Latar Belakang
Kepemimpinan (leadership) telah menjadi semacam pengetahuan yang diadopsi dan diterapkan ke berbagai segi kegiatan di dalam kehidupan. Dalam bidang sosialkemasyarakat, bidang bisnis, perusahaan-perusahaan, organisasi kepartaian dan organisasi swadaya masyarakat, wilayah-wilayah sistem pemerintahan dari monarki sampai sistem negara republik, bidang organisasi keagamaan, dan lain sebagainya, membutuhkan kepemimpinan. Bahkan di dalam sebuah keluarga, dibutuhkan praktikpraktik kepemimpinan. Tidak terkecuali juga, program-program pemberdayaan masyarakat telah mengolah dan menerapkan praksis kepemimpinan tersebut. Praktik kepemimpinan dimasing-masing institusi, kelembagaan, bidang-bidang pengorganisasian kerja tentu saja nampak berbeda-beda satu sama lain, yang sangat dipengaruhi roh visi, misi, dan tujuan lembaga/institusi tersebut dibentuk. Dalam perjalanannya masing-masing lembaga tersebut, bukan tidak mungkin bahwa praktik kepemimpinan yang dikembangkan menjadi amat tidak jelas arahnya, tidak efektif dalam membimbing gerak lembaga, oleh karena tekanan-tekanan target atau tuntutantuntutan birokratis-administratif-prosedural yang terus menerus menekan. Meskipun lembaga-lembaga tersebut --yang gagal menjaga kepemimpinannya yang efektif dan mengayomi-- tetap menunjukkan keuntungan atau performa capaian kelembagaan sesuai target yang sudah ditetapkan, namun banyak bukti bahwa tidak lama dikemudian para lembaga/instusi atau perusahaan-perusahaan tersebut mengalami penurunan yang tajam kearah bubarnya lembaga. Atau kenyataan lain, jika lembaga tersebut tetap mampu berjalan dan hidup, lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki lagi atau tidak mampu lagi menghidupi idealismenya yang agung seperti tertera di dalam visi dan misinya. Kepemimpinan dalam dunia kerja-kerja pemberdayaan dan penguatan masyarakat juga menarik untuk dipelajari dan dicermati secara kritis praksis. Menarik! Sebab konsepsi kemepimpinan telah dipercaya dan diakui sebagai salah satu roh energi terpenting yang melandasi idealisme-idealisme substansi pemberdayaan itu sendiri. Itu sebabnya mengapa di dalam materi-materi pelatihan didalam kerja-kerja pemberdayaan, ada
Penulis adalah alumnus Antropologi UGM. Pendiri dan Board of Advisory di Lembaga Nawakamal (Yogyakarta), sebuah LSM yang bergerak di penguatan livelihood perdesaan, sejak 1993. Sering terlibat dalam berbagai penelitian sosial dan budaya. Pernah bekerja di Program Pemberdayaan Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta: 2004-2006); Capacity Building-Aceh Local Government Program (GTZ, 2007-2010), Tenaga Ahli Monev di National Management Consultant (NMC)-P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa Program di Sekretariat Project Implementing Unit (PIU) KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), 2012-2013. Kontak: emilianuselip@gmail.com Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 1
1
materi yang berkaitan dengan leadership (kepemimpinan). Proses kerja pemberdayaan masyarakat, yang berharap masyarakat berani mengubah diri ke arah lebih baik, membutuhkan tehnik dan jiwa kepemimpinan yang baik dari para fasilitatornya. Para fasilitator ini, yang dalam proses kerjanya adalah proses yang sedang memimpin, sesungguhnya di sisi lain mereka juga sedang mempersiapkan orang lain dari masyarakat dampingannya untuk menjadi para pemimpin dikelompoknya, di dalam masyarakatnya, atau di antara jaringan-jaringan masyarakat tersebut. Jika sebuah program pemberdayaan masih mempunyai kewilayahan dan target mitra dampingan yang relatif kecil, dimana intensitas pendampingan fasilitator dengan para mitranya masih cukup tinggi, kemungkinan besar energi kepemimpinan itu bisa digerakkan dengan cukup dalam dan intens. Namun bagaimana dengan proyek dan program yang telah menjadi sangat besar dari sudut jumlah mitra kerja, jangkauan yang semakin jauh, target wilayah yang sangat luas dengan karakteristik masyarakat yang berbeda, dengan target luncuran keuangan yang tidak sedikit? Bagaimana mempertahankan idealisme kepemimpinan diantara para fasilitator-fasilitator dan mensharing-kannya kepada masyarakat di dalam program yang besar semacam itu? Bentuk kepemimpinan yang seperti apa yang dibutuhkan dalam proses development (pemberdayaan) dan empowerment (penguatan) itu? Tepatnya kepemimpinan seperti apa yang mampu menumbuhkan pemberdayaan dan penguatan di dalam masyarakat? Kepemimpinan bukanlah sesuatu yang datang dari langit yang diberikan kepada seseorang, dan tiba-tiba seorang tersebut menjadi pemimpin. Pemimpin dan yang kemudian dalam praksis kerjanya disebut kepemimpinan, adalah sebuah proses belajar yang berkelanjutan. Oleh karena merupakan sebuah proses belajar, maka kepemimpinan dan menjadi pemimpin, adalah sesuatu yang terbuka untuk dipelajari, diajarkan, disharingkan, ditularkan. Dalam suatu proses belajar yang lebih teknis, maka kepemimpinan itu bisa ditumbuhkan melalui proses pelatihan berkelanjutan, tidak hanya di dalam kelas tetapi juga melalui praktik-praktik keseharian. Paper ini hendak mendalami substansi-substansi dasar apa saja yang diperlukan dalam sebuah proses pelatihan kepemimpinan (training for leadership capacity building). Juga ingin dipaparkan pula bagaimana seyogyanya daur belajar pelatihan kepemimpinan, khususnya kepemimpinan dalam konteks pemberdayaan masyarakat, harus dirancang. Agar konsepsi mengenai training for leadership capacity building ini mencapai daya guna, arah, serta memberikan dampak sikap yang kuat, maka perlu dilakukan terlebih dahulu telaah tentang hakikat, falsafah, ataupun konsep mengenai apa itu leadership.
2 3
Leadership Theory and Practices (2007): Thousand Oak London, New Delhe, Sage Publication, Inc. (www.nwlink.com/~donclark/leader/leadcon.html).
Yang ingin disampaikan oleh Witzgall adalah suatu perbedaan sangat tajam antara leader dan manager. Lebih dari itu, lanjut Witzgall, banyak lembaga telah salah mengartikan leader hanya sekedar manager. Atau sebaliknya, seseorang yang diberi peran tanggungjawab sebagai leader, tetapi yang dia lakukan sehari-hari dalam kerjanya tidak ubahnya hanya manager yang sangat administratif dan instrumentalis. Argumenargumen Witzgall tentu tidak hendak mengatakan bahwa manager atau seseorang dengan kemampuan manager tidak ada gunanya. Argumen-argumen Witzgall, seseorang yang sudah lebih 30 tahun belajar dan terjun di bidang kepemimpinan, ingin menegaskan adanya salah kaprah pemahaman dan praktik dari masing-masing peran yang seharusnya dilakukan seorang leader. Sebuah ulasan contoh yang mengeksplorasi secara mendalam tentang leader dan leadership, dan yang berprinsip pada model open mind leadership, dipaparkan oleh Chris Lowney (2005) dalam Heroic Leadership. Buku Lowney dalam sub bab tentang Semua Orang Adalah Pemimpin, mengupas konsep kepemimpinan yang telah dipraktikkan oleh Ordo Yesuit selama 450 tahun, dan yang telah jatuh bangun menerjang jaman dan membuktikan sebagai sebuah organisasi (katakan juga sebagai lembaga atau institusi) yang terkemuka dan eksis sampai saat ini. Ordo Yesuit mengelola berbagai pendidikan terkemuka didunia diberbagai benua, dimana pengalamannya pengelolaan institusi pendidikan tersebut hampir 400 tahun, belum lagi berbagai organisasi dan institusi dibawah naungannya. Pertanyaan mendasar dan sangat menarik diajukan oleh Lowney adalah: Model leadership seperti apa yang telah dikembangkan Yesuit!. Dengan mengambil artikel ini sebagai salah satu acuan paper ini, tentu saya tidak bermaksud mengajak sidang pembaca menjadi peminat Katolik. Dilihat dari sisi praksis kelembagaannya, Yesuit tidak ubahnya juga sebuah institusi, sebuah lembaga, atau sebuah organisasi seperti umumnya lembaga lain yang kita kenal. Oleh sebab itu saya kira tidak ada salahnya kita mengambil best-practics yang bagus dari institusi Yesuit tersebut. Filosofi model kepemeimpinan di dalam instutusi Yesuit, kata Lowney, adalah open mind leadership yang berprinsip teguh pada 3 hal: (a) Kesadaran (self-awareness) diri yang tinggi; (b) Berani mengambil resiko berubah dan beradaptasi dalam dunia (keadaan) yang terus berubah (changing world); (c) Menjunjung sikap respek, positif, berdasarkan energi untuk memberdayaan orang lain (empowering others); dan (d) Membangun diri dan orang lain dalam mimpi yang ambisius-heroik (share heroic-ambition). Ringkasnya, bukanlah hal-hal yang amat teknis seperti para manager yang perlu dititik beratkan di dalam praktik kepemimpinan ataupun pembelajaran (training) kepemimpinan. Seperti saya katakan sebelumnya, tidak berarti manager itu tidak dibutuhkan dan penting. Banyak Yesuit juga adalah manager yang sangat handal, atau merekrut seorang manager awam yang sangat berpengalaman. Yang dibangun oleh
Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 4
Yesuit adalah sikap dan visi dasar menjadi leader sesuai keempat prinsip tersebut kepada anggotanya. Dan para anggota tersebut men-share prinsip tersebut kepada siapapun dalam bidang kerja masing-masing. Itulah sebabnya Yesuit mampu adaptif terhadap dunia yang terus berubah sebab mereka tidak takut perubahan. Mereka tidak keder dengan calon-calon pemimpin yang handal atau orang-orang pintar lainnya, karena mereka telah membagi visi besar yang sama dan heroisme-mimpi yang dipahami bersama. Dan terhadap kesemuanya itu para Yesuit disiplin melakukan refleksi atas kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, dan dampaknya bagi dunia dan masyarakat (serta keagungan Tuhan). Apa yang telah ditulis oleh Witzgall dan Lowney, sangat memberikan inspirasi kepada kita untuk merefleksikan kadar kepemimpinan terhadap kerja-kerja pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sejauh pengamatan saya sangat miskin kadar dan sikap leadership yang terbangun kepada para fasilitator (yang termasuk disini adalah juga para konsultan) PNPM. Dengan mengikuti pikiran Witzgall, maka bias dikatakan bahwa sebagian besar dari fasilitator tersebut terjebak pada sekedar praktik-praktik manajerial. Manager sangat mudah terjebak pada mengejar low-inforcement demi tercapainya target kerja semata. Akibatnya mereka kehilangan kesempatan membangun leadership yang utuh di dalam masyarakat. Bahkan mungkin juga mereka tidak mencapai pada kesadaran leadership towards empowerment (leader dari proses pemberdayaan). Untuk mengingatkan kembali perbedaan peran dan filosofi antara pemimpin (leader) dan manajer (manager), maka ditampilan tabel berikut:
Tabel Perbedaan Kepemimpinan v.s Manajerial Pemimpin Manajer Fokus pada manusia Fokus pada tindakan kerja Mengerjakan sesuatu yg benar Mengerjakan sesuatu yg benar Menginspirasi Merencanakan Mempengaruhi Mengorganisasikan Memotivasi Memerintah Medukung (encouraging) Mengontrol Concern pada strategi Berbasis perencanaan Merumuskan arah Budgeting Membangun visi Merumuskan target Ditail langkah/tahap Mengelola, mengatur staff/SDM Mencari kader Merumuskan struktur Berkomunikasi Kejelasan hirarki Membangun jejaring Merumuskan job description Pendelegasian wewenang Memberdayakan orang Menyelesaian masalah Memotivasi Bernegosiasi untuk konsensus Memberikan kepercayaan Melaksanakan sistem pengawasan Mengukur kinerja Mengidentikasi perubahan
Dikompilasi dari Leadership (www.calstatela.edu/faculty/jpark/Leadership) Catatan: Coba renungkan di arena mana (kiri atau kanan) sebagian besar tindakan proses fasilitasi Anda di dalam kerja-kerja pemberdayaan.
Pendidikan-Kepemimpinan-Pemberdayaan
Sekarang mari kita menelusuri lebih jauh dan agak lebih mendalam, adakah relasi-relasi maknawi maupun relasi-relasi yang lebih membumi dalam praktik antara pendidikan (education), kepemimpinan (leadership), dan pemberdayaan (empowerment). Pertamatama akan dibahas apa makna dasar dari masing-masing konsep tersebut, kemudian ditinjau pengaruhnya atau relasinya antar konsep yang satu dengan yang lain.
pendidik, berperan hanya memfasilitasi agar seorang peserta didik dengan jiwa merdeka mampu mengungkapkan nilai-nilai yang dimilikinya. Sejarah praktik-praktik pelaksanaan pendidikan membuat nilai-nilai mengenai proses pendidikan seperti tergambar di atas, berubah dan berbeda satu sama lain. Namun secara umum pembedaan praktik pendidikan itu bisa dipilah menjadi dua besar, yaitu pendidikan konvensional dan pendidikan kesetaraan. Apa maksudnya?
Pendidikan Konvensional
Jika dijelaskan secara ringkas, pendidikan konvensional adalah pendidikan model lama yang menggunakan pendekatan monolog, satu arah. Yang satu berperan sebagai guru yang lain berperan sebagai murid. Guru adalah satu-satunya sumber belajar atau sumber pengetahuan, dan karena itu otoritas kebenaran hanyalah ada pada guru. Guru memberi, murid menerima. Guru menjadi superior murid inferior. Guru dalam pendidikan ala konvensional merasa paling benar dan pintar, dia menentukan, dan oleh karena itu pendapat baru dari murid dianggap menggangu. Contoh penggambaran visual model pendidikan konvensional ini misalnya adalah banking education approach (pendidikan ala pom-bensin) yang diperkenalkan oleh Paulo Freire, berikut ini.
Mengapa pendidikan hanya melanggengkan ketertindasan dan ketidakadilan? Mengapa pendidikan tidak mampu atau sangat sedikit menghasilkan pemberdayaan (development), penguatan (empowerment), dan perubahan yang setara dan lebih baik dalam relasi-relasi sosial. Analisa Paulo Freire sampai pada kesimpulan bahwa praktik-praktik pendidikan tidak lain terjebak pada banking ecutaion approach, pendidikan ala pom bensin. Atau bisa disebut juga deposit banking approach. Intinya, menurut Freire, pendidikan dewasa ini hanya mengucurkan, monolog, menabung (deposit), memasukkan seperangkat pengtahuan kepada murid. Secepat-cepatnya memasukkan itu lebih baik, karena ada target, batas waktu, dan cepat selesai. Murid tak perlu terlalu kritis, bisa jadi malah menghambat dirinya sendiri, karena guru/dosen pun sibuk mengais rejeki di temapt lain demi beban hidup yang semakin berat. Tidak ada proses dialog mempertanyakan kebebaran dan memposisikan kebenaran, kata Freire.
Kepemimpinan dominatif
Kepemimpinan yang dominatif adalah proses kepemimpinan yang sifatnya otoriter dimana sang pemimpin mendominasi apa yang disebut proses menuju tujuan bersama atau misi bersama, yang sudah ditetapkan oleh sebuah lembaga, organisasi,maupun institusi. Kepemimpinan tersebut, jika dikaitkan dengan definisi kepemimpin yang sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya, masuk di dalam model Pemimpin dan Yang Terpimpin. Model atau arus kepemimpinan yang semacam ini kiranya sangat dekat, dan yang terinspirasi, melalui pendekatan pendidikan yang konvensional bak pom-pensin (banking education approach). Kepemimpinan dominatif bagaikan model seorang guru yang merasa paling benar, dan karena merasa paling benar maka dia merasa paling berkuasa dan memiliki kewenangan utama menjejalkan seperangkat pengetahuan kepada anak didik (murid). Tentu saja dalam model kepemimpinan yang semacam ini, partisipasi menjadi sesuatu yang langka terjadi, dalam arti partisipasi yang sesungguh-sungguhnya. Kalaupun terjadi partisipasi di dalam dunia kepemimpinan yang dominatif ini, itu hanyalah partisipasi semua (shadow of participation). Seseorang atau sekelompok masyarakat berpartisipasi karena dalam pengaruh ketakutan ataupun kekhawatiran agar demi bapak senang, supaya diberikan bantuan lagi, supaya sebuah usulan tidak dicoret dari daftar usulan, atau macammacam lain.
Di luar pembangunan fisik, yaitu pembangunan yang mengarah pada kualitas hidup manusia, seperti pengembangan ekonomi, pengembangan kualitas kesehatan, kualitas pendidikan, kualitas pelayanan publik, bahkan dibidang-bidang seperti demokratisasi, pemenuhan hak-hak kesetaraan hukum, dan lain sebagainya, pertimbangan untuk melihat manusia-nya menjadi kunci utama. Persoalannya adalah: mengapa demikian, mengapa people oriented? Jawabannya adalah karena pembangunan itu juga sebuah education process (pendidikan). Pembangunan yang menganut pendekatan top-down, mengasumsikan bahwa si pengambil kebijakan pembangunan merasa tahu apa yang dibutuhkan manusia sasarannya, merasa tidak perlu berdialog dengan masyarakat, merasa bahwa masyarakat itu penerima saja pembangunan, dll. Hal ini bisa diasosiasikan bahwa pengambil kebiajakn pembangunan itu adalah pendidik/guru, guru yang monolog, guru yang serupa dengan pom-bensin, guru yang sedang menjejalkan pengetahuan (banking education) kepada murid (masyarakat), guru yang bersikap bahwa pendapat masyarakat (murid) itu hanya perlu didengarkan saja dan tidak perlu dipertimbangkan sebagai fakta baru yang mengandung pengetahuan, dll. Pembangunan yang top-down, diikuti atau bersamaan dengan model pendidikan yang konvensional di dalam masyarakat, akan menciptakan masyarakat yang tidak kritis di satu sisi serta menciptakan masyarakat yang hanya menerima saja pembangunan. Masyarakat yang pasif di dalam pembangunan. Masyarakat yang merasa tidak memiliki pembangunan itu. Masyarakat yang tidak mencapai participatory awareness (kesadaran partisipatif) dalam pembangunan. Dalam diskusi mengenai politik pembangunan, masa (masyarakat) yang mengambang, tidak kritis, menerima saja semacam itu memang sengaja diciptkan. Mengapa demikian? Karena untuk melanggengkan status-quo, melenggangkan dominasi politik pembangunan, menekan sekecil mungkin perubahan apalagi perubahan yang bisa mengancam posisi enak.
Pendidikan Kesetaraan
Berbeda dengan model pendidikan yang sudah dipaparkan sebelumnya, pendidikan kesetaraan adalah proses pendidikan yang menempatkan guru dan murid (fasilitatormasyarakat, pemimpin-yang dipimpin) pada posisi yang setara. Masih dalam kaitannya dengan model pendidikan Paulo Freire, dalam pendidikan yang setara atau education for liberation, guru bukan satu-satunya sumber belajar. Guru, kata Freire, perlu dan harus belajar dari sang murid juga. Untuk apa? Karena guru perlu belajar sejauh mana pandangan sang murid mengenai sebuah narasi pengetahuan. Guru perlu belajar mengapa seorang murid memiliki pendapat tertentu, apa latar belakang kehidupan yang dimiliki sang murid, dll. Ini semua berkaitan dengan filosofi pengetahuan (knowledge) dan filosofi pembelajaran (learning).
Dialogical Education
Bagi Paulo Freire (dalam Fatima, dkk., 2007) pengetahuan is not a set commodity that is passed from the teachers to the students. Seorang murid, atau sebuah masyarakat, harus menyusun atau mengkonstruksi sendiri pengetahuannya berdasarkan nilai-nilai, pengalaman, pembelajaran yang telah dia miliki. Tugas guru, dengan demikian juga
tugas seorang fasilitator/leader pemberdayaan, adalah memahami/belajar bagaimana murid/masyarakat memahami dunia kehidupannya dan dengan demikian sang guru kemudian mampu lebih tepat menularkan pengetahuan baru. Murid tidak dicabut, dicerabut, dilepaskan dari dunianya. Masyarakat yang (tidak) tercerabut dalam proses pembangunan, masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan, adalah sejalan dengan hal-hal tersebut dalam pengertiannya yang oposite. Pendidikan yang membebaskan dan setara dengan demikian hanya bisa terjadi dalam pendekatan yang dialogical. Peran guru dan murid sama-sama berpartisipasi. Tidak ada domininasi dalam pengertian mematikan potensi pihak lain, apalagi di pihak murid (masyarakat). Dalam konteks pengertian yang lebih makro, katakanlah antara pemerintah (yang bisa diasosiasikan sebagai guru) dengan masyarakat (yang diasosiasikan sebagai murid), dalam media pembangunan, maka local wisdom, modal sosial (social-capital), kebiasaan lokal, dll tidak pertama-tama dipandang sebagai pengetahuan yang menghambat proses pembangunan. Justru potensi-potensi tersebut bisa dipakai sebagai pendukung berkembangnya sebuah proses pemberdayaan. Untuk mewujudkan proses pendidikan yang menumbuhkan kesataran, maka kita memerlukan sebuah sikap tertentu. Artinya bahwa pendidikan itu tidak bisa bebas nilai. Harus ada nilai-nilai tertentu yang dianut dan menjadikan visi ke arah mana pendidikan itu akan bermuara. Jika sebuah proses pendidikan hanya ingin mencetak masyarakat yang mem-bebek, masyarakat yang berjiwa asal bapak/atasan senang, dan lain sebagainya, maka tidak perlu prinsip pendidikan setara yang membebaskan. Namun berlawanan dengan itu, jika pendidikan ingin merubah masyarakat secara adil, maka hanya nilai-nilai pendidikan setara yang membebaskan yang harus dianut.
Kepemimpinan Terbuka
Sikap kepemimpinan apa yang perlu dimiliki oleh seorang guru dalam pendidikan yang membebaskan? Peran seperti apa yang perlu dilakukan oleh fasilitator ataupun pemerintah dalam pembangunan masyarakat jika dia menganut pendekatan pemberdayaan yang membebaskan? Sikap yang dibutuhkan adalah open-mind leadership, sikap mempercayai dan tidak takut perubahan. Apa maksudnya? Kepemimpinan yang terbuka5 (open-mind leadership) adalah tipe kepemimpinan yang dilandasi oleh dua karakter dasar utama dimana, Pertama, memiliki kesadaran bahwa dia sedang memproses para calon pemimpin setidak-tidaknya bagi dirinya sendiri atau keluarganya. Di luar sana ada banyak orang yang, sangat mungkin, memiliki potensi besar menjadi leader yang baik. Bahwa di luar sana ada banyak orang-orang pandai yang tidak untuk dibungkam dan ditekan, tetapi justru di
Tentang model open-mind leadership ini mohon dibaca referensi yang sangat bagus dari Heroic Leadership: Praktik Terbaik Perusahaan Berumur 450 Tahun Yang Mengubah Dinia, oleh Chris Lowney, Gramedia Pustaka Utama, 2005. Lowney mengulas dan menganalisa dengan tajam sebuah lessons leraned yang sangat baik mengenai kepemimpinan yang dikembangkan dalam Ordo Yesuit, yang telah menembus batas waktu 450 tahun dan yang telah menginspirasi perubahan masyarakat di berbagai belahan dunia. Lowney juga menganalisis bagaimana model kepemimpinan tersebut sangat baik diterapkan dalam berbagai hal seperti perusahaan, lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, dan bukan tidak mungkin sangat cocok dengan kerja-kerja yang memberdayakan masyarakat.
5
dorong (difasilitasi) agar mampun berperan lebih besar di dalam masyarakat. Karakter Kedua, yaitu mencapai kesadaran bahwa kepercayaan (trust) dan delegasi wewenang merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kepemimpinan, apalagi jika didudukkan dalam konteks bahwa kepemimpinan adalah proses memfasilitasi calon pemimpin-pemimpin yang lain. Open-mind leadership tidak takut akan munculnya orang-orang pintar lain disekitarnya, orang-orang berbakat menjadi leader di lingkungannya, orang-orang yang kritis yang mungkin amat berbeda pendapat, dan tidak takut pula dengan ideide baru yang berbeda dengan pemikiran maupun apa yang telah dilakukannya. Leader yang was-was kasarnya takut terhadap kemungkinan-kemungkinan tergambar di atas, pasti tidak akan mampu menerapkan pendelegasian wewenang dalam konteks yang sesungguhnya dilandasi dengan trust. Adakah pengaruhnya kepemimpinan open-mind ini terhadap kerja-kerja pemberdayaan masyarakat?
Pendidikan Kesetaraan
Posisi guru-murid relatif setara Guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan Menekankan proses dialog Murid adalah juga subyek belajar/sumber pengetahuan
Pendidikan Konvensional
Posisi guru memberi, murid menerima Guru merasa menjadi sumber utama pengetahuan Cenderung monolog Murid adalah obyek dalamproses belajar
Open-Mind Leadership
Memimpin calon pemimpin Pedoman, yang disepakati bersama Berientasi pada trust Cenderung akomodatif pada ide baru dan kemungkinan perubahan
Domination Leadership
Memimpin bawahan Memberikan instruksi, petunjuk (Juknis) Berorientasi pada bukti hasil kinerja Ide baru dimungkinkan sejauh tidak berbeda dengan putusan pimpinan
Bagaimana alur pikirnya kedua model di atas, yaitu model pendidikan kesetaraan-openmind leadership dan pendidikan konvensional-domination leadership tersebut berpengaruh kepada apa yang disebut pemberdayaan (empowerment). Ijinkan untuk memulainya, saya menyinggung sedikit dasar dari konsep education. Edukasi adalah proses untuk memampukan murid/masyarakat mengeluarkan pandangan dan nilai -nilai yang dimiliki (ex-open/membuka dan ducare-value/nilai). Hanya kepemimpinan dengan model karakter open-mind leadership saja yang kiranya mampu melapangkan jalan bagi terwujudnya edukasi yang benar, dalam hal ini berarti pendidikan kesetaraan. Partisipasi adalah keterlibatan. Prasyarat dimana masyarakat mampu terlibat hanyalah dengan perasaan yang bebas, perasaan yang tidak tertekan, perasaan yang memahamibahwa keterbukaannya untuk terlibat itu akan mampu mengembangkan
Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 11
diri dan kelompoknya. Jadi education for liberation akan menumbuhkan open-mind leadership, dan open-mind leadership akan melapangkan jalan munculnya partisipasi serta dengan partisipasi tersebut development akan mewujud dalam maknanya yang tepat.
berpikir masyarakat, cara mereka memandang dunia disekitarnya, dan bagaimana mereka menyelesaikan masalah-masalah yang sudah dilakukannya selama ini, semuanya adalah power, jika memakai pandangan dasar participatory.
Gambar Visualisasi Model Pemberdayaan Berprinsip pada Education-Devlopment-Empoerment6
Saya mencoba menggambarkan proses kondisi masyarakat-fasilitasi-edukasi-leadershippemberdayaan/empowerment-kemandiri melalui gambar Visualisasi Model Pemberdayaan di atas. Telor menggambarkan sebuah kondisi masyarakat, yang didalamnya sesungguhnya memiliki energi dan potensi untuk berubah, tetapi masih terkurung dalam envelop (amplop), yang tervisualisasi oleh kulit telur. Proses fasilitasi pemberdayaan, bukanlah kemudian si induk ayam menjatuhkan telur itu atau membenturkannya kepada benda keras agar telur menjadi pecah. Proses pemberdayaan, yang dilakukan oleh induk ayam, ternyata mengerami, memberinya energi kehangatan, mempersiapkan dengan sedemikian ruma supaya isi telur (masyarakat) sungguh-sungguh siap pada waktunya untuk keluar, dan yang dilakukan terakhir oleh induk ayam adalah menandai dengan mencucuk kulit telur agar retak sedikit saja. Yang menarik disini untuk dicermati ditail dan diambil lessons learned-nya adalah pertanyaan: Siapa berinisiatif mendorong energi agar keluar dari cangkang telor, Siapa yang seharusnya berkehendak lebih besar untuk membebaskan diri dari kungkungan cangkang telor? Jawabanya adalah jelas, yaitu si anak ayam (masyarakat) sendiri yang berkehendak untuk berubah, dengan fasilitasi dari sang induk sampai pada batas-batas tertentu. Apa batasan tersebut? Batasannya adalah bahwa sang induk (mungkin) hanya akan membuat sebuah titik patok memakai paruhnya pada sebuah tempat di telur. Patok-an sanga induk tentu tidak terlalu dalam, sebab kalau terlalu dalam justru bisa
Disarikan dan diadaptasi oleh penulis dari materi dan modul Leadership Training for Development Worker, Asian Health Institute (AHI), Aichi, Nagoya, Japan.
6
membuat si calon anak ayam malah cedera dan mati. Si induk hanya akan membuat setitik retakan pada telur, dan dengan energinya yang sudah matang, siap, serta memiliki kehendak untuk berubah, maka si anak ayam akan mendorong keluar dirinya sendiri terbebas dari cangkang telurnya yang membelenggu.
Kembali ke perkara si induk ayam memberikan makanan kepada anak ayam, sang induk pasti akan belajar (reflecting and learning) dari kesalahan-kesalahan. Sebab demikian yang terjadi, ketika si anak ayam merasa makanan (food) yang diberikan terlalu keras atau terlalu besar, dia akan memuntahkan atau memberikannya kembali (food-back/feeding back) ke pada si induk. Si induk sangat paham akan feed-back dari anaknya itu. Si induk mau tidak mau harus belajar, dan untuk bisa belajar harus mau mendengar (listening) kritik dan keluhan anaknya, dan selanjutnya membuat (doing action) makanan menjadi lebih lembut dan atau mengubah ukurannya menjadi kecil-kecil agar mudah ditelan dan dicerna oleh si anak. Sampai pada tahap ini, makna yang ingin disampaikan adalah bahwa semuanya itu mengandung proses pembelaran (learning process) yang sangat alami antara guru dan murid, induk dan anak, fasilitator dan masyarakat.
Perangkap-Perangkap Kepemimpinan
Perangkap kepemimpinan adalah gambaran dari berbagai situasi, kondisi, dan pemikiran yang menyebabkan seorang pemimpin (dalam hal ini fasilitator pemberdayaan masyarakat), terjebak kedalam tindakan-tindakan atau strategi pemberdayaan yang membuat masyarakat tidak menemukan power, atau ragu-ragu melangkah menuju empowerment yang harus diraihnya7. Seperti si induk ayam, para fasilitator pemberdayaan masyarakat seharusnya berperan mengerami, mempersiapkan masyarakat melalui bentuk penyadaran dan dukungan teknis agar tumbuh dan menyadari potensi power-nya, dan kemudian membuka jalan agar masyarakat mengejar empowerment-nya. Kalau kita boleh mengikuti rambu-rambu Witzgall tentang What Leadership Is Not (Apa saja yang bukan ranah kepemimpinan), maka terdapat beberapa saran mengenai leadership, yaitu: (1) Leader berbeda dengan Manager meskipun manajer secara posisi teknis adalah pimpinan; (2) Pendidikan akademis tidak serta merta menghasilkan leader; (3) Leadership bukan sesuatu yang terberi begitu saja, tetapi merupakan sebuah proses; (4) Leadership bukan sesuatu yang dapat dirangking begitu saja seperti birokrasi; (5) Leadership membutuhkan pemahaman tentang demokrasi, tetapi leadership tidak selamanya harus bersifat demokratis. Kadang-kadang leadership membutuhkan tindakan keputusan yang sangat cepat, dan hanya pada kesadaran diri tentang demi kepentingan baik yang luas saja keputusan disandarkan. Berikut ini ingin dipaparkan mengenai jebakan-jebakan yang membuat nilai sebuah kepemimpinan yang visioner jatuh kepada hal-hal yang sifatnya jangka pendek dan kontraproduktif terhadap proses empowerment masyarakat.
Studi yang mendalam didunia pemberdayaan, dimana yang ingin saya tekankan disini adalah dunia PNPM, sangat perlu dilakukan mengenai sejauh mana empowerment masyarakat ini telah tumbuh. Selama lebih dari 15 tahun PNPM, studi-studi yang dilakukan bersifat sangat teknis terkait dengan output program saja, seperti misalnya: Sejauh mana kapasitas perencanaan, Sejauh mana kemampuan kelompok membuat pembukuan, Sejauh mana dana bergulir telah berkembang dan berapa hasilnya, Sejauhmana kegiatan bidang kesehatan dan pendidikan sudah dilakukan, dll. Sampai setelah 15 tahun kita kesulitan menjawab, mana masyarakat yang telah dalam trek menuju empowerment, dan mana yang sudah saatnya dilepas.
menjanjikan tahun depan dapat Dipa lagi dan tidak dikeluarkan dari daftar daerah yang mendapat PNPM. Tiga serangkai itu tidak satupun yang kritis dan berani, mengkaji kebutuhannya sendiri apakah mereka sudah ingin mulai dilepas. Jangan-jangan Pemda yang memiliki alasan kuat bahwa mereka sudah belajar banyak dan merasa cukup siap mengejar empowerment-nya sendiri, malah dianggap sombong dan berkinerja jelek. Wah...runyam kalau sudah begini.
Self-Intrumentalis
Kepemimpinan yang melanggengkan perubahan dan sikap nrimo terhadap organisasi yang menekan, seperti di atas, menumbuhkan jiwa self-instrumentalis. Jiawa instrumentalis adalah sikap yang merasa bahwa saya ini cuma bagian dari proyek. Saya hanya menjalankan perintah seperti tertulis dalam petunjuk operasional (PTO), meski saya ini seorang fasilitator pemberdaya, konsultan pemberdaya, koordinator kabupaten/propinsi dari sebuah program yang memberdayakan masyarakat. Kulo sak dermi nglampahi (Jw), saya sekedar menjalankan saja. Coba jika PNPM, kalau boleh disebut sebagai gerakan besar sekolah capacity building, melakukan evaluasi sikap para fasilitatornya yang puluhan ribu jumlahnya: berapa banyak yang berjiwa self-instrumentalis? Jika boleh memperkirakan maka 70% berjiwa self-instrumentalis. Dalam jumlah self-instrumentalis sebesar itu, ditimpali dengan struktur birokrasi proyek yang menekan (tidak adaptif), dan duit yang sangat melimpah, maka bisa diperkirakan berapa masyarakat setelah 15 tahun PNPM ini yang mengarah kepada empowerment. Anehnya, kajian-kajian exit-strategi tidak untuk benar-benar merelakan sebuah kabupaten exit dari program, tetapi untuk menumbuhkan (mencari alasan pembenaran) program baru yang serupa ditempat yang sama.
oleh masyarakat, mendapatkan gaji rutin, kalau evaluasi kinerjanya baik ada harapan terpromosikan naik posisi atau dikontrak lebih lama, dll. Takut berubah tidak mesti hanya bermakna untuk mempertahankan posisi. Filosofi yang ada di dalamnya sangat mungkin mempengaruhi sikap, yaitu sikap yang kemudian tertutup dengan pendapat orang lain, ide-ide baru, pemikiran baru, dan lain-lain. Fasilitator pemberdayaan yang terjangkiti sikap semacam ini umumnya membikin block, mekanisme menghindar atau menolak, menolak ide baru maupun kritik-kritik kritis karena selalu akan dianggapnya sebagai hal-hal buruk dalam pekerjaannya. Inilah jiwa kepemimpinan yang takut akan perubahan dan bernafsu mempertahankan status-quo.
Dari paparan-paparan tentang kepemimpinan di atas, maka rasa-rasanya kepemimpinan khususnya kepemimpinan dalam konteks kerja-kerja pemberdayaan masyarakat-bukanlah proses yang tidak bebas nilai. Artinya setiap tindakan kerja dalam proses yang disebut pemberdayaan masyarakat, harus dilandasi dengan misi yang kuat for liberation (untuk pembebasan masyarakat) demi pemberdayaan. Pintar berbicara dan memimpin forum, menjadi fasilitator training yang handal, terampil berkoordinasi dan melobi, memiliki manajemen data yang sopisticated, dll belum bisa dengan serta-merta dikatakan sebagai seorang fasilitator pemberdayaan yang bervisi kepemimpinan yang membebaskan, jika semua kerjanya itu hanya melanggengkan status-quo, begini sajalah tidak usah sok aneh-aneh dan idealis, demi wilayah aman, demi target oriented, agar cepat selesai, agar bapak senang, agar tim kerjanya aman dari evaluasi kinerja negatif, dsb. Lantas materi substansi apa dan bagaimana memproses seorang fasilitator agar mempunyai visi kepemimpinan yang membebaskan, yang secara sadar selalu menjadi refleksi pribadi sebelum, sedang, dan setelah melaksanakan tindakan-tindakan kegiatan pemberdayaan. Nampaknya bukan melulu materi-materi teknis tentang tehnik pemberdayaan yang diperlukan untuk, katakanlah, mencetak fasilitator bervisi kepemimpinan yang kuat. Substansi yang diperlukan secara garis besar lebih bersifat: Pertama, reflektif (self-reflection) seperti Menemukan Diri, Menganalisa Diri, Menilik Diri. Kedua, analisa diri dalam relasi dengan dunia/masyarakat: dimana ingin menemukan siapa aku, apa peranku (positioning), apa yang sudah kukerjakan (partisipasiku) di dalam masyarakat/dunia yang terus berkembang. Ketiga, recommitment, menemukan nilai-nilai baru sebagai bahan rekomitmen dalam tindakan (action) pemberdayaan ke depan.
pembelajaran, dan membangun sikap serta nilai-nilai menjadi minor atau setiaknya sama proporsinya dengan skills improvement. Jadi ringkasnya, seperti juga sudah disinggung dalam sub-sub bab sebelumnya, jika kita terjebak pada pelatihan leadership capacity building yang penuh dengan substansi technicak skills improvement, maka tidak ubahnya kita tengah melaksanakan pelatihan manajerial (manajer program/proyek, manajer kantor, manajer koprasi, dll). Kurikulum dasar pelatihan leadership di bawah ini, oleh karena basis substansi materinya adalah pada membangun dan mengembangkan sikap dan nilai-nilai dalam leadership, maka kurikulum ini ideal untuk: (1) Dilatih/dipandu oleh orang yang lebih berpengalaman panjang di bidang pemberdayaan masyarakat dibanding para pesertanya; dan (2) Kurikulum ini dirancang pula bisa sebagai panduan bersama dimana pelatih dan peserta pelatihan memiliki tingkat pengalaman yang sama di dalam pemberdayaan masyarakat. Apa alasannya yang ke-2 tersebut secara teoritis dimungkinkan terjadi? Alasannya adalah bahwa attitude and value bisa merupakan produk dari sebuah refleksi dan komitmen secara pribadi maupun dilakukan bersama, asalkan aga guiding yang memandu cara mereka melakukannya. Jadi di dalam model yang ke-2 ini, meskipun ada pemandu/fasilitator pelatihan, dia sangat setara dengan para peserta bahkan bisa terlibat menjadi bagian dari proses pelatihan itu sendiri.
Consciousness, menurut Freire, adalah sebuah kesadaran yang tumbuh akibat dari proses belajar (learning) memaknai realitas kontradiksi sosial, politik, ekonomi dan yang kemudian memberikan aksi perlawanan terhadap ketidak adilan realitas tersebut.
Materi Bahasan
Tujuan Pembelajaran
Berikut ini adalah materi-materi pokok atau materi dasar tentang pelatihan kepemimpinan yang telah dirancang khusus terkait dengan gagasan-gagasan di dalam pemberdayaan masyarakat. Materi Utama: Sebab banyak materi kepemimpinan yang dipakai dalam pelatihan untuk perusahaan dan institusi militer, yang tentu sangat berbeda arahnya. Membangun pemahaman bersama Analisa sosial Analisa Peran (Who and atas situasi marginalisasi di Pembangunan dan pemberdayaan semu, Where I am in this changing masyarakat serta ketergantungan community) Membangun kesadaran partisipasi: dimana peran diri/ lembaga/ organisasi dalam masyarakat yg terus berubah dan termarginalkan ini Membangun analisa diri/lembaga/ Analisa SWOT on self reflection and Self-reflection for awareness organisasi tentang perannya di dalam awareness (Penemuan Diri) masyarakat yg terus berubah dan Antara Charity Based; Development termarginalkan ini Based; Reformist Base; dan Transformist Based. Menggali pengetahuan dan Perbedaan leadership dengan bentuk Leadership (Apa, kemana, pemahaman perbedaan leadership kepemimpinan lain mengapa, dan dengan bentuk leadership yg lain Pendidikan demi pembebasan bagaimana) Menggali pemahaman bagaimana Problem Possing Education menjadi leader yang dibutuhkan Pembelajaran feed-back dalam proses kepemimpinan Komunikasi: Menjadi pendengar yg baik masyarakat menuju (listening) pemberdayaannya. Kisah tentang induk ayam dan telor Kepemimpinan dan empowerment Merumuskan visi dan nilai baru Analisa Peran Diri, Self-Reflection, dan Developing new Vision and kepemimpinan yang memberdayakan What leadership is (re)-Commitment di dalam diri/kelompok/organisasi, Membangun Visi dan Komitmen Baru (Membangun visi dan dengan merefleksi ulang kaitan Who I untuk Diri dan nilai baru) am-Self Awareness-and Leadership di Kelompok/Organisasi/Lembaga pemberdayaan dalam masyarakat Materi-materi tambahan ini bisa diberikan untuk memperdalam atau memperluas materi pokok di atas. Materi ini bisa diberikan jika waktu pelatihan tersedia lebih longgar. Jika tidak tersedia Materi Tambahan: waktu yang longgar, lebih baik tidak diberikan sebab hindari upaya pemampatan materi pokok. Pemampatan hanya akan melahirkan kedangkalan pembelajaran. Menginternalisasi perbedaan peran Brainstorming peran dan tindakan Antara pemimpin dan antara Manajer dan Pemimpin, manajer manajer sebagai pertimbangan memperkuat Brainstorming peran dan tindakan leader kualitas visi kepemimpinan Penyimpulan peran-tindakan dalam leadership Menggali dan memahami Meninjau kendala/halangan eksternal: Perangkap-perangkap kecenderungan negarif apa saja yang masyarakat, rekan kerja, kepemimpinan dapat menghalangi visi besar organisasi/lembaga/sistem. kepemimpinan Meninjau kendala/halangan internal diri: kekhawatiran, tambahan kapasitas, ketidak-percayaan diri, dll Memahami perbedaan jenis Empat tahap pembangunanKepemimpinan dan 4 kepemimpinan di dalam konteks pemberdayaan tahap pembangunanempat tahap pembangunan Analisa peran, kelemahan, dan kekuatan pemberdayaan pemberdayaan: Charity Based | kepemimpinan dalam empat tahap Developmentalism | Reformism | pembangunan-pemberdayaan Transformism Catatan: Kurikulum ini didesain bisa diberikan kepada para pegiat pemberdayaan yang berpengalaman minimal 3 tahun, dan sebaiknya dibawakan oleh para pelatih yang telah berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat minimal 6 tahun. Mengapa kurikulum ini diberikan kepada mereka yang sudah berpengalaman 3 tahun? Sebab 3 tahun adalah waktu yang cukup tepat bagi seorang pemberdaya masyarakat memiliki arah yang lebih benar dalam melaksanakan empowerment kepada masyarakat, dengan komitmen dan nilai yang baru mengenai leadership-nya. Banyak hal yang bisa direfleksikan (terutama dalam ranah sikap diri) di tingkat pribadi dan masyarakat.
Untuk mencapai knowledge maupun consciousness harus melalui proses learning (pembelajaran) tidak hanya sekedar berpikir (thingking). Learning yang dimaksud yaitu proses menghadapkan diri terhadap semua realitas sosial baik ekonomi, politik, sistem sosial, marginalisasi, ketidakadilan, dll. Semua fasilitator pemberdayaan masyarakat tentu sudah menghadapi semua ketidakadilan realitas sosial tersebut, dimana berarti tahap awal learning sudah dimulai. Sang fasilitator sudah memiliki analisa sosial, tetapi masih terbatas hanya sebagai pengetahuan (knowledge). Maka saat kini untuk mengkritisi semua realitas yang sudah dihadapi itu menjadi tahap lebih dalam sebagai biji-biji nilai baru, dimana dirinya ikut terlibat, dengan posisi peran diri dengan segala macam ciri keterbatasannya sebagai manusia. Yang dimaksud posisi peran diri disini bukan posisi secara teknis dirinya sebagai Fasilitator Kecamatan, Infrastruktur Spesialist, Education Specialist, atau lainnya, tetapi diri (self) sebagai manusia yang memiliki pengatahuan, memiliki emosi, memiliki keterbatasan emosional, memiliki idealisme, memiliki semua elemen tekanan-tekanan diri, dll. Inilah tahap yang mirip atau berprinsip sama dengan problem possing education, dimana seseorang (fasilitator pemberdayaan masyarakat) telah berhadapan langsung dengan realitas dan sekaligus kemudian mempertanyakan dirinya di dalam realitas tersebut. Jika sang fasilitator dianggap sebagai penggambaran seorang murid, maka saatnya dia menarik diri dan memandang kritis terhadap naration (gambar besar kehidupan). Dalam sesi mengenai Who and Where I Am in This Changing Community si fasilitator (peserta pelatihan ini) diajak mempertanyakan sejauh mana peran diri di dalam masyarakat dampingannya, dihadapan struktur di luar dirinya baik struktur pemerintah maupun struktur organisasi keprograman yang mempekerjakan dirinya. Bukan pengetahuan mengenai baik dan buruk atau kekuatan dan kelemahan dari semua itu, tetapi ingin diajak sejauh mana si murid mengambil sikap terhadap semuanya itu. Sekali lagi dimana posisi sikap-nya, nilai-nilai seperti apa yang (akan) dianutnya atau dipertahankannya. Banyak fasilitator tidak mencapai awal atau benih-benih conscientiation (kesadaran nilai baru), meski dia telah melakukan pemberdayaan selama dua atau tiga tahun. Yang dia kerjakan tidaklah salah sebagai seorang fasilitator, tetapi yang dia kerjakan bisa saja hanya mengikuti, menuruti, memenuhi prosedur operasional program/proyek dengan segala macam petunjuk tenis, pedoman teknis, dan arah menuju key performance indicator. Dia terjebak pada peran manajer teknis. Penemuan diri/Self-reflection Materi dasar kedua ini secara teoritis mirip dengan materi dasar pertama. Bahan dasar dari materi ini adalah hasil dari materi dasar pertama tentang Who and Where I am In This Changing Community, hanya saja di dalam materi kedua ini lebih menukik kepada diri pribadi aebagai self-reflection. Di samping strategi dan kemampuan teknis pemberdayaan, seorang fasilitator pemberdayaan membutuhkan kemampuan leadership, yaitu sebuah sikap yang berbasis nilai-nilai kesadaran baru tentang perlunya memfasilitasi menuju perubahan. Kesadaran akan sikap baru, yang oleh Freire diistilahkan sebagai consciousness, akan dicapai dana butuh selalu dijaga dengan cara merefleksikan secara kritis antara keberadaan dirinya dengan kondisi
realitas yang penuh ketidakadilan. Dalam banyak pelatihan biasanya disebut dengan sesi Menilik Diri. Sesi-sesi pelatihan dalam tema Menilik Diri, biasanya jatuh kepada hal-hal yang teknis dan masih verbal. Misalnya dengan permainan Jouhari Window ingin ditilik diri mengenai apakah diriku tertutup atau apakah diriku terbuka. Itu saja. Lalu diikuti dengan langkah hal-hal yang perlu aku lakukan agar lebih baik ke depan. Sementara self-reflektion yang dimaksud dalam pelatihan leadership ini adalah apakah diri kita, saat ini, cenderung seorang conventional-leader atau open-mind leader, leader yang mempertahankan status-quo atau leader yang membawa empowerment. Hasil-hasil analisa sosial dan analisa peran diri di materi pertama, akan dibenturkan dengan empat karakter kepemimpinan di dalam empat teori perkembangan pemberdayaan. Empat tiper pemberdayaan itu adalah: Charity Based | Developmentalism Based | Reformism Based | atau Tranformism Based. Keempat tipe tersebut mempunyai ciri karakter kepemimpinan yang berbeda yang dipengaruhi oleh visi yang dibangun oleh masing-masing tipe pemberdayaan. Dimanakah diri Anda di dalam empat karakter pemberdayaan dan kepemimpinan tersebut. Mengapa Anda berada di karakter tertentu. Apakah karakter tersebut sesuai dengan visi penguatan (empowering) masyarakat yang seharusnya dibangun? Apakah diri Anda sudah cukup puas berdiri disitu, atau masih ada yang Anda resahkan dan ingin Anda raih lebih lanjut? Jika ingin sampai kepada idealisme pemberdayaan lebih lanjut, apa yang ingin dan seharusnya Anda lakukan? Self-reflection ini, yang dalam metode kepemimpinan Yesuit disebut self-awareness, ternyata sejalan dengan pemikiran Freire mengenai conscientiation atau disebut kesadaran atas perubahan. Dengan proses yang semacam itu, dan dengan refleksi yang dimiliki, membuat seseorang merasa harus terlibat (participatory) untuk memberikan perubahan terhadap arus besar narasi kehidupan dimana dirinya sendiri juga sadar dan siap untuk berubah. Banyak pemimpin meminta orang lain untuk berubah, lebih maju, lebih menambah wawasan, berdisiplin, tetapi dirinya sendiri takut akan perubahan yang terjadi.
bisa dikerjakan hanya sendiri. Seorang fasilitator pemberdayaan tidak bisa sombong dan emosional melejit sendiri sebagai pahlawan pemberdayaan, bagaikan seorang manajer baru yang baru saja dipromosikan sebagai pucuk pimpinan tertinggi di perusahaan. Membangun Visi bersama juga bukan merupakan proses pertandingan atau kontes konsep leadership yang terbaik. Membangun visi bersama yang dimaksud adalah konsolidasi sikap dan nilai-nilai. Sikap dan nilai-nilai baru ini relatif harus sama dengan yang lain antar fasilitator pemberdayaan, dan dipegang dengan sama kuatnya, kalau perlu saling mendukung satu sama lain (encouragement). Terkadang agak ironis juga bahwa fasilitator ini bertugas memberi encouragement kepada masyarakat, tetapi antar sesama dibawah tim kecil maupun tim besar organisasi program/proyek, sering kali saling jegal karena berebut posisi. Visi bersama sebagai visi besar tersebut harus dijaga bersama antar fasilitator pemberdaya masyarakat. Dialah yang akan memberikan inspirasi dan kekuatan antar satu sama lain. Dalam pengalaman model kepemimpinan Yesuit, visi besar bersama ini disebut magic-ambition. Sebuah keinginan besar demi kemaslahatan kebaikan umat manusia, yang ruh-nya bagaikan inspirasi magis yang suci, selalu membuat kuat jiwa dan batin para fasilitator pemberdaya meski dalam tekanantekanan begitu rupa. Setelah visi besar yang dibangun bersama ini selesai, apakah training leadership ini selesai di sini? Jawabannya adalah: Tidak!
Persoalannya kemudian bagaimana kita akan memperbaiki sebuah realitas implementasi yang sudah dilakukan. Sejauh mana kecenderungan yang ada pada saat berproses itu, termasuk fleksibilitas yang dilakukan didalamnya, kemudian mendapatkan analisa yang mendalam. Analisa tersebut tidak hanya dari sudut teknis, tetapi juga dari sudut-sudut yang lebih dalam seperti misalnya nilai-nilai, visi, ideologi, dll. Itu sebabnya pada saat analisa ini, yang sering disebut reflection, amat melelahkan karena terjadi tarik menarik antara kerja teknis dan tuntutan hati atas nama nilai dan ideologi. Jadi jika refleksi ini terjebak teknis belaka seperti analisa SWOT9 (strength, weakness, opportunity, treat) semata, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa tindakan yang akan kita lakukan pasti tindakan yang melancarkan saja tuntutan kemudahan-kemudahan yang bisa diambil dari realitas implementasi sebelumnya. Pelatihan Penyegaran di PNPM sangat dangkal sampai pada membangun consientitaion, kebanyakan terjebak teknis saja tidak lebih dari metodelogi SWOT.
Daur Pembelajaran dan Penguatan Kepemimpinan (Leadership)
Aksi
Aksi
Aksi
9 Jika tidak salah metode SWOT dipakai pertama kali di dalam kalangan militer, untuk melengkapai analisa dalam penyusunsn rencana strategis penyerangan atau dalam rangka melumpuhkan musuh. Dengan demikian SWOT yang baik harus berlandaskan pada perhitungan teknis yang sangat terukur secara kuantitatif. SWOT sesungguhnya sebuah perangkat yang masih amat lemah jika dipakai untuk menggali dan menumbuhkan komitmen berkaitan dengan nilai-nilai dan ideologi kemanusiaan yang sangat terletak dalam pengertian yang kualitatif.
sekaligus dipasang sebagai rambu-rambu dalam proses pendampingan kepada masyarakat pada tahap selanjutnya. Penyusunan kesepakatan tentang nilai-nilai lessons learned tersebut, selain terjadi sampai pada tingkat individu, harus juga dilakukan sampai pada level corps (sekumpulan, sekelompok) para fasilitator pada lokasi tertentu, wilayah tertentu, atau regional tertentu. Nilai-nilai baru tingkat individu yang terumuskan pada proses rekoleksi tadi, harus disharingkan bersama antar para fasilitator pelaku pemberdayaan untuk dicapai kesepakatan atau rumusan-rumusan bersama mengenai komitmen nilai-nilai baru dalam leadership. Rekomitmen bersama ini, atau bisa kita sebut the new testament (janji bersama) membangun mutu dan kualitas baru pendampingan leadership pada praksis pemberdayaan tahap selanjutnya. Banyak even-even pelatihan penyegaran yang maunya memupuk komitmen kesadaran baru tentang langkah pendampingan pemberdayaan tahap berikutnya, terjebak pada hanya sekedar plan of action atau agenda kegiatan baru yang amat teknis intrumentalis. Tidak lebih hanya semacam low-inforcement target-target capaian baru yang teknis programatis dan lepas dari benang merah consientiation. Proses refleksi, rekoleksi nilai dan rekomitmen nilai-nilai baru kepemimpinan seperti dipaparkan di atas, bisa menggunakan metode workshop leadership secara berkala yang dirancang khusus sebagai workshop penyegaran tentang kepemimpinan.
Chris Lowney dalam Heroic Leadership, menggambarkan dengan sangat hidup bagaimana para Yesuit yang dikirim ke berbagai tempat dibelahan dunia ini, yang berbeda satu dengan yang lain, dengan target pekerjaan yang berbeda-beda, yang tidak jarang mereka terancam pada ganasnya alam, ketidakstabilan politik dan keamanan, para Yesuit saling berkirim surat (dulu ketika telekomunikasi belum secanggih dewasa ini) satu sama lain. Surat menyurat itu berisi berbagai hal baik kisah sukses maupun kegagalan, kebanggan maupun keputusasaan, dan mereka saling memberikan dukungan, penghiburan, tentu juga saran-saran serta informasiinformasi yang berguna. Tentu saja tidak lupa juga alinea-alinea yang berisi dukungan doa-doa. Tetapi yang menarik ditemukan oleh Lowney adalah bahwa para anggota Yesuit diujung-ujung belahan dunia itu, sangat respek untuk berkirim surat kepada sesama Yesuit yang lain dan disisi lain para Yesuit tersebut menemukan pemompa semangat berjuang yang luar biasa ketika menerima kabar surat dari sesamanya di belahan dunia lain. Transmisi semangat kepemimpinan tumbuh subur di antara mereka, dan secara katakanlah mistis mampu memompa perjuangan-perjuangan memimpin (to be a leader) di dunia pekerjaan dan bidang garapan masing-masing meski tidak sedikit dari mereka harus mengorbankan nyawa dan jauh dari para sahabat dan sanak saudara. Apa yang ingin saya anjurkan dan tekankan disini tidak lain adalah bahwa self encouragement network sangat perlu dibangun di antara para fasilitator pemberdayaan masyarakat, dengan berbagai cara, tema-tema encouragement, dan lain-lain. Mediamedia yang dapat dipakai untuk maksud menumbuhkan semangat encouragement tersebut antara lain seperti: (a) outbond yang dirancang khusus bukan untuk maksud menumbuhkan team building secara organisatoris, tetapi outbound yang mampu menggerakkan nilai-nilai pribadi mengenai leadership maupun nilai-nilai kebersamaan perjuangan melalui leadership antar para fasilitator; (b) workshop refreshing dengan tema leadership; (c) rethreath tentang leadership; Dll.
Penutup:
Aku, Engkau, Masyarakat Ada sebuah motto yang sudah berlaku umum di dunia pemberdayaan, bahwa perubahan masyarakat kearah yang lebih baik dimulai dari diri sendiri. Semangat yang cukup filosofis ini mau mengatakan bahwa jika setiap individu di dalam masyarakat mau dan mampu berubah kearah yang lebih baik, entah itu dalam hal penghargaan atas orang lain, penghargaan atas hak-hak kesataraan, kesempatan-kesempatan pengembangan ekonomi, dll, maka seluruh masyarakat bahwa Negara akan mengalami perubahan yang baik. Perubahan di dalam diri sendiri secara invidual memerlukan apa yang sering disebut selfleadership, memimpin diri sendiri menuju hal-hal yang lebih baik. Agar mampu membawakan diri dalam mengorganisir, memimpin, atau memberdayakan masyarakat secara benar, dengan demikian seorang fasilitatorpun harus mengalami self-leadership. Tidak mungkin menginginkan orang lain berubah, tetapi para fasilitatornya tidak mau
Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 27
membuka diri, defensive terhadap masukan orang lain, merasa diri paling tahu dan benar, tidak fleksibel, selalu memberikan instruksi. Mereka yang sudah lebih dari 5 tahun terlibat dalam kerja-kerja pemberdayaan, apalagi di dalam atmosfir pendekatan proyek yang sama, sangat mudah terperangkap dalam jiwa instrumentalis, hanya menjadi mesin proyek, dan sangat riskan untuk mereduksi secara sadar atau tidak-nilai empowerment leadership ke dalam instructional leadership. Sebuah upaya untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai leadership (kepemimpinan) yang ideal seperti dipaparkan dalam sub-sub bab di atas di dalam dunia pemberdayaan masyarakat, kiranya perlu untuk dipikirkan kembali, dirumuskan kembali, dan di proses kembali bagi para aktivis-aktivis pemberdayaan. Saya ingin mengatakan bahwa PNPM, yang dimulai dari program PPK, yang telah hampir 20 tahun diimplementasikan, merupakan pendidikan yang amat berarti. Sangat disayangkan jika investasi sosial yang begitu besar dan luar biasa itu ujung-ujung hanya terperangkap dalam gerakan pengembangan masyarakat yang amat teknis sekedar menjalankan proyek saja. Leadership untuk pemberdayaan masyarakat adalah sebuah nilai ideologi. Nilai ideologi hanya akan hidup dan bermakna jika dipilih dengan sebuah sikap pilihan yang disadari. Jika tidak, lebih baik berlalu saja dari pilihan-pilihan semacam itu! []
Bahan Bacaan
Anne Hope and Sally Timmel, 1994. Training for Transformation: A Handbook for Community Workers. Gweru, Zimbabwe: Mambo Press. Asian Health Institute (AHI), 1995. Leadership Training for Development Worker (Training Module). Aichi, Nagoya, Japan. Chris Lowney, 2005. Heroic Leadership: Praktik Terbaik Perusahaan Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia. PT Gramedia Pustaka Utama. David Orr dalam What Is Education For: Six myths about the foundations of modern education, and six new principles to replace them: dalam http://www.context.org/iclib/ic27/orr/ Fatima C. Fortaliza, Vol. 18, No. 2 October 2007. Paulo Freire: in His Views on Education. KINAADMAN: An Interdisciplinary Research Journal: Holy Name University, Tagbilaran City, Bohol. John Jacob Gardiner, 2002. Transactional, Transformational, And Transcendent Leadership: Metaphors Mapping The Evolution Of The Theory And Practice Of Governance. Seattle University. Leadership Theory and Practices (2007): Thousand Oak London, New Delhe, Sage Publication, Inc. (www.nwlink.com/~donclark/leader/leadcon.html). Leadership: dalam www.calstatela.edu/faculty/jpark/Leadership. Michael E. Witzgall, 1988. What Leadership Is Not. Tactical Training Consultant CharlieMike Enterprises, Inc. ( www.CMESWAT.com) Pulo Freire, 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES: Jakarta.
Teresa Olson, 2011. Leadership Philosophy. Dalam www.terriolson.efoliomn.com. Warren Bennis. Conceps of Leadership. Dalam www.nwlink.com/~donclark/leader/ leadcon.html.