Anda di halaman 1dari 4

Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren;

"Sebuah Pilihan Sejarah"



Pendidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut dua substansi aras
kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya pemanusiaan dirinya, juga secara
berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan dunia di sekitarnya (man humanizes
himselI in humanizing the world around him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22). Kenyataan ini
nampaknya amat begitu diinsaIi oleh para designer awal dan Iounding Iathers bangsa ini,
hingga kemudian cita-cita yang megkristal dalam tujuan pendidikan nasional (Mukaddimah
UUD '45) kita, betul-betul terarah ke pengertian seperti itu.


Dalam prakteknya, pengejawantahan cita-cita pendidikan nasional, nampaknya tidak harus
melulu ditempuh melalui jalur Iormal secara berjenjang (hierarchies), yang dilaksanakan
mulai dari Pendidikan Pra-Sekolah (PP. No. 27 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Dasar (PP.
No. 28 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Menengah (PP. No. 29 Tahun 1990) dan
Pendidikan Perguruan Tinggi (PP. No. 30 Tahun 1990), akan tetapi juga mengabsahkan
pelaksanaan pendidikan secara non-Iormal dan in-Iormal (pendidikan luar sekolah) (UU
Sisdiknas, 2003). Artikulasi pendidikan terakhir ini, basisnya diperkuat mulai dari pendidikan
di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan swasta.

Paralel dengan pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam pelbagai bentuk dan ragamnya,
terdapat satu institusi pendidikan yang telah mengakar lama dalam sejarah pendidikan di
Indonesia, yaitu terutama pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren
(Islamic boarding school). Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah
sejak lama survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ia telah terbukti
banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang
bukan sekedar hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) pada
aspek penguasaan sains dan tekhnologi an sich, melainkan juga lebih concern dalam
mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah).

Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi
pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga
menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, AlIin ToIIler
membayangkan akan terciptanya 'masyarakat inIormasi' (the inIormasional society) yang sulit
untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga,
Ienomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai
konsekuensi logis dari penerapan high-tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa
Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massiI dengan negara-negara lain
di dunia. Dalam Iase masyarakat inIormasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan
yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya.

Di tengah pergulatan masyarakat inIormasional, pesantren 'dipaksa' memasuki ruang
kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan
berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran)
pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk
mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan
masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak
melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu
pendidikannya.

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positiI dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana,
secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh
dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya
mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru,
manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan
pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian
yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam
survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan
semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan 'ala pesantren,
kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada
taraI ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika
pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan
otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu
bermuatan al-Qur'an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya (Karel Steenbrink, 1994, 167),
tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap
ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang
telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi
keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan
materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan
pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih eIektiI dan signiIikan, praktek pengajaran
harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik
yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias "kuno",
maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya!
Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik?

Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren
Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak
tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan
bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di
kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh
karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesiIik, tidak asal
gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam).
Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan
konspiratiI antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran
tasawuI (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia
(Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya
ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang
diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat
dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van
Bruinessen, 1997, 140).

Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran
(pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salaIiyah). Penyebutan tradisional dalam
konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang
monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada
santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersiIat klasik, seperti sistem bandongan,
pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat
dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan
dengan prinsip ushul Iiqh, "al-MuhaIadhah 'ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid
al-Ashlah" (memelihara |mempertahankan| tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang
baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik
yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu
disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-
pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu,
mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek
pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era
inIormasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitiI.

Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama
yang masih bercorak salaI, adalah persoalan eIektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah
perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal
ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi
pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama
(tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya
konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi
konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan
pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari
kultur pesantren. ?


Ahmad El Chumaedy,minggu 06 Oktober 2002, TransIormasi Pendidikan Pesantren
http://re-searchengines.com/achumaedy.html

2 Pendidikan network, artikel-artikel pendidikan
http://re-searchengines.com/ipendidikan.html
ou might also like:

Anda mungkin juga menyukai