Anda di halaman 1dari 12

MENDORONG KEBERANIAN DAN PROFESIONALITAS

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


Oleh Marwan Mas

A. PENDAHULUAN
Negeri yang dipenuhi "parasit korupsi" dari hulu sampai hilir, dari penyidikan sampai
peninjauan kembali akan terus mengancam sistem hukum yang sebetulnya ingin
ditegakkan setelah reformasi bergulir. Parasit korupsi bukan hanya subur di tubuh eksekutif
dan legislatif, tetapi juga menjangkit parah dalam tubuh peradilan. Akibatnya, kebenaran
dan keadilan sebagai simbol hukum lebih banyak tidak sesuai antara apa yang seharusnya
(das sollen) dengan kenyataan (das sein). Rakyat dipaksa berada di wilayah
ketidakpercayaan, aparat hukum mana lagi yang bisa dipercaya mampu menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Untuk menekan perilaku korupsi yang terus menggurita, pemerintah telah membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan memberikan nuansa baru dan lebih
progresif dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan superbesar yang diberikan kepada
KPK dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK),
semestinya berbanding lurus dengan intensitas penanganan korupsi dengan membawa
para koruptor kakap ke ruang pengadilan untuk diadili dan dijatuhi hukuman yang setimpal.
Rakyat begitu banyak berharap karena KPK adalah institusi independen (lembaga negara)
yang kewenangannya lebih luas dibanding kewenangan kepolisian dan kejaksaan dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi.
Para koruptor -terutama koruptor kelas kakap- yang selama ini tidak tersentuh hukum,
sebetulnya sudah gelisah oleh kehadiran mahluk superman yang bernama KPK. Betapa
tidak, apabila KPK akan memeriksa oknum pejabat negara, aparat penegak hukum, atau
anggota legislatif yang diguga telah melakukan korupsi tidak perlu memenuhi “prosedur
khusus”, seperti izin tertulis dari atasan tersangka yang sering menghambat kepolisian dan
kejaksaan (Pasal 46 Ayat 1 UU KPK). Belum lagi didukung oleh perluasan alat bukti
“petunjuk” dalam Pasal 26-A UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak perlu minta izin
penyitaan barang bukti kepada Ketua Pengadilan Khusus Korupsi, serta sembilan
kewenangan superhero yang diberikan dalam Pasal 12 UU KPK.
Alat bukti “petunjuk” menurut Pasal 188 Ayat (2) KUHAP hanya diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Ketentuan ini diperluas dalam Pasal
26A UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu dapat diperoleh dari informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan, baik secara biasa maupun elektronik. Hal ini
memberikan gambaran, penyelidikan KPK dapat lebih mudah ditingkatkan ke penyidikan
dibandingkan dengan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian atau kejaksaan. Olehnya itu,
publik akan mempertanyakan profesionalitas KPK yang telah diberikan kewenangan yang
besar, tetapi amat sedikit perkara korupsi yang dilaporkan masyarakat dibawa ke ruang
sidang pengadilan.
Selama lebih dua tahun kehadiran KPK, komitmen dan kinerjanya memang sudah
mulai memperlihatkan taringnya. Misalnya, menuntaskan kasus korupsi Gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh dan telah dijatuhi pidana oleh Pengadilan
Khusus Korupsi. Begitu pula, dugaan korupsi dan suap oleh anggota dan staf KPU, seperti
Mulyana W. Kusumah (anggota KPU), Nazaruddin Sjamsuddin (Ketua KPU), Daan Dimara

1
(anggota KPU), dan Hamdani Amin (mantan Kepala Biro Keuangan KPU) yang juga telah
divonis bersalah oleh Pengadilan Khusus Korupsi.
KPK juga menangkap salah satu pengacara Abdullah Puteh pada tanggal 15 Juni 2005
yang berupaya menyogok Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Jakarta. Pengacara Abdullah
Puteh, Teuku Syaifuddin Popon tertangkap tangan menyuap Rp 250 juta Wakil Ketua
Panitera Pengadilan Tinggi Jakarta, Ramadhan Rizal. KPK juga membongkar dugaan jual-
beli perkara (mafia peradilan) di tubuh Mahkamah Agung (MA) yang membuat rakyat
terperangah, kendati praktik mafia peradilan sudah cukup lama tercium aromanya.
Kendati Abdullah Puteh telah dijatuhi pidana oleh MA, tetapi peristiwa yang berangkai
dengan penangkapan lima pegawai MA dalam kasus yang sama, menunjukkan bahwa
mafia peradilan yang selama ini hanya dapat dirasakan tetapi begitu sulit dibuktikan, betul-
betul ada di lingkungan peradilan Indonesia. Mafia peradilan bukan isapan jempol, bukan
antara ada dan tiada, apalagi gosif. Begitu pula, langkah KPK menggeledah kamar kerja
Ketua Majelis Hakim Kasasi yang juga Ketua MA, Bagir Manan dan anggota majelis hakim,
Parman Suparman dan Usman Karim juga patut diapresiasi positif.
Reaksi cepat KPK tentu memberi angin segar dan pencerahan baru, kendati harus
hati-hati dan tidak boleh gegabah karena KPK dilarang menghentikan penyidikan dan
penuntutan (Pasal 40 UU KPK). Olehnya itu, adanya upaya untuk mengebiri kewenangan
KPK dengan mengajukan uji materi beberapa pasal UU KPK, perlu diatensi karena akan
semakin menyulitkan para koruptor untuk dibawa ke ruang sidang pengadilan untuk
dibuktikan kesalahannya. Pada sisi lain, gebrakan yang dilakukan KPK yang dinilai banyak
orang cukup berani, ternyata juga belum membuat gentar para koruptor dan calon koruptor.
Belum timbul akibat yang dapat membuat takut dan jera, termasuk aparat penegak hukum
agar tidak main-main dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

B. TUGAS DAN WEWENANG KPK YANG DIMOHONKAN UJI MATERIIL


Melihat belum maksimalnya komitmen dan kinerja KPK (kendati diakui sudah ada yang
diperbuat), sehingga wajar bila banyak pihak menilai pola dan irama kerja KPK sama saja
dengan kepolisian dan kejaksaan. KPK sepertinya hanya kuat di atas kertas (undang-
undang), tetapi tidak bergigi saat dibawa ke realitas korupsi yang seharusnya dilahap kalau
berhadapan dengan oknum pejabat yang punya beking politik. Kalaupun bergigi karena
telah membawa ke ruang pengadilan Abdullah Puteh, Nazaruddin Sjamsuddin, Mulyana W.
Kusumah, dan yang lain, tetapi nuansanya masih setengah hati. Khususnya dalam perkara
KPU yang cenderung diskriminatif, padahal rakyat berharap agar KPK bisa lebih garang
mengusut kasus korupsi tersebut.
Ribuan dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat ke KPK -termasuk dugaan korupsi
di parlemen daerah- ternyata sebagian besar hanya akan dijadikan objek “koordinasi dan
supervisi”. Tidak akan ditangani langsung KPK yang sebetulnya paling berpeluang
menguak tabir korupsi itu. Memang disadari, tidak mungkin semua kasus korupsi yang
dilaporkan itu harus ditangani KPK. Apalagi penyidik dan penuntut yang dimiliki KPK masih
terbatas, dan belum membuka perwakilan di setiap provinsi (Pasal 19 ayat 2 UU KPK).
Namun, kelemahan tersebut tidak boleh dijadikan alasan menunda tindaklanjut laporan
masyarakat. Simpati masyarakat terhadap kredibilitas KPK dapat berbalik-arah seperti
pada aparat hukum yang lain, jika laporan masyarakat itu tidak ditindaklanjuti.
Besarnya harapan pada KPK yang mestinya “tampil beda” dengan kepolisian,
kejaksaan, atau aparat penegak hukum lainnya tidak terlepas dari besarnya wewenang

2
yang diberikan di dalam Pasal 6 UU-KPK, sebagai berikut:
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Ada tiga kategori Korupsi yang akan ditangani KPK menurut Pasal 11 UU-KPK.
Pertama, melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara. Kedua, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat.
Ketiga, menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah.
Bahkan, KPK dapat mengambil-alih penyidikan atau penuntutan suatu perkara korupsi
yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan (Pasal 8 Ayat 2 UU KPK).
Pengambilalihan dilakukan bila ada laporan warga masyarakat mengenai tindak pidana
korupsi yang tidak ditindaklanjuti, proses penanganannya berlarut-larut tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan, penanganannya terkesan melindungi pelaku korupsi yang
sesungguhnya, penanganannya mengandung unsur korupsi, karena ada campur tangan
dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau karena keadaan lain yang sulit diatasi dan
dilaksanakan oleh kepolisian atau kejaksaan (Pasal 9 UU-KPK).
Pasal 6 huru-c UU KPK di atas, ternyata dimohonkan uji materi ke MK karena
dianggap oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pemohon menilai, bahwa
adanya Pasal 6 huruf-c UU KPK telah menjadikan KPK sebagai lembaga superbody yang
bukan hanya memiliki otoritas tanpa batas yang bermuara pada pelanggaran HAM, tetapi
juga telah mengacaukan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut pemohon,
melekatnya fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus (satu atap) dan
melekatnya pula fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pada lembaga kepolisian
dan kejaksaan, merupakan bentuk “kerancuan hukum” dan tidak adanya “kepastian” hukum
dalam proses penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam proses penegakan hukum
di bidang korupsi. Padahal menutut pemohon, ketidakpastian hukum dalam penegakan
hukum, merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Alasan pemohon dengan berlindung pada kata “kepastian hukum” dalam Pasal 28D
Ayat (1) UUD 1945, tidaklah tepat, karena Pasal 6 huruf-c UU KPK merupakan aturan
khusus (lex specyalist derogat legi generale) terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 16 Tahu 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (Pasal 30 Ayat 1 huruf-a dan huruf-d). Dengan begitu, Pasal 6 huruf-c
UU KPK harus didahulukan pemberlakuannya, sehingga dengan adanya asas lex
“specyalist derogat legi generale” berarti tetap ada “kepastian hukum” bahwa selain
kepolisian dan kejaksaan, KPK juga diberi tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi.
Selain itu, juga perlu menyimak filosofi pembentukan KPK yang tertuang dalam
Konsideran Menimbang UU KPK. Huruf-a dan huruf-b Konsideran Menimbang UU KPK

3
menegaskan filosofi pembentukan KPK, sebagai berikut:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang
belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak
pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Konsideran Menimbang di atas memberi sinyal betapa pentingnya membentuk suatu
lembaga lain (KPK), karena ternyata pemerintah (dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan
yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi)
menurut pembuat UU selain belum dilaksanakan secara optimal, juga “belum berfungsi
secara efektif dan efisien”. Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara
profesional, intensif, dan berkesinambungan karena telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, bahkan secara nyata menghambat pembangunan nasional.
Dengan demikian, kehadiran KPK yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi merupakan sesuatu yang dibutuhkan
untuk memaksimalkan secara efektif dan efisien terhadap pemberantasan tindak pidana
korupsi. Untuk mencapai sasaran tersebut, KPK diberi wewenang dalam Pasal 12 UU KPK
yang jauh lebih besar ketimbang yang diberikan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi. Kewenangan yang
besar dan luas itu (superbody) harus dibarengi dengan profesionalitas yang tinggi,
sehingga KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan
penuntutan (Pasal 40 UU KPK). Olehnya itu, jika MK mengabulkan permohonan uji materi
terhadap Pasal 6 huruf-c UU KPK karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1)
UUD 1945, maka sama saja dengan mencabut eksistensi KPK.
Begitu pula, terhadap pasal-pasal lain dalam UU KPK yang dimohonkan uji materi
terhadap pasal-pasal perlindungan HAM yang diatur dalam UUD 1945 (Pasal 28, Pasal
28F, Pasal 28G Ayat 1, dan Pasal 28-I), seharusnya tidak dipahami secara sepotong-
sepotong. Sebab, pasal-pasal perlindungan HAM tersebut berkaitan dengan Pasal 28J ayat
(2) UUD 1945, yang berbunyi:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian, jaminan perlindungan HAM dalam UUD 1945 harus tetap tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan dalam UU dengan berbagai pertimbangan seperti
dimaksud Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Pembatasan yang diatur dalam UU KPK dengan
memberikan wewenang bagi KPK (Pasal 12 UU KPK) untuk melaksakan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, mestinya dipahami sebagai implementasi dari
pembatasan tersebut agar pelaksanaan tugas KPK dapat berjalan dengan baik.

4
Kendati demikian, apa pun yang dilakukan KPK, rakyat menunggu komitmen dan
profesionalitasnya untuk secepatnya memproses berbagai dugaan korupsi yang dilaporkan.
KPK tidak sepatutnya menunda-nunda pengusutan dengan berbagai dalih seperti yang
sering terdengar dari aparat hukum yang lain saat mengusut kasus korupsi. KPK tidak
boleh “terbelenggu” ketentuan Pasal 40 KPK yang tidak membolehkan menghentikan
penyidikan dan penuntutan, yang berakibat kasus korupsi yang dilaporkan masyarakat
terbengkalai karena tidak ada upaya maksimal (terjadi diskriminasi) untuk mengusutnya.

C. UJI MATERI KEWENANGAN RETROAKTIF KPK


Perdebatan retroaktif atau pemberlakuan mundur suatu ketentuan hukum kembali
bergaung setelah Pasal 68 UU KPK dimohonkan uji meteri (judicial review) ke MK.
Sebelumnya, MK telah membatalkan penerapan retroaktif dalam UU Nomor 16/2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom Bali tahun 2002 (UU
Terorisme).
Permohonan uji materiil UU Terorisme yang berlaku surut karena dinilai bertentangan
dengan Pasal 28-I Ayat (1) UUD 1945, diajukan oleh salah seorang tersangka bom Bali
yang telah divonis 15 tahun penjara oleh hakim kasasi Mahkamah Agung (MA). MK
menilai, UU Nomor 16/2003 bertentangan dengan Pasal 28-I Ayat (1) UUD 1945 yang
menegaskan seseorang tidak boleh dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai
hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. MK
berpendapat, jika UU yang berlaku surut tetap diberlakukan, akan menjadi preseden buruk
untuk mengatur tindakan yang telah berlaku sebelumnya.
Perdebatan dengan materi yang sama menimpa KPK atas kewenangannya yang
diberikan dalam Pasal 68 UU KPK. Pasal tersebut memberi wewenang KPK mengambil-
alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi yang proses hukumnya belum
selesai saat KPK terbentuk. Namun, dipersoalkan oleh Bram Hade Manoppo yang merasa
hak konstitusionalnya dirugikan akibat KPK menjadikan dirinya tersangka kasus dugaan
korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rostov Rusia yang terjadi pada bulan Juli 2001,
jauh sebelum KPK terbentuk tanggal 27 Desember 2003.
MK harus mampu berposisi sebagai penjaga konstitusi dengan melepaskan dirinya
dari jebakan hakim yang semata-mata hanya sebagai terompet UU (boche de la loi). Inilah
yang dikritisi Charles Sampford melalui teorinya “the disorder theory of law” yang
memandang hukum tidak identik dengan sebuah bangunan yang penuh dengan
keteraturan yang logis-rasional, melainkan sesuatu yang bersifat cair (melee, fluid). Hukum
tidak selalu dimaknakan machine justice, sehingga hakim harus mampu menyesuaikannya
dengan realitas kehidupan masyarakat. Di dalamnya selalu ada ruang ekstra (leeway) yang
dapat digunakan menghidupkan nilai-nilai kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat.
Ada tiga aspek yang perlu dicermati secara teoretis terhadap uji meteri Pasal 68 UU
KPK, sebagai berikut:
Pertama, perdebatan para pakar hukum tentang penggunaan retroaktif telah lama
mengemuka, apakah hanya pada ketentuan materiil dan tidak termasuk pada ketentuan
hukum formil. Penulis lebih sependapat dengan pandangan bahwa penerapan retroaktif
tidak belaku pada hukum formil seperti UU KPK. Olehnya itu, substansi retroaktif dalam UU
Terorisme dengan Pasal 68 UU KPK amat berbeda. Retroaktif dalam UU Terorisme adalah
ketentuan materiil yang tentu saja bertentangan dengan Pasal 28-I Ayat (1) UUD 1945
sebagai perlindungan HAM, dan Pasal 1 Ayat (1) KUHPidana sebagai asas legalitas yang

5
berlaku universal. Sementara retroaktif dalam Pasal 68 UU KPK adalah ketentuan formil
yang berfungsi mempertahankan dan melaksanakan ketentuan hukum materiil. Wewenang
retroaktif KPK mengambil-alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi
yang proses hukumnya belum selesai, atau memulai penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, tidak bisa disamakan dengan larangan retroaktif dalam hukum materiil.
Penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap pemohon uji materiil,
merupakan akselerasi dari fungsi hukum formil yang menunjuk KPK melaksanakan hukum
materiil (UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Jauh hari praktik seperti ini sudah dilaksanakan,
misalnya pada Pasal 284 Ayat (1) KUHAP saat awal pembelakuannya, juga menerapkan
retroaktif agar perkara sebelumnya sejauh mungkin diberlakukan ketentuan KUHAP.
Meskipun pelaksananya sama (polisi, jaksa, hakim), tetapi wewenang yang akan
dilaksanakan jauh lebih progresif –sama progresifnya dengan wewenang KPK-- dibanding
wewenang yang diberikan dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (KUHAP yang lama).
Begitu pula, Pasal 50 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), MK
diberi wewenang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil suatu UU setelah
perubahan pertama UUD 1945 (19 Oktober 1999), padahal MK dibentuk bulan Agustus
2003. Ternyata MK telah menerobos Pasal 50 dengan memeriksa permohonan uji materiil
UU yang diundangkan sebelum perubahan pertama UUD 1945. Kemudian Pasal 87 UU
MK sebagai Ketentuan Peralihan –sama dengan Pasal 68 UU KPK untuk mengambil-alih
kasus korupsi yang prosesnya belum selesai di tangan polisi dan jaksa-- juga memberikan
kewenangan kepada MK paling lambat 60 hari kerja untuk mengambil-alih permohonan
dan/atau gugatan yang diterima MA yang belum selesai (belum diputus MA).
Kedua, hak untuk tidak “dituntut” atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28-I Ayat (1) UUD 1945).
Penerapan pasal-pasal korupsi dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 yang diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 menunjuk pada ketentuan hukum materiil, bukan ketentuan hukum
formil karena Pasal 68 UU KPK hanyalah menunjuk pelaksana dari hukum materiil dengan
cara mengambil-alih penyidikan atau penuntutan dari kepolisian atau kejaksaan. KPK
sebagai pelaksana hukum materiil, semestinya hanya dilarang menerapkan ketentuan
hukum materiil terhadap suatu perbuatan yang terjadi (tempus delicti) sebelum hukum
materil itu diberlakukan.
Penyidikan KPK terhadap pemohon uji materi didasarkan pada sangkaan telah
melanggar Pasal 2 Ayat (1) subsidair Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2002. UU ini adalah hukum materiil dan sudah berlaku
sebelum perbuatan dilakukan pemohon (tersangka). Penyidikan KPK terhadap pemohon
tidak didasarkan pada Pasal 68 UU KPK (mengambil-alih) juncto Pasal 9 UU KPK, tetapi
Pasal 6 huruf-c juncto Pasal 11 UU KPK. Wewenang KPK menyidik pemohon yang
perbuatannya dilakukan sebelum KPK terbentuk, seharusnya tidak bisa disamakan
melanggar retroaktif seperti larangan retroaktif pada ketentuan hukum materiil.
Ketiga, penjelasan umum UU KPK menegaskan, korupsi bukan lagi kejahatan biasa,
melainkan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), sehingga penanganannya harus
dengan cara-cara yang luar biasa pula. Inilah salah satu filosofi pembentukan KPK yang
diberi wewenang “luar biasa” saat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
dibandingkan wewenang yang diberikan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam
melakukan hal yang sama. Termasuk mengambil-alih kasus korupsi yang prosesnya belum

6
selesai seperti yang digugat pemohon, atau menangani suatu kasus korupsi yang sama
sekali belum disentuh kepolisian atau kejaksaan pada saat KPK terbentuk.
Penjelasan UU KPK sejalan dengan salah satu pertimbangan hukum MK dalam
putusan pembatalan prinsip retroaktif dalam UU Terorisme. MK merujuk pada Statuta
Roma Tahun 1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, bahwa kasus bom Bali
tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang dapat
dikenai prinsip hukum retroaktif, tetapi masih dapat dikategorikan sebagai “kejahatan biasa
yang sangat kejam”. Karena terorisme bukan kejahatan luar biasa, maka para pelaku bom
Bali tidak boleh dijerat dengan hukum yang memberlakukan prinsip hukum retroaktif.

D. TRANSPARANSI KPK
Terlepas dari uji materi terhadap sejumlah pasal UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK, tetapi masyarakat tetap menunggu keseriusan KPK dan tidak sepatutnya menunda-
nunda pengusutan dengan berbagai dalih. Bukti-bukti yang ditemukan juga perlu diekspos
pada publik dan secara profesional penuntut KPK mampu membuktikan dakwaannya di
depan sidang pengadilan. Paling tidak, keseriusan yang ditunjukkan KPK dapat
menumbuhkan kepercayaan rakyat sekaligus membentengi KPK dari keinginan segelintir
orang untuk menghapus eksistensi KPK. KPK harus tetap survive sebagai lembaga
pemberantas korupsi yang independen, berani, dan tidak diskriminatif.
KPK dituntut lebih transparan dalam menangani kasus korupsi, termasuk dalam
melakukan koordinasi, supervisi, dan monitoring (Pasal 6 UU KPK). Transparansi KPK
akan mendorong masyarakat berdiri di belakang KPK saat melakukan tugasnya dari
kemungkinan ancaman dan pengaruh koruptor kakap.
Kewenangan besar yang dimiliki KPK tidak akan berarti apa-apa bila tidak disertai
dengan tindakan berani dan radikal. Bila korupsi tidak dilawan dengan tindakan progresif
dan radikal, mustahil korupsi bisa dikikis di negeri ini. Di sinilah sosok KPK harus tampil
sebagai lembaga yang berani, tegas, terpercaya dan profesional. Jika pun begitu banyak
kritik dialamatkan ke KPK yang begitu tajam dan memerahkan telinga, tentu bukan
bermaksud menghancurkan KPK. Tetapi memotivasi KPK agar lebih meningkatkan
kinerjanya. Akankah kabar tentang kinerja dan profesionalitas KPK terus dipertanyakan
publik? Hanya komitmen tinggi yang bisa menjawabnya.
Kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya oleh kejaksaan atau kepolisian,
mestinya tidak boleh didiamkan KPK. Misalnya, penghentian penyidikan oleh Kejaksaan
Agung tersangka Sjamsul Nursalim pada 13 Juli 2004 yang diduga mengorupsi dana
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 10,5 triliun. Penghentian penyidikan
didasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 bahwa jaminan
kepastian hukum diberikan kepada setiap debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya.
Inpres itu juga menyatakan, debitor yang kooperatif membayar utangnya, dijamin tuntutan
pidananya tidak dilanjutkan ke pengadilan. Mestinya, Inpres tidak boleh mengalahkan
ketentuan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai ketentuan yang lebih tinggi
hirarkisnya, yang menegaskan pengembalian dana yang diduga hasil korupsi tidak
menghapus dipidananya terdakwa.
Rakyat tidak puas dengan penghentian penyidikan perkara-perkara korupsi berskala
besar itu. Olehnya itu, KPK diharapkan dapat melanjutkan penyidikan perkara-perkara yang
sudah dihentikan penyidikannya. Akan mubazir proyek raksasa membentuk KPK dengan
biaya yang cukup besar, bila kinerja KPK tidak jauh beda dengan yang diperbuat kepolisian

7
dan kejaksaan. Kewenangan besar KPK tidak akan berarti apa-apa bila tidak disertai
dengan tindakan berani dan progresif yang dibenarkan oleh hukum. KPK tidak perlu gentar
melakukan tindakan progresif, termasuk melakukan revolusi nilai-nilai undang-undang
korupsi yang menghambat pengungkapan kasus-kasus korupsi.
Rupanya hukum dan keadilan di negeri ini ternyata tidak sama bagi semua orang.
Untaian kata dalam perundang-undangan belum mampu menjelaskan betapa jauhnya jarak
dan waktu antara 20 tahun di penjara dan kebebasan. Dapat dilihat pada hasil investigasi
Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menemukan 13 kasus korupsi yang terdakwanya
dinyatakan bebas atau lepas dari tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kasus-
kasus korupsi tersebut melibatkan nama-nama yang besar di negeri ini. Putusan bebas itu
dapat menjadi preseden buruk bagi peradilan korupsi ke depan.
Diperlukan aksi dan langkah konkret untuk mencegah dan memberantas korupsi. Dari
berbagai kasus korupsi, siapapun perlu mencermati pembersihan semua "sapu" yang
bertugas dan berwenang memproses koruptor melalui peradilan yang bersih dan jujur.
Tampaknya perlu belajar pada proses pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diduga
banyak diwarnai politik uang, tetapi amat sulit dibuktikan. Tentu butuh pikiran positif
menyikapinya, tetapi logika sederhana saja berbicara, apakah dijamin terpilih pemimpin
kapabel yang diperoleh dari hasil membeli suara rakyat?
Ketika partai politik secara sendirian memegang kunci kendaraan pencalonan, apakah
akan bebas dari tawar-menawar sogokan? Pada saat sengketa pilkada atau dugaan politik
uang di bawah ke ranah pengadilan, apakah juga bebas dari praktik sogok yang kemudian
melahirkan putusan menggelikan? Pada gilirannya, saat biaya politik begitu tinggi, maka
akan ada korelasinya dengan pengembalian biaya yang digunakan meraih jabatan politik.
Apakah gaji kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) selama lima tahun menjabat dapat
impas dengan biaya yang dikeluarkan?
Praktik korupsi hanya bisa dihindari oleh mereka yang memiliki integritas moral yang
tinggi. Berbagai pergelaran peradilan kasus korupsi selama ini, belum mampu melahirkan
putusan yang betul-betul mengobati luka dan rasa keadilan masyarakat. Jikapun beberapa
pelaku korupsi yang diproses KPK telah memperoleh putusan hakim, apakah yang lain juga
bisa sama, terutama yang ditangani kepolisisan dan kejaksaan, kemudian diperiksa di
Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung?
Kebebasan para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diberikan oleh
konstitusi (UUD 1945), begitu menentukan putih-hitamnya seseorang dalam menangani
perkara hukum, baik perkara pidana maupun perdata. Basah dan tidak basahnya suatu
perkara, ternyata dalam kenyataan masih sering dijadikan sebagai barang komoditi, siapa
hakim yang harus menanganinya. Akibat tidak ditunjang oleh integritas dan komitmen
moral yang tinggi dalam memeriksa perkara korupsi, menyebabkan begitu banyak hakim
yang tergelincir dengan mengabaikan “hati nuraninya”.
Tebang-pilih dalam menetapkan tersangka korupsi, seperti penanganan dugaan
korupsi KPU atau Dana Abadi Umat (DAU) oleh Kejaksaan Agung yang hanya menyeret
mantan Menteri Agama dan Khairiansyah Salman (auditor DAU), si peniup peluit (whistle
blower) pada dugaan korupsi KPU, hanya akan semakin menurunkan kepercayaan rakyat.
Apabila praktik korupsi yang sudah sistemik dan menggurita tidak dilawan dengan tindakan
progresif dan radikal, mustahil korupsi bisa dikikis di negeri ini. Di sinilah sosok KPK
dibutuhkan yang harus lebih berani, berkomitmen tinggi, terpercaya, dan profesional.

8
Jika pun begitu banyak kritik tajam dialamatkan kepada KPK yang kemungkinan
memerahkan telinga, tentu bukan bermaksud menghancurkan KPK. Tetapi memotivasi
agar KPK menunjukkan komitmen dan lebih meningkatkan kinerjanya sesuai kewenangan
besar yang diberikan. Akankah waktu kita akan habis menyoroti kinerja KPK yang belum
sesuai harapan rakyat, padahal begitu besar wewenang yang diberikan dibandingkan
dengan kepolisian dan kejaksaan? Hanya komitmen tinggi dan profesionalitas yang tinggi
yang bisa menjawabnya. Dengan begitu, rakyat akan tetap percaya dan mendukung KPK
agar tetap eksis sebagai pemberantas korupsi.

E. DUKUNGAN KONKRET PRESIDEN


Persoalan korupsi dengan berbagai dampaknya, bukan hanya dihadapi oleh negara-
negara berkembang. Negara maju dengan instrumen dan penegakan supremasi hukum
yang telah mapan pun seperti Amerika Serikat, tetap saja memiliki masalah yang serius
terhadap perilaku korupsi. Meluasnya praktik korupsi telah banyak merugikan keuangan
dan perekonomian negara yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi dan monoter yang
sampai sekarang belum mampu diatasi.
Kesempatan memberantas korupsi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dengan memberikan dukungan konkret kepada aparat hukum (termasuk KPK) bukan tanpa
makna. Sejak kampanye, paradigma baru yang didengungkan SBY yang akan memimpin
langsung pemberantasan korupsi, merupakan komitmen yang harus diimplementasikan.
Rakyat sudah jenuh oleh perilaku aparat yang berputar-putar tanpa ada hasil yang
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kalau KPK juga tidak mampu tampil beda dengan
yang ditunjukkan kepolisian dan kejaksaan seperti yang terlihat selama ini, maka akan
semakin jayalah praktik korupsi di negeri ini.
Masih segar dalam ingatan saat kampanye pemilu presiden/wakil presiden 2004 lalu,
pasangan calon Presiden SBY dan Jusuf Kalla (JK) berjanji akan memprioritaskan
pemberantasan korupsi. Setelah terpilih, lagi-lagi berjanji akan memimpin langsung
pemberantasan korupsi, sehingga keluar moto “bersama kita bisa” dalam penegakan
hukum dan perwujudan keadilan.
Sayang, belum terlihat kebersamaan itu, SBY seperti jalan sendiri karena ternyata
tidak ditunjang secara signifikan oleh para pembantunya. SBY seolah sudah kehabisan
gagasan bagaimana memompa nyali para pembantunya, padahal Instruksi sudah
dikeluarkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Kelihatan sekali SBY tidak mampu menggerakkan aparatnya
memerangi korupsi, malahan aparat hukumnya justru terlibat korupsi. Pemberantasan
korupsi yang digagas Presiden SBY masih terkesan “seremoni”. Lebih banyak melempar
wacana tanpa ditunjang aksi konkret di lapangan.
Belum terlihat “keberanian” untuk betul-betul membongkar korupsi kelas kakap. Yang
dipertontonkan masih dalam tataran “wacana” melalui pendekatan kelembagaan, seperti
membentuk lembaga antikorupsi baru yang disebut Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2005, padahal sudah
ada KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Harapan rakyat adalah perubahan sistemik, misalnya
SBY perintahkan polisi dan kejaksaan untuk menahan tersangka korupsi sejak penyidikan.
Sebab, menahan tersangka korupsi ada batas waktunya, sehingga memotivasi penyidik
untuk secepatnya menuntaskan perkara untuk dibawa ke pengadilan. Tanpa perubahan

9
sistemik dan cara luar biasa, perang melawan korupsi yang selalu didengungkan tak
ubahnya sekadar slogan yang tidak bermakna.
Kasus-kasus korupsi lama hampir tak ada yang terselesaikan, sementara kasus-kasus
baru terus bermunculan secara beruntun. Para koruptor kakap yang sudah dijadikan
tersangka seperti pada kasus dana BLBI belum merasakan dinginnya tembok penjara.
Memang KPK sudah mulai memperlihatkan taringnya pada kasus-kasus yang mendapat
perhatian publik, tetapi belum memuaskan karena selain terkesan hanya menyentuh
bagian pinggirnya, juga cenderung tebang-pilih (diskriminatif).
Lemahnya integritas aparat penegak hukum akibat kurang mendapat tekanan dari atas
agar lebih serius dan profesional, menandai buruknya kinerja Presiden SBY di bidang
pemberantasan korupsi. Hukum masih saja seenaknya dipermainkan untuk memuaskan
kepentingan politik dan perut. Hukum lebih dipadukan dengan bisnis, atau dengan afiliasi
kepentingan politik.
Para koruptor akan semakin leluasa membangun jaringan konspiratif, yang tentu saja
berakibat pada kesulitan aparat yang masih bersih untuk bergerak. Para kroni koruptor,
baik yang ada dalam kekuasaan maupun di kalangan swasta seperti pernah dikeluhkan
Presiden SBY yang mencoba menghalangi pemberantasan korupsi, akan menari-nari di
atas upaya penegakan hukum yang tidak didasari oleh “hati nurani”.
Apakah pengadilan rakyat lebih tepat daripada pengadilan negara yang ditampilkan
aparat hukum? Bila seperti itu yang harus terjadi, apalagi penegakan hukum dengan segala
mekanismenya tidak membawa efek penjeraan, berarti negeri ini akan terjebak dalam
hukum rimba. Pemerintah belum berani seperti Cina, para koruptor dihukum dengan
tembak mati di tempat terbuka. Gebrakan hukum yang membuat dunia salut dan
menyebabkan rasa enggan korupsi di negeri tirai bambu itu.
Di Indonesia belum ada koruptor yang dihukum mati meskipun Pasal 2 Ayat (2) UU
Nomor 31 Tahun 1999 (diubah dalam Pasal I ke-1 UU Nomor 20 Tahun 2002) menegaskan
“dalam hal terdakwa tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan”. Keadaan tertentu pemberatan pidana, bila mengorupsi dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusakan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi
dan moneter, serta pengulangan tindak pidana korupsi.
Rakyat begitu berharap agar dukungan dan komitmen Presiden SBY tidak luntur.
Korupsi bisa hidup subur dan akan semakin sulit dihentikan jejaringnya jika ada oknum
penguasa yang mencoba menelikung tekad Presiden SBY, hanya karena melindungi
seseorang yang kemungkinan dianggap berjasa dalam meraih kekuasaannya. Termasuk
menekan dan manakut-nakuti aktivis, pejuang hukum, dan akademisi kampus yang
bersuara vokal. Tantangan ini harus diantisipasi, apalagi lobby tingkat tinggi orang-orang
politik yang bermain di bawah permukaan yang kemungkinan tidak disadari Presiden SBY.
Yang penting orang yang dilindungi tidak dijadikan tersangka dengan mengorbankan orang
lain yang tidak memiliki jasa atau akses pada partai politik tertentu.
Komitmen Presiden SBY untuk memberantas korupsi, tidak boleh dinodai oleh
segelintir penguasa lain yang mencoba melindungi koruptor yang kemungkinan
segolongan. Tidak mungkin dimungkiri bahwa Presiden SBY memiliki komitmen untuk
menindak tegas para koruptor, dan hal itu tidak pernah seserius dilakukan presiden
sebelumnya. Keterlibatan aktor kekuasaan atau aparat hukum untuk mengalihkan issu

10
pemberantasan korupsi, tidak mungkin disangkal sebagai penyebab utama korupsi tidak
bisa diungkap dan diberantas secara tuntas.
Rakyat pun hanya melihat ketimpangan dengan rasa frustasi, bahkan cenderung
apatis karena orang yang seharusnya menegakkan hukum justru membelokkannya. Jika
pun KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, atau Timtas Tipikor begitu gencar mengungkap
berbagai kasus korupsi, bukan tidak mungkin berbias arah bila jajaran di bawah Presiden
SBY ada yang mencoba melindungi oknum tertentu yang sudah nyata terlibat korupsi.
Harapan rakyat agar serius memerangi "budaya" penjarahan uang rakyat bisa jadi
hanya sekadar wacana, bila para pemimpin dan pelaksana hukum tidak memiliki
kecerdasan emosional tinggi dan keberanian maksimal melakukan tindakan progresif.
Kualitas kepemimpinan dan moral para pemimpin yang masih rendah di berbagai lapis
pemerintahan, legislatif, dan yudikatif, akan semakin menyuburkan praktik korupsi di
tengah keterpurukan kehidupan ekonomi yang belum mampu dipulihkan pemerintah.

F. PENUTUP
Amat wajar bila banyak kalangan menilai negeri ini sudah berada pada ambang batas
kehancuran. Kehancuran sebuah bangsa dapat terjadi bila hukum tidak bisa melindungi
dan memberikan kebenaran dan rasa keadilan. Apalagi aparat hukum (polisi, jaksa, hakim,
dan pengacara) menjadikan hukum sebagai komoditas untuk diperdagangkan demi
kepentingan perutnya sendiri. Begitu pula, para penentu kebijakan publik (penguasa), tidak
boleh melindungi pejabat yang korup dengan menjadikan tumbal pegawai rendahan atau
pejabat yang tidak segolongan, padahal diduga keras secara bersama melakukan korupsi.
Begitu membudayanya praktik korupsi di negeri ini, telah membuka mata rakyat bahwa
parasit korupsi di negeri ini sudah pada tahap stadium tiga. Salah satu penyebabnya,
karena hukum dan keadilan lebih banyak tidak sesuai antara apa yang seharusnya (sollen)
dengan kenyataan (sein). Bila tidak ada upaya progresif dan tepat sasaran memberantas
korupsi, cepat atau lambat republik ini bisa hanya tinggal nama. Keterlanjuran mengelola
negara dalam dimensi kehidupan sosial yang serba konsumtif tinggi, menyebabkan ada
orang yang mulai lelah meneriakkan kebenaran dan keadilan.
Apakah reformasi hanya akan sampai pada tahap "merdeka” untuk berkata tanpa aksi
konkret? Kondisi ini akan menyulitkan lahirnya sumberdaya berkualitas untuk pengelola
negara akibat basis moral yang dangkal. Amat wajar sentilan mantan Presiden
Abdurrahman Wahid bahwa reformasi yang sebetulnya bercita-cita luhur, tetapi telah dicuri
orang. Pencurinyapun justru orang-orang yang dipilih rakyat untuk dijadikan panutan, tetapi
pada akhirnya mengkhianati suara rakyat akibat tidak memiliki kepemimpinan berkarakter.
Situasi psikologis atas permohonan uji materi terhadap beberapa pasal-pasal krusial
UU KPK, tentu amat berbahaya jika MK sependapat dengan pemohon. Akan semakin
menguatkan asumsi bahwa para koruptor yang nota bene "orang besar" akan terus menari-
nari di atas penderitaan rakyat. Sebaliknya, "orang kecil" bisanya cuma berdemo dan
berteriak di jalan, atau gerakan moral mahasiswa yang rindu melihat hukum ditegakkan
sama bagi semua orang akan kandas.
Rakyat Indonesia menaruh harapan besar pada profesionalitas KPK melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta komitmen tinggi Pengadilan Khusus
Korupsi untuk membuat para koruptor bertobat. Kinerja KPK dan Pengadilan Khusus
Korupsi harus dijadikan pelajaran bagi pejabat dan aparat negara lain yang punya

11
“kesempatan” untuk tidak melakukan korupsi. KPK tidak boleh terpengaruh pada adanya
kesan untuk menghabisi eksistensi KPK dengan permohonan uji materi terhadap sejumlah
pasal-pasal UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi
pasal-pasal yang dimohonkan itu begitu penting karena menyangkut esksistensi dan
kewenangan KPK, sehingga KPK harus diselamatkan sebagai lembaga pemberantas
korupsi dengan kewenangan yang besar.

Makassar, 10 Oktober 2006

BIO DATA
Dr. Marwan Mas, SH. MH, lahir di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tanggal 19
Nopember 1961. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada Fakultas Hukum Universitas 45
Makassar tahun 1991. Pensiun dini dari Kepolisian April tahun 1999, kemudian lebih
intensif sebagai dosen di almamaternya sejak tahun 1990 sampai sekarang. Tahun 1998
menyelesaikan pendidikan S-2 dengan yudisium Cum Laude, dan S-3 Ilmu Hukum tahun
2005 pada Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Menulis buku, mengikuti dan menjadi narasumber dalam berbagai seminar ilmiah, diskusi,
dan lokakarya di tingkat nasional dan regional (lokal). Aktif menulis di Jurnal Ilmiah dan
berbagai media cetak, baik koran lokal di Makassar maupun koran nasional. E-mail:
marwanmasna@yahoo.com.

12

Anda mungkin juga menyukai