Anda di halaman 1dari 9

PERKEMBANGAN JAMAN MENGKIKIS ORISINALITAS BENTUK KESENIAN NUSANTARA Perkembangan jaman dan era globalisasi sangat sulit untuk

dibendung, karena dengan datangnya kedua hal tersebut semua orang di seluruh nusantara terutama yang bernotabene di wilayah metropolitan1 sangat mendambakannya, walaupun tidak semuanya demikian tetapi dominasinya lebih banyak

menggandrungi perkembangan tersebut. Satu steatment yang sangat memprihatinkan bahwa ketika orang sudah mengikuti kedua hal di atas maka orang tersebut bisa dikatatakan orang gaul dan bisa diterima dengan baik oleh orang-orang yang disekitarnya, sebaliknya apabila orang tidak mengikutinya maka sebutan primitive bisa menjadi panggilan yang cukup

menyakitkan baginya. Seiringan dengan waktu yang terus berjalan dengan diiringi sebuah perkembangan jaman dan era globalsasi yang semakin banyak membuat suatu perubahan-perubahan dalam segala hal termasuk di dalamnya pada bentuk kebudayaan dan jenis kesenian yang ada di nusantara tercinta ini. Walaupun demikian tidak dipungkiri bahwa kedua hal ini juga memberikan kekayaan yang memposisikan dan mensejajarkan kebudayaan yang di

Metropolitan adalah sebuah kota atau tempat yang mempunyai kemajuan yang sangat pesat.

dalamnya termasuk jenis kesenian yang satu dengan yang lainnya, sebuah prestasi yang baik juga yakni esensi yang terkandung di dalamnya tidak hilang bahkan harus lebih diperkuat. Apabila diambil salah satu contoh jenis kesenian yang posisi dan kondisinya sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh penulis di atas, maka jenis kesenian yang akan dijadikan sebagai contoh yakni merupakan dua buah tarian yang bernama Lonyak dan Beliant Bawo dalam event Festival Kesenian Indonesia VII yang diselenggarakan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Kedua tarian tersebut berasal dari Kutai Barat. Penulis akan mencoba menganalisis dan mengkritisi kedua tarian di atas, baik dari segi aspek-aspek yang mendukung di dalam jalannya pertunjukan kedua jenis kesenian tersebut maupun dari segi musikal dan tariannya. Namun yang lebih ditekankan lebih banyak pada wilayah musikalnya, karena latar belakang penulis lebih dominan mendalami musik dibanding dengan disiplin lain yang terdapat dalam pertunjukan kedua jenis kesenian tersebut. Pada hari ke dua dari rangkaian event Festival Kesenian Indonesia yakni yang dilaksanakan pada tanggal 14-16 Oktober di Institut Seni Surakarta (ISI) Surakarta Jawa Tengah, tepatnya hari Sabtu pukul 17.30 WIB terdapat sebuah pertunjukan tari dan musik yang merupakan delegasi dari Kutai Barat. Dalam

pertunjukan tersebut terdapat dua repertoar sajian tari dan musik, di antaranya adalah: 1. Tari Lonyaq

Tari Lonyaq berawal dari kisah heroic seorang ksatria yang bernama Lonyak Avun dalam masyarakat Aoheng/Penihing. Konon dikisahkan, Lonyaq Avun adalah seorang ksatria muda yang selalu membela masyarakat Aoheng/Penihing dari ancaman musuhmusuhnya. Dalam setiap pertempurannya, Lonyaq Avun selalu diberi semangat oleh masyarakat pendukungnya dengan nyanyian tentang keperkasaan ksatria yang pantang mundur dalam

menghadapi musuh. Tarian Lonyaq ini dalam pertunjukannya ditarikan oleh sepasang muda-mudi, dengan menggunakan kostum ciri khas dari adat Kutai. Khusus untuk penari laki-laki, asesoris yang

digunakan yakni berupa pedang atau golok dengan panjang kirakira 40-50cm, kemudian asesoris selanjutnya yakni dengan membawa tameng seperti layaknya orang yang akan perang. Sedikit mengulas masalah koreografi, yakni koreografi yang dibawakan oleh laki-laki sangat enerjik namun pada saat-saat tertentu gerakanya lambat, sesekali dia berteriak mungkin

maksudnya untuk memberikan semangat. Selanjutnya koreografi yang ditarikan oleh perempuan, menurut penulis karakter
3

perempuan disini sebagai apanya tidak jelas, karena apabila kita relevansikan dengan sedikit paparan mengenai jenis tarian ini tidak sesuai, kemudian tarian yang dibawakannya pun lembut tidak menggambarkan seorang yang akan perang. Musikalitas yang terdengar dalam pertunjukan ini tidak menggambarkan sesuatu hal yang relevan dengan tema yang sudah terbentuk, mengapa penulis bisa menyebutkan demikian? Karena antara musik yang digunakan untuk mengiringi antara tarian ini dengan tariannya itu sendiri sangat kontradiksi. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari Lonyaq ini yakni dengan menggunakan dua buah alat musik Sape (instrument petik) dan vokal dengan menggunakan teks-teks yang temanya tentang perjuangan ksatria bernama Lonyaq Avun. Ketika

mendengarkan alat musik Sape suasana yang terbentuk dari hasil bunyinya yaitu suatu ketenangan, mendayu-dayu, yang pasti tidak ada kesan yang heroic untuk mendukung dan mensejajarkan antara musik dengan tema yang diusung dalam tarian tersbut yakni sebagai musik perang. Penulis pikir kemungkinan unsur

yang mendukung terhadap bentuk tarian Lonyaq ini adalah vokal tepatnya yakni teks-teks yang digunakan oleh vokalis dalam mengiringi tarian ini, yang dimana teks yang digunakan

mempunyai tema tentang perjuangan ksatria Lonyaq Avun. Namun cara membawakan lagu yang dilakukan oleh seorang vokalis ini,
4

justru menurut penulis pada kenyataannya bertolak belakang dengan tema yang terdapat dalam teks lagunya, penulis

mendengar bahwa cara pembawaan lagu yang dilakukan oleh vokalisnya sangat slow, kemudian pelan, tidak mendukung terhadap gerakan yang dilakukan oleh penari. Hal tersebut yang membuat penulis menjadi kurang pas ketika menyaksikan

pertunjukan tari Lonyaq ini, kemungkinan akan lebih baik apabila dimasukan unsur perkusif maka disitu akan terwujud bentuk musikal yang heroic dan semangat, kemudian bentuk musikal ini akan memberikan kesan yang berbeda dengan efek musikal yang sebelumnya. 2. Tari Beliatn Bawo

Tari Beliant Bawo diadopsi dari upacara Beliant Bawo. Tarian ini dilakukan oleh masyarakat Tonyooi dan masyarakat Benuaq di Kabupaten Kutai Barat. Beliant Bawo merupakan upacara penyembuhan yang dipimpin oleh seorang dukun laki-laki yang disebut pemeliatn. Upacara penyembuhan ini dimulai pada malam hari, kemudian pasien atau orang yang sakit dibaringkan di lantai lamin atau rumah. Kerabat dan anggota keluarga berada di samping pasien yang sedang berbaring menyaksikan jalannya ritual penyembuhan tersebut. Sementara itu sang pemeliatn menari sambil melantunkan mantra dalam bahasa Benuak dan diiringi oleh alat musik beliatn (kelunikng dan kendang). Ketika
5

saat yang ditunggu-tunggu oleh seluruh peserta upacara yakni memasuki saat trance, gerak tarian pemeliatn semakin cepat dan terkadang berputar-putar dengan speed sangat cepat namun keseimbangan tubuhnya masih terkendali. Sesekali pemeliatn mendekat ke arah pasien yang masih berbaring dengan

mengoleskan ramuan pada tubuh si pasien, kemudian bagian punggung pasien tersebut dihisap dengan tujuan untuk menyedot roh jahat yang mengganggu. Secara global kronologis yang terdapat di dalam tarian Beliant Bawo ini tergambar dari paparan di atas, penulis akan mencoba menyoroti tarian ini ketika tari Beliant Bawon tersebut sudah dibawa ke ranah pertunjukan, tentunya aspek-aspek yang terdapat di dalamnya akan mengalami suatu perubahan baik dari aspek tarian maupun dari segi musikalitasnya, sehingga akan memunculkan sebuah interpretasi yang berbeda pula bagi

apresiator yang mengapresiasi tarian ini. Berbeda ketika tarian ini ditampilakan secara original dan aspek-aspek original juga yang maka

mendukungnya pun disuguhkan secara

interpretasi yang terbentuk dari masyarakat yang menyimak tarian ini akan sama yakni sebagai media untuk menyembuhkan penyakit. Penulis akan langsung menyoroti masalah musikalitas dari bentuk sajian yang disajikan dalam pertunjukan tari Beliant Bawo
6

ini. Secara global dari awal sampai akhir pertunjukan musik yang dimainkan untuk mengiringi tari Beliant Bawo ini sifatnya energic, unsur musikal yang dibangun memberikan warna yang berbeda, kemudian interpretasi yang muncul dari penulis ketika menyimak atau mengapresia sajian ini pertama adalah bahwa musikalitas yang dibangun antara tarian dengan fungsi dari tariannya ini sangat berlawanan bahkan penulis berani menyebutkan bahwa musiknya sangat destruktif terhadap bentuk tarian ini secara original. Namun pada bagian-bagian tertentu musiknya sangat mendukung baik terhadap bentuk sajian tarinya maupun

terhadap fungsi tariannya. Alat atau instrument yang digunakan untuk mengiringi tari Beliant Bawo ini adalah beliatn (kelunikng dan kendang), maka musikalitas yang terbentuk menjadi berupa ritmik-ritmik perkusif, dengan basic ritem yang berirama dan bertempo cepat sehingga suasana yang terbentuk dalam sajiannya menjadi rame, energic, dengan dibantu oleh suara ritmik gelang terbuat dari besi yang dipakai oleh penari pada kedua pergelangan tangannya sehingga menambah suasana musikal menjadi lebih rame. Bentuk musikal yang terwujud ini memberikan dorongan kepada penari yang salah satu dari penari tersebut berperan sebagai pemeliatn. Dalam paparan awal mengenai tarian Beliant Bawo ini dipaparkan bahwa ketika pemeliatn menari sambil mengucapkan mantranya disitu
7

peran

musik

sangat

mendukung

terhadap

peran

pemeliatn

tersebut, semakin cepat tempo musiknya maka semakin cepat juga gerakan yang dibawakan oleh si pemeliatn, kemudian saat trance yang merupakan saat yang ditunggu-tunggu terbentuk ketika tempo musik sedang cepat. Unsur perkusif ini yang mendapatkan input banyak dari budaya barat, sehingga malah bentuk perkusif yang asli dari Kutainya tidak bisa diidentifkasi. Simpulan yang bisa penulis utarakan dari fenomena kedua repertoar di atas, maka apabila dikaitkan dengan tema yang diangkat oleh penulis yakni bahwa kedua repertoar ini sudah mengalami sebuah perubahan yang cukup signifikan baik unsur penambahan atau pengurangan musikalitas maupun

panambahan dan pengurangan dari koreografinya, namun pada dasarnya secara global tidak mengurangi esensi dari bentuk asli dari kedua repertoar tersebut.

IDENTITAS PENULIS

Yosep Nurdjaman Alamsyah, S. Sn. Mahasiswa Institut Seni Indonesia Surakarta, semester 3 angktan 2010

Anda mungkin juga menyukai