Anda di halaman 1dari 3

MENYIMAK PEMUDA DULU DAN SEKARANG

Bung Karno bisa berbicara berapi-api tentang pemuda. Melalui kemampuan retorikanya yang hebat, pemuda menjelma dari sekedar suatu batas umur menjadi sebuah mitos yang hidup. Beri aku sepuluh orang tua, maka akan kucabut merapi dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncang dunia. Bung Karno benar. Betapa tokoh seperti Kartini meski kini disebut Ibu kita meninggal pada usia 24 tahun. Bayangkan betapa mudanya ketika ia berangkat dari ide-ide besar. Atau Bung Karno sendiri yang menjadi tonggak sejarah di usianya yang masih belia. Juga Bung Hatta, belum 30 tahun ketika ia jadi tokoh perjuangan merintis kemerdekaan. Nampaknya situasilah yang menyebabkan perkembangan psikologis serta ideologi pada kalangan pemuda menjadi lebih cepat matang, terutama pada zaman sulit seperti zaman kemerdekaan. Manusia muda, dituntut untuk bekerja lebih, berpikir lebih, dituntut untuk melahirkan gagasan-gagasan yang cerdas. Tidak heran jika akan ada banyak perbedaan antara pemuda zaman dulu dengan zaman sekarang. Sebenarnya, ada yang agak aneh dengan semua itu. Mitos tentang pemuda, walaupun didukung dengan kenyataan bahwa pemudalah yang tampil pada saat gawat, sebenarnya agak asing bagi perbendaharaan ajaran kita. Tema yang sering terbaca dari buku-buku pendidikan moral biasanya adalah : Hai anak muda..... turutilah nasihat orang tua !. Secara tentatif, bapak-bapak kita mungkin seperti Kong Hu Cu. Pada umur 15, aku mengamalkan diri untuk belajar kebijaksanaan; pada umur 30 aku tumbuh lebih kuat dalam kebijaksanaan; pada umur 40 aku tak lagi punya rasa ragu; pada umur 60 tak ada suatu pun di atas bumi yang bisa mengguncangku; pada umur 70 aku dapat mengikuti hatiku tanpa mengingkari hukum moral. Usia tua memberikan kesempatan untuk kearifan, begitu Kong Hu Cu mengajarkan dan begitu pula hampir setiap masyarakat lama mendasarkan filosopi dirinya. Sedikit berbicara masalah tua, kemudian ada muncul pertanyaan, Kenapa orang tua punya kelebihan?. Karena meraka punya kesalahan yang kita tak punya. Time is a kind friend, seorang penyair wanita yang sedih menulis, it makes us old.

Orang bilang bahwa hanya yang pernah bercita-cita, tapi kemudian khilaf, hanya yang pernah bergelora, tapi kemudian redup hanya mereka ini yang tahu betapa benarnya penyair itu, dalam kesedihan dalam kearifan: waktu adalah teman yang baik. Ia membikin kita tua. Ia membikin sederet nama jadi sejarah. Ia membikin serangkaian gelombang menjadi mandek. Ia membikin arus deras menjadi reda. Dan seperti kata Kong Hu Cu juga, orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir, tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam. Orang tua memang punya kelebihan : mereka adalah air yang diam. Jika kau cermat memandang ke dalamnya, kata orang, kau akan melihat dirimu lengkap. Kau akan melihat dirimu dalam perbandingan. Di air itu pengalaman telah membuang sauh, dan jauh di dasar terkandung simpanan kenangan. Terutama kenangan tentang kesalahan. Tapi jangan terlampau marah terhadap kesalahan. Kata orang pula, kesalahan mungkin hanya satu tahap dalam mencari kebenaran. Anak pun bisa berjalan setelah ia pernah jatuh. Dari sedikit pemaparan di atas, kiranya pemuda zaman dahulu telah menjadi sebuah pembelajaran yang berharga, masa-masa tua yang dialami oleh pemuda zaman dahulu, bisa menjadi refleksi generasi selanjutnya. Sebagai bahan perbandingan dan acuan dalam menetapkan langkah. Dewasa ini, boneka barbie, pabrikan Prancis, menjadi salah satu mainan yang wajib untuk dimiliki para remaja kekinian. Boneka yang menggambarkan kesempurnaan visual : berwajah cantik, tinggi, rambut panjang dan pirang, berpakaian mewah, berias molek. Mereduksi jati diri sebagai seorang pemuda. Seharusnya, selain dari pada penampilan, wawasan pikiranlah yang membuat pemuda diperhitungkan. Hal ini sangat pas dengan sindiran aforisme : Mantap dalam penampilan. Sederhana dalam pemikiran. Tentunya angkatan muda zaman dahulu dan zaman sekarang, memiliki kemampuan yang tak bisa distandarkan, ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun yang menjadi kewajiban kita sekarang adalah bagaimana memanfaatkan fase umur sebaik mungkin. Gede Prama menulis dalam puisinya yang berjudul Sesal. seandainya aku remaja/ 'kan kugali potensi diri/ kulebur dalam kompetisi/ dan aku menang. Seandainya aku dewasa/ 'kan kucipta karya/ dengan segala nuansa/ dan aku bangga. Kini ku renta sudah/ kulihat remaja dan dewasa/ tanpa karya, tanpa karsa/ bahagia semu yang sia-sia..

Praya, 01 Juni 2012

Umar Mubdi

Anda mungkin juga menyukai