Anda di halaman 1dari 3

GRAMATIKA KEBISUAN Oleh OMAR MUBDI Diberbagai macam media, entah televisi, radio, media online, hingga media

cetak, kita setiap saat disuguhi oleh berbagai macam komentar tentang berbagai problem sosial ekonomi politik dan sebagainya. Media tersebut tidak pernah diam, dan senantiasa menyerbu jendela eksistensi kita, melalui mata dan telinga kita. Media di Lombok Tengah bisa riuh bicara soal tenaga honor daerah yang tak kunjung ada penyelesaian. Bukan Cuma media itu saja yang selalu bicara, tetapi lingkungan keseharian kita, dalam interaksi sosial kita senantiasa mendengar dan melihat orang-orang sekeliling kita yang selalu bicara bersahut-sahutan, menderetkan rangkaian kata-kata dibibir. Kita begitu sibuk bicara, sehingga acapkali abai bahwa dalam keberdiamdirian sesungguhnya ada sesuatu yang dapat kita refleksikan : memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan kebisuan. Adalah Sheikh Musliuddin Sadi Shirazi dalam sebuah bukunya yang berjudul Gulistan (Taman Bunga) menuliskan satu Bab mengenai keuntungan diam. Dikatakannya bahwa lebih baik aku diam dari pada bicara. Ketika kita membaca ungkapan Sadi tersebut yang kemudian muncul dalam pikiran kita adalah Sadi merupakan sosok yang memiliki idealisme yang teguh dalam bersikap serta memiliki jalan pikiran yang tak biasa. Namun, di balik pernyataannya tersebut, Sadi memiliki jawabannya sendiri. Beliau mengatakan bahwa dalam berbagai kesempatan katakata baik dan buruk akan bertebaran, walaupun begitu, orang yang membencinya hanya akan mendengarkan keburukan-keburakan tentang dirinya. Ini menunjukkan diam atau kebisuan boleh jadi kita gunakan sebagai jawaban atas kondisi-kondisi yang tidak bisa dijawab dengan bicara. Lanjutnya lagi, Jangan ungkapkan kesedihan kepada musuh, karena mereka akan mengucapkan belasungkawa tetapi dengan hati gembira. Sadi As-Shirazi adalah seorang di antara beberapa penyair Persia paling terkemuka. Karya-karyanya dibaca luas dan dikagumi di Timur maupun Barat selama berabad-abad sampai saat ini. Se-zaman dengannya, Maulana Jalaluddin Muhammad Ar-Rumi, memiliki pendapat yang sama dengan Sadi. Diceritakan bahwa seseorang barkata, Guru kita tidak menyampaikan apa pun. Beliau menjawab, Orang ini telah muncul di hadapanku karena citra mental yang ada dalam diriku. Citra mental milikku itu tidak menanyainya, Apa kabar? citra mental diriku menarik hatinya tanpa menggunakan kata-kata. Jika dalam kenyataannya citra mental milikku dapat menarik hatinya tanpa kata-kata hingga dapat membawanya ke tempat lain, lalu apa yang aneh dari hal itu? tulisnya pada kitab Matsnawi Manawi (Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhannya) Bahasa atau kata-kata tidak lain hanyalah bayangan dari kenyataan. Kata-kata merupakan refleksi dan simbolisasi dari kenyataan. Apabila bayangan saja dapat menawan hati, betapa mempesona kekuatan kenyataan yang ada di balik bayangan. Sedikit berbeda dengan Komaruddin Hidayat yang mengatakan bahwa bahasa merupakan realitas yang bereksistensi dan tumbuh dalam panggung kehidupan. Bukunya yang berjudul Psikologi Kematian sedikit menjelaskan tentang kenyataan yang berasal dari bahasa atau kata-kata. Sebagaimana yang dikatakannya, realitas ini pada awalnya tercipta

dari sabda. Ketika Tuhan berfirman: Kun (Jadilah!), maka sabda berproses menjadi benih dan pohon realitas jagat semesta. Kata-kata dan kebisuan adalah dua hal yang berbeda, saling berlawanan, saling memiliki manfaat dan memiliki kekurangannya sendiri. Namun, orang-orang cendrung menganggap bahwa kata-kata atau bahasa bisa menjadi indikator dalam menilai kepribadian seseorang - orang yang berwawasan atau orang yang beromong kosong. Itu memang realitas dan bisa kita benarkan. Lalu muncul asumsi dengan sendirinya pada orang-orang yang membuat keterampilan bicara menjadi indikatornya : seseorang yang vokal dalam berbicara dianggap baik karena bisa mengaktualisasi pikiran dan perasaan mereka lewat keterampilan verbal dan orang yang berdiam diri boleh dianggap kurang karena keterampilan verbalnya rendah. Mungkin kita memang perlu mempelajari gramatika kebisuan sebelum menarik asumsi seperti di atas. Mungkin sesuatu tengah terjadi bila kata-kata berhenti dan keadaan diam tiba-tiba menengahi suatu dialog. Pada saat itu kita mungkin lengah atau tak peduli untuk menangkap maknanya. Atau kita cukup peka. Ada sesuatu yang disebut oleh Ivan Illich sebagai the eloquency of silence. Yakni, kefasihan dalam diam. Kata-kata dan bahasa yang terdiri atas diam, lebih bermakna daripada bunyi, tulisannya dalam Celebration of Awareness. Tak banyak pemikir yang bisa melukiskan pengertian seperti itu dengan jelas, lebih jelas daripada Illich. Baginya, bahasa adalah ibarat seutas tali kebisuan; bunyi hanya menjadi simpul-simpulnya. Pause-pause yang penuh arti, antara bunyi dan ucapan, kata Illich pula, menjadi rintik-rintik bercahaya dalam sebuah ruang hampa yang menakjubkan: bagaikan elektron dalam atom, seperti planet-planet dalam sistem tata surya. Bahkan kita mencoba menggantikan bahasa dengan cara-cara yang lebih riuh misalnya kegemaran kita terhadap pengeras suara. Kita bukan saja telah tidak acuh kepada diam dan kebisuan, kita bahkan telah tidak begitu yakin bahwa kata-kata bisa bergerak sendiri dengan lirih. Sebenarnya bila kata-kata adalah bagian dari keberdiam-dirian, yang terdengar bukanlah ajaran. Sebagai bagian dari kebisuan, kata-kata merupakan bagian dari proses batin. Dengan demikian mereka merupakan bagian dari sejarah seluruh kepribadian kita. Kata-kata dan kebisuan. Ada yang berkata sperti ini: berkata-kata serta berbahasa yang benar dan baik memang sebuah kemewahan, dan tidak semua orang mampu menguasainya. Namun, bila berbahasa yang baik dan benar seperti itu akan menimbulkan kebingungan dan pesannya tidak tersampaikan, dan bila dengan kebisuan atau keberdiam-dirian bisa menyampaikan pesan yang akan diberikan, maka untuk apa itu berbahasa? Sadi As-Shirazi, Jalaluddin Rumi, Komarudin Hidayat, dan Illich adalah orang-orang yang memiliki opini tersendiri mengenai eksistensi bahasa dan kebisuan. Berbahasa bisa menjadi begitu bermanfaat apabila kita mampu menyeleksi dan mengolahnya, serta kebisuan bisa juga sangat bermanfaat apabila kita dengan benar menempatkannya. Goenawan Muhamad berkata, Manusia bisa berarti kaset: bisa diam dan bisa bersuara.

Praya, 6 Mei 2011

Umar Mubdi

Anda mungkin juga menyukai