
Antara langit dan bumi:
Ia berziarah dalam sepi.

Jakarta, Desember 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-88- Hal- 89
ZIARAH SORGA
Oleh: Emil E. Elip

Aku bertanya kepada anak-anak jalanan


Seperti apa sorga menurut kalian:
~ Seperti makan sate
~ Seperti tidur di kasur yang uuempuuk
~ Seperti nemu duit lima puluh ribu, tuan

Aku tergelitik untuk menjelaskan tentang sorga


kepada anak-anak itu. Sorga adalah suatu tempat
yang tenang, damai, tidak ada amarah,
semua kita berteman, tidak ada lapar dan haus,
semua bahagia, yang berasal dari perbuatan kita
yang baik di masa hidup, ...dan...

Sebelum aku selesai anak-anak sudah tertidur


ngorok: ...ssoorggg...ssoorrggg---zzzoorrgg...
Mungkin dalam benak anak-anak itu
sorga yang ku gambarkan terlalu njlimet
Sementara sorga yang mereka inginkan
sederhana saja...sangat bersahaja.

Rasa-rasanya aku harus berziarah tentang sorga


Secara lebih gampang ...just a simple matter...

Januari, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-89- Hal- 90
LIPATAN TAHUN-KU
Oleh: Emil E. Elip

Aku rasa waktu telah menipu ku


Dengan bermacam tikaman-tikaman mimpi
Dan segala rupa suka dan nestapa hati
Di sekujur tubuh perjalanan yang lalu

Sudahlah...tiada yang mampu memanipulasi waktu


Sebab oleh karena ada waktu, kita menjadi tahu
Bahwa segalanya telah begitu saja berlalu.
Dan semoga waktu tidak mencaci-maki diri ku

Selamat Ulang Tahun: Diriku!


Semoga waktu tidak lagi mengejarmu
Ku harap Sang Waktu menjadi sahabat kembarmu
Dalam perjalanan panjang abadi
Yang mungkin.....sebentar lagi

Jakarta, Maret 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-90- Hal- 91
MATI DALAM TANYA
Oleh: Emil E. Elip

Kalau sudah mati, mati sajalah

Teramat banyak gelandangan mati


Teramat banyak pemulung mati
Mati dengan sederhana saja
Tanpa berkafankan ucapan dan bunga-bunga

Tidak ada yang ditancapkan dikuburnya


Seakan-akan takut dia bertanya
tentang barang-barang yang disukainya
ketika di dunia

Semua kematian mungkin adalah putih


Putih dengan semburat bayang hitam sepi
Sepi dalam tanya...

Jakarta, Maret 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-91- Hal- 92
PUTERI MELAYU DAN SETEGUK KOPI
Oleh: Emil E. Elip

Aku tidak tahu kapan kau datang


Turun dari rumah panggungmu
Maafkan aku terpekur dengan laptopku
Di warung mu.

Dan kau meneguk secangkir kopi


Airnya mengalir hitam
Di leher jenjangmu nan putih
Hai puteri Melayu.

Asal kau tahu, akupun pemadat kopi


Airnya lenyap dikulitku yang hitam
Tapi tubuhku jadi bergetar
Aromanya nendang menjalar
Aku terkapar.

Ketika terbuka mataku


Kau telah pergi
Bersama tenggok di pinggangmu
Masuk ke hutan perdu Robusta

Liwa, Mei 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-92- Hal- 93
SAHABAT “PERJALANAN”
Buat Ayoeng----
Oleh: Emil E. Elip

Aku menyayangimu,
Seperti sayangmu pada gunung-gunung
Yang pernah kau daki ketika muda
Aku menyayangimu,
Bagai tegar nyanyi-nyanyi balada
Tak henti-hentinya kita lantunkan bersama dulu

Maafkan aku sering dekat dan jauh darimu


Maafkan aku tak henti selisih pendapat denganmu
Maafkan aku, dihadapanmu, kadang “abu-abu”

Semoga “jejak kaki” yang kita buat


Menyisakan kenangan, rohmat, dan manfaat
Bagi semua sanak kadang di punggung-punggung gunung,
Lereng-lereng hutan, di tepi-tepi pengharapan
dan dimana saja…

Meski itu (mungkin) penuh luka dan suka


Meski itu (pasti) sungguh sederhana saja.

Semuanya itu:
“…selaksa bunga rumput goyang bersama
dalam alunan angin semilir…” (leo-kristie)

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-93- Hal- 94
SEPOTONG SENDOK
DI STASIUN CAWANG
Oleh: Emil E. Elip

Sepotong sendok
patah di stasiun Cawang
tertindih reruntuhan kayu
dan bongkah batu-batu bata.

Pecahan-pecahan gelas bekas kopi


Serpih-serpih piring dan supermi
Berserak dimana-mana di hantam bulldozer.

Seonggok kompor penyok tak berbentuk


Bau minyak tanah muncrat kemana-mana
bekas tendangan “sepatu hitam”
berjejal-jejal.

“Kami semua telah membayar girik


bertahun-tahun”, teriak seseorang.

Sejumput nasib, segumpal hati


dan setumpuk harapan nyaris mati
tergusur sudah dan koyak-koyak.
Bersama angin malam
Tubuh-tubuh lunglai dan kosong
membawanya pergi entah kemana…..

Jakarta, Mei 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-94- Hal- 95
JALI-JALI TAMAN SUROPATI
Oleh: Emil E. Elip

Taman Suropati,
Di Sabtu atau Minggu pagi
Diantara angin semilir dan pohon kenari
Suara keroncong, orkes, saxophone
juga petik kecapi.

Taman Suropati,
Diantara gemericik air pancuran
dan rerumput basah
Aku menyeruput kopi
Membuang lelah seminggu ini.

Taman Suropati,
Diantara derai tawa anak-anak
Seorang bocah menghampiriku:
“Apakah Bapak suka musik?”
“Ya”, jawabku mengangguk.

Dengan riang dia asik


Menggesek biola “Si Jali-Jali”.
Dan bersamanya aku mengusir jenuhku pergi!

Jakarta, April 2013.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-95- Hal- 96
MEMBUNUH CINTA
Oleh: Emil E. Elip

Seorang gadis yang duduk disampingku


Dalam perjalanan bus Jakarta-Tasik
Terus menerus mengangkat handphone
Membunuh gelisah

Mendadak dia menangis meronta pilu


Ibunya yang sejak pagi masuk rumah sakit
Akhirnya meninggal
Keraguan membuatnya tidak bisa hadir
Di sisi ibunya.

Bukan kematian yang sedang dia tangisi


Tetapi saluran rasa cinta
Yang mendadak harus mampat
Kehilangan sosok ruang, waktu, dan wujud.

Cinta, barangkali adalah situasi perasaan


Yang boleh jadi:
“amat memilukan dan berbahaya”.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-96- Hal- 97
NATAL DI BUKIT CAKRAWATI
Oleh: Emil E. Elip

Petang sudah pukul delapan malam


Gelap dan dingin embun menyelimuti
Punggung-punggung gunung
Di Pekalongan Selatan.

Kami berempat mesti bergegas


Sebelum babi-babi hutan keluar dari sarangnya
Obor-obor kami bagai mutiara di kegelapan
Berjalan berjingkat, berkelok-kelok
Menelusuri dua sampai tiga punggung bukit
Kebon kopi, sengon, aren, dan pinus-pinus yang berdesis
Suara jangkerik dan kumbang malam
: “menyongsong Misa Natal di bukit Cakrawati”.

Di bawah pendar obor yang mulai pudar ketika pulang


Aku merasa inilah Natal paling sejuk
kudus dan indah…

Jakarta 2013,
Petungkriyono 25 tahun lalu (1988)

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-97- Hal- 98
RINGKIK KUDA DARI DALAM BUMI
: buat takengon dan bener meriah

Oleh: Emil E. Elip

Pagi belum habis,


Tungku api di dapur kami belumlah padam.
Dan seperti biasa embun membawa bau kopi…

Entah kenapa! Hati kami berdebar keras


Bagai derap kaki-kai kuda di pacuan yang beringas
Dan akhirnya terjungkal masuk ke bumi
Bumi yang retak….. Bumi yang lantak….

Tiba-tiba kami menangisss


Meratap yang membutuhkan jawaban mengapa
Menangis bersama seisi kampung
Tangis kami bagaikan syair-syair Didong requem…
Yang tak paham lagi dimana hentaknya harus berhenti

Ahh … kami orang-orang gunung yang tak akan pernah putus asa
Tidak akan marah-menyesali kepada bumi
Bumi tempat kopi-kopi telah menyusui hidup kami
Bumi tempat kuda-kuda kami berlari riang dan binal
Bumi tempat biji-biji syair Didong kami selalu bersemi

Pagi belum habis,


Tungku api di dapur kami masih hangat menyala
Hati kami, pun tidak akan pernah padam.

Jakarta, Juli 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-98- Hal- 99
DARI TEPI KAMPUNG BAJO
Oleh: Emil E. Elip

Teras rumah kami adalah laut


Teras rumah mu adalah kebun
Dalam tidur kami mendengar kecipak
dan debur ombak.
Sementara dalam tidurmu, mungkin kamu dengar
deru mesin angkutan jalanan.

Kami menghirup angin laut


Kami makan dari laut
Kami mandikan bayi-bayi kami di air laut
Kami bersihkan tubuh-tubuh kami di laut
Kami baca tanda-tanda zaman di batas cakrawala laut

Terima kasih telah membuatkan


… dermaga-dermaga beton
Terima kasih telah menyulap
… kampung kami lebih terang
Terima kasih telah membawa
… air yang lebih bersih dekat ke kampung kami
Terima kasih telah mendatangkan
…bidan sehingga anak kami tumbuh lebih sehat
Dan, atas semuanya itu,
Terima kasih tidak memaksa kami
pindah ke daratan.

September 2013,
Tepian Kampung Bajo-Bualemo

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-99- Hal- 100


KISAH LAMPU LISTRIK
Oleh: Emil E. Elip

“Dab lampune byar-pet”


“Sik dab…ki banyune rendet”
“Tur nggowo krikil ro suket”
“Diresiki sik, ndak kincire ruwet”
[Bung lampunya kok hidup-mati
Sebentar! Airnya lambat ,penuh dedaunan dan batu
Mau dibersihkan dulu, supaya kincir tidak rusak]

Suaru sore menjelang mahrib


dua puluh lima tahun lalu.
di Desa Kayupuring, Pekelongan Selatan.
Tiga puluh sampai empat puluh penduduk
memikul kincir besar naik turun bukit: 13 Km!
sejak subuh hingga hampir mahrib.

Kami semua sedang menunggu listrik!!


Tidak ada satupun listrik di desa-desa
Kecuali genset di kantor kecamatan
yang hanya menyala dari mahrib
hingga jam sembilan malam.

Para perempuan desa sibuk menanak nasi


dan menyiapkan panganan.
Anak-anak siap pergi kelanggar
Akhirnya semuanya berteriak
melihat pijar bolam listrik di rumahnya
yang masing-masing diberi jatah 2 lampu.
Setiap malam orang-orang kumpul di ruang tamu.

Tiga tahun setelah sore itu, kincir besar padam


Rusak dan aus dihantam kerikil dan batu.
Tujuh tahun setelah sore itu, hampir setiap rumah
di Kayupuring dan desa-desa lain
listrik menyala kembali dari kincir-kincir yang lebih mini
Dibangun oleh mereka sendiri
dan terus menyala sampai kini!

Setiap kali kami ke Petungkriyono lagi


Kami mengenang kegagalan, dan bersabar atas perubahan
Pun kami menerima banyak rahmat
Dari sanak saudara dan kerabat.

Jakarta 2013,
#Petungkriyono 25 tahun lalu (1988)#

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

Hal- 101
-100-
JIWA YANG MEMINTA
Oleh: Emil E. Elip

Kami adalah legiun-legiun,


Yang siap terjun dimanapun.
Kami adalah legiun-legiun,
Yang terlatih, punya cara, banyak dana, juga kampiun
Dan beringas menerjang perubahan...

‘’Bapak...Ibu...jangan tinggalkan kami...’’


‘’Kepada siapa kami minta tolong...dan bantuan’’
Mendengar itu legiun merapatkan barisan
Memperkuat strategi, menandaskan misi
Kami pasang rambu-rambu, di dalam buku,
di spanduk-spanduk dan facebook.
Semua harus segera terjadi, tak satupun boleh terhenti.
‘’Terima kasih ....Bapak...Ibu’’
‘’Kami tidak tahu harus bagaimana, kalau Bapak-Ibu pergi...’’

Ya...ampun Tuhanku,
Telah tercipta orang-orang dengan mulut menganga
dan jiwa-jiwa yang meminta!
Tak mampu lagi kami lepas tali kusut
Dari sepatu yang terlanjur butut!

Maafkan kami,
mungkin telah menjadi legiun-legiun berbahaya...

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

Hal- 102
-101-
“………………………”
Oleh: Emil E. Elip

“………………………..”
[Munkgin akan terjadi]
“………………………..”
[Mungkin akan tidak terjadi]
“………………………..”
[Yang pasti kita semua menuju titik mati]

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

Hal- 103
-102-
BUANG SAJA
Oleh: Emil E. Elip

Sudah banyak mimpi yang ku buang,


kini menyisakan umpatan-umpatan
yang mesti kupilih-pilih lagi untuk dilenyapkan,
agar tersisa sedikit saja penyesalan ringan
tak menyakitkan!

Jakarta, 2013.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-103- Hal- 104


TARIAN MIMPI
Oleh: Emil E. Elip

Mimpi-mimpi yang telah lama


ku buang jauh-jauh
Kini datang menari-nari riang
seakan terbebas dari belenggu jiwa
yang tak mampu mewujudkannya.

Jakarta, 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-104- Hal- 105


MIMPI MAAF
Oleh: Emil E. Elip

Jika kau tertidur


di malam-malammu yang nyenyak,
Mohon hadirkan dalam mimpimu
kau memaafkan aku…

Itu sudah cukup bagiku.


Aku tidak pantas memperoleh maaf
dari wujud wadagmu.

Itu saja cukup, lebih dari cukup…

Jakarta 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-105- Hal- 106


AWAN AWAN
Oleh: Emil E. Elip

Ibu…belum jugakah kau siap


membawaku terbang ke awan-awan:
pengembaraanmu.

Aku sudah lelah basah kuyup


dan compang-camping berkelana
bersama mimpi-mimpi …

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-106- Hal- 107


MENARI DALAM HUJAN
Oleh: Emil E. Elip

Sewaktu aku kecil


Aku riang bebas menari dalam hujan.
Kini setelah setengah abad umurku,
Tak kesampaian aku menari dalam hujan
Bersama anak lelaki kecilku.

Aku terlanjur takut…


Sepertinya hujan semakin ganas!

Yogyakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-107- Hal- 108


LIPATAN TAHUNKU – (2)
Oleh: Emil E. Elip

Jika sudah tidak ada mimpi,


Aku pasrah dalam perjalanan tahunku.
Oleh karena masih ada mimpi,
Badanku bimbang dalam lipatan tahunku.

Maka ku ramu mimpi menjadi doa,


Doa yang bebas tanpa kandungan mimpi.
Maka ku ramu badan menjadi jiwa,
Selamat Ultah: Diriku!
Biarlah doa dan jiwa mengelana,
Tanpa batas waktu…

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-108- Hal- 109


LUMAMPAHING NGAURIP
Oleh: Emil E. Elip

Sejarah menjadi punya makna


Karena ada memori, ruang, dan waktu
Derita dan suka hampir sama saja
Tinggal menunggu yang mana datang lebih dulu.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-109- Hal- 110


DOA BERSAMA SANG KATAK
Oleh: Emil E. Elip

Aku bersama sang katak


Melakukan ritual doa bersama
Agar hujan turun secukupnya saja….

Mungkin doa kami tak terdengar oleh hujan!!

Jakarta, November 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-110- Hal- 111


SEBUAH CATATAN HARIAN
Oleh: Emil E. Elip

Sesama teman kolega profesi, kami berbincang-bincang


Dan, sampailah kami tentang gaji
Seorang teman saya, gajinya lebih dari sepuluh kali lipat:
Dariku!!

Hari ini, seorang teman sekantor tugas lapangan


Dikirim ke daerah yang terkenal dengan “batu akik”
Dia berbelanja batu: tujuh juta rupiah habis!!
Dan, selepas mahrib orang di kampung menelpon
Tidak ada uang di tangan, untuk makan
Beberapa hari ke depan!!

Aku tidak bisa mengatakan: “ini tidak adil!”


Tentu masih banyak yang hidupnya dibawah dariku,
Yang sudah sebulan atau lebih tidak jelas makan apa!
Aku tidak bisa beralasan: “kebutuhan kita berbeda”.
Setiap orang mempunyai nilai desakan kebutuhan:
Yang sama!

Aku mungkin memang lebih bodoh!!


[Untuk tidak mengatakan buruk nasib, yang nampak fatalis]

Jakarta, Maret 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-111- Hal- 112


SANG MALAM – (1)
Oleh: Emil E. Elip

Aku bertanya kepada Sang Malam


Apakah esok, hari akan memberiku rejeki
Ataukah esok, hari sekedar merenggut umurku:
Kian pendek!

Sang malam diam saja:


“Seakan menunggu lengahku”

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-112- Hal- 113


SANG MALAM – (2)
Oleh: Emil E. Elip

Entah seperti apa hidupku,


tanpa Sang Malam.

Di ruangnya aku berpikir


Di dalamnya aku menulis
Di tengahnya imajiku mengalir
Seluruh diriku masa lalu dan kini hadir:
Berbincang menemaniku!
Sering sekali kami saling hujat!
Tanpa malu!

Subuh sedang menjelang:


Malasku luar biasa datang!

Jakarta, April 2014.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-113- Hal- 114


SANG MALAM – (3)
Oleh: Emil E. Elip

Sang Malam adalah puisi


Siang hanyalah mimpi.
Sang Malam adalah imaji
Siang sekedar saja sepi.

Siang kian lusuh penuh hiruk pikuk ironi!


Malam adalah kedamaian abadi…

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-114- Hal- 115


SANG MALAM – (4)
Oleh: Emil E. Elip

“Apakah kau ingin


menemaniku sampai pagi”
seperti hari-hari kemarin?”
tanyaku kepada Sang Malam.

“Malas! Debat kita tentang nasibmu


tidak pernah berkesudahan.
Sampai pagi menendangku pergi…!”
jawab Sang Malam.

“Lantas untuk apa kopi hitam pekat itu


kau buat”, tanyaku dalam hati.

Jakarta, 2014.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-115- Hal- 116


SANG MALAM – (5)
Oleh: Emil E. Elip

Puluhan, bahkan ratusan malam


telah kumaki: “Pembohong Besar!”
Bulan purnama, Lintang Panjer Sore,
Lintang Panjer Wengi, Lintang Salib
dan tanda-tanda lain di langit malam
sudah tak mampu ku tangkap maknanya
Mimpi-mimpi yang terbenam dalam dengkurku
tak pernah terwujud di hari siang.

“Salahmu sendiri!”, kilah Sang Malam.


Malam ku yang agung dan sepi
Malam ku yang gelap dan suci
Malam ku yang sunyi dan damai
telah kau dera bagai hari siang
yang terang benderang dengan beban
nafsu dan akal-bulus mu.

Kembalikan Malam ku pada gelap, sepi, dan suci


biar suntuk Malam ku mendampingimu
dalam kusyuk mensyukuri siang-siang mu!

…aku masih tetap bimbang…

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-116- Hal- 117


PRENJAK
Oleh: Emil E. Elip

Jaman semana aku isih bocah


Yen ono suoro manuk prenjak
Iku pertondo yen arep ono
Tamu teko.

Saiki manuk prenjak wis entek


Amargo wit-witan wis punthes
SMS seko HP-ku muni
Pertondo konco opo tamu:
Arep teko ngampiri.

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-117- Hal- 118


HUTAN SORE ITU
Oleh: Emil E. Elip

Aku sedang duduk di teras sore itu


memandangi pucuk-pucuk hamparan hutan.
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Yang mulai tertutupi kabut.
Secangkir kopi di mejaku mengiringi
lagu Bridge Over Trouble Water mengalun dari laptop ku.
Suasana begitu passs…

Memang benar persahabatan kita


dengan hutan dan alam tidak pernah langgeng.
ingin menjaganya, tetapi juga menghancurkannya.

Gelap Mahrib di Liwa sore itu kian pekat.


Perbukitan hutan tenggelam dalam gelap.
Aku tetap memandanginya
Bersama secangkir kopi.

Liwa, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-118- Hal- 119


GADIS MELAYU DAN KOPI
Oleh: Emil E. Elip

Aku kaget ketika melewati Desa Bukit Kemuning


Biji kopi merahmu bercampur biji-biji hijau
Berkarung-karung kopi di tiang-tiang rumah kayumu
kini tinggal seonggok saja.

“Tidak ada lagi yang merawat kopi kami Nak”, kata Mamakmu.
Tidak ada yang mengatur para perempuan pemetik
Tidak ada yang meratakan kopi di penjemuran
Tidak ada yang berangkat menyangrainya sampai hitam
“Dia sudah pergi belajar ke kota”, teriak Mamakmu
dari teras atas rumah kayu.

Ah…aku terpaksa minum kopi instan saset


Di kedai seberang rumahmu.

Liwa, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-119- Hal- 120


DOL TINUKU KUOSO
Kaserat dening: Emil E. Elip

“Nyoblos” Pemilu nipun


sampun tuntas sedinten-kalih dinten.
Namung mentheng-kelek ceneng-cenengan kuoso
ingkang persis kados dol tinuku “wedhus” ing pasar
mboten rampung makaping-kaping minggu.

Kulo sak brayat tiyang kesrakat-sekeng


ngantos bingung kados enthung.
Hak kulo dados rakyat lan wargo
sampun dipun “tumbas-ijon” lan sampun kulo “gadhe”
Namung seket ewu utawi satus ewu rupiah kemawon
kangge gangsal tahun ing ngajeng.

Sak meniko kulo sak brayat tiyang kesrakat


namung saged “ningali” kemawon
namung saged dedonga mugi-mugi
igkang kuoso pemerintah enggal
taksih gadha prentuling ati ngangkat drajat
tiang alit lan sekeng.

Duh…Gusti ingkang murbeng dumadi,


Menopo sampun mboten wonten coro sanes
hanglampahi demokrasi ing negari kawulo!?

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-120- Hal- 121


BINGUNG INGKANG PUNDI !
Kaserat dening: Emil E. Elip

Ingkang kawulo gadhang-gadhang


tembe wingkingipun namung “plenyiikkk”
Kados cacing kepidak.

Ingkeng rumiyin dipun wastani “prahoro-bebendu”


Sak meniko mancal turonggo
Macak kados to pangeran piningit waseso!

Duh Gusti kawulo, mripat lan paningal


kulo dados peteng…
Peteng lelimangan kados tanpo pratondo.

Nyuwun pangapunten kisanak lan nisanak:


“Kulo badhe tintrim tilem kemawon!”.

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-121- Hal- 122


SAMA SAJA SEPI
Oleh: Emil E. Elip

Dari atas jembatan Semanggi


Aku melihat mobil begitu cepat
Bus-bus kota dan taxi begitu beringas.

Dan, aku hanya jalan kaki dan berlari


Dari pemberhentian nasib yang Satu
ke pemberhentian nasib lainnya.

Jangan khawatir---
Karena cepat maupun lambat adalah sama saja
Duka maupun sukanya adalah serupa saja
Masing-masing kita memang berperan secara berbeda.

Ketergesa-gesaan dan kegelisahan


Hanyalah karena mengingkari peran yang terberi
Dan ketika itu menghampiri,
Kebahagiaan menjadi hampa dan sepi…

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-122- Hal- 123


MALAM KE-122
Oleh: Emil E. Elip

Pada malam ke-122


Aku jatuh tersungkur
membujur kaku dan kabur.
Sang Malam ke-122
merasa iba dan datang menghampiriku
menawarkan persengkongkolan.

“Aku tak mau kau mengotori malamku”, katanya.


Mari kita hancurkan siang yang congkak!
Ingat, terang hanyalah sementara
dan gelap adalah jauh lebih abadi!

Yogya-Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-123- Hal- 124


KU AMBIL DULUAN
Oleh: Emil E. Elip

Terima kasih Gustiku,


dan minta maaf.

Telah ku ambil duluan hak ku


yang mungkin belum waktunya
Kau berikan.
Kehidupan terlalu memburu
Sangat cepat berhembus bagai lesus.

Suatu kali nanti biarlah aku:


Bersimpuh “dibilik pengakuan”-ku…
Aku tahu Kau pemaaf.

Jakarta, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-124- Hal- 125


MALAM YANG AGUNG
Oleh: Emil E. Elip

Semua bunga dan biji yang esok akan tumbuh merebak


dimulai dari malam-malam yang hangat.
Relung-relung kebudayaan yang esok akan terlahir bergerak
diperam pada malam-malam penuh rembulan bulat.

Siang hanyalah terang hasil,


dari sang malam yang agung nan penuh kerahiman dan ilahi.

Yogya-Jakarta, 2014.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-125- Hal- 126


NYOBLOS APA BU?
Oleh: Emil E. Elip

Seorang ibu tua datang padaku


Tergopoh-gopoh menggamitku, dan berkata:
“Besok Pemilu Presiden aku minta tolong nak…
Tolong dicobloskan saja….
Aku sudah tidak bisa melihat
Berjalan saja sudah buyuten dan sulit”.

Jelas aku terperangah, dan hampir saja


mengucapkan kata: “Tidak!”
Tapi cepat-cepat ia menarikku, dan:
“Sudahlah…akhirnya toh semua ini
seperti yang sudah-sudah…!!”

Aku urungan berkata: Tidaaaaakkk!


Sepertinya aku merasakan
Insting demokrasi teramat jujur…

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-126- Hal- 127


BAPAKMU MASIH NGUTANG!
Oleh: Emil E. Elip

Aku pulang kerja. Menjelang mahrib


Jakarta begitu panas dan gerahhh…
Anak-anak seusia SMA masih main bola di gang
“Bang! Abang nyoblos apa besok!”,
teriak mereka menyapa seperti biasa.
Aku diam saja. Mau buru-buru ke kost. Mandi!!

“O…abang golput ya. Kok diam saja


Abang harus memilih kan, kalau tidak
siapa yang memperjuangkan nasib kita
sekolah gratissss….”, teriak anak-anak.

Bajuku basah. Peluhku kemana-mana merambah. Panasss…


Hampir saja aku kasih kuliah anak-anak itu:
“Hai nak!!…semua calon presiden yang dulu-dulu
kasih janji sekolah gratis! Tapi lihat
bapakmu masih ngutang ke aku
untuk bayar sekolahmu… Belum lunas!”,
gumamku bersungut-sungut!.

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-127- Hal- 128


SUDAH KAU JUAL NASIB NEGARAMU
Oleh: Emil E. Rlip

Hanya gara-gara lima puluh ribu


atau seratus ribu kau terima,
Hanya lantaran kaos atau baju seragam,
Hanya karena bensin satu atau dua liter,
Hanya oleh karena makan gratis,
dangdut gratis…
Sudah kau jual nasib negara yang ada
di otakmu.

Karena nafsu mengejar jabatan


Karena kehendak tak terkendali jadi penguasa
Karena kemudahan mendapat proyek
Karena tidak mampu menerima kekalahan
Karena rasa dendam kesumat…
Sudah kau nisbikan idealisme negara yang ada
di otakmu.

Semuanya serasa semu dan sumir


Karena kita masyarakat yang doyan propaganda
Kita masyarakat yang mudah nikamat dan bergairah dalam propaganda
Sejak jaman penjajahan kita masyarakat yang suka dibombong,
suka dipuji, suka memuji...sejarah idealismenya abu-abu

Yang akan mengalir nampaknya


Seperti yang sudah-sudah saja
Seperti biasanya
Seperti kemarin-kemarin
Seperti yang dulu-dulu
Seperti masa lalu…

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-128- Hal- 129


SURAT SANG BURUNG
Oleh: Emil E. Elip

Suara itu meraung-raung


Sejak pagi sampai siang
Satu per satu pohon tumbang
Ribuan batang hilang melayang

Sang burung terpaku di sudut sebuah dahan


Meratapi sarang dan anak-anaknya tersayang,
hilang tanpa pesan

Dalam bingung sang burung menulis surat


pada ribuan lembar dedaunan
dari pohon-pohon yang tersisa:
“Ke mana kau sembunyikan anak-anakku…!”

Dan…kita tidak pernah mau


menemukan surat itu,
apalagi membacanya!

Liwa, 2014
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-129- Hal- 130


RUMAH BURUNG
Oleh: Emil E. Elip

Kira-kira sepuluh atau lima belas tahun yang lalu


Anakku menggambar burung
Hinggap di dedaunan yang rimbun.
Ia sering melihat burung bertengger
Di pepohonan sekitar rumah.

Anakku yang ke tiga, enam tahun umurnya


Baru saja menggambar burung
Bertengger di dalam kandang yang kaku
“Burung kan rumahnya di kandang Pak”,
Jawabnya ketika ku tanya.
Pepohonan di sekitar rumah sudah hilang
Penuh bangunan. Tinggal burung-burung piaraanku,
di dalam kandang.

Aku merasa bersalah…


Besok harus aku beli pohon-pohon besar
Meskipun terbuat dari plastik
Harus aku beli juga boneka-boneka burung
Dan ku pasang di pohon-pohon plastik itu
Aduh…nampaknya aku mulai senewen!

Yogya, 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-130- Hal- 131


POHON DI AWAN
Oleh: Emil E. Elip

Seekor burung terbang kesasar


ke dalam awan-awan putih
yang agung dan sepi.

“Oh…betapa indah dan aman


negeri semacam ini”, gumamnya.
Ia ingin membawa biji-biji pepohonan
dan menebarkannya di awan-awan
lalu mendendangkan nyanyian melayang terbang
bersama anak-anaknya tersayang

Sang burung telah sampai pada batas putus asa


Ia tidak melihat itikad baik pada manusia
untuk menjaga biji pepohonan
dan tunas yang tumbuh.

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-131- Hal- 132


MINGGU PAGI
--yang kesekian ratus kali--
Oleh: Emil E. Elip

Entahlah...mungkin aku lupa jalannya


Tukang becak juga lupa arahnya
Sopir bajay, angkot, bis kota, taxi
pun lupa jalurnya, menuju pondokan-Mu.
Kau, mungkin, lupa mengingatkan
bahwa pada Minggu pagi aku mesti datang
ke pondokan-Mu.

Lilin-lilin malam sudah mengepulkan asap matinya


berpuluh-puluh bahkan ratusan kali bulan purnama.
Lonceng pondok-Mu tak berdentam seperti biasanya
Tidak ada ketukan pintu, pun olesan darah pertanda
Entah yang ke berapa ratus kali, Minggu pagi ini
sepi sepi saja…jalanan sepi…
angin tak berhembus di hati.

Maunya aku bertandang ke pondokan-Mu, sahabatku


tapi maaf, entah mengapa, aku ngeloyor saja
ke sebuah warung kopi...maafkan aku.
...yang pasti pondokan-Mu
tak terbakar dari ingatanku...

Di sebuah minggu pagi


akhir Januari 2012

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-132- Hal- 133


BUAH HATIKU
Oleh: Emil E. Elip

tidak mungkin ku tunggui hidup mu


sampai kau kokoh berdiri dikakimu sendiri
tak sampai, kiranya, nafasku
hingga kau membedah dunia baru
dan mimpi-mimpi keras dunia

maafkan atas banyak waktu terbuang sia-sia


maafkan atas setumpuk kata tak sempat terbahas
lupakan atas marahku yang tak beralasan
rasanya hari semakin jauh...senja tenggelam
kian cepat

tidak ada alasan untuk menoleh ke belakang:


...hai buah hatiku...
yang sudah lepas harus kau tinggalkan
yang terlanjur hilang lupakan saja
masih banyak lagi kehidupan harus dikalahkan.

lari dan tebas dunia dengan pisau mata hatimu


dan jangan percaya kepada ”takdir” masa lalu!

Suatu subuh, Februari 2013

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-133- Hal- 134


NDOBOSSSS…
Kaserat dening: Emil E. Elip

Ingkang sami sesumbar suoro


Wonten ing podiom-podiom kampanye
Kantun-kantun mboten sanes:
“Namung rebutan kuoso lan arto”

Kulo sak brayat tiyang kesrakat-sekeng puniko


Tan kendhat ugi hangayubagyo gebyaring kampanye
Kedah keprigel sisideman dados gedibal
Ngideraken “kaos, gendhero, lan amplop”
Sedoyo puniko kantun-kantun mboten sanes:
“Ngupoyo meniran lan upo”

Demokrasi puniko namung sak wijining coro


Ingkeng limpad, nastiti, lan temoto
Hambabar kanthi adil “kuoso, arto, lan upo”
Gumantung ing martabat panjenengan sedoyo

Kadosipun, rak nggih mekaten to kisanak!

Jakarta, Maret 2014.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-134- Hal- 135


PESAN RAMADHAN SANG BURUNG
Oleh: Emil E. Elip

Seekor burung putih terbang tanpa letihhhh…


Di paruh dan kakinya menggenggam dedaunan hijau.

Akhirnya dedaunan itu gugur bertebaran ke bumi


Saking lelahnya ia terbang, sebab semakin sedikit pohon
Dimana ia bisa hinggap dan istirahat.

Beruntung aku sempat memungut


Satu dedaunan hijau itu, dan membacanya:
“…Selamat Ramadhan 1435 H, manusia
Semoga kau terlahir kembali sebagai manusia baru
Yang peduli pada duniaku berpijak…”

Jakarta, 29 Juni 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-135- Hal- 136


JANGAN-JANGAN KAU…
Oleh: Emil E. Elip

Kau, meneriakan demokrasi! Bahwa hanya dengan demokrasi


buruh, kaum miskin kota, dan petani akan sejahtera.
Kau, meneriakkan pemimpin pilihanmulah yang paham demokrasi
seakan-akan pemimpin-pemimpin lama sama sekali buta demokrasi.
Kau, menggalang berjubel massa. Massa mengambang
yang tatapan matanya nanar kosong…

***
Sang petani di punggung-punggung gunung, kini hanya sejengkal tanah
Mereka terpaksa mejual tanah-tanah itu karena bibit dan pupuk
semakin mahal. Hasil panen tak sepadan dengan harga jual.
Anak-anaknya harus terus bersekolah. Biaya kehidupan semakin tinggi

“Pilihan presiden kok medeni to…” | Pilihan presiden kok menakutkan sih…
“Mbok uwis gek rampung. Gek tumandang gawe..” | Sudahlah cepatlah selesai. Segera
bekerja
“Po yo bar presiden-ne anyar rego pupuk terus anjlok!? | Apa setelah presidennya baru
harga pupuk langsung turun?!
“Do bengak-bengok Demokrasi! Demokrasi…opo to?!” | Berteriak-teriak demokrasi!
demokrasi!....apa sih

***
Kau, jangan-jangan hanya meneriakkan retorika-retorika klise
Kau, jangan-jangan hanya meneriakkan himne-himne lawas
Kau, jangan-jangan hanya sedang melakukan ritual
Kau, jangan-jangan tidak mengerti ini tipuan atau sungguhan
Kau, jangan-jangan …

2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-136- Hal- 137


BISIK PADI
Oleh: Emil E. Elip

Malam itu angin mengalun rendah dan berat


Menerpa padi-padi sawah belakang rumahku
Pelan…ssssss…ringan…sssss….tampak menyayat
Ia bingung bagai kunang kehilangan terang…
Nelangsa bagai ular kehabisan katak…
Dan, ia menyimpan dendam
bagai burung hantu menunggu tikus sawah.

Apa yang ingin kau katakan, anginku


“Cepat paneni saja padi-padimu,
dia sudah merunduk setuju!”
Tetapi aku masih ingin berkelakar
denganmu, angin, dan bersama padi-padiku…
Tengah malam nanti, malam purnama
malam birahi untuk padiku makin berisi.
“Ingat! Angin lain setelah aku, adalah angin jahat
pembawa wereng dan penyakit!”

Aku segera memeluk padi-padiku. Membelai


satu per satu bulirnya yang semakin montok.
Batang-batang yang merunduk berat, aku ikat
kelompok demi kelompok, aku tidurkan di tempat
yang hangat. Aku membuat perapian di beberapa
sudut, dari pagar-pagar bambu tipis yang kering.
Asapnya membubung gelap dan tinggi. Aku terkulai,
rebah ditengah sawah.

Pagi-pagi sekali setelah subuh


Bulir dan batang-batang padi mengelus mengusap ku,
dan berbisik lirih :
“Terima kasih telah menemani kami semalaman
Kini takdir kami sudah menunggu,
buatlah kami nasi, sarapan pagimu…”

Yogya, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-137- Hal- 138


MANUSIA SEPANJANG HARI
Oleh: Emil E. Elip

-a-
“Kalau sudah tidak mau dengar nasihat bapakmu,
ya sudah…! Pergi! Jalan saja dengan cara hidupmu
Kau juga! (hardikku pada istriku): Anak macam itu
kau diamkan saja! Kau manja! Lihat itu
akhirnya jadi kementhusss!!”
Bagaikan angin seribu aku melompat ke motor,
berangkat ke kantor.

-b-
Setelah ngopi, merokok, menenangkan hati…
kami mulai rapat dan diskusi
Sebagai staf yang cukup tinggi aku diberi
waktu untuk mengisi materi.
Aku mulai mengulas budaya berorganisasi,
Lantas berlanjut ke topik-topik pembangunan
karena organisasiku concern untuk hal ini

Aku mulai bergetarrrrr


Mengulas tetek bengek pembangunan
Pembangunan berkeadilan, pembangunan
berbasis lingkungan…sampai pembangunan partisipatif.
Hanya dengan partisipasi kita bisa kuat,
Melalui partisipasi kita mewujudkan transparansi
Partisipasi….ya….partisipasi adalah hak tiap warga…
Sampai sore aku masih berbuih-buih dan bergetarrrr

-c-
Menjelang mahrib aku balik kantor. Baca-baca koran
sedikit. Lalu mandi. Nonton tv sedikit. Lalu makan malam.
Aku melongok ke kamar anakku yang pagi tadi
ku semprot kementhusss. Pergi entas ke mana dia…
Menjelang tidur malam, sebagai orang yang mengaku beriman,
aku berdoa. Jengkeng di samping tempat tidur, dan kemudian
komat-kamit: Ku bacakan sedikit ayat-ayat lanjutan
yang kemarin….ku lantunkan lirih mazmur pujian yang
aku sudah hapal….

Yogya, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-138- Hal- 139


DI DALAM BIS KOTA
(TRANS JAKARTA)
Oleh: Emil E. Elip

Selalu saja jam sepuluh aku baru tiba di kantor


Pangkatku lantas tak kunjung terkatrol
lantaran absensiku selalu molor.
Jam lima atau paling lambat jam enam pagi
aku harus sudah pergi, sebelum istri
sempat membuat kopi.

Mobilku tidak bisa membawaku lebih cepat


Apalagi kalau dia ngadat, lalu berheti macet.
Harga bensin naik dan akan terus naik merambat
Sudah ku jual mobilku seminggu yang lalu
Aku mau ke kantor dengan cara baru.

***
Seminggu sudah berlalu, aku naik bis kota
Waktuku habis di halte, menunggu datangnya
Berjubel manusia diam tak berkata-kata
Hati-hati copet bisa ada dimana saja
Semua ingin tiba, segera, untuk bekerja
Dan seminggu ini, jika pagi dan sore tiba
aku hanya bisa berdiri saja, di dalam bis kota.

Tidak ada bedanya, naik mobil atau bis kota


Waktuku sampai di kantor tidak jauh beda
Padahal capeknya lebih luar biasa
Sungguh, naik bis kota, tak ada bangganya
Setiap hari di dalam “monster” yang sama
Kenyamanan nampaknya hanya mimpi belaka!

***
Sudah dua minggu di dalam bis kota
aku merenungi sahabat sahabat para pengguna.
jika diberi rizki melimpah, nampaknya
pasti tak mau naik bis kota.
Sangat mungkin mereka semua
ingan punya mobil sendiri, entah kapan.

Ku putuskan, membeli mobil lagi!

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-139- Hal- 140


BISIKAN ANGIN
Oleh: Emil E. Elip

Malam itu angin mengalir berat


Hampir diam saja. Tak riang menggeliat.

Angin membungkus rapat rasa malu


Kecewa menghidupi nafas di negeri yang beku.

Semakin malam, angin kian putus asa


Ia ingin sekali tidak terasa, tidak beraroma
Ia mau mejadi tidak ada
di negeri yang tak mengerti bela rasa.

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-140- Hal- 141


TERIAKAN ANGIN
Oleh: Emil E. Elip

Angin lembab yang berhembus malam itu


dari punggung-punggung bukit,
seakan ingin menyapaku:
“Apa yang kau resahkan, anakku…”

Jika melalui agama-agama kami


tak mampu mereka maknai.
Jika lewat jalanan dan corong teriakan
tak mampu mereka tangkap.
Jika lewat keluh dan tangis berderai
pun tak mampu mereka resapi.
Jika lewat tarian dan tembang
Pun tetap tak terbayang.

Angin malam…
Tolong bawa isi kepala dan hati kami.
Jatuhkan semunya itu,
di meja-meja kerja pemimpin kami
di depan rumah-rumah mereka
di meja-meja makan mereka
di kamar, di mobil, di tempat tidur,
di dompet, di saku…
pemimpin-pemimpin kami!

Kesokan hari akan kami pungut


dari tong-tong sampah.
Supaya kami tahu apakah semuanya itu:
kembali di tong sampah!

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-141- Hal- 142


ANGIN YANG MENGHANCURKAN
Oleh: Emil E. Elip

Melihat aku lewat tengah malam


yang tidak segera bisa tidur…
angin malam mobat-mabit
di depan rumahku.

“Aku mau melayangkan surat


mosi tidak percaya”, kataku
sebelum angin sempat bertanya.
Aku batalkan pilihanku
Aku merasa salah memilih wakilku
“Ada apa gerangan….”
tanya angin yang berlagak pongah.
Dia tidak membahas hidup dan nasibku
Berminggu-minggu sibuk urus dirinya sendiri.
Aku merasa tidak ada niat baik dalam hatinya.

“Kau terlalu bertele-tele!”, hardik angin padaku.


Ijinkan aku memporak-porandakan rumahnya!
Aku terdiam, merasa itu terlalu sadis.

“Sifat purbawi wakilmu itu sifat jelek, alamiah…


dan akulah alam yang sanggup menghancurkannya!”,
lanjut sang angin sebelum aku sempat
mengajukan argumentasi.

Sekujur tubuhku kaku. Ku lihat hati kecilku:


“mengangguk…”

Jakarta, 2014

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-142- Hal- 143


AKU MENCINTAI-“MU”
Oleh: Emil E. Elip

Aku mencintai-Mu, Tuhanku


Hanya saja aku tak becus
menyatakannya.

Tidak becus, tidak berarti


tidak mencintai-“Mu”…

Jakarta, Februari 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-143- Hal- 144


AKU PERCAYA KEPADA “MU”
Oleh: Emil E. Elip

Akhirnya…
Inti dari semua agama adalah
Apakah Anda percaya kepada
“Allah”: Tuhan Tertinggi…
yang tak berbentuk, bukan laki-laki
bukan juga perempuan, sang Esa,
maha tahu… Ia adalah segalanya
dan satu.

Jika Anda percaya kepada-Nya


Maka sudah cukup, karena inti ajarannya:
Jangan menyakiti sesama, jangan merugikan
orang lain, jangan membuhuh, jangan mencuri hak,
kasihi yang miskin…

Ritus, ritual, dan liturgi hanyalah “baju”


cara kita menyembahNya. Maka “cara” itu
bisa Anda cari sendiri sesuai dengan
pengalaman hidup dan batin Anda, dan
yang paling cocok dengan kemanusiawian Anda.

Saya percaya kita, manusia, adalah kreasi Allah


Kita dipilih, dengan cara yang tidak kita ketahui,
tercipta untuk dan demi Allah. Untuk apa kita takut,
masuk dalam dogma, yang belum-belum menganggap
kita semua pendosa, terkutuk, tertindas…

Jangan-jangan semuanya itu cuma teologi manipulatif,


bohong belaka, dan sangat kontradiktif dengan citra
penciptaan Allah yang agung.

Aku hanya percaya kepada-Mu “Allah”-ku. Kepadamu


aku percaya akan kembali, meski dengan jiwa
dan raga yang compang-camping dan bau busuk.
Aku percaya Engkau tetap menerimaku
dipintu rumah-Mu.

Jakarta, Februari 2015.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-144- Hal- 145


AKU MAU MENCARI-“MU”
Oleh: Emil E. Elip

Sungguh,
aku menjadi amat muak
dengan teologi agama yang sangat congkak
mengasumsikan manusia adalah nista
pendosa, mengenaskan…bagaikan budak.
Tuhan Allah seperti apakah itu
yang berperangai amat kejam dan lalim.

Aku lebih percaya Tuhan yang tak menghukum


Semua mahkluk adalah ciptaannya
Sama derajatnya, tak boleh saling menumpas
Bahkan kepada sekuntum jamur yang tumbuh
ditumpukan tai sapi pun kita perlu
menghormatinya…menjaganya.

Aku rindu mencari Tuhan penyayang…


Bukan Tuhan yang penuh dogma perintah
Bukan Tuhan yang brutal, bukan Tuhan
yang underastimate…

Aku mau mencari-Nya


Kemanapun Dia sembunyi
Bahkan di lubuk hatiku paling dalam!

Jakarta, 2015.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-145- Hal- 146


HANYALAH MIMPI
Oleh: Emil E. Elip

Hidup hanyalah mimpi


Dan ketika terbangun,
kita sudah mati.

Jakarta, 2015.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-146- Hal- 147


INI NEGARA …
Oleh: Emil E. Elip

Ini negara, negara guyonan bro


Yang dulu calon presidene kalah, saiki podho ngguyu
Sing calone menang, punggawane do loro untu ra iso ngguyu
Semua sesunguhnya pingin sorak berseru:
Gedaaaddde…pabuuuuu…

Ini negara, negara kethoprak bro


Ada memerankan antagonis
Ada diperankan romantis
Ada yang disuruh menjadi banaspati
Jadi raja, ya raja kethoprak
Jadi bupati, ya bupati kethoprak
Jadi tumenggung, ya tumenggung kethoprak
Di belakang panggung ya pada kembul madhang bareng
Sambil ngglogok ciu, dum-duman bayarane regeng

Bro… ini negara, negara tonil


Berdemokrasi, tonil demokrasi
Membangun, tonil pembangunan
Transparansi, tonil transparan
Aggaran, ya tonil anggaran
Arak-arakan bedhah deso milangkori
ternyata … sekadar tonil juga

Delengen, delengen nganggo ngelmu titen atimu


Temekeng mburi mugo-mugo ora mung: … plekenthusss!

Jakarta, Maret 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-147- Hal- 148


“BAJU BARU” DAN TETES AIR MATA
Oleh: Emil E. Elip

Seperti sudah mejadi cacat bangsa…


Penguasa baru, selalu ingin yang terbaru
Enam ratu, enam “baju baru”
Dan massa yang kerempeng, keriput, renta
tak pernah kunjung sehat.

Seperti sudah menjadi cacat bangsa…


Tidak pernah mampu, menghargai sejarah yang lama
“Merubah” selalu dianggap pahlawan terpuji
“Memperbaiki” dituding tak punya obsesi
Kita selalu memakai “baju baru” yang
tidak pernah mengerti mengapa dan bagaimana.

Massa yang kerempeng, keriput, dan renta


tak pernah kujung sehat meski bajunya selalu baru.
Dan baju baru kami telah basah
oleh tetes air mata dari cara “memilih” yang buta!

Jakarta, 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-148- Hal- 149


100 HARI ABU-ABU
Oleh: Emil E. Elip

Sudah hampir seratus hari


Tidak ada kuncup yang siap mekar
Langit abu-abu menggelantung kian pekat.

“Begal bersliweran. Jogoboyo ngambek.


Duit dluwang tiada arti. Beras, lombok,
brambang, bawang tersisa busuk
tak terbeli….”

Jejak-jejak sepatu pantofel


di kampung dan pelosok negeri
kemana juntrungannya pergi!
Adakah dia lenyap dalam bingung
yang laten!?

Maret, Jakarta 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-149- Hal- 150


HARUSKAH MENYEMBAHMU
Oleh: Emil E. Elip

Jika hal-hal laten kebutuhan rakyat


tak mampu tersistematis dipenuhi
oleh karena terlalu ruwet mengatasi
benang kusut politika yang kian njlimet,
maka katakan:
… kami rakyat yang harus bersabar
… kami rakyat yang harus maklum, atau
… haruskah kami menelungkup
memohon ampun atas lancang mulut kami
mengutarakan kebutuhan-kebutuhan kami!

Jakarta, Februari 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-150- Hal- 151


DAGADU MAS!
Oleh: Emil E. Elip

Mbok kemarin sampeyan presidenne pilih siapa?


Wehh…kan rahasia to mas.

Ooo…pinter. Memilih presiden, calon pemimpin,


memang “bebas rahasia”. Itulah salah satu demokrasi.
Simbok bebas, tidak boleh dalam ancaman ketika
memilih. Pilih orang yang paling dipercaya, bersih,
yang kira-kira bisa membawa rakyat, termasuk simbok,
semakin sejahtera melalui pembangunan untuk yakyat.

Lha kalau harga-harga pokok makin larang ki piye…

Demokrasi itu harus sabar mbok. Kita kan belum lama


belajar bernegara demokrasi dibanding Amerika. Tapi
kita harus yakin hanya dengan demokrasi negara dan rakyat
akan semakin sejahtera, sebab pembangunan dan demokrasi
harus dilaksanakan dengan jujur, terbuka, tidak boleh
korupsi, pokoknya harus dilakoni dengan soleh mbok.

Wehh… koyok nglakoni agomo yo mas, kudu temen

Yah begitulah, demokrasi. Harus memetingkan kebutuhan rakyat


tidak boleh para pejabat itu semaunya sendiri. Bahkan kekayaannya
setelah menjabat harus diperiksa. Tidak boleh ada pungli,
apalagi nilep uang, atau menggelembungkan anggaran.

Abot tenan yo mas! Po iso pejabate kae nglakoni koyo ngono…

Harus bisa mbok. Jadi simbok harus berani berteriak dan melapor
jika ada Pak RT, lurah, camat, puskesmas, pejabat dinas yang
naga-naganya melakukan pungutan liar. Kita di lindungi
undang-undang lho mbok.

Wis ya mbok. Aku tergesa-gesa. Nyamikan dan kopi ne


tak bayar minggu depan ya, lagi bokek ki…nuwun….

Dagadu mas,
Opo-opo larang kok ra mbayar
Aku ra weruh opo kui demokrasi
Lombok larang, angkot mundak, gas larang…
Koyo ngono kok demokrasi, koyo ngono kok mbangun
…mbelgedhesss!!

Jakarta, 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-151- Hal- 152


LAHIR UNTUK BERMIMPI
Oleh: Emil E. Elip

Adakah kita terlahir


hidup hanya untuk bermimpi
Yang kita inginkan,
hanya selalu ada di kepala: “mimpi”.

Adakah kita, setetes debu padang gurun


tak punya kuasa dan kehendak.
Apa yang mau kita cari dan tunggu?!

Kematian adalah kemewahan


dan kekayaan nyata abadi,
bagi para terberi mimpi sunyi.

Jakarta, 2015.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-152- Hal- 153


JIKA, POLITIK…
Oleh: Emil E. Elip

Seorang politikus
begitu bangganya berujar:
Ini politik, jangan disamakan dengan birokrasi
Ini politik, bahasanya lain dengan yang lain
Rakyat bisa minta itu minta ini,
tapi ini kebijakan politik…kita lihat nanti!

Rakyat kebanyakan,
begitu gusarya berkata:
Kalau bahasa kami,
tidak sama dengan bahasa politik
maka politik itu tidak memihak kami
politik itu lalu tidak mendukung hidup kami.
“Bolehkah kami bakar saja politik itu?!”

Sang politikus balik menyanggah:


“Apa maksud Anda dengan “bakar?”
Dalam politik “bakar” bisa berarti lain!

Rakyat kebanyakan menyahut:


“Dasar politisi goblok!”

Jakarta, 2015.

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-153- Hal- 154


MUMPUNG BELUM BANGKRUT
Oleh: Emil E. Elip

Demokrasi yang saya baca dibuku-buku


begitu indah, agung, dan humanis
Demokrasi yang saya jumpai di media masa
amatlah nista, kotor, dan tanpa harapan.
Seperti itu selalu, sejak merdeka
Jangan-jangan benar yang tidak diinginkan Sukarno:
“Bangsa mental tempe!”

Pikirkan dengan logika sederhana:


Kalau politikus dan pejabat maling
Sedikit yang dihakimi. Bebas kesana kemari
Kakek miskin maling kayu, masuk bui
Nenek miskin maling sejumput kedelai, masuk bui
Kanak-kanak miskin maling baju, masuk bui
Tidak ada logika dan mental jernih bernegara,
berkeadilan, berdemokrasi, apalagi bela rasa.

Kalau begitu bebaskan saja semua biar jadi maling


Jangan hanya sejumput orang yang bisa maling
Peraturan-peraturan toh sekadar jadi alas kencing
Mumpung negara ini belum hancur berkeping-keping
Biarkan kita semua merubah diri jadi tikus, ular, dan anjing

Cukup adil bukan? Tidak akan ada berteriak maling


Sebab semua maling!!!

Jakarta, 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-154- Hal- 155


PERJALANAN PANJANG
Oleh: Emil E. Elip

Sajak -1- untuk istriku:

Terima kasih telah bersamaku


Dalam lebih separoh hidup, mungkin kelabu
Terima kasih telah menemaniku
Dalam bahagia-bahagia kecil
Yang hanya sanggup kita buat.

Ijinkan aku memintamu,


Dalam perjalanan panjang menemaniku
Sampai kita, tak memahami lagi waktu…

Jakarta, 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-155- Hal- 156


TIAP SORE DAN CINTA/Secangkir Kopi dan Cinta
Oleh: Emil E. Elip

Sajak -2- untuk istriku:

Setiap sore kau menuangkan kopi, untuku


Aku menyeduh teh nasgitel, buat mu
Dedaunan nagka dan belimbing redup, sepi
Kita tak berkata, tapi saling bicara.

Itulah cinta. Sederhana saja.


Mungkin, terlalu sederhana
Lain dari itu, kita sama-sama tahu tidak bisa

Jika anak-anak, ribut memanggil makan malam


Cinta, kita tinggalkan di dalam cangkir
biar saling bicara, entah sampai kapan…

Jakarta, 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-156- Hal- 157


BELAJAR DAUN GUGUR
Oleh: Emil E. Elip

Sajak -3- untuk istriku:

Sudah saatnya kita memulai belajar


Memahami tentang daun-daun gugur

“Daun-daun gugur tidak pernah menyesal


dan menuntut balas ranting-ranting asal”,
itu sebuah pepatah, tentang ilmu pasrah
Semua tepat adanya, persis, dan benar pada arah

Sebentar lagi, kita akan bagai gugur dedaunan


Tidak lama lagi, kita mirip reranting kering
Tanpa kita mau dan tahu, saling terpisahkan
Kita kan sepi melayang-layang terbang
kembali … ke Sang Pemilik Kepasrahan.

Subuh, Jakarta 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-157- Hal- 158


MANUSIA
Oleh: Emil E. Elip

Akulah nestapa
Manusia penuh sengsara
Manusia penuh kejahatan
Kematian, adalah satu-satunya
harta yang belum kuambil.

Jakarta, 2015

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-158- Hal- 159


KEMATIAN KEKAL
Oleh: Emil E. Elip

Mungkin hanya kematian,


Situasi paling kekal.

Tidak akan ada kebimbangan:


-kaya atau miskin-
-sakit atau sehat-
-susah atau senang-
-punya harapan atau tidak-

Mengapa takut mati!


Tahap paling sempurna atas hidup kita!

Jakarta, Maret 2017

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-160- Hal- 160


YANG TERSISA DARI KITA!
Oleh: Emil E. Elip

Setiap jalan kehidupan adalah baik


Setidaknya bagi diri kita sendiri.

Dan,
Kematian akan melunasi semuanya:
“semua kita adalah sama tanpa nyawa”.

Tinggal kenangan-kenangan yang tersisa,


dan bukan urusan kita lagi.
Itulah yang tersisa!!!

Jakarta, April 2017

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-161- Hal- 161


TUHAN, MAAFKAN KAMI
Oleh: Emil E. Elip

Tuhan maaf kami


Telah berabad-abad menyeret-Mu
Dalam pusaran nafsu kami:
# nafsu berkuasa, nafsu lebih kaya, nafsu ....

Kami tidak mau hidup dalam pengasingan


Kami tidak mau hidup dalam ancaman mesiu
Kami tidak mau ketakutan dalam beribadat
Kami sama-sama mengagungkan nama-Mu
Teapi mengapa kami saling bunuh....

Apa yang salah pada kami...


Ataukah kami terlalu pandai,
memahami dirimu.

Maaf kami,
Mungkin masih berabad-abad lagi,
Kami menyalahgunakan nama-Mu.

Jakarta, 2017

Emil E. Elip : 2012 - 2017E


Puisi-Puisi Perjalanan dan Mimpi

-163- Hal- 162


BANGSA GAGAL FOKUS
Oleh: Emil E. Elip

Jaman Soekarno, kita terlalu bersemangat.


Memilih-milih bentuk apa terbaik bagi bangsa ini.
Konflik sosialisme dan demokratisme,
Tak berkesudahan.

Jaman Soeharto, kita bersemangat membangun.


Getol belajar bernegara demokrasi.
Akhirnya semu karena korupsi merajalela,
Nepotisme, dan represif.

Jaman SBY, kita makin bersemangat membangun.


Demokratisasi kian siap. Kita belajar transparansi.
Tapi korupsi dan nepotisme tetap jeblog.

Jaman Jokowi, pembangunan semakin nyata.


Demokratisasi lebih siap. Transparansi kian tegak.
Ehh....kecolongan juga: “intoleransi merebak!!”.

Mungkin menjadi kenyataan kata Soekarno


“Kita bangsa tempe”
Bangsa yang tidak “pembelajar”
Bangsa yang gagal fokus!
Bangsa yang tidak tahu mau kemana!

Jakarta, 2017

Emil E. Elip : 2012 - 2017E

Anda mungkin juga menyukai