Anda di halaman 1dari 3

Mengapa menyusui perlu dilindungi?

a
Oleh: dr. Dian Nutjahjati Basuki, IBCLC b
a b

Tulisan ini disiapkan dalam rangka advokasi penghapusan klausul susu formula dari Undang-undang Kesehatan Penulis adalah staf di Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) yang saat ini sedang menempuh studi master di FKUI Kekhususan Gizi Komunitas (SEAMEO-TROPMED Regional Center for Community Nutrition), Universitas Indonesia

Pendahuluan
emberian makanan pada bayi dan anak usia 0-24 bulan yang optimal menurut Global Strategy on Infant and Young Child Feeding (WHO/Unicef, 2002) adalah: menyusui bayi segera setelah lahir; memberikan ASI eksklusif yaitu hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain sampai bayi berumur 6 bulan; memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat dan adekuat sejak usia 6 bulan; dan tetap meneruskan pemberian ASI sampai usia anak 24 bulan. Di Indonesia, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 450/MENKES/SK/IV/2004 menetapkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif bagi bayi sejak lahir sampai dengan berumur enam bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah istilah untuk bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram, untuk bayi prematur, dan bayi yang berukuran kecil jika dilihat usia kehamilannya. Bayi berat badan lahir rendah memiliki risiko besar terkena infeksi, dan lebih memerlukan ASI dibandingkan bayi yang lebih besar, akan tetapi justru lebih sering diberi makanan buatan melalui botol (susu formula). Setiap makanan/minuman buatan yang diberikan sebelum menyusui mantap disebut makanan pralaktal. Bahaya makanan pralaktal adalah menggantikan kolostrum sebagai makanan bayi yang paling awal, sehingga meningkatkan risiko bayi terkena infeksi seperti diare, septikemia dan meningitis serta lebih mungkin menderita intoleransi terhadap protein di dalam susu formula tersebut, serta alergi. Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua. Kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi gizi buruk dan gizi kurang pada balita adalah Aceh Tenggara (48,7%), Rote Ndao (40,8%), Kepulauan Aru (40,2%), Timor Tengah Selatan (40,2%), Simeulue (39,7%), Aceh Barat Daya (39,1%), Mamuju Utara (39,1%), Tapanuli Utara (38,3%), Kupang (38,0%), dan Buru (37,6%). Proporsi nasional bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah sebesar 11,5%. Provinsi dengan persentase BBLR tertinggi adalah Papua (27,0%), Papua Barat (23,8%), NTT (20,3%), Sumatera Selatan (19,5%), dan Kalimantan Barat (16,6%). Sedangkan 5 provinsi dengan persentase BBLR terendah adalah Bali (5,8%), Sulawesi Barat (7,2%), Jambi (7,5%), Riau (7,6%), dan Sulawesi Utara (7,9%). Persentase BBLR sedikit lebih tinggi di perdesaan (12,2%) dibandingkan di perkotaan (10,8%). Di perkotaan, ibu lebih banyak melahirkan di RS Pemerintah, RS Swasta, Puskesmas/Pustu serta RB/RBIA/Klinik dibandingkan di perdesaan. Sedangkan di perdesaan, ibu lebih banyak melahirkan di rumah dan di Polindes/Poskesdes. Hubungan praktik menyusui dengan status gizi, penyakit, ketahanan pangan Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2006-2007, data jumlah pemberian ASI eksklusif pada bayi di bawah usia dua bulan

Kondisi di Indonesia
Menurut RISKESDAS (2007), gizi buruk dan gizi kurang bahkan tercatat sudah dialami oleh bayi berusia 0-5 bulan, berturut-turut prevalensinya adalah 6,5% dan 8,2%. Sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di atas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,

|www.gizi.net|Artikel|2009

hanya mencakup 67% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi. Yakni, 54% pada bayi usia 2-3 bulan dan 19% pada bayi usia 7-9. Yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan. Penelitian di Depok terhadap 421 responden menunjukkan 87,9% bayi mendapat asupan pralaktal, 76% asupan pralaktal di antaranya adalah susu formula, dan 69,8% yang memberikan asupan pralaktal tersebut adalah tenaga kesehatan. Dari kelompok ini, hanya 57,5% responden yang memiliki penghasilan tetap tiap bulan, 90% menyatakan pendapatan berasal dari suaminya, dengan nilai tengah besar pendapatan Rp 1.400.000,- (Wibowo dkk, 2008). Penelitian di Lombok Barat terhadap 187 rumah tangga menunjukkan bahwa 78,8% mengalami kerawanan pangan. Sekitar 45% responden masuk dalam kategori sangat miskin dengan 62,7% memiliki penghasilan tidak tetap (Rosalina dkk, 2007). Sebuah penelitian yang membandingkan antara status ketahanan pangan di perkotaan dan perdesaan dari lima penelitian di Indonesia (Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Jakarta, Surabaya, NTT dan NTB) dalam kurun waktu Februari 2004 hingga Agustus 2005, ditemukan bahwa mayoritas penduduk perdesaan (44%) dan perkotaan (39,9%) masuk dalam kategori rawan pangan. Penduduk kota lebih rentan terhadap kerawanan pangan yang disertai lapar (32,8%) dibandingkan penduduk desa (26,7%) serta rawan pangan yang disertai kelaparan berat (11,5%) daripada desa yang relatif hanya 6,4% (Usfar dkk, 2006). Penelitian di NTB dan NTT terhadap anak usia 6-59 bulan dengan prevalensi gizi buruk 42,8%, menunjukkan mayoritas rumah tangga masuk kategori rawan pangan akibat daya beli yang rendah. Ditemukan hubungan antara kurang gizi

kronik di NTT dan serta kurang gizi akut/kronik di NTB dengan kerawanan pangan. Berat badan yang kurang memiliki hubungan dengan kejadian diare di NTT serta dengan penyakit infeksi di NTB (Fahmida dan Muslimatun, 2005) Penelitian terhadap anak usia 6-59 bulan dengan prevalensi gizi buruk 61% di Timur Tengah Utara dan Kabupaten Belu, NTT menunjukkan pemenuhan asupan sebesar 26% untuk energi dan 33% untuk protein dari angka kecukupan gizi. Dalam satu tahun, kurun waktu antara Oktober hingga Januari adalah periode di mana makanan paling sulit didapat, dan antara September hingga November adalah periode di mana ketersediaan air paling sulit (Usfar dan Iswarawanti, 2006). Penelitian di Kabupaten Poso, Morowali dan Tojo Una Una, Sulawesi Tengah terhadap 603 rumah tangga menunjukkan 56% berada di bawah garis kemiskinan, nilai tengah pendapatan per kapita (bulanan) adalah Rp 65.000,- dengan 95% pendapatan digunakan untuk membeli makanan, 89% memiliki kerawanan pangan, 43% dengan kelaparan. Prevalensi balita gizi buruk adalah 39,6%, angka ASI eksklusif 4-6 bulan adalah 55,5% dengan 70% bayi mendapat asupan pralaktal, serta tingginya insiden ISPA yaitu 75% (Pangaribuan dan Purwestri, 2006) Penelitian terhadap 358 baduta di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dengan gizi buruk 34,6% menunjukkan hanya 20,5% ibu yang mempraktikkan pemberian ASI eksklusif. Prevalensi penyakit pada baduta cukup tinggi yaitu demam 29,1%, ISPA 22,6% dan diare 11,2% (Santika dan Septiari, 2008). Berbagai data di atas menunjukkan tingginya gizi buruk yang disertai insiden diare, ISPA dan penyakit lain di berbagai pelosok, khususnya pada lingkungan di mana pendapatan dan ketahanan pangan sangat rendah. Situasi ini merupakan sebuah lingkaran setan faktor determinan terhadap Human Development Index di Indonesia.

|www.gizi.net|Artikel|2009

ASI saja untuk bayi usia 0-6 bulan, adalah investasi awal yang paling tepat di seluruh wilayah nusantara.
Air Susu Ibu: Hadiah sangat berharga yang dapat diberikan orang tua pada bayinya. Pada keadaan miskin, mungkin merupakan hadiah satu-satunya yang dapat diberikan. Pada keadaan sakit, dapat merupakan pemberian yang menyelamatkan jiwanya.
Ruth A Lawrence, MD

Gambar menunjukkan foto milik UNICEF tentang ibu yang menyusui anak kembar, namun hanya pada anak lakilaki, anak perempuan diberi minuman pengganti ASI dan kemudian meninggal tidak lama setelah gambar ini diambil (Courtesy of Childrens Hospital, Islamabad, Pakistan)

KEPUSTAKAAN 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2. 3.

7. Santika O, Septiari AM (2008). Baseline survey

4.

5.

6.

(2007) Riset Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Bina Gizi Masyarakat (2007) Pelatihan Konseling Menyusui. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Statistik dan Kependudukan (2007). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Biro Pusat Statistik.http://www.datastatistikindonesia.com /sdki Fahmida U & Muslimatun S (2005). Rapid Nutritional Assessment among children 6-59 months and women of reproductive age in West Nusatenggara and East Nusatenggara Provinces. SEAMEO-TROPMED RCCN University of Indonesia, Jakarta. Report prepared for WFP-UN. Pangaribuan RV, Purwestri RC (2006). Household livelihood security survey in Poso, Morowali and Tojo Una Una districts, Central Sulawesi: A baseline survey for PULIH project. SEAMEO-TROPMED RCCN University of Indonesia, Jakarta. Report prepared for CARE International Indonesia. Rosalina T, Wibowo L, Kielmann AA, Usfar AA (2007). Food poverty status and food insecurity in rural West Lombok based on mothers food expenditure equivalency. Food and Nutrition Bulletin, 28 (2): 135-148

8.

9.

10.

for Banggai nutrition and water project, Wahana Visi Indonesia World Vision Indonesia, Banggai District, Central Sulawesi. SEAMEOTROPMED RCCN University of Indonesia, Jakarta. Report prepared for World Vision International. Usfar AA, Fahmida U, Februhartanty J (2007). Household food security status measured by the US-Household Food Security/Hunger Survey Module (US-FSSM) is in line with coping strategy indicators found in urban and rural Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 16 (2): 368-374 Usfar AA, Iswarawanti DN & Purnomosari L(2006). Nutritional Status and Household livelihood security of uprooted and non-uprooted communities: A Baseline survey for PULIH Project in Timur Tengah Utara and Belu Districts, NTT. SEAMEO-TROPMED RCCN University of Indonesia, Jakarta. Report prepared for CARE International Indonesia. Wibowo Y, Februhartanty J, Fahmida U, Roshita A. (2008) A formative research of exclusive breastfeeding practice among working and non working mothers in urban setting. Research Report. SEAMEO-TROPMED RCCN University of Indonesia, Jakarta.

|www.gizi.net|Artikel|2009

Anda mungkin juga menyukai