Anda di halaman 1dari 4

Rabu, 24 Oktober 2008

PALUTA : APAKAH JABATAN HARUS DIBELI?

Oleh :Ahmad Rivai Pohan

Perlu kita semua berpikir, dalam rangka suksesi Pemilihan Bupati Padang Lawas Utara
merenung dan berpikir jernih Apakah jabatan Bupati itu harus dibeli. Sudah kita lihat
sebuah akibat dari membeli jabatan, apakah seesorang masuk pegawai negeri, atau masuk
polisi, bahkan mau mendapatkan jabatan harus menyetor uang supaya lulus dan naik
pangkat.

Akibatnya, kita rasakan sekarang ini kepastian hukum tidak diperoleh di negeri ini dan
begitu juga pelayanan, yang seharusnya diperoleh masyarakat, dimana pengawai negeri
memberikan pelayanan kepada masyarakat, nyatanya masih jauh dari apa yang
diharapkan, coba sewaktu mengurus : ktp, surat tanah, sim dll. harus di sertai dengan
uang pelicin yang melebihi ketentuan yang sudah ditetapkan.. Kalau belum ada uang
pelincin maka dengan berbagai alasan dikemukan oleh pegawai yang berwenang tersebut
seperti : alasan atasan tidak ditempat, lagi sibuk, blangko tidak ada, , komputer lagi kena
virus, macam-macam alasan, sehingga masyarakat hanya dapat diam dan menuruti apa
yang menjadi keinginannya.

Tapi kalau sudah di kasih uang pelicin dan secepat lari kuda, urusan itu selesai. Apakah
ini akibat dari sebuah jabatannya yang dibeli sewaktu masuk. Karena Pegawai / pejabat
tersebut ingin mengembalikan uang yang dia keluarkan. Jadi kerjanya dipincu dengan
motivasi lain, sehingga kerja dengan pelayan paling minimal, dan masyarakt semakin
susah dibuatnya , dan pada akhirnya bangsa Indonesia ini juga yang terpuruk.

Akankah ini berlaku juga pemilihan Bupati di Padang Lawas Utara? Inilah yang menjadi
renungan kita semua, bagi akademisi, yang ada diperguruan tinggi, partai politik
cendikiawan, ulama atau masyarakat. Kita lihat tahapan untuk menjadi Bupati. Harus
melewati pintu partai politik. Memang pintu parti politik ini agak kurang bisa dipercaya
makanya ada colon independent supaya partai tidak semena-mena. Bukan berarti calon
independent yang lebih baik, Selain dari partai, adanya UU yang mensyahkan calon
indepen bisa mencalonkan sebagai tiket untuk calon resmi..

Dari kasus-kasus sebelumnya partai politik mematok dana yang harus dikeluarkan oleh
calon, dengan alasan, sosialisasi antara lain :buat spanduk, plakat, kalender, diskusi, sewa
kantor tim sukses, dan macam-macam alasan sehingga keluarlah angka yang harus
dikeluarkan oleh calon. Maka akhirnya apa?, calon bupati yang punya uang besar yang
bisa bersaing, kalau calon bupati pas-pasasan secara ekonomi akan berkalaborasi kepada
pengusaha, dengan perjanjian atau berkomitmen pada waktu menjabat nanti diberikan
pasilitas apakah tender-tender proyek pemerintah atau yang lainnya.

Kita tahu pengusaha selalu menghitung modal yang dikeluarkan dan harus kembali
modal tersebut ditambah lagi keuntunggan (profit). Dan akibatnya apa?, Proyek yang
dikerjakan oleh pengusaha tersebut dapat kita rasakan seperti jalan yang kualitas rendah,
belum sampai sebulan jalan baru di aspal sudah terkelupas, dan lama-lama sudah jadi
kubangan, akhirnya, para supir ngeluh, pengusah angkutan ngeluh, karena per mobil
sering patah. Seharusnya perjalan ditempuh satu hari menjadi dua hari Jadinya ongkos
angkut barang naik, ongkos bus penumpang naik, akhirnya harga sembako dan baju
secara otomatis naik.

Yang paling mengerikan lagi adalah jika bandar judi yang mendanai calon tersebut , wah
ini paling parah lagi, bisa-bisa judi merajalela, pasti kita takut dan kita bisa merinding
seperti apa nanti kita ini. Jadinya bupatinya pun mungkin memberikan pelayanan yang
asal-asalan. Dan juga bisa korupsi, sudah banyak kasus penjabat yang sudah diduga
korupsi ditangkap oleh KPK dan juga sudah di ponis bersalah.

Jadi rasanya kita perlu semua lapisan masyarakat: cerdik pandai, tokoh adat, guru, dosen,
petani karet, petani sawit, supir, stokor mobil, pedagang kaki lima, tukang beca, ibu
rumah tangga, penganguran, pokoknya semua warga khususnya pemilih ikut bertanggung
jawab, dan ikut partisipasi bagaimana kita mendapatkan pemimpin yang bisa menjawab
persoalan kita, mempunyai program yang kongkrit. Maka kita harus menilai setiap
perkataannya, tingkah lakunya, materi kampanye dia sampaikan ataupun lain-lain sebagai
acuan untuk kita memilih/tidak memilih calon tersebut.

Karena apa, kita juga yang korban nantinya. Jangan kita cuek seperti selama ini, gara-
gara kedekatan keluarga, atau karena diberikan kain sarung, sembako, dan lain-lainya
sehingga kita terpengaruh dari rayuan-rayuan itu semua. Boleh karena kedekatan
keluarga tapi kalau tidak berkualitas untuk apa. Khususnya pemilihan Bupati atau DPRD,
DPR presiden kita semua punya hak yang sama tidak dibedakan, yang bergelar prof, Dr,
orang kaya orang miskin pengangguran tidak berbeda, maka kita pergunakan hak pilih
kita sesuai dengan analisa kita yang cocok menjadi pimpinan kita. Pimpinan adalah yang
dianggap lebih mampu dari kita, untuk mengatur kita dalam tatanan kehidupan membawa
kearah yang lebih baik.

Kita jangan merasa rendah diri, dimana pimpinan itu adalah kita yang menggaji, untuk
membeli pakaiannya, membeli mobilnya yang biasa kita lihat mengkilap, dikawal polisi,
sewaktu lewat dengan sirene yang meraung-raung, membeli sepatunya yang mengkilap
adalah hasil patungan rakyat (pajak). Mungkin kita tidak merasakan hal itu, sewaktu kita
membeli pakaian, indomie, honda buruk yang kita pakai, sandal jepit yang kita pakai,
bensin, malah mobil mewah yang pakai semua itu di tarik pajaknya. Ongkos becak yang
kita keluarkan, bus yang kita tumpangi semua juga itu ditarik pajaknya, kalau ngak
ditarik pajaknya mobil, honda pakaian itu murah harganya, tapi karena pajak maka
menjadi mahal, maka itulah yang kita kumpul-kumpulkan untuk membuat jalan,
membuat jembatan dan menggaji pegawai negeri yang kadang kita lihat pakaian pejabat
necis dan tidak ketinggalan polisi juga kita yang menggaji. Untuk apa kita takut atau
malah jasnya dan bulatan emas yang dikantong dinas Bupati, saya pun belum tau
namanya, tapi, kalau sudah terpilih bupati yang berkualitas kita tanya apa namanya,
karena uang kita kok yang belinya. Tapi jangan berlagak sombong sewaktu kita
nanyanya, dia kan pimpinan kita, sambil malu-malu, dan ngomong agak gagap, nanya
yang itu apa yang..yang …disakunya, namanya pak,. Kita jadi akrab dengan pimpinan
kita..

Dan pada waktu kampanye, selama ini kita lihat, ada panggung hiburan, ada kampanye
pidato-pidata, ada bus jemputan pokoknya segala macam cara agar kelihatan menarik dan
meriah dengan tujuan supaya dipilih. Boleh boleh saja, tapi sekarang kita rakyat harus
jeli, mana janji yang bisa direalisakina nanti, kadang, waktu kampanye, masyarakat
seperti digiring ke sorga saja, janjinya kalau dia terpilih. Rasanya kita hanya tidur saja
sudah bisa hidup. Karena janji sewaktu, SPP anak bebas, tidak ada pengangguran, semua
serba murah, kebun sawit sudah ada 2 Ha tentu rasanya sudah cukuplah, tau-taunya tak
terealisasi, anak masih bayar juga, bukan spp namaya tapi sudah diganti namnya tapi
tetap bayar dan begitu juga anak masih ngangur. Dan dua bulan bupati setelah menjabat,
akan berkata, dalam membukan seminar/meresmikan sesuatu, berkata, yang
intinya’Membangun bukanlah seperti membalik telapak tangan. Akhirnya kita kecewa,
kekecewaan berulang ulang , pertama , kedua, ketiga, atau keempat kali kecewa, maka
supaya kekecewaan tidak berulang lagi kita harus cerdas jangan mau dibodoh bodohin
lagi,

Dan kalau waktu kampanye nanti kita rame-rame, ngomong, ada yang mandu bersorak,
katakan “apa yang bapak mau lakukan supaya kami sejahtera”. Kita ulangi lagi beberapa
kali, dan kemudian kita duduk, mendengarkan apa yang mau dia buat, Supaya kita
sejahtera. Biarkan aja calon tersebut ngomong, sepuas-puanya, dan begitu juga sudah
giliran calon lain yang akan kampanye kita katakan juga seperti itu “Apa yang akan
bapak lakukan supaya kami sejahtera”. Dan biarkan calon bupati kedua, memberikan
paparannya sepuasnya. Dan begitu juga yang selanjutnya. Maka kalau perlu kalau sudah
pas rasanya dengan hati kita, malah kita beli bendera-bendera kecil menyambut dia
sebagai penghargaan kita bahwa dia berkualitas. Bukan calon bupati yang buat spanduk
dari dia untuk dia.

Kalau perlu, kita katakan sekarang janji dan sumpah sudah sering diabaikan pak, jadi
yakinkan kami rakyat ini yang, agar mendapatkan pemimpin yang mengayomi kami.
Yang mengerti persoalan kami, yang mengerti keluh kesah kami. Yang mengerti masa
depan anak kami, Yang mengerti harga pupuk yang tidak di duga-duga kadang naik, yang
mengeti harga karet / sawit kadang turun. Berikan kepastian kepada kami.

Jangan kami menam padi, tahunya tidak menghasilkan, jangan kami menanam cabe
taunya harga murah, maka atur kami, berikan informasi kepada kami, supaya kami bisa
mendapatkan uang lebih banyak dan bisa membayar pajak yang lebih besar, sehingga
jalan-jalan yang rusak belum diaspal bisa diaspal, dan rumah sakit yang dokternya hanya
beberpa orang, menjadi cukup dan sekolah-sekolah hampir reot, bisa diperbaiki.

Dan kami punya uang simpanan, jika ada hal-hal tak diduga-duga kami masih bisa atasi
dan bisa bertahan hidup, jika harga karet/sawit yang mendadak turun, anak yang tiba-tiba
sakit, diluar perkiraan kami, karna tidak ada uang simpanan kami, maka selama ini
tengkulak memberikan pinjaman kepada kami dan akhirnya kami harus selalau menjual
barang kami ke tengkulak tersebut karena apa, karena uang tidak ada, apa lagi yang harus
dibuat, akhrnya kami tidak bisa berbuat apa-apa. Selalu tergantung. Kalau perlu
tunjukkan baju buruk yang dua tahun belum bisa ganti atau malah jelana dalam yang
lapuk itu masih tetap dipakai karena ketiadaan uang. Biar tau apa yang diraskan selama
ini semua terbongkor. Tapi malu juga yach masa celana dalam juga ikut jadi sasaran. Tapi
apa boleh buat, ini adalah potret kemiskinan yang ada negara kita ini.

Katakan pada pemimpian, kami bukan orang malas, tapi ada batas jangkauan kami, kami
hanya bisa bertanama dan menjual hanya dipasar yang dekat dengan tempat tinggal kami.
Coba kalau ada kepastian menaman seperti: cabe, bayam, kajang-kacangan, jagung,
kangkung, pisang, mangga dan lainnya dengan harga jual pantas. Selama ini kami
menanam cabe dengan semangat tinggi, tau taunya harga rendah, apa yang kami dapati
capek dan menyesali diri dan ragu-ragu untuk menamnya lagi.

Coba yach seandainya bupatinya bertanggung jawab untuk pemasaran, rakyat menam
dengan kualitas tinggi bisa diandalkan bisa di jual ke kabupaten, propinsi, atau malah
ekspor ke negeri lain, khan ada rasanya bangga juga selain mendapatkan hasil uang yang
banyak. Ada rasa puas, cabe hasil dari kebun kami sampai supermarket, dikota-kota besar
di luar negeri, Seandainya pegawai dinas perdagangan di kaputen ditempatkan kabupaten
lain dan propinsi lain kira kira memberi informasi apa produk yang bisa dijual kesana,
sehingga bisa dipenuhi, malah kalau perlu ada perwakilan di luar negeri. Bisa bisa anak
yang kami kuliahkan dengan membanting tulang, penuh liku-liku sewaktu masih kuliah
sehingga lulusan S1 bahasa inggris itu bisa kerja di luar nergeri daripa sekarang dia hanya
memberikan les private saja karena lapangan kerja terbatas.

Demikian tulisan ini sebagai renungan kita bersama untuk menuju kabupaten paluta yang
mandiri dan sejahtera

Mahasiwa Program pasca Sarjana


Administrasi - Unri

Anda mungkin juga menyukai