Anda di halaman 1dari 6

Oleh : Nasrullah Idris Mon, 10 May 1999 17:05:11 -0700 Rekan-Rekan Yth : -----------------------Dengan ini saya lampirkan sebuah

hasil pengkajian saya : "Hemat Waktusampai 50 Persen untuk Jadi Insinyur" di bawah ini. Mohon dengan sangat, agar makalah ini diforwardkan kepada lembaga/PT/badan yang berkepentingan. Tujuan saya membuat ini antara lain untuk menghadapi era globalisasi dimana kompetisi teknologi tidak hanya mengandalkan "kualitas teknologi" dan "re teknologi", juga "speed teknologi" dan "disain teknologi". Hanya perlu diketahui bahwa makalah di bawah ini sifatnya "inspirasional", bukan "operasional". Atas bantuan rekan-rekan, saya mengucapkan banyak terima kasih. Salam, Nasrullah Idris -----------------Bidang Studi : Reformasi Sains/Matematika/Teknologi HEMAT WAKTU SAMPAI 50 PERSEN UNTUK JADI INSINYUR ---------------------------------------------------------------------------Oleh : Nasrullah Idris PEMBUKAAN -------------------ALASAN saya menulis ini berhubung sebentar lagi kita akan memasuki era perdagangan bebas dalam skop global. Bangsa Indonesia dari berbagai segmen profesi dan kedisiplinan ilmu mau tidak mau akan dihadapkan pada persaingan ketat sesuai bidangnya masing-masing. Secara logika, untuk mengantisipasinya diperlukan antara lain teknolog yang juga mempunyai daya saing, syukur-syukur berada di atas rata-rata sesamanya. Ini bila kita nanti masih ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Rasanya siapa pun akan merasa sedih, perih, malah sakit bila orang asing sampai berperan lebih besar. Nah ... mumpung belum terlanjur begitu jauh, siapkanlah segala bentuk antisipasinya sejak dini. Adanya goncangan krismon yang tidak terduga hendaknya membuat kita semakin menyadari akan pentingnya persiapan tersebut, yakni teknolog yang bisa berkompetisi dalam skop internasional. Sekaligus dijadikan pelajaran untuk mewaspadai berbagai kemungkinan yang bakal terjadi pada era perdagangan tersebut, terutama yang sampai kini belum terpantau. Tentu saja untuk membentuk semacam itu berarti mengajak putra-putra bangsa ini untuk berkompetisi dengan semua bangsa lain dalam hal mencari/mendalami ilmu : kualitas, efisiensi, efektivitas, maupun

kuantitasnya. Berikut ini akan disampaikan sejumlah macam solusinya. Namun akan saya batasi dengan teknologi. Untuk bidang lainnya saya persilahkan kepada siapa pun yang berminat untuk mengupasnya. CARA I ---------Taroklah standar waktu minimal untuk menjadi insinyur di Indonesia sekitar 4,5 tahun, walaupun dalam prakteknya sebagian besar baru menyelesaikannya lebih dari itu. Sebagaimana teknologi yang selalu mengalami dinamika proses nilai tambah efisiensi/efektivitas, apa salahnya itu berlaku pula dalam Peruruan Tinggi, khususnya bidang tehnologi. Misalkan, bagaimana hanya dalam 2,25 tahun saja, wawasan mahasiswa sudah ekuivalen dengan wawasan seorang insinyur yang diidealkan berdasarkan kurikulum Peruruan Tinggi di Indonesia. Berarti ia telah menghemat waktu sampai 50 persen dalam proses belajar. Taroklah sisa waktunya dipakai belajar dengan pola yang sama, maka saat wisuda pada 4,5 tahun kemudian, kualitas insinyurnya menjadi dua kali lipat. Apakah bisa? Saya berani mengatakan : "Bisa!" Esensi pemikiran saya adalah mengajak/memotivasi mahasiswa mempunyai obsesi untuk berwawasan teknologi dengan substansi lebih dari yang diidealkan tersebut. Namun mohon tidak terperangkap dengan istilah 50 persen. Itu hanya patokan saya saja. Tetapi ya syukur-syukur bisa terwujud. Malah lebih dari itu. Mau berapa persen pun silakan saja. Toh setiap mahasiswa mempunyai kemampuan berlainan dalam menyerap ilmu dalam kurun waktu yang sama. Ilustrasinya begini : Anggaplah masa kuliah dengan "disket 1,4 MB". Sedangkan satuan ilmunya dengan file "animasi". Bila diisi dengan format *.BMP @ 35 KB, total yang bisa masuk hanya 40 file. Tetapi kalau dikonversikan ke format *.JPG @ 17,5 KB menjadi 80 file. Berarti penghematan 50 persen, bukan? Kita ambil contoh ilustrasi lainnya dari anak-anak. Taroklah kita menemukan suatu jenis batu di Amerika Serikat, yang di Indonesia hampir tidak ditemukan. Ketika pulang ke tanah air, tanyakanlah kepada bocah kelas I SD, "Kalau batu ini dilemparkan ke kepalamu, bagaimana rasanya?". "Ya...sakit, dong!", begitulah jawabannya. Bisa kita perkirakan dengan mudah. Nah ... apa yang menjadi patokannya, sehingga si anak bisa menyimpulkan demikian? Padahal melihat batu itu pun belum pernah. Jawabannya tentu saja berdasarkan sifat batu yang mungkin pernah ditemuinya di mana ketika menimpa kepala, yang bersangkutan merasa sakit. Terlebih kalau itu dialaminya sendiri. Apakah untuk menjawabnya, ia harus menanyakan dulu kepada guru atau orangtuanya? Jelas tidak perlu. Malah ia pun akan bisa menjawab pertanyaan, "Bagaimana sifat batu ini?", dengan jawaban, "Keras!", walaupun tidak dirabanya.

Taroklah kita membawa 100 macam batu langka, ia pun tetap bisa menjawab untuk pertanyaan yang sama. Berarti kan ia mempunyai tambahan 100 macam ilmu dalam tempo singkat hanya dengan pengalaman dari beberapa sifat batu yang sering ditemuinya. Jadi esensinya tersebut, bagaimana cerita si anak bisa ditransformasikan/ diimplementasikan dalam Perguruan Tinggi? Khususnya dalam upaya penghematan waktu secara maksimal untuk menjadi insinyur. Amatilah sepuluh atom pertama dalam sistim periodik di bawah ini : Hidrogen (H), Helium (H), Lithium (Li), Berilium (Be), Boron (B), Carbon (C), Nitorgen (N), Oksigen (O), Flour (F), dan Neon (Ne). Nah ... bagaimana dengan hanya mempelajari ini saja, mahasiswa memahami sifat seluruh jenis atom tentang fenomena fisika tertentu. Sehingga kalau ditanyai hal serupa untuk atom berikutnya : Natrium (Na), Magnesium (Mg), sampai Hahnium (Ha), ia bisa menjelaskan dengan mengacu pada sepuluh jenis atom pertama. Taroklah waktu mempelajari setiap atom adalah 2 jam. Berarti semuanya menghabiskan 20 jam. Tetapi karena dipahami secara tuntas/dalam, maka untuk mempelajari sifat seratus jenis atom lebih itu tentang fenomena tersebut, cukup dengan seratus jam saja. Berarti bisa menghemat waktu sampai 50 persen. Tentu saja harus dijawab dulu pertanyaan : Bagaimana koefisien sifat pada 10 atom pertama terhadap fenomena tersebut dari aspek hitungannya? Apakah berirama bak deret bilangan beraturan (1, 4, 7, 11, 15, 19, dst) atau berantakan bak deret bilangan prima (2, 3, 5. 7, 11, dst) Sedangkan untuk Kimia, ilustrasinya busa kita ambil contoh : Metana (CH4), Etana (C2H6), dan Propana (C3H8). Nah ... bagaimana dengan modal mempelajari tiga macam ini saja, seperti elastisitasnya, sehingga untuk memahami/memperdiksi hidrokarbon tingkat yang keempat dan seterusnya, mahasiswa tidak perlu lagi terlalu memeras otak, yang gilirannya bisa menghemat waktu. CARA II ----------Meningkatkan kualitas insinyur pun bisa juga dilakukan dengan memahami sebagian kecil kurikulum secara tuntas. Misalkan Polan memperoleh paket pelajaran "A1, A2, A3, A4" sampai "Z1, Z2, Z3, Z4". Berarti 26 ilmu. Khusus untuk paket "M1, M2, M3, M4" dipelajari secara mendalam. Selebihnya sepintas saja. Karena ia memahami "M1, M2, M3, M4" secara tuntas, ia pun berhasil melakukan hubungan relationis secara interen pada "M1, M2, M3, dan M4" sehingga menghasilkan "4 faktorial ilmu", yaitu 1 x 2 x 3 x 4 ilmu = 24 ilmu, seperti "M1, M3, M2, M4" dan "M4, M2, M3, M1". Karena semakin didalami, muncul pula inisiatif mengkombinasikan antara sejumlah ilmu, seperti "M1, M3, M2, M4" "M1, M2, M3, M4", dan "M4, M2, M3, M1"

Bisa dibayangkan berapa banyaknya produktivitas ilmu u dari hasil rekayasa otaknya. Berarti semakin besarlah peluang untuk menyeleksi, mana saja ilmu yang sesuai dengan selera manusia, serta bisa bersaing dengan mereka yang cara belajarnya menggunakan cara yang sama. Rasanya akan semakin dahsyat lagi produktivitasnya bila ia terkonsentrasi total pada "M1, M2, M3, M4". Coba bayangkan. Bagaimana pula jika ia tidak mendalaminya sedikit pun. Tentu 26 ilmu itu tidak lebih dari sekedar mekanisme simbol tanpa makna. Mari kita kembali pada masalah "M1, M2, M3, M4". Bagaimana ilmu itu merupakan ilustrasi dari "elektron"? Berarti mahasiswa itu mendalami elektron dalam rangka memahami sifatnya pada berbagai situasi dan kondisi. Sekaligus akan membuat pemikirannya seputar elektron semakin fleksibel. Sehingga mudahlah baginya mengatasi hambatan/membuat terobosan bidang tehnis pada produk elektronika. Sosok seperti itu tidak hanya bisa menjawab seputar pertanyaan seperti :"Bagaimana sifat material a, b, c, atau ....dalam elektronika?", juga "Bagaimana dengan material yang mempunyai sifat x1, x2, x3, dst, serta diolah dengan cara y1,y2, y3, dst, dengan sarana z1, z2, z3, dst, pada situasi u1, u2, u3, dst, bisa menghasilkan produk elektronika yang ber v1, v2, v3, dst, dengan harga jual w1, w2, w3, atau...." Taroklah berakhir dengan jawaban, "Tidak bisa". Mereka pun akan bisa merangkang, "Mengapa ....?", dengan jawaban, "Karena ...." atau "Akibat .....", berdasarkan berbagai rumus perhitungan yang terkait. Akhirnya terciptalah pengertian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Dampak pemahaman teknologi secara tuntas terhadap ekonomi bisa kita ilustrasikan dengan "web siter", yaitu mereka yang ahli dalam pembuatan homepage. Coba kita renungkan, bagaimana kalau ia tidak memahami tag secara tuntas. Misalkan fungsi <table> tidak masuk dalam otaknya. Walaupun hanya satu macam tag saja ... tetapi bisa menjadi batu sandungan dalam pembuatan sebuah web page. Bagaimana pula kalau web page itu merupakan pesanan di mana pemesan ingin agar muncul gambar Kotak pada layar monitor? Wah peluang bisnis pun bisa menjadi gagal. Soalnya konsumen tidak mau menerimanya. Taroklah pesanan itu mempunyai nilai proyek sampai Rp. 1 Milyar. Sementara tidak ada satu web site di tanah air pun bisa melakukannya? Jangan heranlah bila diambil alih web siter asing. Nah ... marilah kita larikan pada insinyur di mana di kampusnya belajar tentang busi. Apa jadinya bila ia tidak memahami masalah busi motor secara tuntas. Artinya, ada satu faktor yang tidak masuk dalam otaknya, yaitu akurasi kelengkungan pada salah satu bagian dari permukaan onderdil tersebut. Bukankah ia akan mengalami kendala untuk memproduksinya, walaupun ilmu tentang busi sudah banyak dikuasainya. Walaupun bisa dipakai juga, tetapi dari segi kualitas akan kalah bersaing dengan busi yang tercipta dari rancangan insinyur yang berpikir tuntas.

Celakanya kalau semua insinyur kita seperti itu. Ya ... terpaksalah busi harus diimpor. Itu baru satu onderdil. Bagaimana pula kalau hal serupa terjadi pada onderdil untuk produk lainnya : komputer, kulkas, sampai traktor. Tentu ya ... harus impor juga kan. Karena terus impor akhirnya ya ... ikut mempengaruhi mata rupiah. Jadi kalau mau bersaing di bidang produk, teknolog dituntut harus bersaing pula dalam pemahaman proses kehadirannya. Termasuk bagaimana interaksi molekulnya terhadap lingkungan sekitarnya : tekanan, suhu, gerakan, udara, sampai sentuhan. Malah ketika sudah berbentuk pun, ia harus pun bisa bersaing dalam hal memahami berbagai sifatnya di kemudian hari, seperti struktur molekul, karakter tangan manusia, dan gravitasi bumi. Tiada lain agar bisa diperkirakan akan daya tahannya sehingga. Bukankah ini gilirannya sangat menentukan permintaan pasar? Miriplah dengan web siter saat membuat web page untuk homepage. Ia sudah bisa membayangkan tentang penulisan source HTML-nya setiap kali ada pesanan dengan faktor kesulitan dan nilai keindahan bagaimana pun.

CARA III ----------Meningkatkan kualitas insinyur pun bisa dengan merencanakan pola belajar sejak dini sehingga setelah menjadi alumnus bisa diterapkan ke berbagai bidang lapangan pekerjaan. Tentu saja bukan banting setir, tetapi karena memang ada relevansinya. Ilustrasinya bisa kita ambil dari materi Matematika kelas I SD. Misalkan "1 jeruk + 1 jeruk = 2 jeruk", "2 bebek + 3 bebek = 5 bebek", dan "3 bola + 1 bola = 4 bola". Sesungguhnya dengan memahami itu saja anak bisa bekerja di mana saja. Coba saja kita suruh bekerja di IPTN. Saya yakin, kalau sang dirut menyuruhnya menghitung 3 helikopter + 3 helokopter, ia akan bisa menjawabnya segera. Kemudian suruh jugalah bekerja di bank. Saya rasa ia pun akan bisa menjawab ketika disuruh menghitung 1 US dolar + 1 US dollar. Pokoknya di lembaga/instansi mana saja, ia akan bisa bekerja untuk hitungan seperti itu, termasuk di toko swalayan, pabrik kosmetika, kantor Pemda, sampai industri mobil. "Apakah diperbolehkan ?" atau "Berapa gajinya?" itu lain masalahnya. Tergantung kebutuhan. Yang jelas, hanya dengan bermodalkan hasil belajar itu saja, ia sudah bisa bekerja di mana saja. Memang ia bisa saja di sekolahnya tidak pernah disuguhi kata "helikopter" atau "dollar". Tetapi karena esensinya sudah tertanam dalam otaknya di mana ia pun merasakannya sebagai yang terhubungkan realitas kehidupan sehingga bisa ia terapkan di mana saja.

Demikian seterusnya. Sehingga bila pola belajarnya itu terus berlanjut sampai duduk di bangku Perguruan Tinggi bidang teknologi, maka besarlah peluangnya untuk bisa di banyak pekerjaan setelah menjadi alumnus. Alumnus Tehnik Kimia, misalnya, bisa saja berkiprah di bidang masakan. Walaupun selama di kampusnya tidak pernah melakukan eksperimen untuk itu, namun banyak prinsip dasarnya bisa diterapkan. Malah terkadang terbayang oleh saya, bagaimana bila alumnus Tehnik Kimia seperti itu membuka konsultan masakan di rumahnya. Ya ...miriplah dengan dokter. Misalkan : pagi mengajar di Perguruan Tinggi dan Siang bekerja di Perusahaan Negara. Barulah Sore harinya di rumah memecahkan segala problema masakan dari masyarakat : efisiensi, citarasa, sampai efektivitas. Bila sampai kini masih ada kesan dikotomis keduanya di kalangan masyarakat, itu bukan lagi urusan Tehnik Kimia, tetapi sudah merupakan "tradisi cara pandang". Taroklah "laboratorium kimia" boleh diartikan sebagai tempat mengolah sumber daya alam dengan jenis apa saja. Berarti frekwensi kegiatannya bukan terjadi di lembaga pendidikan, terutama Perguruan Tinggi, melainkan justru di dapur. Malah mayoritas pelakunya pun adalah ibu rumah tangga. Jadi kehadiran sosok alumnus Tehnik Kimia seperti itu sangat penting dalam upaya memberikan nilai tambah terhadap masakan. Khususnya bagi para ibu rumah selaku tiang negara dalam penyediaan pangan melalui keluarganya masing-masing. Bila dari hasil konsultasi itu saja bisa dihemat minyak tanah sampai 10 persen per hari, misalnya, berapa besar rupiah anggaran belanja bisa ditekan dalam satu bulan. Itu baru satu macam. Tentu bisa ditaksir bila hal serupa pun terjadi pula pada komponen Sembako lainnya. Mari kita kembali ke masalah pokok. Singkatnya, alumnus otak insinyur diharapkan seperti pisau multi fungsi. Walaupun setiap kali selesai diasah hanya dicoba untuk mengupas mangga, tetapi hendaknya ketika sudah tajam bisa dipakai untuk beragam jenis buah. Mahasiswa Telekomunikasi, misalkan, hendaknya jangan hanya mempunyai target untuk bisa bekerja di TELKOM, Indosat, sampai Satelindo. Apa salahnya direncanakan juga di lembaga perhubungan darat, walaupun taroklah selama di kampus atau studinya nya hampir tidak tidak pernah disuguhi masalah tersebut. Semua itu akan berjalan jika para mahasiswa menghayati akan arti teknologi sebagai sarana pemecahan berbagai problema tehnis kehidupan. Karenanya diharapkan pada mereka untuk melakukan evaluasi : "Berapa ilmu yang diperoleh hari ini", "Ilmu apa saja yang belum dipahami", dan "Mana saja ilmu yang bisa diaplikasikan". Itu gilirannya akan membuat mereka merasakan kampus sebagai gudang teknologi berisi kunci emas untuk mengubah atau memperbarui berbagai sektor kehidupan menjadi "semakin baik, semakin indah, dan semakin praktis". http://www.mail-archive.com/permias@listserv.syr.edu/msg03956.html

Anda mungkin juga menyukai