Anda di halaman 1dari 16

Desa, UU Desa No.

6/2014, dan Perubahan Sosial


Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya
UU No. 6/2014 Tentang Desa

Oleh: Emil E. Elip







Maret-2014

Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 1 of 15




Desa, UU Desa No.6/2014, dan Perubahan Sosial


Oleh: Emil E. Elip


Sudah ratusan tahun sejak jaman penjajahan Belanda, desa menjadi
ajang pemikiran, arena eksplorasi dan eksploitasi, ajang perebutan,
pergolakan politik, dll. Sebagian para ahli resah tidak rela jika desa
dianggap replikasi dan bagian dari kekuasaan negara, sebagian ahli lain
terutama ahli teknokrasi pembangunan sangat bersemangat bahwa
desa merupakan bagian dari negara NKRI.

Sebagian ahli yang tidak rela jika desa dianggap bagian dari negara
secara struktural mengambil alasan bahwa pada jaman Belanda desa-
desa sudah diakui otonominya oleh Belanda, bahkan adat istiadatnya
dibiarkan berkembang. Kita harus akui bahwa para birokrat Belanda
yang dikirimkan ke Indonesia pada penjajahan dulu adalah para sarjana
yang sangat ahli dalam studi-studi sosial. Mereka paham betul dan
sangat tepat memotret secara antropologis maupun sosiologis sendi-
sendi kebudayaan masyarakat Indonesia di desa-desa, dan karena itu
mereka tahu betul bagaimana caranya melemahkan dan memecah
belah antara rakyat jelata, para priyayi keraton/raja, serta para elit
adat dan agama.

Agar kehausan para penjajah Belanda menguasai aset-aset di tingkat
grassroot ini bisa terjadi secara langsung, dan tidak direcoki oleh para
raja yang kekuasaannya tidak terbatas, maka desa harus sungguh-
sungguh mereka pahami dan nampaknya mereka bisa menemukan
kekuatan entitas desa sebagai teritorial maupun otonomi. Oleh
karena itu kemudian dihembuskan desa sebagai entitas otonom dan
bermartabat, agar memiliki kekuatan melawan raja mereka. Jika
sebuah desa tak mampu ditahklukkan secara sosiologis, maka yang
dilakukan adalah sebaliknya yaitu pusat kekuasaan raja yang didekati
agar para raja lokal menekan desa dan rakyatnya sendiri. Ini bisa
dilakukan karena para sarjana Belanda tersebut pun sangat paham
kultur para priyayi kerajaan beserta simbol-simbol budaya
kekuasaannya.

Kepongahan kita adalah apa yang sudah ditemukan oleh Belanda itu
kita anggap bagai pahlawan bahwa Belanda-pun menghormati adat
istiadat dan otonomi desa. Para sarjana pongah ini kemudian
membayangkan suatu kondisi dimana negara dan pemerintah dewasa
ini seyogyanya dapat meniru sikap pemerintah Belanda atas otonomi
dan kekhasan desa.

Memberhentikan Sejarah Desa
Membayangkan desa-desa saat ini seperti desa-desa di jaman
penjajahan Belanda 350 sampai 400 tahun yang lalu sungguh sebuah
kecenderungan yang menghentikan sejarah. Hal yang tidak bisa
dihentikan adalah bahwa sejarah terus berjalan, seiring perubahan
yang cepat ataupun lambat datang dari luar sebuah komunitas maupun
desa. Kebudayaan sebuah komunitas hanya memiliki dua pilihan, yaitu
menghindari sejarah atau mengikuti sejarah perubahan yang
dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Nampaknya sangat sedikit
komunitas yang menyurutkan diri dari pertahutan relasi dengan dunia
luar yang lebih luas.

Komunitas-komunitas adat tersebut yang menjauhkan diri dari arus
sejarah modern, misalnya saja komunitas Badui (dalam), sekali lagi
hanya sangat sedikit. Eksklusifisme mereka justru sama sekali tidak
bersinggungan dengan negara dalam urusan yang disebut desa baik
secara teritori maupun tatakelolanya. Komunitas-komunitas adat yang
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 2 of 15

tidak eksklusif, yang sudah bertautan dengan komunitas-komunitas
terorganisir dalam sebuah sistem yang disebut desa, inilah yang sering
menjadi perdebatan yang pelik seakan-akan menumbuhkan banyak
persoalan.

Bagaimanapun sebuah komunitas masyarakat tentu memiliki
eksistensi kultural yang mereka yakini. Berhadapan dengan
komunitas dunia luar maka tumbuh dua persoalan, Pertama,
masyarakat dunia luar tidak mengetahui cara menghormati adat-
budaya mereka dan disisi lain komunitas adat tersebut tetap ingin
dihormati eksistensinya. Sesungguhnya ini hanya masalah pendidikan
atas keberagaman yang sayang pemerintah sama sekali gagal mendidik
masyarakatnya mengenai penghormatan atas keberagaman.
Sementara itu para pengembara dunia politik yang kebanyakan
pongah juga, memanfaatkan sentimen etnis, kelompok, dan golongan
tersebut untuk mengais-ngais suara menggalanag kekuatan masa.

Bagi saya konflik antar komunitas adat dan komunitas masyarakat
disekitarnya adalah hal biasa. Dia merupakan bagian dari sintesa dan
antitesa sosiologis. Konflik merupakan perjalanan sejarah suatu
komunitas untuk meng-ada dan melakukan kompromi-kompromi
solutif, asalkan tidak ada pihak ketiga yang mau memanfaatkannya.
Setiap komunitas akan membangun pandangan-nya sendiri atas
perbedaan, kemudian membangun pembelajarannya sendiri atas
kejadian-kejadian yang dialaminya, selanjutnya dari pembelajaran itu
akan membangun konstruksi solusi dalam bentuk tata nilai baru
termasuk tata nilai dalam relasinya dengan dunia luar.

Jika setiap komunitas masyarakat tidak memiliki kemampun
mengkonstruksikan sejarah pengalaman hidupnya, maka komunitas-
komunitas tersebuta akan punah dengan sendirinya saling membunuh.
Setiap individu pada prinsipnya ingin hidup aman dan damai, begitu
pula setiap komunitas yang merupakan kumpulan dari individu yang
membangun pandangan hidup yang sama.
Konflik yang berkepanjangan dan semakin tajam dikarenakan adanya
pihak ketiga yang berupaya mengambil keuntungan dari komunitas-
komunitas yang sedang berkonflik, entah konflik berbau agama,
berlatar belakang etnis, konflik tapal batas, dll. Ranah konflik tersebut
termasuk juga pada level para cendekiawan yang pongah, cendekiawan
yang berfikir konvensional-romantis dengan penganut paham
modern-absolut, yang ingin menghormati adat dengan cara
menghentikan sejarahnya, dan macam-macam lain. Perubahan-
perubahan kebijakan yang paling ideal biasanya menjadi sasaran
arena perdebatan itu, sehingga belum sampai sebuah kebijakan
tuntas dilaksanakan dan dikaji lessons-learned-nya arus perdebatan
sudah bergulir sebegitu rupa seakan-akan perdebatan itulah solusi
terbaik.

Desa Dalam Teori-Teori Perubahan Sosial
Sesungguhnya yang sedang kita upayakan dengan pembuatan udang-
undang adalah untuk sebuah perubahan. Tentu saja dengan maksud
Kondisi salah satu desa terpencil di Kec. Gumay Talang, Kab. Lahat
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 3 of 15

untuk menuju perubahan yang lebih baik. Namun sebelumnya mari
kita menelusuri apa makna perubahan itu, teori-teori apa yang telah
menjelaskan tentang perubahan yang sudah terjadi dan atau
diprediksikan akan terjadi di dalam masyarakat. Ada dua ranah besar
perubahan yang akan dibahas di sini, yaitu perubahan sosial (social
change) dan perubahan kebudayaan (cultural change). Apa hubungan
antar keduanya, apa dimensi pada masing-masing perubahan
tersebut, dan akhirnya mari kota coba menghubungan antara
perubahan yang diharapkan melalui UU no 6 Tahun 2014 Tentang
Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua jenis perubahan
tersebut.

Apakah Masyarakat (Society) Itu?
Dampak yang diharapkan dari diberlakukannya UU Desa 2014 adalah
suatu perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat, dalam hal ini
masyarakat di level grassroots, desa. Oleh karena itu perlu didiskusikan
di awal apa makna masyarakat yang dibayangkan oleh UU Desa
2014 tersebut --tentu dalam hal ini adalah persepsi yang dianut oleh
para penyusun UU Desa 2014 tersebut tentang konsep masyarakat.
Secara umum para ahli sosial dan perubahan masyarakat menganut
dua jenis konsepsi tentang masyarakat, yaitu static perspective dan
dynamic perspective. Static perspective mengasumsikan bahwa
masyarakat itu bergerak atau berubah secara statis (pelan) sesuai
dengan struktur sosial yang dimiliki. Sementara perpective dynamic
berasumsi bahwa masyarakat akan selalu bergerak atau berubah
secara dinamis, tergantung besar kecilnya faktor eksternal yang ber-
relasi dengan masyarakat bersangkutan.

Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling ber-relasi melalui
seperangkat tata-nilai yang disepakati dan dipahami bersama, sebagai
ikatan kehidupan. Sebagai sebuah sekumpulan orang-orang maka
bisa dibedakan dengan jelas antara masyarakat (society) dengan
kumpulan massa (group of mass), dan komunitas (community). Dua

1
Gandhis Theory of Society and Our Times, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. World
Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com
peristilah yang terakhir muncul untuk merujuk kepada budaya pop
(pop-culture) yang berkembang dewasa ini
1
. Maka segera bisa kita
bedakan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan,
dimana masyarakat perkotaan jelas lebih menyerupai group of mass
dan atau community. Kumpulan massa sesungguhnya bukan kumpulan
manusia (human) dalam pengertian konsepsi masyarakat. Di dalam
kumpulan massa atau komunitas-komunitas populer tidak terbentuk
civilization seperti yang terjadi dalam society.

Berbasis pada tiga pemberdaan terpapar di atas, maka dalam konteks
masyarakat millenium dewasa ini jelaslah kita tidak bisa lagi
menyamaratakan apa yang disebut desa sebagai kumpulan manusia.
Apa yang saya maksudkan adalah bahwa saat ini ada desa-desa yang
masih memiliki roh civilization, namun ada banyak desa (bahakan
cenderung makin bertambah dari waktu ke waktu) yang sudah sangat
tipis roh civilization-nya. Desa-desa diperkotaan atau yang saat ini
banyak beralih fungsi disebut kelurahan, dan desa-desa yang terletak
dipinggiran perkotaan dimana sendi-sendiri kehidupan perkotaan
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 4 of 15

serta budaya populer telah merasuk, lebih cenderung ke aras mass-
community.

Di dalam UU Desa 2014 disebutkan Desa atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul,
adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. (BAB 1 KETENTUAN UMUM, Pasal
1 ayat 5). Istilah-istilah seperti kesatuan masyarakat hukum, hak asal-
usul, adat istiadat dan sosial budaya, merupakan sebuah bangunan
cultutal yang terejawantahkan dalam sub socio-cultural yang disebut
civilization.

Merupakan pekerjaan rumah yang amat besar, yang menurut saya mau
tidak mau harus dilakukan, adalah menganalisa dan memilah-milah dari
puluhan ribu desa di Indonesia kedalam mana desa yang masih
bercirikan society-village civilization, desa yang bercirikan antara
society-village civilization dan village mass-community serta desa-desa
yang sungguh sudah menjadi village mass-community. Jika hal tersebut
tidak dilakukan maka sesungguhnya UU Desa 2014 yang baru disahkan
tidak dilandasi dengan social and cultural theory yang sungguh
dipersiapkan dengan matang untuk menjawab perubahan sosial.
Tentu UU Desa 2014 tersebut diawali dengan Naskah Akademik yang
menjadi bangunan pemikirannya, namun semua jalinan pemikiran yang
ada didalamnya bersumber utama dari teori-teori berbasis
developmentalist.

Apa yang secara lebih luas sedang kita perbincangkan di atas adalah
tentang desa yang sudah berbeda-beda sendi-sendi sosialnya satu
sama lain, serta alasan-alasan teoritis yang mengasumsikannya, adalah

2
Lingking Social Change and Development Change: Shifting Pathway in Development Change: Patricia M. Greenfield,
University of California-Los Angeles: 2009 American Psychological Association/ 2009, Vol. 45, No. 2, 401418.
suatu hal yang sudah disinggung di awal, yaitu tentang konsepsi
perubahan sosial (social-change) yang akan kita bahas berikut ini.

Antara Gemeinschaft dan Gesellsfschaft
Sebuah konsepsi yang mirip dengan konsep community dan society,
dan yang cukup akrab di telinga masyarakat akademis di Indonesia
mengenai teori-teori klasik tentang masyarakat adalah konsep
Gesellschaft (society) dan Gemeinsshaft (community). Kedua konsep ini
berbasis pada premis-premis adaptasi masyarakat terhadap
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dalam arti
lebih luas seperti lingkungan ekologi, konflik yang terjadi didalam
masyarakat sendiri, relasi-relasi dengan dunia luas masyarakat, dll.

Berdasarkan premis kemampuan adaptasi itu maka di dalam
masyarakat Gesellschaft (society) diidentifikasi dimana segala
perubahan masyarakat dan pembangunan yang terjadi dari proses
adaptasi hanya pada level individu. Sementara berlawanan dengan itu,
di dalam masyarakat Gemeinsshaft (community) perubahan masyarakat
dan pembangunan terjadi pada level kultural (dalam pengertian tidak
hanya terjadi langsung dalam level individu saja)
2
. Itu sebabnya maka
Gesellschaft lebih bercirikan individualistic, condong ke bentuk
mastyarakat perkotaan, dimana relasi internalnya diikat oleh apa yang
disebut peraturan dan bukan perangkat pandangan tata-nilai nilai
tertentu. Berbeda dengan hal tersebut, Gemeinsshaft lebih condong
kepada masyarakat yang komunal. Deferensiasi mungkin tetap ada
dalam cara hidup masyarakatnya, namun mereka masih terikat dengan
sebuah kode-kode tata-nilai yang dianut bersama pada level ideologi
yang disebut kebudayaan (culture).

Dari segi konsep adaptasi perubahan masyarakat Gesellschaft
cenderung lebih cepat menerima kemungkinan ide perubahan asalkan
individu di dalam masyarakat tersebut dapat mentolerer bahwa
perubahan tersebut dipandang memiliki justification cost
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 5 of 15

menguntungkan. Sebaliknya tidak serta merta demikian proses
perubahan di dalam Gemeinsscaht. Ide perubahan baru mungkin bisa
diterima secara positif oleh seorang individu di dalam masyarakat
Gemeinscahft, namun belum tentu dengan sendirinya akan di-
recognizing menjadi peraturan bersama yang disepakati karena ide-ide
tersebut harus berhadapan dengan bangunan cultural tata-nilai yang
ada.

Jadi apa maknanya jika konsepsi Gemeinschaft, Society-Village
Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft yang sudah
dipaparkan di atas dikaitkan dengan introdusir UU Desa 2014 yang
baru? Yang Pertama, jelas, bahwa UU Desa 2014 tersebut mau tidak
mau berimplikasikan menyamaratakan konsepsi Gemeinschaft,
Community, Gesellscaft, dan Society.

Kedua, konsep Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat
istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat (seperti tertuang di
dalam UU Desa 2014), sangat memikin kerancuan karena pada
kenyataannya tidak semua desa di Indonesia bisa didefinisikan
semacam itu. Atau dengan kata lain, konsep tersebut sungguh
menutup mata terhadap kenyataan bahwa di masyarakat kita
terdeferiansi seperti Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village
Mass-Community, dan Gesellschaft. Konsep desa seperti tertuang di
UU Desa 2014 tersebut dilandasi pandangan romantik-konvensional.

Premis-Premis Perubahan Sosial
Pertanyaan intinya jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru saja
disahkan Desember 2013 lalu adalah, teori-teori perubahan sosial apa

3
Menganalisis teori-teori sosial yang dipakai menjadi penting sebab teori-teori yang tepat berguna untuk memprediksi kearah
mana dan seperti apa kondisi sosial yang diharapkan akan terjadi di masa depan dengan diterapkannya UU Desa 2014. Jelas atau
tidaknya asumsi teoritik sesungguhnya kita akan tahu apakah UU Desa 2014 ini diluncurkan oleh karena dorongan tertentu yang
yang dipakai melandasi diluncurkan UU Desa 2014 dan teori
perubahan sosial seperti apa yang menjadi potulat perubahan sosial di
masa datang dengan diberlakukannya UU Desa 2014 tersebut
3
.

Dengan diterbitkannya UU Desa 2014 sesungguhnya yang sedang
dikerjakan adalah melakukan perubahan untuk desa khususnya
untuk kemakmuran masyarakat desa. Bahwa untuk kemakmuran
masyarakat desa tersebut perlu dirancang sistem organisasi desa yang
lebih baik, peraturan pemelihan kepala dan perangkat desa yang lebih
baik, pendekatan pembangunan tentang desa secara lebih baik,
pengaturan relasi antara desa dengan supra desa lebih baik,
penganggaran budget untuk desa secara lebih baik, semuanya memang
benar harus diatur. Meskipun demikian, dalam artian bahwa semuanya
itu ditujukan untuk hal yang lebih baik tentang desa, bisa saja
perubahan yang diharapkan meleset dari yang diperkirakan karena
latar belakang pemikiran teoritis yang kurang matang apalagi hanya
didorong oleh ketergesa-gesaan.

Secara teoritis-epistemologi ada dua konsep yang dibayangkan
mengenai model perubahan, yaitu model perubahan statis dan model
perubahan dinamis. Perubahan masyarakat yang statis tidak berarti
bahwa masyarakat tersebut tidak mengalamai perubahan. Model
perubahan masyarakat statis bermula dari para ilmuwan yang
menganggap bahwa masyarakat akan berubah dengan sendirinya
karena memang begitulah filosofi dasar kehidupan manusia. Cepat
atau lambat manusia, begitu juga masyarakat, akan berubah sesuai
berkembangan kehidupan dan sosialitasnya. Sementara model
perubahan dinamis berasumsi bahwa masyarakat bisa dikondisikan
untuk cepat berubah asalkan akses-akses untuk perubahan disediakan
sedemian rupa, baik dari sudut ekonomi, keorganisasiannya, dan nilai-
nilai yang ditawarkan kepada suatu masyarakat.

tidak terarah (untuk tidak mengtatakan emosional): dorongan kekecewaan, dorongan political akseptabilitas, atau juga dorongan
kekecewaan atas lemahnya rezim-burokrasi yang sedang berjalan.
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 6 of 15

Model perubahan (social change) yang statis diasumsikan oleh karena
perubahan tersebut akan berhadapan dengan bangunan kultur yang
biasanya lamban untuk berubah. Sementara model perubahan dinamis
diasumsi bahwa perubahan tersebut akan mempengaruhi level sosial
(relasi kesepakatan-kesepatan antar individu atau kelompok), dan
tidak pada level kultural.

Bagaimana sebuah materi perubahan atau ide-ide perubahan -
misalnya dalam hal ini adalah ide-ide yang ada di dalam substansi UU
Desa 2014 yang baru-- berproses dalam mendorong perubahan di
masyarakat? Salah satu teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan hal
tersebut beserta implikasi-impliksinya dalam konteks social-change dan
cultural-change adalah teori tentang Justificfation-Cost, External
Dissonance, dan Internal Dissonance, yang diungkapkan oleh Franois
Facchini dan Mickal Melki
4
.

Kebudayaan, oleh Franois Facchini dan Mickal Melki, dedefinisikan
sebagai is a set of customary beliefs and values that ethnic, religious,
and social groups transmit fairly unchanged from generation to generation
and that is organized by an ideology. Ideology is the intellectual dimension
of culture. It justifies its set of beliefs, values and norms. Agar bisa terjadi
perubahan sosial dan atau perubahan kebudayaan, Facchini dan Melki
menganjurkan sebuah analisa terkait dengan Internal Dissonance,
External Dissonance, dan Justification Cost oleh karena adanya
kondisi dissonance tersebut.

Internal Dissonance adalah situasi atau kondisi di dalam internal
masyarakat itu sendiri yang memunculkan potensi-potensi untuk
terjadinya perubahan. Beberapa contohnya antara lain adalah
perubahan sosioekomomi-demografi, yang diakibatkan dari
bertambahnya jumlah penduduk dalam masyarakat bersangkutan.
Contoh berikutnya adalah tentang inkonsistensi nilai-nilai akibat

4
Lihat Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach, oleh Franois Facchini, Mickal Melki -Centre d'Economie de la
Sorbonne, Paris 1, France; 2011. SEMINAR SEPIO JUNE 21, MSE (PARIS 1, FRANCE) and Association for the Study of Religion, Economics
& Culture, ASREC Annual Meeting, April 7 10, 2011 Hyatt Regency, Crystal City (Washington DC).
perubahan sosio-ekonomi demografi. Perubahan sosial dan kemudian
selanjutnya adalah perubahan kebudayaam, hanya bisa terjadi jika
terjadi inkonsistensi nilai secara komunal di dalam masyarakat. Apa
yang dirasakan di dalam hidup realitas sehari-hari sudah tidak cocok
lagi dengan nilai-nilai yang dianut atau dianjurkan dalam instrumen
kebudayaannya.

Pada sisi yang lain, External Dissonance adalah kondisi-kondisi dari
luar masyarakat yang mempengaruhi terjadinya inkonsistensi nilai bagi
masyarakat bersangkutan. Misalnya saja pengaruh teknologi, sistem
informasi yang semakin terbuka, perang, nilai-nilai demokratisasi, pola
konsumsi, dll. Aspek-aspek Internal dan Eksternal Dissonance tidak
bisa dengan sendiri gampang mendorong sebuah perubahan sosial dan
atau perubahan kebudayaan di suatu masyarakat.

Facchini dan Melki menelaah adanya apa yang disebut justification
cost yang harus dipertimbangkan oleh individu-individu di dalam
masyarakat tersebut dalam menyerap kondisi pengaruh internal
maupun eksternal dissonance tersebut. Mengenai justification cost
tersebut Facchini dan Melki menjelaskan sebagai berikut when
culture becomes problematic that it will be tested, otherwise stated, that
individuals will seek to get rid of it because it doesnt seem to be sufficiently
justified to be acceptable. Prohibitive justification costs explain deviant
behaviour, e.g. changes of ideology

Ketika kondisi-kondisi internal and eksternal dissonance datang
bertubi-tubi maka akan (bisa saja) menumbuhkan inkonsistensi
berbagai perangkat nilai-nilai kesepakatan yang sudah ada di dalam
masyarakat. Inkonsistensi tersebut bisa ditemukan oleh sebagian kecil
individu atau oleh sebagian besar individu di dalam masyarakat
bersangkuta. Jika hanya sedikit individu yang mengalami inkonsistensi
nilai maka sangat sedikit atau kecil justification cost-nya untuk
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 7 of 15

mendorong terjadinya sebuah perubahan sosial apalagi perubahan
kebudayaan. Jika sebagian besar dari masyarakat tersebut menemukan
kondisi inkonsistensi maka besar justification cost-nya bahwa
masyarakat (secara bersama-sama dalam jumlah memadai) mencari
nilai-nilai baru yang lebih mampu menjawab kondisi mereka.

Kondisi inkonsistensi yang selanjutnya menumbuhkan kondisi
inkoherensi nilai-nilai di dalam masyarakat tersebut adalah masalah
mental. Seperti kata Facchini dan Melki, Incoherence and the life of
thoughts are mental events. These events are not visible but prepare the
ideological change. They do not necessarily lead to concrete deviant actions
but participate in the formation of a larger and larger gap between the
constructed social reality and individual reality, imagination and logic of
each individual.

Jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru, maka UU Desa 2014
tersebut merupakan bagian dari kondisi external dissonance, sebuah
kondisi dari luar yang dipersiapankan oleh para ahli sosial, akademisi,
dan atau para teknokrat pembangunan. Mampukah substansi-
substansi di dalam UU Desa 2014 tersebut mampu menumbuhkan
kondisi inkonsistensi dan inkoherensi nilai di dalam masyarakat desa
itu sendiri tentang konsepsi desa. Jika oleh karena introdusir UU Desa
2014 tersebut mampu menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat
pada saat masyarakat mengalami inkonsistensi dan inkoherensi nilai,
maka substansi-substansi UU Desa 2014 tentu akan mendorong
perubahan sosial yang mendasar di desa, dan bahkan tidak mungkin
akan menjadi budaya baru tentang desa di masa datang.

Persoalannya bisa saja UU Desa 2014 yang baru tersebut terlaksana
di desa tidak lebih sebagai perubahan peraturan baru, yang sama
sekali tidak menyentuh gerakana-gerakan ide untuk perubahan sosial.
Jika introdusir UU Desa 2014 tersebut hanya dipahami dan apalagi
hanya menguntungkan para perangkat desa dan elit desa, maka
sesungguhnya dia tidak menumbuhkan gejala inkonsistensi dan
inkoherensi nilai di dalam masyarakat. Jika demikian maka terlalu
kecil justification cost-nya dipertimbangkan oleh sebagian besar individu
masyarakat (sebagian besar anggota masyarakat) disetujui sebagai
awal gerakan perubahan sosial. Disinilah letak institutionalize aspect
dari sebuah perubahan sosial.

Hebatnya UU Desa 2014 tersebut akan diikuti dengan sebuah
kucuran dana yang sangat besar, yang katakanlah disebut dana
pembangunan desa, yang besarnya bisa mencapai 1 Milyar per desa.
Bisakah dia mendorong justification cost agar masyarakat (sebagian
besar masyarakat) mampu dan mau mempertimbangkannya sebagai
tahap-tahap dalam perubahan sosial desa? Jawabannya adalah belum
tentu. Model serupa dengan UU Desa 2014 dan uang
sesungguhnya sudah dimulai dengan program PPK (program
pengembangan kecamatan) yang kemudian dilanjutkan PNPM Mandiri.
Sudah sekitar 15 tahun PPK dikembangkan diikuti dengan kucuran
dana yang tidak sedikit untuk desa. Sebuah konsep institusional
kelembagaan pembangunan diperkenalkan melalui konsep yang
disebut pembangunan partisipatif. Hasilnya secara garis besar, tidak
ada perubahan sosial apalagi perubahan kebudayaan yang signifikan di
desa-desa sasaran program tersebut di dalam beberapa konsep
penting seperti pemberdayaan, partisipasi, dan kemandirian.

Dengan demikian yang ingin dikatakan di sini adalah UU Desa 2014
yang baru beserta services-lips yang menyertainya dengan dana
pembangunan desa hampir mencapai 1 Milyar, tidak menjamin akan
terjadinya kemandirian desa dan otonomi desa. Asumsi saya secara
filosofi-perubahan adalah, karena sesunggunya kucuran uang itu
yang ditawarkan agar ide perubahan sosial desa bisa berjalan. Kita
tidak pernah merancang filosofi yang sebaliknya dari itu untuk
pembangunan di rakyat kita. Uang yang besar yang selalu menyertai
policy-policy untuk pembangunan dan kemandirian rakyat telah
menjadi justification cost yang kontradiktif untuk perubahan sosial dan
kebudayaan.


Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 8 of 15

Bangsa Yang Cerewet
Indonesia disinyalir merupakan negara dengan jumlah perundang-
undangan terbanyak didunia. Para teknokrat pembangunan dan
birokrat mungkin berbangga hati dengan itu. Bahwa seakan-akan kita
amat pandai mengurus tatakelola bangsa, masyarakat, dan
pembangunan. Beragama saja diatur. Perkawinan diatur. Memberikan
santunan diatur. Namun disisi lain hal itu bisa diintepretasikan bahwa
kita adalah negara yang amat keropos dalam ideologi berbangsa,
bermasyarakat, berbhineka, dan bermasyarakat.

Dan tentang desa kita telah membuat peraturan lebih banyak sejak
pertama kali Belanda mengatur tentang desa. Pada zaman penjajahan
Belanda terdapat peraturan perundang-undangan mengenai desa yaitu
Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura
serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku
untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Lama setelah itu baru
pada tahun 1965 terbit UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja.
Orde Baru kembali mengeluarkan peraturan perundang-undangan
mengenai desa yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Peraturan ini kemudian berubah lagi
seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa kembali mengalami
perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Hanya dalam 10 tahun kemudian perundangan
tentang desa ini dirubah lagi dengan disahkannya UU Desa 2014 oleh
DPR akhir tahun 2014 lalu.

Jadi, sejak 1965 sampai 2014 telah dibuat 5 kali perundangan tentang
desa, yang rata-rata satu perundangan yang sama berumur tidak lebih
dari 15 tahu. Artinya apa: memang kita terlalu cerewet!. Arti lain
lagi adalah, kita tidak mampu mengenali dan memahami secara benar
gerak sosiologis dan antropologis kondisi pedesaan kita. Kita jelas
tidak mampu mengenali karena terlalu banyak dan tamak bangsa dan
negara kita ingin mengatur desa. Terlalu banyak hal tentang
kehidupan masyarakat desa yang ingin kita atur, karena disisi lain kita
terlalu takut bahwa masyarakat desa kita menjadi berubah. Terlalu
banyak alasan ideal bersifat teoritis dan moral-ideologis yang ingin kita
bayangkan terjadi dengan desa. Sementara sebagai kumpulan manusia,
komunitas desa terus berjalan ke depan menerjang modernitas,
berelasi dengan wacana kehidupan lebih luas, mengadopsi teknologi,
dll.
Akhirnya sudah menjadi jelas bahwa yang namanya adat kita salah
mempersepsikannya. Akhirnya tentang adat itu mau kita atur-atur,
sebisa mungkin dimasukkan dalam model susunan logis peraturan
negara. Dan nampak jelas sekali bahwa ketika dinamika adat itu
didudukkan dalam tata-peraturan negara maka sangat sedikit yang bisa
kita atur. Sampai kapanpun kita tidak pernah bisa mengaur adat dalam
peraturan negara secara memuaskan. Sebab secara filosofis adat itu
adalah kehidupan. Dia dinamis bergerak menyejarah sesuai
perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Akhirnya tohjika sidang
pembaca menyimak dan meresapi pasal-pasal di dalam UU Desa 2014
yang disyahkan Desember 2013 lalu, sesungguhnya kita hanya
mengatur desa menjadi memiliki arah desa yang organisatoris-
modern. Tentang adat tidak disinggung banyak dalam perundangan itu,
dan sekedar disublimasi menjadi lembaga adat.
Dinegara seperti Jepang, tidak pernah adat diatur dalam lembaran
negara. Negera hanya menghormat adat sejauh dia masih dibutuhkan
oleh para komunitas-komunitas yang masih menjaga adatnya. Hal ini
tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa negara Jepang dan
masyarakatnya tidak menghormati adat yang berlaku dikomunitas-
komunitas masyarakat yang berbhineka-ragamnya juga. Yang
dilakukan oleh negara Jepang bersama para cendekiawan sosialnya
mencoba melakukan reservasi adat dan kebudayaannya dengan
merekonstruksi nilai-nilai adatnya dan menstransformasikannya dalam
bentuk-bentuk yang sesuai dengan kehidupan modern. Dan itu
nampaknya berhasil sejak Restorasi Meiji. Akibatnya sampai sekarang
wacana tentang adat harus dijaga melalui perundangan negara tidak
perlu dijadikan wacana cerewet yang dibahas kesana-kemari di Jepang.

Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 9 of 15


Mereplikasi Negara di Desa
Sistem birokrasi desa berbeda dengan sistem birokrasi negara, seperti
ditegaskan di dalam Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi
negara didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari sisi
rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tatakerja,
tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan
sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan
modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa
berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan
tradisonal.

Penjelasan-penjelasan di Naskah Akademik UU Desa 2014 tersebut
membuktikan ada perbedaan yang bermula dari sejarah, bahwa desa
memang berbeda dari negara. Sistem teknokrasi pengelolaan negara
tidak bisa diterapkan dalam sistem sosial birokrasi desa. Jika ditelaah
UU Desa 2014 dalam sistem tatapemerintahan desa terlihat dengan
jelas bahwa desa mau dibentuk menyerupai sistem teknokrasi negara.
Berikut ini pernyataan-pernyataan di dalam UU Desa 2014 yang
mengarah ke teknokrasi tatanegara tersebut:


Isu 1: Perangkat desa digaji oleh negara
Pasal 34 ayat (1): Sekretaris desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) diisi dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi persyaratan
Pasal 37 ayat (1): Kepala desa dan perangkat desa diberikan
penghasilan tretap setiap bulannya dan atau tunjangan.
Penggajian terhadap kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat
desa (yang dahulu disebut pamong desa) adalah sesuatu yang
baik untuk memberikan kepastian penghasilan atas kerja
mereka. Tetapi harus disadari bahwa penggajian itu
merupakan tindakan yang kontra-produktif dengan prinsip
otonomi desa masa lalu yang tidak mengenal penggajian karena
kerja mereka dianggap pengabdian.
Yang ingin dikatakan disini bahwa penggajian terhadap
perangkat desa tersebut tidak memiliki alasan filosofis-sosiologis
desa sebagai entitas otonom. Sepetinya penggajian ini hanya
didasarkan pada alasan hak sebagai orang yang sudah bekerja,
orang yang sudah mendapatkan SK (Surat Keputusan)
pengangkatan sebagai kepala desa, sekretaris desa, dan atau
perangkat desa. Dia tidak ubahnya seperti pegawai-pegawai
lain disebuah instansi pemerintah dan swasta.
Sekali lagi ingin ditegaskan disini bahwa UU Desa 2014 yang
baru telah, katakanlah, mengijinkan bahwa mereka diberi
imbalan oleh negara. Implikasi sosiologis-strukturalnya adalah
sangat mungkin para perangkat desa itu tetap dan memiliki
kecenderungan besar mengabdi kepada negara, bukan kepada
rakyat meski di pasa-pasal lain diatur peran dan tugas mereka
sebagai pamong rakyat.

Isu 2: Atribut dan Rekrutment Perangkat Seperti
Negara
Paragraf 8, Pasal 38: Kepala desa dan perangkat desa dalam
melaksanakan tugasnya menggunakan atribut dan pakaian
dinas.
BAB VI Pemilihan Kepala Desa, Pasal 41 sampai Pasal
47menjelaskan bahwa prosedur rekrutmen kepala desa
mirip dengan pemilihan gunernur dan bupati.
Menarik untuk disimak bahwa UU Desa 2014 menganjurkan,
atau mungkin setengah mewajibkan yang akan diatur oleh regulasi
daerah masing-masing, bahwa perangkat desa harus memakai
atribut dan pakaian dinas sebagai perangkat desa. Maka sudah
relatif 50% bahwa jiwa mereka tidak terpisahkan dari neragara:
digaji oleh negara, dan memakai atribut dan pakaian dinas.
Dengan demikian tegas pula dikatakan bahwa dalam hal atribut
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 10 of 15

ini UU Desa 2014 yang baru sama saja dengan UU Desa 2014
sebelumnya.
Mengenai arena pemilihan kepala desa bisa dipastikan akan mirip-
mirip saja dengan pemilihan kepala desa sebelumnya yang diatur
dalam perundangan desa yang lama, yang telah membuktikan
sebagai arena tempur partai-partai politik, arena tempur
kelompok-kelompok tertentu, yang ujung-ujungnya rakyat
sesungguhnya sumir memaknai apa arti leadership di desa. Model
lama yang diberi baju baru dalam rekrutmen kepala dan
perangkat desa ini, membuka peluang pemborosan atas nama
pendidikan politik-demokratisasi di desa. Faksi-faksi dan kelompok
yang terpecah belah masih akan terjadi. Demo-demo kontra-
produktif atas nama pemilihan yang demokratis tentu diyakini
tetap berlangsung. Kepala desa tumbuh dengan modal awal
mengutang yang sangat besar, yang harus dibayar sepanjang dia
menjadi penguasa desa meski harus dikemas dalam model
kekuasaan terbagi (Trias Politika Desa-Pemerintah Desa, BPD,
Masyarakat).
Dengan kasus-kasus empiris semacam ini, sesungguhnya tidak ada
hal baru melalui UU Desa 2014 baru ini, karena akan terulang
kembali. Artinya kita sedang memperumit diri dengan formula-
verbal peraturan/perundangan, yang disisi lain kita tidak sadar
bahwa permasalahan utama adalah lemahnya pendidikan
demokratisasi dan tatakelola pemerintahan desa. Selalu saja kita
mudah melayangkan pendapat jikalau desa mau otonomi,
demokratis, transparan, partisipatif maka perundangannya harus
dirubah!

Isu 3: Tidak Ada Kekuasaan Tunggal-Tiga Pilar
Kekuasaan
BAB VII Badan Permusyawaratan Desa, Pasal 48 sampai Pasal
54 yang mengatur peran dan fungsi BPD.
BAB VII Musyawarah Desa, Pasal 55, ayat (1) sampai ayat (5)
tentang musyawarah desa.
Bagian Kedua Lembaga Adat, Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2):
pemerintah daerah dapat menetapkan berbagai
kebiajakansebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat.
Tidak ada kekuasaan tunggal di desa. Pemerintahan desa akan
dibagi dalam 3 pembagian kekuasaan yaitu Pemerintah Desa,
Badan Permusyawaratan Desa, dan Masyarakat. Model ini mirip
dengan sistem negara: Pemerintah/Eksekutif, DPR/Legislatif, dan
Rakyat. Tentu semua dengan tingkat peran dan kerumitan yang
berbeda tetapi prinsipnya sama saja. Dengan kata lain
sesungguhnya sedang diproses Model Desa-Negara. Agak aneh,
dan merupakan cara berpkir yang tidak konsisten, jika ada orang
yang menyangkal bahwa kita sedang memperoses model desa-
negara melalui UU Desa 2014 yang baru ini ataupun UU Desa
2014 sebelumnya.
Di Bali sampai dengan NTT dikenal dua entitas desa, yaitu Desa
Adat dan Desa Dinas. Desa adat adalah desa yang digerakkan
dengan entitas filofis ahak asal-usul yang telah lama ada,
sementara desa dinas menggambarkan desan sebagai entitas baru
bentukan Orde Baru lengkap dengan perangkat kepala desa.
Banyak kasus pembangunan menggambarkan bahwa partisipasi
masyarakat tidak bergerak jika tidak melalui restu dan perintah
kepala-kepala adat.
UU Desa 2014 yang baru nampaknya ambigu mensikapi dua
problematika antropologis-sosiologis terhadap dua bentuk desa
tersebut. Ingin ditegaskan disini bahwa di UU Desa 2014 baru, di
dalam pasal-pasal yang mengaturnya, tidak sekalipun
mencantumkan kata Desa Adat, yang ada adalah Lembaga
Adat. Dengan pernyataan semacam ini maka sesungguhnya
perdebatan eksistensi desa adat dan desa harus sudah selesai.
Maka konsekuensinya adalah (1) Jika ada desa adat yang mempu
dan memiliki instrumen mirip dengan desa (desa modern seperti
dihenbuskan melalui UU Desa 2014 baru), maka desa adat
tersebut bisa dipakai sebagai desa; dan (2) Jika desa adat yang
ada tidak memenuhi pelaksanaan sebagai instrumen desa modern,
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 11 of 15

maka desa adat yang ada diakui saja sebagai lembaga adat yang
dikuatkan dengan peraturan darah untuk dihormati adat istiadat
yang ada yang secara entitas tidak boleh bersandingan dengan
desa sebagaimana dimaksud dalam UU Desa 2014 baru.

Jangan Jauhkan Desa Dari Negara
Membuat desa lebih otonom dalm mengurus dan mengelola
pembangunan dan sendi kehidupan sosial termasuk menghormatan-
penghormatan terhadap adat yang ada, adalah merupakan kebijakan
yang baik. Tetapi segala upaya untuk memasukkan ideologi untuk
membebas-jauhkan desa dari kehidupan tatakelola negara (NKRI),
merupakan kegiatan kelblinger baik dalam ranah praktis maupun
ranah teoritis.
Yang salah sejak jaman Orde Baru dalam praktik-praktik tata kelola
negara dalam relasinya dengan desa adalah cara-cara kita mengisi
substansi pembangunan yang berkaitan dengan desa, baik dari sudut
siapa sesungguhnya yang bertanggungjawab membina pembangunan
desa, siapa sesunggunya yang bertanggungjawab membina
pengembangan kapasitas pemerintah desa, lemahnya pengawasan
terhadap dana-dana yang sesungguhnya diperuntukkan bagi desa,
korupsi yang meraja lela, dsb.
Sementara pemerintah yang sebelum-sebelumnya bebal untuk
belajar memperbaiki diri dalam relasi mengisi substansi pembangunan
bagi desa, wacana-wacana idealitik oposisi terlanjur berkembang
begitu rupa seakan-akan telah tersusun perundangan baru yang lebih
ces-pleng untuk membangun desa. Dan sayangnya, terus saja begitu
terjadi berulang-ulang. Lalu berkembanglah wacana ekstrim-kritis
yang menganjurkan desa dibuat semi-absolut-otonom yang
dijauhkan dari urusan tata birokratis negara. Desa hendak dibuat
semacam teritorial-steril dari tatakelola negara yang sudah dianggap
bobrok. Desa ingin dianggap self-governing community, mengurus
dirinya sendiri, otonom, berhadapan dengan negara, menjadi seperti
negara di dalam negara.
Alasan idelogi-teoritisnya yaitu: (1) desa lebih dahulu ada dibanding
negara (Republik Indonesia); (2) desa sejak dahulu kala telah mempu
memerankan self-governing community; (3) Desa lebih dulu
mempunyai teritorial, dan negara hanya mengklaim saja atas nama
sistem ketatanegaraan; (4) Desa terbungkus kehidupan adat, dan
bagaikan agama dia adalah hak pribadi (private) masyarakat desa yang
harus dihormati. Wajah desa bagaikan mulut besar yang menganga
semi-otonom diseluruh wilayah Indonesia, yang saya rasa tak ada
perundangan manapun yang mampu dibuat untuk cukup kuat
menghadapi globalisasi.
Di dalam negara yang belum dewasa benar mengatur tatakelola
pemerintahan antara daerah, di dalam negara yang rapur sentimen
pembangunan antar daerah, didalam negara yang mudah sekali dipicu
konflik lantara konsolidasi sosiologisnya belum matang benar, di dalam
negara yang mungkin masih imajiner tentang kebhinekaan-
persatuan-dan kebangsaannya ini, maka mulut besar desa semi-
otonom itu akan mudah minta suap gurita multinasional globalisasi.
Maka yang ingin ditegaskan disini adalah, jangan mengadu kepada
mamakmu dan menyesal, mengapa ideologi desa semi otonom itu
terlanjur digulirkan dan kini cepat atau lembat menjadi makanan
empuk kapitalisme-global. Sayapun yakin tidak akan mampu negara
mengaturnya lagi, memproteksi desa-desa kita agar tanggung
menghadapi globalisasi. Negara, yang didalamnya berisi birokrat-
birokrat yang sebagian besar masih tamak ini, mungkin justru
berkong-kalikong dengan korporasi-global untuk mengunyah-unyah
desa. UU Desa 2014 yang baru memang mengatur dan menganjurkan
agar NKRI menaungi desa-desa tersebut. Apa itu artinya! Bayangkan
bagaimana negara mampu mengatur ratusan ribu desa di Indonesia
yang di pantatnya sudah terlalu tergesa-geda dipasang bom waktu
melaju semi-otonom. Para cendekiawan pongah yang pernah
disebutkan seblumnya tadi sangat fasih membahas dan menganjurkan
konsolidasi partai demi menata demokratisasi, tetapi nampaknya
agak kedodoran untu merumuskan maknanya konsolidasi desa-
desa. Sudah lebih dari setengah abad kita sisip-pikir membangun
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 12 of 15

tata kelola negara, dan kini bagai gelombang Tusunami datang dengan
ratusan ribu desa yang siap menganga semi-otonom. Saya tidak habis
pikir, model negara mana yang sedang ditiru-kembangkan oleh para
sarjana-sarjana pongah itu. Ataukan mereka sedang membuat
laboratorium oplosan percobaan ngotak-atik tatakelola negara
sampai desa yang hanya berlandaskan atas rasa kecewa, dengan
campuran macam-macam formula ideologi.
Jangan-jangan hanyalah Desa Oplosan nanti yang terbentuk. Lagu
instans asal rame dan hingar bingar, yang tidak tahu lagi akar
kesejarahannya dimana.

Membagi Kue Yang Disebut APBN
Alokasi Dana Desa (ADD) besarannya sekitar 100 juta sampai 250
juta yang diberikan kepada desa untuk kegiatan pembangunan.
Besarnya memang bervariasi antar desa yang satu dengan desa yang
lain tergantung kekuatan anggaran daerah. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa ADD itu peruntukannya amburadul, tidak
terarah, dan bahkan tidak banyak kepala desa yang menilep lenyap
uang itu. Dibalik masalah ADD itu sebenarnya ada masalah yang lebih
banyak baik secara praktis, sampai masalah idealisme pembangunan,
serta masalah kekeliuran berasumsi tentang desa.
Pertama, kapasitas pemerintah desa masih rendah untuk diberi
tanggungjawab mengelola ADD menjadi instrumen support
pembangunan desa. Apa makna uang bagi kaum miskin, apa arti
pembangunan di desa, apa arti partisipasi, apa arti keberpihakan
terhadap kaum miskin, ketampilan mengelola uang, dan macam-
macam lain tidak ada di dalam diri para perangkat desa. Lalu mengapa
dikeluarkan perundangan mengenai ADD?! Para cendekiawan pongah
menelorkan gagasan: dari pada uang itu dikorupsi di tingkat
pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten lebih baik diberikan ke
desa supaya aparat desa belajar mengelola uang dan pembangunan.
Itu alur pikir utamanya. Tentu saja sebelum diputuskan perundangan
ADD itu didahului dengan seminar, lokakarya, ajang perdebatan
teoritis di hotel-hotel dan dengan dakik-dakik argumentasi teoritis
hak-hak kaum miskin. Dibayangkan bahwa kapasitas pemerintah desa
dan masyarakat desa itu perkara gampang, yang penting uang sudah
ada di desa. Ternyata uang itu yang semakin membodohkan desa dan
justru menumbuhkan problematikan yang meluas.
Kedua, Indonesia memiliki puluhan ribu desa. Luas teriorial desa jauh
berbeda-beda. Jumlah penduduk berbeda-beda antara desa satu
dengan desa lain. Perkembangan kebutuhan masyarakat desanya
secara sosiologis sangat beragam. Sementara itu di dalam tata kelola
birokrasinya semua sibuk dengan negosiasi anggaran, dan hanya bisa
dihitung dengan jari para birokrat yang peduli dengan desa. Ada GAP
yang menganga luas antara desa sebagai institusi di tingkar grassroots
dengan pemerintah level kabupaten, apalagi provinsi dan negara. Maka
jika sebuah perundang disusun secara tergesa-gesa, apalagi
ketergesaan itu dilandasi dengan sikap emosional karena sakit hati
atau terlalu jengkel melihat keburukan sistem tatakelola birokrasi
pemerintahan, maka niatan bagus apapun untuk membuat
perundangan itu hasilnya tetap akan tidak maksimal. Yang dimaksud
tidak maksimal adalah bahwa ranah pemikiran yang tertuang
didalam perundangan tidak akan mampu menangkap semua sudut
dinamika yang akan berkembang di persoalan sosiak yang sedang atau
akan diatur.
Ketiga, yang sifatnya ideologis berbangsa dan bernegara, di seantero
Indonesia masih keddodoran untuk tidak mengatakan sangat lemah.
Memang secara historis bangsa kita pernah disatukan melalui
pernahklukkan oleh Gajah Mada-Majapahit dan kemudian dia
mengangkat sumpah Palapa. Tetapi yang disebut persatuan ataupun
kesatuan waktu ajaman Majapahit itu sepertinya imajiner sifanta.
Bersatu karena dalam tekanan kekuatan kemiliteran Majapahit.
Sampai dengan penjajah Belanda masuk, kesatuan yang pernah disebut
pada sumpah Palapa itu tidak membuktikan wujud yang serius:
persatuan itu secara histiris tidak pernah mengada. Masuknya
Belanda mengkocar-kacirkan lagi sumir makna persatuan bangsa
Nusantara itu. Hanya sampai ketika Soekarno-Hatta membacakan
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 13 of 15

Proklamasi atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945,
benarkah kita sesungguhnya telah bersatu secara ideologis dan
praktik-praktik sebagai bangsa yang satu? Persatuan ini kiranya amat
sumir, amat lemah. Hanya dalam ranah persepsi, ranah komsepsi,
ranah keinginan-imajinatif, sesungguhnya persatuan itu bekerja. Secara
praktik tatapemerintahan Pusat daerah, kerja sama antar daerah,
dalam ranah sistem organisasi pembangunan sebagai bangsa yang satu
maka pengalaman kita masih sangat sedikit. Itu sebabnya bangsa ini
rentan dan teramat sangat mudah digoyang konflik, apapaun jenis
konfliknya.
Isu-isu yang muncul seputar dana yang akan dikucurkan untuk desa
akibat dari disyahkannya UU Desa 2014 pada Desember 2013 lalu,
jumlahnya fantastis karena akan diambil prosentase tertentu dari
APBN dan dari prosentase itu akan dibagikan kepada desa. Kira-kira
satu desa bisa memperoleh alokasi 1 Milyar rupiah lebih. Bisakah kita
menjamin bahwa kasus-kasus seperti yang terjadi didalam ADD tidak
terulang kembali? Tidakkah itu berarti kita sedang memanjakan desa
dengan uang? Jika pikiran para ahli, sarja, dan cendekiawan pongah itu
memakai alasan tidak apa-apalah dari pada uang itu dikorupsi oleh
birokrat?...lantas kapan lagi kita akan memberikan hak masyarakat atas
pembangunan, maka sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan
para sarjana yang hanya sakit hati, lebih buruk lagi kita sedang
menghadapi sarjana-sarjana pongah yang tidak paham phylosopy of
social change.
Ooo.gampang diatasi. Akan diberikan pengembangan kapasitas
kepada perangkat desa untuk mengelola dana itu. Orang yang
membangun program atau kebiajakan dengan sakit hati, digerakkan
oleh nafsu tertentu yang berorientasi agar idealismenya tercapai. Dan
nafsu itu mengakibatkan kelemahan-kelemahan realistik yang ada di
dalam masyarakat harus dianggap hal sepele, dan tidak perlu
ditanggapi. Sepintar apapaun, atau bahkan para sarjana itu alumnus
dari universitas-universitas ternama di luar negeri, nafsu-ideologis
akan tetap menjadi kelemahan dasar inherent pada diri individu
manusia (sang sarjana). Tentu saja kekuatan pemikran para sarjana
pongah ini kian hari kian banyak lantaran jumlah mereka semakin
bertambah. Salah satu kelemahan lagi di dalam karakteristik
masyarakat kita adalah, kebenaran itu adalah dibentuk oleh
kekuatan terbesar, penganut pemikiran terbanyak, bahkan tentu
pemberi uang terbanyak. Bahwa kebenaran yang sesungguhnya
terkadang hanya ada pada segelintir orang, sudah tidak dipercaya lagi.
Sistematika ontologis para sarjana yang pongah itu tak mampu lagi
membayangkan sedalam apa kerusakan yang akan terjadi di desa
dengan memagang uang satu Milyar rupiah dan seberapa cepat
pengembangan kapasitas mampu menutupi luka-luka kerusakan itu.
Mari kita pikirkan dalam linier waktu, jika UU Desa 2014 yang
disahkan Desember 2013 itu efektif dilaksanakan pada katakanlah
tahun 2016, maka uang 1 Milyar untuk setiap desa itu kemungkinan
besar akan terkucurkan di 2017. Lalu seberapa cepat kita mampu
memberikan pengembangan kapasitas kepada puluhan ribu desa di
Indonesia? Pengembangan kapasitas pada tahap 1 pasti belum bisa
efektif mampu diterapkan, dan itupun satu pemerintahan desa
mungkin hanya terwakili satu atau dua orang saja. Disisi lain seberapa
banyak pelatih dan institusi pelatihan tersedia untuk melatih ratusan
ribu perangkat desa agar desa relatif secara dasar sacara mampu
mengelola uang satu Milyar?

Jika dibayangkan saja baru dalam kurun 4 atau 5 tahun sejumlah
perangkat desa di seluruh pulahan ribu desa di Indonesia baru secara
relatif efektif mampu mengelola dana desa satu Milyar tersebut,
pertanyaannya kita tidak pernah bisa membayangkan seberapa besar
kerusakan, kekacauan, konflik kepentingan, dan berbagai persoalan
lain yang tumbuh di desa akibat adanya uang satu Milyar tersebut.
Berbagai permasalahan tersebut bisa saja justru menjadi amat kontra-
produktif dari bayangan semula tentang otonomi dan dan
kesejahteraan. Siapa yang akan bertanggungjawab memperbaiki
persoalan-persoalan sebagai sisa-sisa di piring akibat diluncurkannya
UU Desa 2014 Desember 2013 itu? Mari kita lihat sejauh manakah
dan siapakah yang berwenang membina desa dalam jajaran
Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 14 of 15

tatakelola institusi negara kita selama ini? Jakawannya adalah tidak
jelas!


P e n u t u p

Saya ingin menutup paper kecil ini dengan nuansa yang lebih optimis
dibanding paparan-paparan saya di atas yang cenderung skeptis. Tentu
saja dengan maksud bahwa saya juga ingin melihat masyarakat desa
menjadi lebih otonom, mandiri, memiliki partisipasi murni dalam
menjalankan pembangunan lokal maupun regional, serta jangan sampai
masyarakat desa hanya menjadi ajang para petualang idealisme yang
tidak mempertimbangkan hancurnya bangunan-bangunan sosial
masyarkat desa.

Pertama, saya berharap para sidang pembaca meyakini bahwa
masyarakat adalah bangunan sosial yang menyejarah. Mereka adalah
kelompok sosial yang hanya bisa belajar baik dari proses sejarah yang
tepat dan kontinum. Mereka membutuhkan internalisasi yang cukup
dan matang agar menjadi potensi perubahan sosial mendasar.
Berdasarkan itu maka saya ingin, UU Desa 2014 yang baru saja
diintrodusir ini tidak berubah dalam 10 tahun mendatang oleh para
petualang idealisme baru. Segala kebijakan yang ditujukan kepada
desa, yang selalu berubah dalam setiap 10 tahun, tidak akan
memberikan perubahan apa-apa di desa, selain juga kebijakan-
kebijakan seperti itu hanya menghabiskan uang negara.

Kedua, titik paling kritis tentang UU Desa 2014 tersebut bukan
terletak pada substansi materi undang-undangnya, tetapi justru pada
gejala-gejala negatif yang tidak mampu kita duga dengan diberikannya
dana sebesar 1 Milyar kepada desa, sebagai implikasi dari pasal-pasal
di dalam undang-undang tersebut. Persiapan antisipatif sosial seperti
apa yang bisa kita siapkan untuk salah satu desa di kabupaten baru
pemekaran dan kecamatan baru pemekaran di ujung Halmahera Utara
nun jauh di sana, ketika nanti mereka menerima dana sebesar 1 Milyar.
Yang saya maksudkan adalah ekses-ekses negatif dengan adanya dana
1 Milyar tersebut terjadi jauh lebih cepat dibanding kemampuan UU
Desa 2014 mengorganisir dan menginternalisasi pengetahuan dan
pranata-pranata baru di dalam masyarakat. Kita dengan mudah
mengatakan: ooo tentu saja pelatihan-pelatihan tentang tatakelola
desa yg demokratis, penataan keuangan desa, transparansi dan
akuntabilitas akan dilatihkan. Uang akan menumbuhkan
inkonsistensi dan inkoherensi pranata dan relasi sosial desa yang
kontraproduktif dengan ide-ide kebaikan dalam UU Desa 2014.
Logika ontologisnya adalah akibat masuknya UU Desa 2014 justru
menguatkan kesadaran realitas masyarakat bahwa penguasa
semakin berkuasa dan yang tidak berkuasa tetap dalam kondisi
lemah. Uang menjadi tidak punya makna.

Ketiga, perubahan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat desa
terkait dengan diberlakukannya UU Desa 2014 harus menjadi agenda
utama kegiatan. Pengucuran besaran dana harus dilakukan secara
bertahap (mulai dari sedikit menuju lebih banyak) sesuai dengan
perkembangan kapasitas dan ukuran justification cost yang terjadi di
dalam masyarakat desa bersangkutan. Samarata tentang dana desa
merupakan pendekatan dan pemikiran paling bodoh dalam konteks
merancang sebuah perubahan sosial dan kebudayaan di desa. Jika
prinsip sama rata yang dikedepankan, diiringi kemampuan peningkatan
kapasitas yang lamban, maka sesungguhnya tidak lain sedang
dilaksanakan Proyek UU Desa 2014. Semuanya tidak akan
menghasilkan apa-apa selain keterpurukan desa menjadi lebih tidak
berdaya dan tidak mandiri. []








Sebuah Telaah Mensikapi Diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013
Page 15 of 15


Refferensi Bacaan:

Evolutionary Theories of Cultural Change: An Empirical Perspective,
Richard R. Nelson. Columbia University, Version: January18, 2005
Gandhis Theory of Society and Our Times, By: A. K. Saran Source: Studies in
Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. World Wisdom, Inc.
www.studiesincomparativereligion.com
Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach, Franois Facchini,
Mickal Melki -Centre d'Economie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011.
Linking Social Change and Developmental Change: Shifting Pathways of Human
Development, Patricia M. Greenfield. University of California, Los Angeles.
Theories of Social Change, Diana Leat, January 2005: International Network on
Strategic Planning (INSP): Bertelsmann Foundation, Germany.
The Evolutionary Theories of Marx and Engels, Stephen K. Sandorson, March
1998. Working Paper Series no. 38, Institute of Social Studies. Indiana University
of Pennsylvania.
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Tentang Penulis:
Penulis adalah alumnus Antropologi UGM. Pendiri dan Board of
Advisory di Lembaga Nawakamal (Yogyakarta), sebuah LSM yang
bergerak di penguatan livelihood perdesaan, sejak 1993. Sering
terlibat dalam berbagai penelitian sosial dan budaya di berbagai
wilayah di Indonesia. Pernah bekerja di Program Pemberdayaan
Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta: 2004-2006); Capacity
Building-Aceh Local Government Program (GTZ, 2007-2010),
Tenaga Ahli Monev di National Management Consultant (NMC)-
P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa Program di Sekretariat Project
Implementing Unit (PIU) KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal),
2012-2014. Kontak: emilianuselip@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai