Anda di halaman 1dari 4

Jurnal Kimia Indonesia

Vol. 1 (2), 2006, h. 8-11 Artikel Review

Senyawa Antimalaria dan Antifertilitas dari Daun Erythrina variegata (Leguminosae)


Tati Herlina1), Euis Julaeha1), Abdul Muis1), Unang Supratman1), Anas Subarnas2), Supriyatna Sutardjo2) dan Hideo Hayashi3) 1) Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jatinangor 45363, Sumedang, Indonesia 2) Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Jatinangor 45363, Sumedang, Indonesia 3) Laboratory of Natural Products Chemistry, Division of Applied Biological Chemistry Graduate School of Agriculture and Life Science, Osaka Prefecture University 1-1 Gakuen-cho, Sakai, Osaka 599-8531, Japan
Email: tatat_04her@yahoo.com Abstrak. Erythrina variegata (Leguminosae) merupakan tumbuhan obat tradisional yang digunakan sebagai antimalaria dan antifertilitas. Dalam penelitian berkelanjutan untuk menemukan senyawa bioaktif baru dari tumbuhan Indonesia, diperoleh hasil bahwa ekstrak metanol dari daun E. variegata menunjukkan aktivitas antimalaria dan antifertilitas. Ekstrak metanol dipisahkan komponenkomponennya dengan kombinasi kolom kromatografi diperoleh dua senyawa aktif (1 dan 2). Struktur kimia senyawa aktif (1 dan 2) ditetapkan berdasarkan data-data spektroskopi dan perbandingan data dari senyawa yang berhubungan dari penelitian sebelumnya, dan diidentifikasikan sebagai turunan triterpenoid pentasiklik (1) dan turunan diterpen asiklik (2). Senyawa (1) memperlihatkan aktivitas antimalaria dengan IC50 0,243 g/mL terhadap pertumbuhan P. falciparum secara in vitro dan senyawa (2) memperlihatkan aktivitas antifertilitas terhadap spermatozoa R. norvegicus secara in vitro pada dosis 0,25 x 10-3 g/L Kata kunci: Erythrina variegata, Leguminosae, antimalaria, antifertilitas

Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia dengan lebih dari 30 ribu spesies tanaman berkhasiat mengobati melalui penelitian ilmiah. Hanya sekitar 180 spesies tersebut telah dimanfaatkan dalam tanaman obat tradisional oleh industri obat tradisional Indonesia.1 Hal ini disebabkan pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia untuk mengobati suatu penyakit biasanya hanya berdasarkan pengalaman empiris yang diwariskan secara turun temurun tanpa disertai data penunjang yang memenuhi persyaratan. Untuk dapat diterima dalam pengobatan modern, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terutama adalah kandungan zat aktifnya, sehingga selain khasiat, tingkat keamanannya dapat diprediksi dengan mudah.2 Tumbuhan obat Indonesia yang telah banyak digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan antimalaria dan antifertilitas secara tradisional adalah E. variegata.3 E. variegata di Indonesia

dikenal dengan sebutan dadap ayam.4 Bagian tumbuhan E. variegata yang digunakan dalam pengobatan tradisional adalah kulit batang, daun, akar dan biji yang dilaporkan mengandung senyawa-senyawa alkaloid5, serta beberapa senyawa golongan flavonoid dan isoflavonoid. 6,7 Dalam penelitian berkelanjutan guna untuk pencarian senyawa bioaktif baru yang berasal dari tumbuhan obat Indonesia, kami telah menemukan bahwa ekstrak metanol E. variegata menunjukkan aktivitas antimalaria dengan IC50 0,243 g/mL terhadap pertumbuhan P. falciparum secara in vitro (1) dan aktivitas antifertilitas terhadap spermatozoa R. norvegicus secara in vitro. Senyawa aktif antimalaria (1) diperoleh sebagai turunan triterpenoid pentasiklik, 3-11-28trihidroksi-olean-12-en (Gambar 1.).8 Pada makalah ini kami akan memaparkan isolasi, penentuan struktur, dan uji aktivitas senyawa antifertilitas (2) terhadap spermatozoa R. norvegicus secara in vitro dari daun E. variegata.

Dapat dibaca di www.kimiawan.org/journal/jki

Tate Herlina dkk

(1)
20 4 5 18 12 13 14 15 9 11 6 7 8 3 2 19

CH2OH

17

16

(2)
Gambar 1. Struktur senyawa aktif (1) dan (2) dari daun E. variegata

Metode Umum. Spektrum IR diukur dengan FTIRShimadzu series 8400. Spektrum 1H dan 13C-NMR diukur menggunakan spectra JEOL JNM A-400, yang bekerja pada 400 MHz (1H-NMR) dan 125 MHz (13C-NMR) dengan TMS sebagai standar internal. Kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan silika gel Merck 60 GF254. Analisis kromatografi lapis tipis (KLT) pada plat berlapis silika gel Merck 60 GF254. Bahan Tumbuhan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun E. variegata yang diperoleh dari hutan lindung di daerah Ciater Kabupaten Subang, Garut dan Sukabumi pada bulan Desember 2003. Bahan ini dideterminasi di laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung. Bioindikator. Bioindikator yang digunakan adalah tikus putih (R. norvegicus) jantan dewasa. Tikus diperoleh dari Laboratorium Struktur dan Pengembangan Hewan Jurusan Biologi, FMIPA Unpad, Jl. Raya Jatinangor-Sumedang Km 21. Ekstraksi dan isolasi. Serbuk daun E. variegata (7 kg) diekstraksi dengan metanol

dengan teknik maserasi, diperoleh ekstrak metanol pekat (535,25 g). Ekstrak metanol pekat selanjutnya dipartisi antara diklorometana dan air, diperoleh fraksi diklorometana dan fraksi air. Kemudian fraksi diklorometana dipartisi kembali antara n-heksana dan metanol, diperoleh fraksi nheksana dan fraksi metanol. Fraksi metanol yang diperoleh dipartisi antara etilasetat dan air, diperoleh fraksi etilasetat (36,31 g) dan fraksi metanol. Fraksi etilasetat pekat (16,31 g) dilakukan pemisahan menggunakan kromatografi kolom dengan silika gel G 60 dan eluen n-heksanaetilasetat secara bergradien, diperoleh fraksi aktif I (6,1 g). Selanjutnya fraksi aktif I dipisahkan dengan kromatografi kolom silika gel G 60 dan eluen n-heksana-kloroform-etilasetat (6:3,5:0,5), diperoleh fraksi aktif 1D (300 mg). Fraksi aktif ID (80 mg) selanjutnya dipisahkan dengan kromatografi kolom silika gel G 60 dan eluen diklorometana-kloroform (9:1) diperoleh isolat murni 1 (19,5 mg) dan isolat murni 2 (40 mg). Isolat murni yang diperoleh sebagai senyawa aktif (2) yang berupa minyak berwarna putih. Pembuatan Suspensi Spermatozoa. Tikus putih jantan dewasa dibius dengan eter, kemudian dibedah. Kedua testis tikus dikeluarkan, bagian kauda epididimisnya dipisahkan dan lemak-lemak yang masih menempel pada kauda epididimis tersebut dibersihkan. Dalam sepuluh tetes larutan NaCl fisiologis, kauda tersebut kemudian dipotong-potong, selanjutnya diaduk hingga diperoleh suspensi spermatozoa yang homogen, dan dilakukan pengenceran 1000 kali. Persiapan dosis sampel. Sampel (1 mg) dilarutkan dalam 2 mL DMSO murni. Larutan tersebut ditambahkan 2 mL NaCl fisiologis. Larutan sampel (25 L) yang telah diencerkan 1000 kali ditambahkan dengan suspensi spermatozoa (25 L) yang telah diencerkan 1000 kali, diperoleh dosis sampel 25 x 10-3 g/L. Motilitas Spermatozoa. Satu tetes suspensi spermatozoa, ditetesi pada kamar Hemositometer Improved Neubeur, kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Jumlah sperma yang tidak bergerak dihitung pada lima bidang kecil. Improved Neubeur, dinyatakan dengan A, lalu dimasukkan ke dalam inkubator (50-60oC) selama tiga menit. Selanjutnya dihitung kembali di bawah mikroskop, jumlah yang tidak bergerak dinyatakan dengan B, kemudian dihitung persentase motilitas spermatozoa. 9

Jurnal Kimia Indonesia


Vol. 1 (1), 2006, h. 1-4 Artikel Review

Viabilitas Spermatozoa. Satu tetes suspensi spermatozoa diteteskan pada kaca obyek, lalu ditambahkan satu tetes eosin Y 0,5%, kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Spermatozoa yang terwarnai merah menunjukkan spermatozoa mati, sedangkan spermatozoa hidup dihitung dari 100 spermatozoa, dan dinyatakan dalam persen.10 Abnormalitas Spermatozoa. Morfologi spermatozoa yang abnormal dilihat pada bagian kepala dan ekor yang berbeda dari normal, misalnya kepala ganda, kepala berukuran kecil atau terlalu besar, tanpa kepala, ekor ganda, ekor tidak lupus, mengkerut, ekor patah, atau tanpa ekor.11 Pengamatan morfologi spermatozoa ditentukan dengan cara membuat cedan apus dari satu tetes suspensi spermatozoa dan dua tetes eosin Y 0,5%, kemudian dikeringkan pada suhu kamar, dan selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Jumlah spermatozoa abnormal (%) dinyatakan dengan D, sesuai dengan kriteria di atas, dan dihitung dari 200 spermatozoa. Hasil dan Pembahasan Ekstrak metanol pekat daun E. variegata dipartisi antara diklorometana dan air. Ekstrak diklorometana dipartisi lebih lanjut dengan etilasetat dan air. Fraksi etilasetat kemudian dipisahkan melalui kombinasi kromatografi kolom menggunakan silika gel G 60 dan TLC preparatif silika gel GF254 menghasilkan senyawa aktif (2). Senyawa aktif (2) menunjukkan rumus molekul C20H40O berdasarkan data 1H-dan 13C-NMR (CDCl3) menunjukkan bahwa senyawa aktif (2) mempunyai satu ekivalensi ikatan rangkap. Spektrum inframerah menunjukkan adanya serapan yang kuat pada bilangan gelombang maks3328 cm1 dari regangan ulur gugus O-H, diikuti dengan serapan pada bilangan gelombang maks 1031 merupakan regangan ulur dari gugus C-O alkohol primer. Pada bilangan gelombang maks 2849 dan 2981 cm-1 terdapat serapan yang sangat kuat dari regangan ulur gugus C-H alifatik. Spektrum 13C-NMR-APT (Attached Proton Test) memperlihatkan adanya 20 signal yang terdiri dari 5 atom karbon metil c (16,5; 9,7; 19,7; 22,6; dan 22,7); terdapat 9 atom karbon metilen c (24,4; 24,7; 25,1; 36,6; 37,2; 37,3; 37,4; 39,3; dan 39,8); 3 atom karbon metin c (27,9; 32,6; dan32,7); 1 atom karbon tersier c (123,4); 1 atom karbon

kuarterner c (140,3); dan 1 atom karbon metanol c (59,4). Hal ini didukung pula dengan Spektrum 1 H-NMR yang menunjukkan adanya hidrogen pada ikatan rangkap H (5,0-5,9 ppm); hidrogen pada gugus hidroksi H (6-7 ppm); hidrogen teroksigenasi H (4,0-4,3 ppm); dan hidrogen pada rantai alkana H (0,8-1,3 ppm) yang merupakan
Tabel 1. Data 1H dan 13C-NMR Senyawa aktif (2) Posisi Karbon 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
13

C-RMI C(ppm) 59,4 123,0 140,3 39,8 25,1 36,6 32,6 37,3 24,4 37,4 32,7 37,2 24,7 39,3 27,9 22,6 22,7 19,7 19,7 16,5

H-RMI H,ppm (mult.,integrasi) 4,15 (d, 2H) 5,41 (t, 1H) 1,99 (m, 2H) 1,14 (m, 1H) 1,36 (m, 1H) 1,25 (m, 1H) 1,05 (m, 1H) 1,34 (m, 1H) 1,23 (m, 1 H) 1,02(m, 1H) 1,28 (m, 1H) 1,14 (m, 1H) 1,23 (m, 1H) 1,03 (m, 1H) 1,36 (m, 1H) 1,23 (m, 1H) 1,02 (m, 1H) 1,25 (m, 2H) 1,12 (m, 1H) 1,04 (m, 1H) 1,51 (m, 1H) 0,84 (d, 3H) 0,85 (d, 3H) 0,84 (d, 3H) 0,83 (d, 3H) 1,62 (s, 3H)

karakteristik untuk kelompok senyawa diterpen asiklik, fitol.12 Data spektrum 1H dan 13C-NMR Senyawa aktif (2) dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data-data spektra di atas dan data-data spektra yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya12, senyawa aktif (2) ditetapkan sebagai fitol, 3,7,11,15-tetrametil-2-heksadeken-1-ol. Hasil uji hayati dari isolat murni (2) tersebut menunjukkan rata-rata persentase motilitas spermatozoa R. norvegicus (11,6%), yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (42,9%). Persentase rata-rata viabilitas spermatozoa R.

Dapat dibaca di www.kimiawan.org/journal/jki

Tate Herlina dkk

norvegicus terhadap isolat murni (2) dengan ratarata persentase (1,3%), mempunyai harga lebih rendah dibandingkan kontrol (67,7%). Persentase rata-rata abnormalitas spermatozoa R. norvegicus terhadap isolat murni (12,8%) memperlihatkan harga lebih tinggi dibandingkan kontrol (7 %). Hal ini menunjukkan bahwa isolat murni (2) tersebut mempunyai aktivitas antifertil dengan menurunkan motilitas dan viabilitas, serta menaikkan abnormalitas spermatozoa R. norvegicus. Diagram batang isolat murni (2) terhadap motilitas, viabilitas, dan abnormalitas spermatozoa R. norvegicus dapat dilihat pada Gambar 2.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Motilitas Viabilitas Abnormalitas

Pustaka
1. DepKes. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, pp 10-11, Jakarta: 2000. 2. Atamini, F. Tiga senyawa baru cassanefurano diterpen hasil isolasi dari daging biji Bogore (Caesalpinia erista L.), asal Sulawesi Selatan sebagai bahan dasar obat antimalaria. Sci. & Tech., 2001, 2, 1, 12-24. 3. Mursito, B. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria, Cetakan Pertama. Penebar Swadaya: Jakarta, 2002. 4. Heyne K. Tumbuhan Berguna Indonesia, terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Jilid II. Cetakan kesatu. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kesehatan: Jakarta, 1987. 5. Chawla, A.S.; Krishnan, T.R.; Jackson, A.H.; Scalabrin, D.A. and Stuttgart, W.G. Alkaloidal constituents of Erythrina variegata bark. Planta medica, 1988, 54, 6, 526-528. 6. Tanaka, H.; Etoh, H.; Shimizu, H.; Makita, T.; Tateishi, Y. Two new isoflavonoids from Erythrina variegate. Planta Med, 2000, 66, 6, 578-579. 7. Sato, M.; Tanaka, H.; Fujiwara, S.; Hirata, M.; Yamaguchi, R.; Etoh, H.; Tokuda, C. Antibacterial property of isoflavonoids isolated from Erythrina variegata against cariogenic oral Bacteria. Phytomedicine, 2003, 10, 5, 427-433. 8. Herlina, T.; Muis, A.; Supratman, U.; Syafruddin, Subarnas, A.; Sutardjo, S.; Hayashi, H. Senyawa Bioaktif dari Erythrina variegata (Leguminosae). Berkala Ilmiah MIPA, 2005, 15, 3, 21-26. 9. Satmoko dan Soeradi, O., 1995, Studi Kafein terhadap Kualitas Spermatozoa Manusia In Vitro. J. Kedokteran YARSI. 3 : 4656. 10. WHO. Penuntun Laboratorium WHO untuk pemeriksaan semen manusia dan interaksi spermagetah serviks. Diterjemahkan oleh: Arsyad K.M. dan Hayati L. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya: Palembang, 1994. 11. Hafez, E.S.E. Techniques for Improving Reproduction Efficiency, pp.455-479. The CV Mosby Company: St. Louis, 1977. 12. Arigoni, D.; Wolfgang, E.; Christoph, L.; Silvia, S.; Tanja, R.; Neinhart, H.Z.; Adelbert, B. Dimethylallyl Pyrophosphate is not the Commited Precursor os Isopentenyl Pyrophosphate during Terpenoid Biosynthesis from 1-deoxyxylulose in Higher Plants. Proc. Natl. Acad. Sci.USA, 1999, 96(4), 1309-1314.

(%) Rata-rata

Kontrol Isolat

Gambar 2. Diagram batang isolat murni (2) terhadap motilitas, viabilitas, dan abnormalitas spermatozoa R. norvegicus

Kesimpulan Dari daun E. variegata diperoleh dua senyawa aktif (1) dan (2). Senyawa 3-11-28-trihidroksiolean-12-en (1) memperlihatkan aktivitas antimalaria dengan IC50 0,243 g/mL terhadap pertumbuhan P. falciparum secara in vitro dan senyawa 3,7,11,15-tetrametil-2-heksadeken-1-ol (2) memperlihatkan aktivitas antifertilitas terhadap spermatozoa R. norvegicus secara in vitro pada dosis 0,25 x 10-3 g/L. Senyawa aktif (2) menurunkan motilitas dan viabilitas, dan meningkatkan abnormalitas spermatozoa tikus. Penghargaan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana yang diberikan melalui Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (Hibah Pasca) Tahun Anggaran 2005. Kepada Bapak Cucu Hadiansyah, Drs, Laboratorium Mikroteknik, Jurusan Biologi FMIPA Unpad, atas pengujian hayati antifertilitas. Kepada Dr. Yana Maolana, Departemen Kimia ITB, atas bantuan pengukuran spektrum NMR di University Kebangsaan Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai