Anda di halaman 1dari 5

SOTO AYAM

Oleh: Umar Mubdi


Sebagaimana galibnya, sekitar pukul setengah lima pagi, azan subuh
dikumandangkan. Masjid terletak tak jauh dari kontrakan Irfan. Irfan secara
rutin sembahyang berjamaah di sana. Begitu pula pagi itu. Dia bersama
mahasiswa rantau lainnya mulai memasuki masjid. Seusai sembahyang,
Irfan menjabat ramah tangan jamaah di samping kiri-kanannya. Ia tidak lupa
merapalkan zikir dan doa. Kemudian membaca beberapa lembar ayat suci
Al-Quran. Dilanjutkan lagi dengan membuka buku atau mengerjakan tugas
setibanya di kontrakan.
Itulah kebiasaan Irfan yang ditanamkan keluarganya di kampung
halaman. Rutin sembahyang, mengaji, rajin belajar, bersikap ramah, dan
hidup sederhana. Kini sebagai mahasiswa di tanah rantau, paling tidak Irfan
dapat membentengi diri dari pengaruh buruk lingkungannya.
Namun, ada satu hal yang kerap gagal ia bentengi. Ketika suara
kentongan grobak soto ayam berbunyi melewati depan kontrakannya, selera
makan dan rasa laparnya pun muncul. Irfan seketika terbayang bagaimana
gurihnya soto itu. Ia biasa makan soto itu dengan menambahkan sedikit
sambal dan melebihkan kecap manis. Tiga atau empat potong tempe
ditenggalamkan ke dalam kuah soto yang hangat. Kadang-kadang, Irfan juga
menambahkan sate hati ayam di sana. Irfan senantiasa menikmati soto itu
dengan tenang dan perlahan. Membiarkan rasa kuahnya secara sempurna
meliputi lidahnya. Walaupun demikian, Irfan tidak selalu membeli soto ayam
itu.
Pagi itu, sayup-sayup Irfan mendengar suara kentongan gerobak soto
ayam langganannya. Suara itu makin lama makin jelas terdengar. Grobak
soto ayam itu akhirnya sampai di depan gerbang kontrakan Irfan. Diam
sejenak, kentongan dipukul beberapa kali, menunggu pelanggan setianya
untuk memesan sotonya. Irfan bergegas keluar.

Hai, pak! Apa kabar? sapa Irfan.


Wah, mas. Alhamdulillah baik. Saya kira sedang tidak ada di
kontrakan. Seminggu ini kelihatan sepi terus. jawab penjual soto.
Iya, pak. Teman-teman kontrakan masih pulang kampung semua,
masih libur. Saya juga sampai di sini baru semalam. Irfan menyerahkan
mangkuk ke penjual soto ayam.
Ia tersenyum. Seperti biasa, mas?
Dan tambah sate hati ayam tiga tusuk, ya.
Soto ayam itu mulai diracik. Lalu kuahnya dituangkan ke dalam
mangkuk. Sambal, kecap, tempe dan sate turut dihidangkan ke dalamnya.
Tak perlu waktu lama, soto ayam itu telah sedia.
Tunggu

sebentar,

pak.

Irfan

berbalik

ke

kontrakannya

untuk

mengambil sesuatu. Irfan kembali dengan membawa satu kantong plastik


kecil. Ia menyerahkan plastik itu dan sejumlah uang untuk membayar soto
ayamnya.
Ini ada dodol dan kripik, oleh-oleh dari kampung, pak. Biar ada yang
temani jualan. seloroh Irfan.
Penjual soto ayam itu tertawa dan tak luput mengucapkan terima
kasih. Ia juga menitipkan salam untuk keluarga Irfan. Demikian cara Irfan
membangun hubungan baik dengan sang penjual soto. Ramah dan tidak
banyak basa-basi.
Grobak soto ayam itu berlalu. Dari jarak sekian jauh pada arah yang
berbeda, ada seseorang yang memanggil-manggil penjual soto ayam itu.
Orang tersebut nampaknya hendak memesan tapi gerobak soto ayam
terlampau berlalu. Orang itu masih mencoba memanggilnya. Grobak soto
ayam itu terhitung dekat dengan Irfan dan terus saja berjalan. Ia tak
mendengar panggilan orang itu. Namun, Irfan mengetahui ada orang yang

memanggil soto itu dari jauh. Dan Irfan berjalan membawa sotonya kembali
ke kontrakan.
Irfan sudah berada di meja makan sekarang. Ia minum beberapa teguk
air putih terlebih dahulu. Ia mengaduk pelan soto ayam itu agar sambal dan
kecapnya larut dengan baik. Tempe dan sate terendam dalam kuah soto.
Irfan masih mengaduknya. Membolak-balikan isian soto ayam yang terdiri
dari

nasi,

suir

daging

ayam,

dan

sayur-sayuran.

Irfan

tak

sabar

menikmatinya. Irfan melihat kuahnya tidak segelap biasanya. Kecap manis


yang lumayan banyak dituangkan seharusnya membikin kuah soto menjadi
agak gelap. Irfan sudah siap menikmatinya. Irfan menyeruput kuah soto
ayam itu. Rasanya berbeda dari biasanya. Kurang kecap manis. Irfan tak
gembira sebenarnya karena hal itu, tetapi ia lahap saja soto ayam itu hingga
habis. Dalam hati, Irfan akan memesan soto ayam itu lagi besok pagi dan
menaruh kecap manisnya sendiri.
Keesokan hari, Irfan melaksanakan rutinitasnya seperti biasa. Sejak
kemarin ia berencana untuk sarapan dengan soto ayam itu. Irfan menunggu
kedatangannya di kontrakan. Irfan menunggu di teras kontrakan dengan
segelas kopi di tangan. Beberapa orang berlalu-lalang. Dan akhirnya,
gerobak soto ayam itu pun terlihat datang dari kejauhan, setelah muncul dari
salah satu gang yang ada. Arahnya menjauh dari kontrakan Irfan. Lantas
Irfan langsung beranjak dari tempatnya dan berusaha memanggil gerobak
soto ayam itu. Sang penjual terus berjalan. Ia tidak menengok ke belakang,
ke arah Irfan.
Seorang pengendara sepeda motor yang kebetulan telah melewati
gerobak soto ayam itu, saat melihat Irfan tengah memanggilnya, berbalik
arah untuk menghampiri sang penjual soto ayam. Pengendara sepeda motor
itu memberi tahu kepada sang penjual soto bahwa Irfan hendak memesan
soto ayamnya. Sang penjual menoleh ke belakang. Ia memberi isyarat
kepada Irfan bahwa ia akan pergi ke suatu tempat sebentar dan nanti akan
kembali. Irfan mengerti. Pengendara sepada motor itu berbalik arah dan

melanjutkan perjalanannya. Ketika akan melewati Irfan, Irfan langsung


melambaikan tangannya sembari tersenyum kepada pengendara sepeda
motor itu.
Terima kasih, mas. ucap Irfan.
Irfan kembali duduk menunggu di teras kontrakannya. Ia seruput
kopinya. Gerobak soto ayam itu telah hilang dari penglihatan Irfan. Sekitar
tiga puluh menit kemudian, gerobak soto ayam itu tak kunjung datang lagi.
Malah kini yang datang adalah gerobak siomai. Penandanya adalah lonceng,
bukan kentongan.
Irfan dapat melihat dari tempatnya bahwa ada lima orang yang
mengerumuni gerobak siomai itu. Orang-orang itu nampak saling menebar
senyum. Ada semacam kegembiraan pada mereka. Irfan sejenak berpikir,
apakah siomai itu jauh lebih nikmat dibandingkan soto ayam sebagai menu
sarapan di pagi hari? Tidak. Irfan masih bisa membayangkan kenikmatan
soto ayamnya. Tidak mungkin ada yang lebih dari itu.
Orang-orang silih berganti mendatangi gerobak siomai itu. Sejauh yang
ia bisa ingat, gerobak siomai itu tidak rutin lewat di daerah itu. Namun,
setiap kali lewat, selalu saja ramai didatangi para pembeli. Sementara itu,
gerobak soto ayam setiap pagi selalu melewati daerah itu dan para pembeli
tak seantusias ketika gerobak siomai datang. Irfan menjadi penasaran. Ia
telah lumayan lama menunggu kedatangan gerobak soto ayam itu.
Barangkali ia tidak akan datang lagi, pikir Irfan. Irfan memutuskan untuk
sarapan dengan siomai itu. Irfan menghampiri gerobak siomai.
Selamat pagi, mas. Apakah pagi ini sehat lahir batin? sang penjual
siomai menyapa Irfan dengan ramah.
Irfan agaknya terkejut dengan pertanyaan itu. Karena di luar dugaan,
penjual siomai itu melayani pembelinya dengan baik. Salah satunya, dengan

menyambut kedatangannya. Irfan menjawab dengan ramah pula. Cukup


banyak basa basi tetapi menyenangkan.
Saat itu, Irfan harus menunggu sekitar empat orang lagi untuk
mendapatkan bagiannya. Dan di belakangnya, ada tiga orang lagi yang
menunggu. Hal semacam ini termasuk laris untuk ukuran gerobak siomai.
Irfan merasa berkesan dengan penjual siomai itu. Irfan kembali ke
kontrakannya. Ia menikmati siomai itu. Tidak terlalu buruk namun masih
lebih nikmat soto ayam.
Saat Irfan tengah menikmati siomainya, suara kentongan gerobak soto
ayam itu terdengar. Irfan melongok ke jendela. Gerobak itu mendekat ke
kontrakannya. Gerobak itu berhenti di depan gerbang. Kentongan grobak di
pukul beberapa kali. Gerobak itu masih di sana. Irfan tetap diam di dalam
kontrakannya. Perlahan-lahan, tumbuh suatu dendam dalam hatinya. Irfan
teringat pelayanan penjual soto ayam itu yang salah menakar kecap
manisnya. Irfan teringat pelayanan penjual soto ayam itu yang membuatnya
begitu lama menunggu. Irfan tidak akan keluar.
Biar tahu rasa. Kau tidak sebaik dia, sebaik si penjual siomai. Ucap
Irfan lirih. Irfan mulai teringat, benteng dirinya telah runtuh.

Yogyakarta, 13 Agustus
2016

Anda mungkin juga menyukai