Fakta menunjukkan, sebagian kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan, ada di hilir sungai dan tidak satu pun yang terbebas dari banjir dan genangan. Bahkan, hasil pemantauan menunjukkan, intensitas dan frekuensi banjir dan genangan di kota-kota itu cenderung meningkat. Wilayah banjir dan genangan yang sebelumnya menjadi monopoli kota-kota besar kini sudah merambah ke daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami masalah banjir dan genangan, seperti terjadi di Aceh dan Nias. Lebih ekstrem lagi, kondisi itu terjadi pada tahun El Nio (tahun kering) dengan intensitas lemah, seperti tahun 2002. Meningkatnya ancaman banjir dan genangan juga dapat dilihat di Jakarta. Bila terjadi hujan dalam satu hari dengan intensitas tinggi dan durasi di atas lima jam, maka di beberapa wilayah Jakarta sudah mulai tergenang dan arus lalu lintas sudah terganggu. Anehnya, meski tiap tahun didera, diancam banjir dan genangan, tidak satu pun program nyata, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, maupun kota, yang terukur (measurable) untuk mereduksi bahaya itu. Kalaupun ada program, sifatnya parsial dan tidak menyentuh esensi persoalan. Masyarakat hanya geram terhadap pemimpinnya saat terjadi banjir dan genangan, setelah itu tuntutan lenyap bagai ditelan bumi. Bisa dibandingkan dengan negara-negara maju di Eropa, seperti Perancis, Jerman, Inggris, bahkan Irlandia yang relatif miskin, yang begitu care terhadap warganya, sehingga mereka tidak hanya memasang sistem peringatan dini tentang banjir (early warning system for flood), tetapi juga membuat peta evakuasi (evacuation plan), sekaligus sosialisasinya. Untuk meningkatkan tanggung jawab publiknya, pejabat terkait harus siap mempertanggungjawabkannya di depan tribunal bila terjadi banjir dan menelan korban jiwa. Wilayah yang kena banjir akan divalidasi bersama tim independen, apakah zona pembangunan untuk permukiman ada di luar wilayah rawan banjir dan genangan atau tidak. Sehingga, pemberian izin bangunan akan amat hati-hati karena ada pertanggungjawaban publik bila terjadi banjir dan genangan di kemudian hari. Sementara itu, di Indonesia, pertanggung-jawaban publik hampir tidak ada. Kebanjiran dan genangan yang banyak menelan korban jiwa, harta, dan menimbulkan trauma masyarakat dianggap musibah, sehingga tidak ada satu instansi yang harus dimintai pertanggungjawaban publik. Ironisnya, saat terjadi banjir pada Februari 2002, hampir semua sektor mengusulkan program, seperti, pembuatan sudetan dan memecah awan yang biayanya amat besar. Padahal, secara faktual, semua itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaat, karena akhirnya rakyat yang harus menanggung beban itu. Pertanyaannya, strategi apa yang harus diprogram untuk menekan risiko banjir dan genangan agar penanggulangan banjir dan genangan lebih terprogram?
Penyusunan peta wilayah rawan banjir dan genangan merupakan salah satu jawabannya.
Penggunaan citra mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan metode klasik, karena dengan citra, deliniasi awal wilayah banjir dan genangan akan mudah dilakukan sebelum divalidasi di lapangan. Wilayah yang tergenang dan kebanjiran mempunyai respons spektral yang berbeda (umumnya terlihat gelap) dibandingkan wilayah yang tak tergenang (terlihat terang/merah). Peta wilayah rawan banjir dan genangan ini akan lebih powerfull bila dapat ditumpangtepat (superimpose) dengan peta jaringan hidrologi sungai (hydrological network), peta topografi, karena dengan demikian dapat dipantau wilayah yang berpotensi mengalami genangan berikutnya bila debit sungai atau curah hujan terus meningkat. Lebih jauh, wilayah penyumbang air utama dapat dirunut sehingga dapat dirancang strategi antisipasinya. Pendekatan ini selain akurat, juga akan mengurangi pemborosan tenaga, waktu, dan biaya. Bahkan, dengan telah tersedianya citra dengan resolusi tinggi (1 x 1 meter), maka tingkat ketelitian peta wilayah banjir dan genangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang akan dicapai. Prototipe peta wilayah banjir dan genangan ini sudah berhasil dilakukan untuk daerah aliran sungai (DAS) Brantas, dan secara ilmiah tentu dapat dilakukan untuk DAS Ciliwung untuk Jakarta, DAS Kali Garang untuk Semarang, dan DAS lain yang memerlukannya. Pembuatan peta wilayah rawan banjir dan genangan ini akan lebih efisien bila dilakukan di tingkat nasional, karena: (1) seringkali antarwilayah ada dalam cakupan citra, sehingga pemanfaatan citra dapat dilakukan bersama (multiple users); (2) citra yang sama dapat digunakan untuk berbagai keperluan (multiple purposes), misalnya citra landsat dapat digunakan untuk pertanian (memantau kekeringan), kebanjiran (Kimpraswil) dan kebakaran hutan (Kehutanan), bahkan untuk memantau potensi sumberdaya alam.
Manfaat ketiga, peta wilayah rawan banjir dan genangan yang diperbarui (update) akan dapat memantau apakah tindakan penanggulangan banjir dan genangan yang dilakukan sudah memberi hasil nyata atau tidak. Dengan kata lain, peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat dijadikan alat evaluasi implementasi program penanggulangan banjir dan genangan yang telah dan akan dilakukan. Manfaat keempat, tersedianya peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat meminimalkan kesalahan alokasi dana untuk penanggulangan banjir maupun penyaluran bantuan sosial. Dengan demikian, peluang terjadinya penumpukan bantuan sosial yang sering terjadi selama ini dapat diantisipasi lebih dini. Pertanyaan terakhir, maukah pemerintah melakukan itu agar penanggulangan banjir dan kekeringan dapat dilakukan lebih terencana? Gatot Irianto, PhD Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Telah dimuat pada Surat Kabar harian Kompas edisi Senin, 16 Desember 2002)