Anda di halaman 1dari 48

Rangkum

Buku: Wacana Baru Filsafat Islam

Penulis oleh: A. Khudori Soleh Pengantar : Prof.Dr. Hm.Amin Abdullah

Nama Nim

: KHARISMA TRI HIDAYAT :050903503125082

Fakultas / Jurusan : Fisip/ Ikom

Buku: Wacana Baru Filsafat Islam

Penulis oleh: A. Khudori Soleh Pengantar : Prof.Dr. Hm.Amin Abdullah

A
A. Konsep Dasar Filsafat Islam Filsafat adalah berpikir bebas, radikal, dan berada dalam dataran makna. Bebas artinya dapat memilih apa saja untuk dipikirkan, tidak ada yang haram untuk dipikirkan semua tergantung seseorang untuk memikirkannya7 . Tidak ada intimidasi dari siapapun, meski ia berada dalam penjara sekalipun, meski tubuhnya dipasung dalam kerangkeng, tetap saja pikirannya bekerja. Bebas juga dapat berarti melepaskan diri dari doktrin-doktrin yang tidak berdalil (memililki alasan), kejumudan berpikir, dan taqliq pada

seseorang atau sesuatu tanpa mengerti persoalannya seperti apa. Bukankah ini yang dilawan oleh ajaran Islam ? Melawan kemalasan berpikir, kebodohan dan beragama tanpa ada dasar pemikirannya. Radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya, bahkan melewati batasbatas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan di luar yang fisik, dan seringkali disebut sebagai metafisis. Pengembaraan filsafat melewati batas-batas penginderaan manusia8. Bukankah dalam Islam sendiri sangat membenci materialistik (konsep hidup yang lebih memprioritaskan hal-hal yang bersifat materi). Dan untuk lepas dari matetialistik maka kita harus bisa melampaui hal-hal yang fisik. Di dalam Islam sendiripun ada konsep tentang dunia ghoib, dan untuk memahami hal yang ghaib kita tidak bisa memahaminya melalui indrawi belaka. Berfilsafat adalah berpikir adalam tahap makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran. Berpikir dalam tahap makna bukan dan tidak dipakai untuk menjawab persoalan teknik. Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu. Makna yang terkandung itu berupa nilai-nilai, yaitu kebenaran, keindahan, ataupun kebaikan.9 1. Filsafat menurut bahasa Kata-kata filsafat diucapkan falsafah dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti cinta kepada pengetahuan, dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut Philosophos atau Failasuf dalam ucapan Arabnya. Mencintai pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan. . Filsafat Menurut Istilah Pengertian filsafat menurut istilah yang diberikan oleh beberapa ahli yang terkadang jauh lebih luas

dibandingkan dengan arti menurut bahasa. Plato (427 347 Seb. Masehi), filsuf Yunani yang termashur murid Socrates, menyatakan bahwa: Filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada. Sementara Al Farabi ( wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina berkata: Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya. Definisi Filsafat Islam Pembahasan mengenai hal tersebut ada masalah yang dihadapi yaitu apakah filsafat itu bercorak Islam atau bercorak Arab. Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka kaum filosof Islam, ada pula yang menamakan para filosof beragama Islam, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan para hikmah Islam (Falasifatul-Islam, atau Alfalasifatul Islamiyyin atau Hukumaul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan

nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam. Hakekat Filsafat Islam ialah aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga alQuran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh. B. Objek Filsafat Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali. Objek filsafat itu bukan main luasnya, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalamdalamnya. Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak. Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada). Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:

1. Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok: a. Hakekat Tuhan; b. Hakekat Alam dan c. Hakekat Manusia. 2. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada). b. perbandingan antara filsafat islam dan filsafat yunani Filsafat Islam memiliki keunikan dalam topik dan isu yang digarap, problem yang coba dipecahkan, dan metode yang digunakan dalam memecahkan permasalahan-permasalahan itu. Filsafat Islam selalu berusaha untuk mendamaikan wahyu dan nalar, pengetahuan dan keyakinan, serta agama dan filsafat. Filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan bahwa pada saat agama berpelukan dengan filsafat, agama mengambil keuntungan dari filsafat sebagaimana filsafat juga mengambil manfaat dari agama. Pada intinya, filsafat Islam adalah hasil kreasi dari sebuah lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang, dan jelasnya, filsafat Islam adalah filsafat agama dan spiritual. (a) Topik Filsafat Islam: Meskipun filsafat Islam berorientasi religius, ia tidak mengabaikan isu-isu besar filsafat, seperti problem keberadaan dalam waktu, ruang, materi dan kehidupan. Cara pengkajian filsafat Islam terhadap epistemologi pun unik dan komprehensif. Ia membedakan antara kedirian (nafs) dan nalar, potensi bawaan sejak lahir dan al-muktasab, ketepatan dan kesalahan, pengetahuan dzanni dan qathi. Filsafat Islam juga mengkaji tentang definisi serta klasifikasi kebaikan dan kebahagiaan. Para pemikir Muslim membagi filsafat ke dalam dua kategori umum, spekulasi dan praktis, dan diskusi mereka mencakup berbagai macam topik semisal filsafat alam, matematika, metafisika, etika dan politik. Dengan jelas para pemikir Muslim percaya bahwa filsafat memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada

yang diyakini saat ini, dan karenanya, karya-karya mereka mirip dengan para filosof Yunani, khususnya Aristoteles. Secara umum, seluruh bidang ilmu pengetahuan dianggap sebagai cabang-cabang filsafat dalam Islam. Dengan fakta seperti itu, wajar jika akhirnya, kajian komperehensif terhadap filsafat Islam haruslah meliputi berbagai disiplin ilmu lain, khususnya tasawuf dan teologi. Karena capaian dua disiplin ilmu ini terkadang lebih filosofis dari apa yang ada di filsafat sendiri. (b) Filsafat Islam dan Skolastikisme Kristen: Apa yang telah kita kaji barangkali memberikan gambaran akan bentuk pemikiran-pemikiran filosofis dalam Islam. Dan merupakan sebuah kesalahan untuk membatasi diri kita sebagaimana yang telah dilakukan para sarjana Eropa abad ke-19 hanya mempelajari terjemahanterjemahan Latin dan Ibrani saja. Faktanya, jika kedalaman dan keluasan pemikiran para filosof Muslim pernah secara gamblang dan jelas dipahami, hal itu pasti melalui pengujian orisinalitas asal-usul mereka. Walaupun tidak seluruh teks-teks asli telah dipublikasikan dan diteliti, tapi cukup kuat untuk meyakinkan kita bahwa bahan-bahan yang dikumpulkan oleh para pemikir Muslim pada abad pertengahan lebih banyak daripada yang dikumpulkan oleh para sarjana Kristen saat itu. Dan bahwa para pemikir Muslim mengeksplorasi ruang lingkup pembahasan yang lebih luas, menikmati lebih banyak kebebasan, dan membuat lebih banyak penemuan daripada rival mereka. Karenanya, seseorang yang akan membahas pemikiran Kristen skolastik, hendaknya membahas filsafat dan skolastikisme Islam dahulu, karena pemikiran skolastik Kristen banyak berhutang pada skolastikisme Islam untuk mengembangkan dan memecahkan beberapa problematika yang dihadapinya. (c) Filsafat Islam dan Filsafat Yunani: Kita tidak mengingkari kenyataan bahwa filsafat Islam dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Aristoteles khususnya. Kita juga tidak menyangkal bahwa para pemikir Muslim takjub

pada Plotinus dan mengikutinya dalam beberapa hal. Sebuah kata yang tidak diulang pengucapannya akan dilupakan dan mati, dan siapa yang tidak merupakan murid di sekolah para pendahulunya? Kita, anak-anak abad ke-20, masih mengandalkan beberapa karya ilmiah Yunani kuno dan Romawi. Jika kita nekat menggunakan dan mengikuti lagu ganjil yang dimainkan oleh Renan, yang mengklaim bahwa filsafat Islam tidak lain dari sekadar replika dari filsafat Aristoteles, kita akan salah kaprah. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa filsafat Islam terpengaruh oleh beberapa faktor, kemudian menghasilkan banyak ide dan pandangan baru. Sebagaimana filsafat Islam terpengaruh oleh Yunani, ia juga terpengaruh oleh tradisi pemikiran India dan Persia . Pengambilan dan pengadopsian sebuah ide tidak selalu menghasilkan taklid buta. Beberapa orang mungkin menguji beberapa topik tertentu, dan hasilnya berbeda satu sama lain. Seorang filosof mungkin menggunakan ide filosof lain, tapi hal ini tidak mencegahnya untuk melahirkan ide baru atau bahkan sistem filsafat baru. Spinoza, misalnya, walau dengan jelas mengikuti jejak Descartes, menciptakan sistem filsafatnya sendiri yang mandiri. Ibn Sina, walau merupakan murid setia Aristoteles, memiliki pandangan-pandangan yang tidak pernah dinyatakan oleh gurunya. Setiap filosof Muslim hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, dan merupakan sebuah kesalahan kalau kita mengingkari pengaruh dari hal tersebut terhadap ide filsafat dan pandangan-pandangan mereka. Dan akhirnya, walaupun Islam terpengaruh oleh Yunani dan lainnya, Islam tetap memiliki tradisi filsafat orisinil yang sesuai dengan kondisi sosial dan prinsip-prinsip agama. (d) Filsafat Islam dan Filsafat Modern: Kita menyadari adanya kait kelindan antara filsafat modern dan filsafat abad pertengahan, di satu sisi, dan pengaruh filsafat Islam terhadap pemikiran Eropa abad pertengahan di sisi lain. Lalu bagaimana mungkin kita mengingkari pengaruh pemikiran Islam terhadap filsafat modern?

Jamak diketahui bahwa sejarah filsafat modern bermula dengan pembahasan dua topik penting: pertama, aspek eksperimen, yang berhubungan dengan materi realitas eksternal. Dan kedua, spekulasi, yang berkonsentrasi pada ilmu pengetahuan rasional. Dengan kata lain, ekperimen Bacon di satu sisi dan keraguan Descartes di sisi lain, merupakan materi diskusi dan kontroversi di era modern. Para pemikir skolastik Kristen dan filosof renaissance melakukan eksperimen dan meneliti alam jauh sebelum Bacon. Roger Bacon, yang disebut Renan sebagai pangeran pemikiran abad pertengahan, tidak membatasi dirinya sendiri pada eksperimen kimia saja tapi meliputi seluruh segi alam. Jika sudah jelas bahwa Bacon memiliki kontak dengan karya-karya ilmuwan Muslim, kita bisa menyimpulkan bahwa pendekatan eksperimennya, atau (bahkan) permulaan eksperimen selama renaissance secara umum, merupakan produk dari pemikiran Islam dan para pemikir Muslim, karena merekalah yang menggunakan observatorium dan laboratorium untuk mengungkap kebenaran-kebenaran ilmiah. Sedangkan kaitannya dengan keraguan Kartesian, ada bukti bahwa hal itu telah ada selama abad pertengahan Kristen. Kita percaya bahwa studi tentang muasal keraguan Kartesian akan cacat jika tidak diiringi dengan penelusurannya di dalam filsafat Islam. Siapa yang bisa menyatakan bahwa keraguan Descartes tidak baik secara utuh maupun sebagian terpengaruh oleh keraguan al-Ghazali? Bahkan jika kita membuang pertanyaan tentang keterpengaruhan, kedua filosof tersebut tetap memiliki kesamaan dan kemiripan terma dalam berpikir. S. Van den Bergh dalam karyanya bertajuk Die Epitome der Metaphysik des Averroes menunjukkan bahwa cogito-nya Descartes tidak secara penuh terinspirasi oleh St. Augustina dan bahwa ada banyak kemiripan antara cogito tersebut dengan ide Ibn Sina tentang manusia yang melayang di awangawang. Terbukti bahwa pengaruh dunia kuno benar-benar ada dan diperbarui selama abad pertengahan. Mengapa kita harus mengingkarinya? Ide-ide dan opini tidak bisa dibatasi oleh garis batas geografi, pergerakannya

tidak bisa dihalau. Apa yang pada suatu saat dulu dianggap sebagai rahasia atom, kini dianggap sebagai pengetahuan ilmiah biasa yang diketahui semua orang di dunia.

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman,1 adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem.2 Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiranpemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia , misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.3 Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi bukubuku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-

833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq.4 Pada masa-masa

ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M).5 Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbth) dengan istilah-istilah seperti istihsn, istishlh, qiys dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbth dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699767 M), Malik (716-796 M), Syafii (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soalsoal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.6

A. Sumber Pemikiran Rasional Islam. Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim,7 pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalanpersoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan

perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha keluar dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding

yang pertama. (3) Penggunaan qiys (analogi) atas persoalanpersoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks.8 Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata mukmin dan muslim dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak? Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.9 Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya,

menurut Leaman,10 hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan

argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku . Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. B. Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam. Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan,11 telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch , Haran , Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq ) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w. 667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.12 Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model

administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi.13 Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik. Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan

buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.14 Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok yang datang dari Iran , India , Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq.15 Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode

sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.16 Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku Filsafat Pertama (al-Falsafat al-la), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu

bergema.17 Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.18 Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-

Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi,19 semua pengetahuan -pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan. Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmuilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh,20 penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham

lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani. Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M).21 Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syareatsyareat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya.22 Contoh lain adalah al-Razi (865-925 M).23 Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.24 Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan

keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya

tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi revolosi; orangorang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf.25 Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad , filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad , di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950).26 Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai guru kedua (al-mu`allim al-tsni) setelah Aristoteles sebagai guru pertama (al-mu`allim al-awwl). Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya

dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalm) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani.27 Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik.28 Sampai disini filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim sebagai ilmu religius. Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran ArabIslam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi.29 Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut akal, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian

diberi gelar Guru Utama (al-Syaikh al-Rais).30 Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski alGhazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahfut al-Falsifah yang diulangi lagi dalam alMunqid min al-Dlall,31 al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat,32 juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam,33 bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena alGhazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama.34 Bahkan, dalam alMustashf fi `ulm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani.35 Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai Hujjat al-Islm telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau substansi pemikirannya.36 Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (1126-

1198). Lewat tulisannya dalam Tahfut al-Tahfut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish,37 balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neoplatonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.38 Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam, kecuali dalam mazhab Syiah. Dikalangan elite terpelajar madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (15711640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya.39

D
Filsafat dan tasawuf Sekarang kita akan melihat secara umum, bagaimanakah sebenarnya hubungan antara filsafat dengan mistisisme, yang dalam konteks filsafat Islam disebut dengan tasawuf. tasawuf dan filsafat Tasawuf dipahami sebagai mistisisme Islam -kadang disebut juga Sufisme- (karena dinisbatkan kepada ahli tasawwuf yang disebut sufi). Tasawuf dimasukkan oleh Ibn Khaldun ke dalam kelompok

ilmu-ilmu naqliyyah (agama). Sebagai salah satu ilmu naqliyyah, maka tasawuf, didasarkan pada otoritas, yaitu Al-Quran dan Hadits, dan bukan pada nalar rasional seperti filsafat. Tasawuf dan Filsafat memang bisa kita bedakan, karena sementara yang pertama bertumpu pada wahyu dan penafsiran esoterik (batini) sedangkan yang kedua bertumpu pada akal. Meskipun begitu, tidak selalu berarti bahwa kedua disiplin ini bertentangan satu sama lainnya. Walapun untuk kebanyakan orang, filsafat akan terasa aneh karena mereka hanya menafsirkan agama secara harfiah atau eksoterik. Menurut Ibn Rusyd, kalau terkesan bahwa filsafat seolah-olah bertentangan dengan agama, maka kita harus melakukan tawil kepada naskah-naskah agama. Alasannya adalah karena naskah-naskah agama bersifat simbolis dan kadang memiliki banyak makna. Dari sudut boleh tidaknya penafsiran eksoterik atau tawil, maka filsafat dan tasawuf, seiya-sekata. Tetapi dilihat dari metode penelitiannya maka keduanya berbeda. Filsafat memanfaatkan dimensi rasional pengetahuan, sementara tasawuf dimensi spiritual. Namun, karena keduanya (dimensi rasional dan spiritual) adalah dimensi sejati dari kebenaran sejati yang sama, maka keduanya berpotensi untuk saling melengkapi. Menurut Al-Farabi dan Ibn Sina, sumber pengetahuan para filosof dan para nabi (termasuk para sufi), adalah sama dan satu, yaitu akal aktif (al-aql al-faal), atau malaikat Jibril dalam istilah agamanya. Hanya saja sementara para filosof mencapai pengetahuan darinya (akal aktif) melalui penalaran akalbeserta latihan yang intensif, sementara para Nabi (sufi) memperolehnya secara langsung tanpa perantara. Sementara itu, untuk memperoleh pengetahuan para filosof menggunakan penalaran diskursif, para Nabi (sufi) menangkapnya lewat daya mimitik imajinasi (menurut Al-Farabi) atau akal suci atau intuisi (menurut Ibn Sina). Sehingga bisa kita saksikan bahwa, bahasa filsafat bersifat rasional, sementara bahasa profetik/mistik bersifat simbolis dan mistis. Namun menurut kedua filosof muslim tersebut, baik filsafat maupun tasawuf berbicara tentang kebenaran yang sama. Hanya saja mereka menggunakan cara dan bahasa yang berbeda. Perbedaan yang mencolok antara modus pengenalan rasional dan pengenalan intuitif atau mistik adalah, bahwa pengetahuan akal membutuhkan perantara, berupa konsep atau representasisemisal kata-kata atau simbol-untuk mengetahui objek yang ditelitinya. Dan mungkin karena itu, maka modus pengenalan rasional (falsafi) disebut ilmu hushuli (acquired knowledge). Untuk mengetahui pikiran seorang misalnya, kita harus mempelajari pikiran-pikirannya dengan membaca tulisan-tulisan atau mendengarkan ceramah-ceramahnya. Berbeda, tentunya, dengan orang itu sendiri, ketika ia ingin memahami pemikiran-pemikirannya sendiri, ia tidak perlu atau tergantung pada kata-katanya, karena orang itu dapat memahaminya dengan begitu saja, tanpa representasi apapun. Oleh karena sifatnya yang tidak langsung itulah, maka pengetahuan rasional tidak bisa betul-betul menangkap objeknya secara langsung. Modus pengetahuan seperti itu, menurut Rumi, akan sama dengan orang yang berusaha memetik setangkai bunga mawar dari M.A.W.A.R. Anda, kata Rumi, tidak akan mampu memetik mawar dari M.A.W.A.R., karena anda baru menyebut namanya. Cari yang empunya nama!. Berbeda dengan modus pengenalan rasional, pengenalan intuitif atau mistik (seperti yang dialami oleh para Sufi atau nabi) bersifat langsung, dalam arti tidak butuh pada simbol atau representasi apapun. Ia tidak butuh pada bacaan, huruf atau bahkan konsep dan sebangsanya.

Contoh yang mudah dari pengenalan seperti ini adalah, misalnya, pengetahuan kita tentang diri kita sendiri, atau yang biasa disebut self-knowledge. Untuk mengetahui diri kita sendiri, apakah kita perlu perantara, seperti halnya ketika kita hendak mengerti orang lain? Tentu saja tidak. Kita tahu tentang diri kita-dengan begitu saja, karena keinginan kita dengan diri kita adalah satu dan sama. Pikiran kita misalnya, bahkan bisa dikatakan telah menyatu dengan diri kita. Ia hadir dan dan tidak bisa dipisahkan lagi dari diri kita. Itulah sebabnya, mengapa modus pengenalan ini disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence / presential knowledge). Karena objek yang diteliti (misalnya pikiran atau keinginan) telah hadir dalam diri kita, bahkan telah menyatu dalam diri kita, maka terjadi kesatuan (identitas) antara subjek dan objek, antara yang berpikir dengan yang dipikirkan, antara alim dan maklum. Akibatnya, maka pengetahuan kita tentang objek tersebut (yang tidak lain dari pada diri kita sendiri) adalah sama dan satu. Di sini kita mengalami bahwa mengetahui (to know) adalah sama dengan ada itu sendiri (to be). Meskipun tasawuf dikategorikan oleh Ibn Khaldun sebagai ilmu naqliyyah (agama) dan karena itu berdasarkan pada otoritas, namun menurut kesaksian Ibn Khaldun sendiri dalam Al Muqaddimahnya, Tasawuf, pada perkembangan berikutnya, telah banyak memasuki dunia filsafat , sehingga sulit bagi keduanya untuk dipisahkan. Dalam kasus filsafat suhrawardi, misalnya, kita bisa melihat bahwa tasawuf bahkan telah dijadikan dasar bagi filsafatnya, sehingga orang menyebutnya filosof mistik (mutaallih). Sementara pada diri Ibn Arabi, kita melihat analisis yang sangat filosofis merasuki hampir setiap lembar karya-karyanya. Sehingga tasawufnya sering disebut tasawuf falsafasi. Pada masa berikutnya, kita tahu bahwa Mulla Shadra, pada akhirnya telah dapat mensintesiskan keduanya, dalam apa yang kita sebut filsafat Hikmah Mutaaliyyah, atau teosofi transenden. Disini, unsur-unsur filosofis dan mistik berpadu erat dan saling melengkapi satu sama lain.

Agama dan filsafat Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa telah terjadi hujatan dan penentangan yang begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan mengenai kehadiran filsafat ke dalam kajian/wilayah agama. Mereka mengatakan filsafat sangat bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.

filsafat dan agama Apakah betul bahwa filsafat sangat bertentangan dengan agama? Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama sesungguhnya adalah samasama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja yang menolak untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu adalah kafir, maka sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang sebenarnya kafir. Diantara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah karya khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan antara filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama sesungguhnya tidak ada pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru mewajibkan pemeluknya untuk belajar filsafat.

Jika filsafat mempelajari secara kritis tentang segala wujud yang ada dan merenungkannya sebagai petunjuk dalil adanya sang pencipta dari satu sisi dan syariah pada sisi yang lain telah memerintahkan untuk merenungkan segala wujud yang ada, maka sesungguhnya antara apa yang dikaji oleh filsafat dan apa yang dianjurkan oleh syariah telah saling bertemu. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa mempelajari filsafat sesungguhnya telah diwajibkan oleh syariah. Penekanan alquran didalam surat 59 ayat 2 yang berbunyi : Fatabiru ya uli al abshar (Renungkanlah olehmu, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan (visi)) sesungguhya lebih kepada penekanan pentingnya untuk menggunakan akal, atau gabungan antara penalaran intelektual (filsafat) dan penalaran hukum (syariat). Demikian juga surat 185 ayat 7 yang mengatakan : Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah Juga adalah ayat yang menganjurkan supaya manusia menggunakan akal dan penalarannya untuk mempelajari totalitas wujud. Dengan demikian maka sesungguhnya syariat telah mewajibkan kepada kita untuk menggali pengetahuan tentang alam semesta ini dengan penalaran. Namun demikian, untuk bisa melakukan penalaran yang benar maka disyaratkan seseorang itu harus mengetahui terlebih dahulu beberapa metode atau cara berpikiran yang logis dengan mempelajari ilmu logika supaya bisa melakukan pembuktian yang demonstratif. Ibn Rusyd kemudian membandingkan kewajiban mempelajari ilmu logika sebagai alat untuk berfilsafat dengan kewajiban yang ditetapkan oleh para fuqaha untuk mempelajari katagori-kategori hukum yang termuat dalam ushul al-fiqh. Ibn Rusyd menyatakan jika para fuqaha menyimpulkan kewajiban untuk memperoleh pengetahuan tentang penalaran hukum dari ayat fatabiru ya uli al abshar, maka alangkah lebih pantas jika ayat tersebut dijadikan sebagai dalil wajibnya untuk mempelajari pengetahuan rasional (rasional reasoning) bagi mereka yang ingin mengetahui Tuhan dan ciptaan-Nya. Bagi mereka yang tetap ngotot mengatakan bahwa belajar filsafat tersebut adalah bidah, Ibn Rusyd mengatakan, anggaplah filsafat itu bidah karena tidak terdapat dikalangan orang-orang Islam pertama (salaf). Tetapi apakah hal serupa tidak berlaku juga bagi studi penalaran hukum (ushul alfiqh) yang tercipta juga setelah periode salaf. Bagaimana mungkin jika yang satu dikatakan tidak bidah tetapi yang lainnya dikatakan bidah padahal keduanya membicarakan penalaran hukum dan penalaran rasional yang sama-sama diciptakan setelah periode salaf.

G
Filsafat Islam dalam Bingkai Sejarah

Avicenna

Filsafat Islam dewasa ini menjadi domain wacana dan tema diskusi yang kuat di kalangan pemikir (pemerhati filsafat) di Timur maupun di Barat. Setidaknya hal ini terjadi pada abad ke-19 hingga kini. Sebut saja orang-orang seperti Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, HAR. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Joel Kraemer, dan belakangan Oliver Leaman serta beberapa ahli filsafat muslim yang ada di Eropa lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens. Adapun sebelumnya, wacana filsafat Islam seringkali tidak terjamah bahkan mungkin hampir ditiadakan baik itu di kalangan pemikir Barat, maupun dalam sebagian tradisi Islam sendiri. Filsafat Islam dipandang sebagai sebuah objek yang asing dan serangkaian ilmu import yang harus dilawan dan diperlakukan sebagai anak yatim oleh para sarjana Barat terutama para sejarawan kuno. Referensi yang selama ini dirujuk oleh para sarjana Barat ketika menghubungkan antara Kebangkitan (Renaissance) di Eropa adalah tradisi keilmuan Yunani yang dikenal dengan zaman logos. Hal ini sangat kuat diyakini terutama dalam cara pandang tentang kehidupan yang dilandasi oleh pemikiran filosofis Yunani. Selalu saja rujukan awal yang dicari adalah para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Memang hal ini bukanlah sebuah kesalahan fatal. Namun ketika hal tersebut tidak pernah dikaitkan dengan kejayaan yang pernah diraih oleh Islam dan kita tahu bahwa Islam sangat banyak menyumbangkan pemikiran dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan beberapa bidang lainnya, ada keterputusan-sejarah yang pada akhirnya menyebabkan kerancuanilmiah dalam memandang filsafat secara umum terutama dalam filsafat Barat pasca Renaissance. Karena pada dasarnya ada kotinuitas-historis yang tidak bisa kita abaikan. Ketika Islam mengalami kejayaan peradaban pada abad ke-9 hingga abad ke-11, dunia Islam sendiri mengakui adanya andil besar gelombang helenisme yang lebih awal dalam mengais kemajuan peradaban. Dalam hal terakhir ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles, dan beberapa tokoh lain, coba ditafsirkan oleh para filosof muslim awal seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Hasan Hanafi mencoba mendongkrak asumsi-asumsi salah yang dilancarkan para pengkaji filsafat Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan orientalis. Menurut Hanafi, selama ini mereka menduga bahwa para filosof muslim hanya melakukan pembacaan terhadap filsafat Yunani, kemudian mengikuti, melakukan anotasi, dan meringkas karya para filsuf Yunani, serta mencampuradukkannya dengan filsafat Islam, dengan memperburuk pemahaman tentang konsepkonsep filosofis. Namun saya kira, tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur-Dekat sebagai pendahulunya. Secara genuin, Joel L. Kraemer menjelaskan bahwa filosof-filosof Yunani praSocrates seperti Empedokles, umpamanya, dikatakan telah belajar kepada Luqman sang filosof (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud; atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orangorang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisi filosofis yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut. Ada khazanah yang cukup berharga dari temuan-temuan pada filsafat Islam yang selama ini tidak diakui oleh filosof dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal Islam sendiri memiliki tradisi keilmuan yang begitu kokoh, terutama pada abad pertengahan. Atau mungkin sebenarnya mereka banyak mengambil khazanah pemikiran filsafat Islam, namun mereka enggan untuk mengakui keberadaannya secara ontologis dalam rentetan sejarah peradaban dunia.

Tradisi Filsafat

Mulla Sadra Tradisi filsafat : Menurut Majid Fakhry, tradisi filsafat bermula muncul di pesisir Samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Sedangkan bagian Timur ini merupakan wilayah Asia . Oleh karenanya dalam dunia filsafat terkenal adanya istilah kearifan timur sebagai the ancient wisdom, karena memang awal mula munculnya tradisi filsafat adalah dari dunia Timur. Lalu dari Asia Minor yang berada di Barat Asia berpindah ke Aegen yang bagian Utara dan Baratnya adalah daratan Yunani. Beberapa abad lamanya, tanah Yunani inilah yang menjadi tempat bersemainya filsafat. Tradisi filsafat mulai merambah kembali ke daerah Timur ketika Iskandar Agung berkuasa sekitar 332 SM di Iskandariah, dan memuncak pada 529 M . Iskandariah merupakan bagian dari Mesir saat ini. Lalu ketika Mesir takluk pada bangsa Arab pada 641 Munasabah di bawah pimpinan Amr bin Ash, Iskandariah tetap menjadi kota budaya yang mengembangkan tradisi filsafat, sains, dan kedokteran. Perdebatan rasional-filosofis dalam tradisi Islam sebenarnya sudah dimulai pada permulaan abad munculnya Islam, yakni sekitar akhir abad ke-6 dan ke-7 yang diawali oleh aliran-aliran teologis dalam Islam, terutama aliran Mutazilah. Namun pembahasan yang mereka lakukan hanya terbatas pada permasalahan ketuhanan dalam bingkai agama. Permasalahan lain seperti realitas alam, manusia, dan kehidupan belum banyak mereka bicarakan dengan pemikiran yang radikal. Pengaruh filsafat Yunani yang cukup signifikan terjadi pada corak pemikiran filosofis Islam, berlangsung melalui proses penerjemahan, transferensi, dan anotasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh filosof muslim. Banyak sekali buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan cukup mempengaruhi corak pemikiran para filosof muslim, di antaranya Timaeus karya Plato; Analytica Posteriora, Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption dan Nicomachean Ethics karya Aristoteles; Isagoge karya Porphyry, dan Synopsis of the Ehtics karya Galen. Semua itu dilakukan pada masa kekuasaan Abbasiyah. Tradisi penulisan filsafat secara sistematis baru dimulai pada abad ke-9 di kawasan masyriq Islam, oleh Abu Yusuf Yaqub al-Kindi (w. 866 M ). Lalu berlanjut pada beberapa tokoh yang semakin hari menampakkan kegemilangan filsafat Islam, seperti Abu Bakar al-Razi (w. 925/932/935 M), al-Farabi (w. 950 M ), Ibn Sina (w. 1037 M ), Ibn Miskawaih (w. 1030 M ), dan al-Ghazali (w. 1111 M ). Berlanjut setelahnya, filsafat Islam pun berkembang di wilayah maghrib dengan beberapa tokohnya seperti Ibn Masarrah (w. 931 M ), Ibn Bajjah (w. 1139 M ), Ibn Thufail (w. 1185), Ibn Sabin (w. 1270 M ) dan berpuncak pada Ibn Rusyd (w. 1198 M ) serta Ibn Khaldun (w. 1406 M ). Selama ini berkembang asumsi ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat dan para sejarawan, bahwa kajian filsafat Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rusyd. Menurut Mustamin al-Mandary asumsi semacam ini, pertama lahir dari studi-studi filsafat Islam yang cenderung terlalu mengagungkan (atau menyimpulkan) bahwa puncak filsafat Islam terletak pada perdebatan filosofis-historis (dialektis) antara al-Ghazali (1059- 1111 M ) yang menyerang Ibn Sina sebagai pendiri mazhab Parepatetik dalam filsafat Islam, dengan Ibn Rusyd (1126- 1198 M ). Sehingga ketika keduanya wafat, maka tradisi filsafat Islam diasumsikan mati. Kedua, sebagian besar pengamat filsafat menganggap bahwa dialektika filosofis antar Ibn Sina-alGhazali-Ibn Rusyd merupakan sebuah pertentangan. Padahal jika kita cermati secara jeli, dialektika yang berlangsung antara mereka merupakan sebuah upaya untuk mempertegas arah dan posisi filsafat Islam, dan pada saat yang sama terdapat nilai-nilai yang mesti dipertegas antara nilai-nilai keIslaman dan nilai-nilai filosofis. Kritik al-Ghazali terhadap Ibn Sina dan kaum Parepatetik mesti kita dudukkan sebagai usaha besar untuk merubah kecenderungan filsafat Islam, dari klaim-klaim menggelitik tentang filsafat Islam (

filsafat Islam hanyalah sebagai filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ) ke arah filsafat Islam yang khas. Sedangkan usaha kritik-balik yang dilancarkan oleh Ibn Rusyd adalah sebuah upaya bahwa kaum muslim harus benar-benar serius dalam mengedepankan nilai-nilai filosofis dalam filsafat Islam secara mandiri. Ketiga, pada umumnya, para pengamat sejarah filsafat Islam cenderung melupakan adanya sinergitas dan kontinuitas tradisi filsafat Islam di belahan dunia muslim lainnya. Yakni ketika mereka membatasi kajian filsafat Islam pada tokoh-tokoh dari al-Kindi sampai al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Pandangan ahistoris semacam ini mesti lekas kita tolak, karena pada kenyataannya filsafat Islam terus berkembang terutama dikembangkan di sebagian besar wilayah timur dan beberapa kecil di maghrib. Ada beberapa tokoh yang terus melanjutkan tradisi filosofis dalam Islam meski lahir dengan berbagai perbedaan coraknya, seperti Syihab al-Din Suhrawardi (w. 1191 M ) yang mendirikan mazhab filsafat Illuminasionisme, Muhy al-Din Ibn Arabi (w. 1240 M ) yang memiliki corak teosofi/irfani (gnostisisme) di maghrib. Ajaran-ajaran Ibn Arabi ini ternyata lebih berkembang di daerah Persia dengan tokoh-tokohnya semacam Shadr al-Din Qunawi (w. 1274 M ), Quthb al-Din al-Syirazi (w. 1311 M ). Bahkan sampai ke Turki melalui Jalal al-Din Rumi ( 1273 M ). Tradisi Illuminasionisme berkembang melalui Syahrazuri (w. 1288 M ), Ibn Kammunah (w. 1284 M ), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385 M ), dan Mir Damad (w. 1631 M ). Mazhab filsafat peripatetik terus berlanjut melalui Nashir al-Din al-Thusi (w. 1274 M ). Puncak dari semua aliran filsafat ini berada di tangan Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1637 M ) yang mencoba memadukan semua aliran filsafat Islam yang ada sebelumnya di bawah nama al-Hikmah alMutaaliyah atau Teosofi Transenden. Setelahnya tradisi filsafat Islam tidak pernah padam bahkan sampai abad modern dewasa ini. Tradisi Ilmiah Islam-Matematika matematik Tradisi Ilmiah bisa kita temui dihampir semua peradaban sepanjang sejarah umat manusia. Salah satu tradisi ilmiah yang menjadi catatan sejarah adalah tradisi ilmiah Islam. Dalam kesempatan ini kita akan membuka catatan sejarah bagaimana tradisi ilmiah pernah tumbuh subur dikalangan umat Islam, bagaimana ilmuwan-ilmuwan muslim terdahulu mengkaji dan menggali pengetahuan. Salah satu prestasi ilmuwan Islam yang tidak bisa kita lupakan adalah bagaimana mereka menemukan : >> Angka Nol >> Angka-Angka Arab >> Algoritma >> Aljabar >> Trigonometri bidang datar, sferis, dan analitis >> Menghitung persamaan akar kuadrat >> Tabel Sinus dan Cosinus >> Persamaan pangkat tiga >> Karya Banu Musa dalam ilmu geometri Prestasi ilmuwan muslim dalam bidang matematika ternyata sangat luar biasa. Prestasi yang paling menonjol bisa kita lihat pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur, yaitu Kalifah kedua dari Banu Abbasiyah di abad ke-8 Masehi. Selama periode ini, Karya ilmiah dalam bidang matematika dikatakan hanya dihasilkan oleh kalangan Muslim. Dikhabarkan jikapun ada non-muslim yang membuat karya ilmiah dibidang matematika, maka mereka menuliskannya dengan bahasa arab. Kaum Muslim biasa menuliskan penjumlahan dalam bentuk angka-angka termasuk angka nol bukan dalam bentuk huruf atau kata-kata seperti lazimnya pada masa itu. Dengan demikian mereka membuat perhitungan aritmatika menjadi sederhana dan mudah diaplikasikan pada berbagai

masalah sehari-hari, seperti dalam perdagangan dan bisnis. Angka nol mempunyai peran yang sangat penting dalam aritmetika. Tanpa angka nol tidak mungkin kita bisa menuliskan bilangan seperti sepuluh, seratus, dan sebagainya. Orang Barat belajar menggunakan angka-angka dari Arab, dan kemudian menyebutnya sebagai angka Arab. Penyebaran angka Arab pada masyarakat Kristen Eropa sangat lambat. Para pakar matematika Kristen biasa menggunakan angka Romawi kuno dan sempoa, atau menggunakan angka Arab dengan system bilangan yang mereka miliki. Baru pada abad ke-12, setelah belajar dari kaum Mulim, para ilmuan Barat mampu menghasilkan beberapa tulisan tentang system bilangan tanpa kolom dan mencantumkan angka nol. Sistem bilangan ini disebut algoritma (atau algorisme) yang merupakan istilah latin dari Al-Khuwarijmi yaitu seorang pakar matematika, astronomi dan geografi Muslim yang sangat terkenal pada masa Khalifah al-Makmun di abad ke- 9 M . Nama lengkap beliau adalah Abu abd Allah Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi (meninggal tahun 850 M ). Pengaruh beliau dalam bidang matematika jauh lebih besar dari para ilmuwan lain pada masa itu. Beliau menulis ensiklopedi tentang aritmetika, geometri, musik, dan astronomi. Atas upaya kaum Muslim pula aljabar (Algebra) menjadi bagian dari ilmu pasti. Al-khawarizmi menulis buku yang membahas bidang ilmu ini dengan judul Kitab al-Jabr wa al-muqabalah (buku tentang pengembalian dan pembandingan ). Kata Jabr artinya adalah pengembalian, maksudnya adalah menambahkan sesuatu pada sebuah penjumlahan atau perkalian sehingga menjadi sebanding dengan nilai tertentu. Kata Muqabalah berarti perbandingan yang di aplikasikan untuk membandingkan dua sisi dari sebuah persamaan semisal A + B = C. Istilah al-Jabr (aljabar) pada awalnya digunakan pada operasi yang sederhana seperti penjumlahan atau perkalian , tetapi selanjutnya digunakan dalam permasalahan yang lebih rumit. Selain aljabar, kaum Muslim juga menemukan geometri analitik serta trigonometri bidang datar dan sferis. Alhajjaj ibnu Yusuf, yang sangat terkenal antara tahun 786 M- 833 M di Baghdad adalah orang pertama yang menguraikan dasar-dasar teori euclides-pakar ilmu ukur yunani-kedalam bahasa Arab. Karyanya itu diterjemahkan sebanyak dua kali, yaitu pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan pada masa putranya , khalifah al-Makmun. Abu Said al-Darir al-Jurfani (meninggal 845 M ), adalah seorang Muslim pakar Astronomi dan matematika. Beliau menulis tentang diskursus mengenai masalah-masalah geometri. Pada akhir abad ke- 10 M , ilmu matematika semakin berkembang dengan munculnya Abu Kamil, Yang merupakan salah satu pakar matematika terkemuka dimasa itu. Beliau menyempurnakan teori aljabar karya al-Khawarizmi, dengan menghitung dan menyusun persamaan akar kuadrat. Ia melakukan studi khusus tentang pentagon (bidang segi lima ) dan decagon (bidang segi sepuluh) dengan menggunakan teori-teori aljabar, menjelaskan teori perkalian dan pembagian persamaan aljabar, menyusun sistem persamaan hingga memuat lima variable yang tidak diketahui. Karyanya itu dipelajari secara intensif dan banyak digunakan oleh al-Karkhi dan Leonardo dari Pisa . Kontribusi Abul Wafa terhadap perkembangan trigonometri juga luar biasa. Beliau adalah ilmuwan yang pertamakali menunjukkan generalitas teorema sinus dalam bangun segitiga. Beliau mengajukan suatu metode baru untuk membuat table sinus dan menghitung nilai sinus dan menghtung nilal sinus 30 derajat hingga delapan angka decimal. Umar ibn Ibrahim al-Khayyam, merupakan salah satu pakar matematika dan astronomi Muslim terbesar abad pertengahan. Bila al-Khawarizmi hanya membahas persamaan kuadrat, maka alKhayyam banyak mendiskusikan persamaan pangkat tiga. Beliau membuat klasifikasi yang sangat menarik tentang berbagai persamaan berdasarkan kompleksitasnya, yaitu jumlah faktor berbeda yang terkandung dalam persamaan.

Sementara itu, Banu Musa atau keluarga Musa menulis serangkaian studi yang sangat penting. Salah satu topik yang disusun oleh Muhammad ibn Musa membahas tentang ukuran ruang, pembagian sudut dan perhitungan proporsional untuk membentuk suatu pembagian tunggal antara dua nilai tertentu. Minat beliau tidak terbatas hanya pad geometri. Beliau juga menulis tentang mekanika ruang angkasa, atom, asal usul bumi,dan sebuah esai tentang teori Ptolomeus tentang alam semesta. Al-Hasan melakukan studi mengenai sifat-sifat geometris dari elips. Al-Hasan barangkali merupakan pakar geometri yang paling berbakat pada masa itu. Ia menerjemahkan enam buku pertama tentang dasar-dasar teori Euclides, namun tidak menyelesaikan buku-buku berikutnya karena sudah mampu menyusun karya ilmiah berdasarkan teori-teori sendiri. Pakar matematika dan geometri lainnya adalah al-Hasan al-Marakashi, yang terkenal hingga tahun 1262 M . Ia menulis berbagai karya ilmiah tentang astronomi, yang kemudian diwujudkan secara praktis dalam berbagai instrument astronomi dan metodenya. Ada pula Abdul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Utsman al-Azdi, seorang ilmuwan Muslim yang sanat popular, yang menullis 74 karya ilmiah tentang matematka dan astronomi. Salah satu bukunyayang berjudul Talkhis amal al-Hisab (Ringkasan Operasi Aritmetika) telah dipelajari paling tidak selama 2 abad. Buku itu sangat dikagumi oleh Ibnu Khaldun, dan diterjemahkan dalam bahasa Prancis diterbitkan pada tahun 1864 M .

H
Peradaban Islam tradisi ilmiah Peradaban Islam, apa dan bagaimanakah tradisi peradaban Islam dimasa yang lalu? Pertanyaan ini sekilas sepertinya hanya ingin bernoltalgia tentang sesuatu yang sudah tidak pada tempatnya. Dikatakan sudah tidak pada tempatkan karena sebagian besar orang-orang jaman sekarang menganggap kaitan dan atau mengkaitkan segala sesuatu kepada agama adalah sebuah pertanda kemunduran sebagaimana yang dikatakan oleh August Comte, bahwa agama adalah tahap pertama setelah orang agak maju maka mulailah manusia bisa meningkat kepada filsafat ditahap kedua. Agama dan filsafat sudah usang, orang-orang yang masih sibuk bernoltalgia dengan agama dan berfilsafat maka dia akan terlindas oleh kemajuan jaman, ini musti disadari karena untuk bisa mendapatkan tempat dijaman secanggih sekarang orang-orang harus mau naik ketingkat berikutnya, yaitu tingkat ketiga yang bernama tingkat emphiris. Kita sudah mendengar apa yang dikatakan Comte dan orang orang yang sepandangan dan atau yang mendukungnya dan untuk menjawabnya nanti akan kita siapkan waktu dan tempat khusus untuk itu. Dalam kesempatan ini kita tidak kan menjawab Comte secara langsung melainkan kita akan mengurutkan pembicaraan tentang apa itu yang disebut ilmiah dan apapula itu yang disebut dengan sebuah kemajuan (peradaban). Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh sebuah peradaban akan selalu menghasilkan kemajuan di semua sektor. Kemajuan peradaban islam juga telah memajukan beberapa sektor kehidupan untuk seluruh umat manusia, termasuk didalamnya adalah sektor ekonomi, politik, etika, fisika, astronomi bahkan sampai kepada kehidupan spiritual.

Awal Peradaban Islam Pada masa kilafah Bani Abbasiyah ,khususnya zaman khalifah al-Mansur dan al-Makmun,berbagai aktivitas sudah banyak dilakukan untuk menyiapkan dan menerjemahkan berbagai karya ilmiah . Pada akhir abad ke-10 telah banyak karya penting yang berhasil diselesaikan . Para penerjemah berasal dari berbagai etnik, seperti Naubakht dari Persia, Muhammad bin al-Fazari dari Arab, dan Hunain bin Ishaq yang dulunya adalah seorang penganut Kristen Nestorian dari Hirah. Para Ilmuan Muslim seringkali menerima kesimpulan ilmiah dari pihak lain, kemudian mengujinya dengan melakukan verifikasi. Namun tidak jarang pula mereka melakukan observasi dan eksperimen terhadap masalah-masalah baru hingga menghasilkan penemuan baru. Para ilmuan Muslim biasa menggunakan pendekatan praktis bagi permasalahan ilmiah yang memuat pemikiran-pemikiran abstrak. Para ilmuan Muslim sudah mengenal aspek fisik (kualitatif) maupun aspek matematis (kuantitatif) dari suatu ilmu pengetahuan. Mereka melakukan penelitian terhadap aspek kualitatif maupun kuanttitatif dari berbagai problem ilmiah. Sebagai contoh, Ibnu Khurdadhbeh menghitung derajat lintang dan busur berbagai tempat. Sementara itu, al-Biruni menghitung gaya tarik sejumlah zat kimia. Eksperimen-eksperimen ilmiah dalam bidang kimia, fisika, dan farmasi dilakukan dilaboratorium; sedangkan penelitian dalam bidang patologi dan pembedahan dilakukan dirumah sakit- rumah sakit. Sejumlah observatorium juga dibangun dibeberapa lokasi, seperti di Damaskus, Baghdad , Naisabur, untuk melakukan pengamatan astronomi. Persiapan bedah mayat juga dilakukan dalam rangka praktik pengajaran anatomi. Khalifah alMu`tashim pernah mengirimkan kera untuk dijadikan peraga dalam kegiatan ini. Demonstrasi operasi pembedahan bagi para mahasiswa diberikan dirumah sakit-rumah sakit. Tingkat melek huruf di kalangan kaum Muslim mencapai level tertinggi pada abad 11 dan 12 M . Tingginya semangat keilmuan pada masa itu diindikasikan dengan karya optic Shihab al-Din alQirafi,seorang ulama fikih dan juga hakim di Kairo yang menangani 50 macam masalah penglihatan. Dalam naungan hukum Islam, Para ilmuwan tidak hanya memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga mengaplikasikan penemuan ilmiahnya dalam bentuk inovasi teknologi. Mereka mengamati bintang-bintang ,kemudian menyusun peta bintang untuk keperluan navigasi. Ibnu Yunus misalnya memanfaatkan pendulum untuk menentukan ukuran waktu. Ibnu Sina menggunakan termometer udara untuk mengetahui temperature udara. Para ilmuan Muslim menjadikan Aljabar sebagai cabang dari ilmu Matematika. Istilah Aljabar berasal dari bahasa Arab yaitu Jabr. Para cendikiawan Muslim juga mengembangkan ilmu trigonometri serta mengaplikasikannya dalam ilmu astronomi, karena astrologi yaitu keyakinan bahwa posisi bintang sangat berpengaruh terhadap nasib manusia merupakan bid`ah menurut islam. Maka astronomi berkembang menjadi ilmu murni, setelah dibersihkan dari kepercayaan takhyul. Berbagai kata atau istilah Arab yang banyak digunakan dalam bahasa Eropa menjadi monument hidup atau bukti nyata kontribusi kaum Muslim pada scient modern. Disamping itu sejumlah besar buku diberbagai perpustakaan di Asia dan Eropa, museum-musium diberbagai negeri , serta Masjid dan istana yang dibangun berabad-abad silam juga merupakan bukti adanya fenomena penting ini dalam sejarah dunia. Beberapa contoh khazanah ilmu pengetahuan yang berasal dari bahasa arab adalah ciphecipher atau didalam istilah perancis disebut chiffre , yang sebenarnya berasal dari kata sifr (Arab) yang berarti kosong atau nol. Kata alkali dalam bidang kimia untuk menyebut zat tertentu yang menghasilkan garam bila dicampur dengan suatu jenis asam ,juga berasal dari bahasa arab yakni alqali, Istilah dan squadron atau dalam bahasa Prancisnya escadre yang mempunyai arti sebuah kesatuan didalam ketentaraan juga berasal dari kata askariyah yang memiliki makna serupa. Juga istilah admiral berasal dari kata amir al-bahr dan lain-lain.

Dalam proses penerjemahan, banyak nama ilmuwan Muslim yang mengalami perubahan , sehingga membuat para pembaca mengira bahwa mereka adalah orang-arang non-Muslim dari Eropa. Beberapa nama diantaranya adalah Abul Qasim al-Zahrawi (Albucasis) , Muhammad ibnu Jabir ibnu sinan al-Battani (Albetinius) , dan Abu `Ali ibnu Sina ( Avicenna). Mengenal Metode Pemikiran Islam Sebelumnya sudah kita bicarakan tentang dua metode filsafat yang paling berpengaruh, yaitu filsafat iluminasi dan peripatetik, yang mana satu sama lain mempunyai ciri khas dan perbedaan tersendiri. Ibnu Sina Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran. Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat. Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam (teologi) . Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah PENGARUH AJARAN ISLAM. Setidaknya sekarang kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam pemikiran filsafat Islam, yaitu : 1. Metode Filsafat Argumentatif Peripatetik. Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini dikenal memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina. 2. Metode Filsafat Iluminatif Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa. 3. Metode Pengembaran Rohani (tasawuf) Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri. Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional. 4. Metode Teologi Argumentatif (kalam) Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan yang mendasar didalam pengunaannya.

Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mutazilah menggunakan penalaran rasional baik dan buruk berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini maka kaum mutazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan, kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya. Sedangkan para filsuf berkeyakinan bahwa prinsip baik dan buruk merupakan prinsip yang relatif dan klaim manusia. Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas telah menentukan tujuan ideologinya.

J
1. PERJALAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN ISLAM

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman,1 adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem.2 Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiranpemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh

kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia , misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.3 Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi bukubuku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M),

ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760

M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M).5 Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbth) dengan istilah-istilah seperti istihsn, istishlh, qiys dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbth dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699767 M), Malik (716-796 M), Syafii (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soalsoal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.6 A. Sumber Pemikiran Rasional Islam. Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim,7 pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi

lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalanpersoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha keluar dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiys (analogi) atas persoalanpersoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks.8 Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata mukmin dan muslim dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak? Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang

utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.9 Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman,10 hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku . Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. B. Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam. Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan,11 telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch , Haran , Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq ) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini

bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w. 667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.12 Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi.13 Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik. Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.14

Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok yang datang dari Iran , India , Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq.15 Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.16 Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku Filsafat Pertama (al-Falsafat al-la), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu

bergema.17 Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.18 Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa alRazi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi,19 semua pengetahuan -pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan. Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmuilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh,20 penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan

dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani. Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M).21 Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syareatsyareat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya.22 Contoh lain adalah al-Razi (865-925 M).23 Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.

(2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.24 Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi revolosi; orangorang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf.25 Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad , filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad , di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950).26 Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani

dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai guru kedua (al-mu`allim al-tsni) setelah Aristoteles sebagai guru pertama (al-mu`allim al-awwl). Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalm) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani.27 Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik.28 Sampai disini filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim sebagai ilmu religius. Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran ArabIslam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep

pembangunan alam wujud menurut faham emanasi.29 Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut akal, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar Guru Utama (al-Syaikh al-Rais).30 Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski alGhazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahfut al-Falsifah yang diulangi lagi dalam alMunqid min al-Dlall,31 al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat,32 juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam,33 bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena alGhazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama.34 Bahkan, dalam alMustashf fi `ulm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani.35 Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai Hujjat al-Islm telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka

telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau substansi pemikirannya.36 Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (11261198). Lewat tulisannya dalam Tahfut al-Tahfut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish,37 balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neoplatonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.38 Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam, kecuali dalam mazhab Syiah. Dikalangan elite terpelajar madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (15711640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya.39

C. Penutup. Dalam

bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu

disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran aneh, tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama yang dianggap baku , khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah. Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn Sina yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali. Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran filsafat, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa saat itu-- filsafat mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, juga apa yang dilakukan oknum tertentu yang

mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal itu [.]

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi, dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998 Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta , UI Press, 1983 Amin, Ahmad, Dhuh al-Islm, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al- Mishriyah, tt Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo, Pustaka Mantiq, 1988 Arsyad, Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, Jakarta , Srigunting, 1995 Atiyeh, George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Bandung , Pustaka, 1983 Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung , Mizan, 1997 Bakar, Osman, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, Bandung , Pustaka Hidayah, 1995 Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta , P3M, 1987 Fakhry, Madjid, A History of Islamic Philosophy, Colombia University Press, 1983 Gardet, Louis & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dni, Beirut , Dar alUlum, 1978 Ghazali, al-Munqid min al-Dlall, Bairut, Al-Maktabah al-Sabiyah, tt Ghazali, Tahfut al-Falsifah, ed. Sulaiman Dunya, Mesir, Dar al-

Maarif, 1966 Ghurabi, Ali Musthafa, Trikh al-Firq al-Islami, Kairo, Maktabah wa Mathba`ah, tt Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta , Bulan Bintang, 1974 Hasan, Hasyim, Al-Ass al-Manhajiyah, Kairo, Dar al-Fikr, tt Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta , Bulan Bintang, 1975 Hitti, Philip K., History of The Arabs, New York , Martin Press, 1986 Jabiri, M. Abed, Takwn al-Aql al-Arabi, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991 Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, Cambridge University Press, 1999 Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam, Jakarta , Rajawali Pres, 1988. Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalah pada mata kuliah studi ilmu teologi, program pascasarjana (S-2), IAIN Yogya, 1997 Madkur, Ibrahim, Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi, Jakarta , Rajawali Press, 1996 Mahdi, Muhsin, Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, Jurnal alHikmah, 4, Feb 1992 Nasr, Husain, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, Bandung , Risalah, 1986 Nasyar, Ali Sami, Manhij al-Bahts ind Mufakkiri al-Islm, Bairut, Dar al-Fikr, 1967 Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta , Yayasan Obor, 1991 Rahmat, Jalaludin, Hikmah Muta`aliyah, Jurnal Al-Hikmah, edisi

10, September, 1993 Soleh, Ach. Khudori, Kegelisahan Al-Ghazali, Bandung , Pustaka Hidayah, 1997 Syarif, MM., Para Filosof Muslim, Bandung , Mizan, 1996 Watt, MM., Islamic Philosophy and Theology, Edinburg , Edinburg

University Press, 1992


13

Anda mungkin juga menyukai