Anda di halaman 1dari 1

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU BERISIKO REMAJA DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2009

(Puti Sari H, dkk)

Abstrak Tujuan penelitian untuk mengetahui informasi dasar tentang perilaku berisiko pada remaja yang terkait dengan kesehatan dan faktor-faktor yang berhubungan. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Makassar dengan memilih secara acak 10 puskesmas dari 14 kecamatan. Sampel adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia antara 10-24 tahun baik yang sudah menikah atau pun belum menikah yang berada di wilayah kerja puskesmas terpilih. Menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam pengumpulan data, dimana untuk kuantitatif, dilakukan wawancara kepada sejumlah 300 remaja terpilih sebagai sampel melalui kunjungan ke rumah responden. Sedang untuk kualitatif dilakukan diskusi kelompok terarah (DKT/Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (WM/indepth interview) terhadap 30 remaja yang terpilih menjadi sampel. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku berisiko remaja yang diukur melalui faktor kenakalan remaja, perilaku merokok, minum alkohol, penyalahgunaan obat/narkoba, PMS, perilaku seks sebelum menikah, dan aborsi. Untuk variabel bebas yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, aktivitas sehari-hari, pengawasan orang tua, orang tua minum alkohol, peranan media informasi, dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hasil penelitian menunjukkan sebesar 31 persen remaja ternyata memiliki perilaku berisiko, dimana termasuk didalamnya kenakalan remaja (6%), merokok (18%), minum alkohol (9%), penyalahgunaan obat (1%), terkena IMS (6%), pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah (2%), dan pernah melakukan aborsi (0,3%). Semakin bertambah umur remaja semakin berperilaku berisiko. Perilaku remaja laki-laki lebih berisiko daripada remaja perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, remaja semakin berperilaku berisiko, hal ini diduga disebabkan semakin tinggi pendidikan maka semakin dewasa seseorang sehingga semakin tinggi dorongan dan kesempatan untuk melakukan hal yang berhubungan dengan perilaku berisiko tersebut. Perilaku berisiko remaja yang memiliki aktivitas rutin sehari-hari lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak bekerja atau tidak sekolah (menganggur). Perilaku berisiko remaja yang kurang mendapat pengawasan dari orang tua lebih tinggi daripada remaja yang banyak mendapat perhatian orang tuanya. Remaja yang terpapar media informasi lebih banyak yang memiliki perilaku berisiko dibandingkan dengan remaja yang kurang terpapar informasi. Perilaku berisiko remaja yang tidak memiliki teman sebaya lebih rendah daripada remaja yang memiliki teman, hal ini diduga disebabkan karena remaja berani menolak tekanan dari teman sebaya yang berpengaruh negatif. Remaja yang mendapat perlakuan KDRT memiliki perilaku berisiko lebih banyak daripada yang tidak mengalami KDRT. Dari analisis multivariat regresi logistik ditemukan ada hubungan signifikan antara jenis kelamin (p=0,000; OR=5,363; 95%CI=2,890-9,954), tingkat pendidikan (p=0,036; OR=0,514; 95%CI=0,276-0,959), status bekerja (p=0,000; OR=5,535; 95%CI=2,424-12,635), memiliki aktivitas (p=0,005; OR=0,336; 95%CI=0,157-0,722), orang tua minum alkohol (p=0,001; OR=4,112; 95%CI=1,807-9,356), mendapat perlakuan KDRT (p=0,019; OR=2,561; 95%CI=1,166-6,622), dengan perilaku berisiko pada remaja. Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah mendesaknya untuk memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah tanpa membedakan gender, peningkatan pengetahuan remaja melalui pelajaran atau seminar tentang kesehatan reproduksi di tempat kerja remaja, meningkatkan keaktifan remaja dengan mengikutsertakan dan melatih remaja menjadi kader kesehatan remaja atau konselor sebaya, menyelenggarakan seminar kepada orang tua tentang pola asuh anak yang baik, serta sosialisasi dan pelaksanaan UU Anti KDRT harus lebih ditingkatkan.

Anda mungkin juga menyukai