Anda di halaman 1dari 3

Tepat pukul 22.00 malam saya sudah mendahului bapak-bapak yang sejatinya bertugas untuk meronda.

Sesampainya di pos ronda, saya melihat nama-nama yang bertugas malam ini, tertulis 6 nama di jadwal. Jadwal dan segala bentuk pengumuman ditempelkan pada satu mading sederhana. Ini bukan untuk pertama kalinya saya ke pos itu, bila ada waktu kosong saya biasa kesana menyendiri untuk sekedar merenung. Beberapa saat kemudian, datang seorang bapak yang perawakan tua. Raut wajahnya sudah tidak asing bagiku, seketika itu Ia bertanya "Ngapain di pos ronda?". Sayapun menjawab "Gak pak, cuma mau ikut ngeronda aja, boleh Pak?". "Ya boleh tohhh... Silahkan saja kalau mau". Setelah itu kami mengobrol banyak berdua. Tak lama berselang, datang lagi beberapa orang yang juga bertugas malam ini. Mereka sama-sama berjasa dan rela meniggalkan hiburan televisi di rumah untuk menjaga keamanan desa. Bapak-bapak itu berkumpul dengan canda tawa, hanya ditemani asap rokok yang tak henti mengepul. Obrolan kami terpusat seputar bola. Kebetulan Persiba baru saja memenangkan kompetisi divisi utama. Satu tradisi menarik yang berbeda denga budaya ngeronda di desa saya yakni Jimpitan. Jimpitan adalah uang sukarela yang diambil dari rumah-rumah warga. Jumlahnya berkisar Rp 100,- s/d Rp 1000,- yang kebanyakan terdiri dari uang receh/logam. Di setiap rumah memang sudah disiapkan wadah untuk menaruh uang recehan tersebut. Setiap malam peronda menyebar ke rumah warga untuk mengambilnya lalu dihitung bersama di pos ronda. Pak Sukamto sedikit bercanda bahwa, dari jimpitan ini bisa dibaca karakter si empunya rumah, jika tidak memberi dalam beberapa malam lamanya itulah ciri-ciri orang pelit. Ada-ada saja pikirku. Setelah semua peronda datang, waktunya menghitung semua hasil jimpitan. Alhamdulillah terkumpul Rp 17.000,-. Uang ini selanjutnya akan dimasukkan ke dalam kas RT. Sebuah usaha bersama yang efektif untuk memenuhi anggaran RT. Isu-isu kemalingan memang jarang terdengar di desa ini. Hanya saja sempat santer pada waktu listrik belum masuk ke desa ini, tepatnya sekitar tahun 80an, ungkap bapak di samping saya. Walau demikian, ngeronda tetap giat diadakan. Sederhana, mereka berpikiran bahwa maling saja memiliki jiwa persatuan yang lebih kuat dengan strateginya mencuri, maka kami pun harus lebih lebih bersatu dari mereka. Setiap malam ngeronda hanya berlangsung hingga pukul 00.00 dini hari. Ada saja pembicaraan ringan yang muncul. Malam ini saja, kami asyik membahas tentang susu murni dan penyakit akibat merokok. Bermaksud menyinggung teman kami yang merokok. Itu semua untuk menhindari rasa kantuk. Di tengah asyik berbincang-bincang, datang seorang kakek yang ternyata juga bertugas. Beliau akrab dipanggil mbah, sayapun ikut serta memanggilnya demikian. Sepintas, kakek ini tak berdaya bila dihadapkan dengan ganasnya maling (maaf mbh). Tapi saya kira, semangat Mbah

sudah mengalahkan semangat maling. Suasana pos ronda dan rasa bosan di rumah membuat mbah menuju kemari, selain karena memang tugasnya. "Ahhhh... Beritanya membosankan" begitulah kira - kira yang saya pahami dari bahasanya. "Wahhhh... Mbah itu senior di sini, sudah kemana-mana meronda", sontak kami semua tertawa terbahak-bahak karena celetukan seorang bapak di depanku yang memang pandai melucu sejak tadi. Diam sejenak, "hahahaha..." kami kembali tertawa karena seorang bapak terbangun dari tidur setelah mengigau. Ternyata si bapak tengah mendengarkan lagu dangdut dengan headset di kepalanya. ''Mahasiswa pernah jaga juga pak?'' tanyaku. "kamu malah yang pertama dek... Mungkin malu atau gak kuat begadang". Saya pun tertawa kecil mendengarnya. Bapak itu berpesan bahwa, mahasiswa sekarang jarang yang berani hidup dekat masyarakat. Mereka lebih asyik dengan kehidupannya. Padahal mereka suatu saat membutuhkan masyarakat di sini, tempat tinggal mereka. Saya pun bertanya, bagaimana sikap mahasiswa di sekitar sini. Bapak itu melanjutkan, bahwa rerata kalangan mahasiswa berperilaku baik dan jika ada yang tidak, itu hanya segelintir. Karena pada dasarnya, masyarakat desa di sini terbuka dan menerima dengan ramah. Saya senang mendengar wejangan beliau yang juga mendapat sahutan dari bapak-bapak yang lain. Karena semakin banyak peronda yang datang, maka tak enak juga jika saya duduk di atas. Saya pindah dan duduk di tepi jalan raya. Wahhh.. Tak kuduga bapak-bapak lain juga ikut duduk di depan saya tepatnya di badan jalan. Dua bapak di depanku melucu dengan tingkah dan logat yang memancing tawa.' walau saya tidak mengerti banyak, tapi tetap saja ikut tertawa. Dinginnya malam tak berasa lagi. Tok...tokk..tokkk... Suara kentonga terdengar mengagetkanku. "Kok dipukul pak?" tanyaku. "Itu nandakan aja mas, kalau di sini ada yang jaga jadi gak usah khawatir" tapi kentongan ini tidak sering dipukul. Karena sebenarnya, hanya dipergunakan untuk isyarat-isyarat tertentu, misal terjadi kebakaran atau kemalingan. Pukul 11:30 saya pamit pulang. "kok pulang?" tanya bapak di seberang jalan. Saya katakan bahwa ingin menuliskan pengalam berharga malam ini. Bapak di pos ronda menyahut, agar besok malam saya ikut ngeronda lagi. Spontan saya jawab, "Insya Allah pak, dengan senang hati". Selain untuk pertamakalinya saya meronda, sekaligus juga menjadi pengalaman menarik bagi saya. Dengan ngeronda bersama bapak-bapak itu, saya tahu banyak dengan situasi dan kondisi sebenanya dari masyarakat desa ini. Berapa jumlah kepala keluarga di RT.2 ini dan siapa nama Pak RT-nya. Belum lagi kekakraban dengan masyarakat desa, terutama dengan bapak-bapak yang sudah bersedia memnyertakanku ikut ngeronda. Senang rasanya bisa mewakili teman-teman mahasiswa, dan mendengar langsung pendapat mereka tentang teman-teman kampusku. Sebagai rekomendasi buat teman-teman kampus (mahasiswa) agar mencoba ikut merasakan sensasi ngeronda bersama masyarakat. Dekatkan

diri dengan masyarakat dengan cara sederhana, membaur dengan mereka, menghargai mereka dan jangan takut tidak diterima. Selagi niatnya baik, mereka pasti mengatakan " Ya boleh tohhh

Anda mungkin juga menyukai