Anda di halaman 1dari 19

PENDANAAN TERORISME DALAM PERPSEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Abstract Terrorism is one of the most crimes that make

International society or Indonesian society very fear. The Indonesian government which it letter in the Undang-Undang Dasar 1945 must be protected the whole nation of Indonesia citizen and entire citizen of Indonesia. Therefore state is obliged to protect Indonesia citizen from every crime treat of terrorism, that have characteristic of national terrorism or international terrorism. The Act Number 15 Year 2003 is the Legislative policy to tackling the terrorism in Indonesia and also fight the international terrorism, that can be in Indonesia too. The research method that used in this thesis throught research of normative law and the data type that used is secondary data using primary and secondary material law. The Criminal Law that using to tackling terrorism likely in Law Number 15 Year 2003, made criminalization. The criminalization is formulated in 2 (two) terrorism groups, that consist of Terrorism Crime and Crime Relating Terrorism Crime. But in the application, the Act Number 15 Year 2003 still found the problems in enforcement and must be addition of a new crime formulation and some section changes in the future. Keywords : Terrorism, Criminalization, The Act Number 15 Year 2003 1. Pendahuluan Pada dasarnya, menurut Romli Atmasasmita1 istilah Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun
1

Guru besar hukum pidana internasional UNPAD

1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).2 Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.3 Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. Romli Atmasasmita lebih lanjut menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) Hukum Pidana Ingternasional dalam arti lingkup territorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ; (2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internbasional yang terdapat di dalam hukum pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally priscribel municipal criminal law); (3) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law); (4) Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations); (5) Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in

the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice); (6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense of the word).2 Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan tetapi juga meliputi aspek internasional baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional serta hukum pidana internasional dalam arti materril. Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, karena ada hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik mengenai cara melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai negara. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya adalah nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga nampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam praktiknya, tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara lainnya, maka nampaknya sifatnya yang transnasional. Masalah kejahatan yang berbentuk kejahatan trans-nasional (trans- national crime) seperti perdagangan gelap (illlicit trade), perdagangan obat terlarang
2

Romli,atmasamita. Pengantar Hukum Pidana Internasional.Hal 21

(illicit drug), perdagangan manusia (human trafficking), terorisme, dan penyelundupan manusia (people smuggling) merupakan ancaman serius bagi negara seperti kita.3 Posisi geografis Indonesia yang strategis dan merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah sangat luas semakin menambah suburnya pertumbuhan jenis-jenis kejahatan lintas batas tersebut. Karena itu, sebagai negara asal maupun transit bagi operasi tindak kejahatan trans-nasional maka Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan upaya-upaya dalam menekan kejahatan lintas batas tersebut melalui suatu format kerjasama dengan negaranegara tetangga secara komprehensif. Tantangan utama yang dihadapi dalam memberikan respon cepat terhadap jenis kejahatan seperti ini adalah bagaimana membuat perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara kunci baik secara bilateral maupun multilateral dan mengembangkan kerjasama teknis dalam pemberantasan terorisme, bajak laut, pencucian uang, cyber crime, penyelundupan dan perdagangan manusia dan senjata serta lalu lintas obat-obat terlarang (illicit drug/drug trafficking). Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan peradaban dunia

menyebabkan terjadinya kejahatan baru yang bersifat kompleks dengan skala lintas negara/trans-nasional. Perkembangan teknologi informasi dan peradaban manusia secara sosiologis dapat dikatakan sebagai crime is the shadow of civilization. Masih lemahnya penjagaan wilayah perbatasan dan pintu-pintu masuk Indonesia seperti pelabuhan laut dan udara, serta masih terbatasnya kerjasama internasional pada penanganan kejahatan trans-nasional menjadikan Indonesia sebagai ladang subur bagi tumbuhnya kejahatan tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 15 ayat (2) huruf h dinyatakan : Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan Perundang-undangan
3

Eddy O.S Hiariej. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Hal 54

lainnya berwenang : melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan Internasional. Dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf h dinyatakan : Yang dimaksud dengan kejahatan Internasional adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk dltanggulangi antar negara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia. Dengan demikian relevansinya Polri harus mengambil langkah langkah yang menjadi sasaran pokok yang akan dicapai dalam upaya meningkatkan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas khususnya pada kejahatan trans-nasional. Kejahatan terorisme yang berawal pada peledakan bom Di Kedutaan Besar Philipina pada akhir tahun 2000, Bom Bali dan beberapa ledakan bom ditempat lainya menambah daftar panjang serangan terorisme Di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap terorisme adalah dengan adanya jaringan terorisme yang bersifat internasional, sehingga terdapat pelaku, otak pelaku ataupun pendukung dana yang merupakan warga negara asing dan berada diluar yuridiksi Indonesia. Oleh karena itu diperlukan kajian yang mendalam mengenai penanganan kejahatan trans-nasional khususnya terorisme dalam kaidah hukum pidana internasional. Kajian Teoritis A. Pendekatan pemahaman makna terorisme Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama

dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafiaCosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya. Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya.4 Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut. Menurut Blacks Law Dictionary,

Rikard Bagun, Indonesia di Peta Terorisme Global,http://www.polarhome.com,

Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. mempengaruhi kebijakan pemerintah. c. mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan. Mulai memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain Menurut Websters New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate. Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakantindakan yang memiliki elemen: 1. kekerasan 2. tujuan politik 3. teror/intended audience. Definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat diselaraskan menjadi definisi yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun

yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme yaitu:5 1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (Tokyo Convention, 1963). 2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (Hague Convention, 1970). 3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (Montreal Convention, 1971). 4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protecred Persons, 1973. 5. International Convention Against the Taking og Hostages (Hostages Convention, 1979). 6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Nuclear Materials Convention, 1980). 7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988. 8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, 1988. 9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, 1988. 10.Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991. 11.International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United Nations General Assembly Resolution).
5

Convention Against Terrorism, http://www.unodc.org

12.International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. B. Jaringan Al-Qaeda Al-Qaeda adalah jaringan teroris internasional yang dipimpin oleh Usama Bin Laden [yang "Osama" adalah ejaan usang, karena tidak ada huruf "O" dalam bahasa Arab). Didirikan sekitar 1988 oleh bin Laden, al-Qaeda membantu keuangan, merekrut, transportasi dan melatih ribuan bertahap dari puluhan negara menjadi bagian dari Afghanistan tahan untuk mengalahkan Uni Soviet. Untuk melanjutkan jihad di luar Afganistan, al-Qaeda saat ini tujuannya adalah untuk membentuk suatu ketika-Khalifah Islam di seluruh dunia dengan bekerjasama dengan sekutu kelompok ekstremis Islam untuk menjatuhkan rezim yang dianggapnya "non-Islam" dan membuang Barat dan non-Muslim dari Muslim negara. Pada bulan Februari 1998, al-Qaeda mengeluarkan pernyataan di bawah spanduk dari "Front Dunia Islam bagi Jihad terhadap orang-orang Yahudi dan memeluk" mengatakan adalah kewajiban semua Muslim untuk membunuh warga AS-sipil atau militer-dan sekutu mereka di mana-mana. Al-Qaeda akan bergabung dengan Jihad Islam Mesir (Al-Jihad) dari Ayman al-Zawahiri pada bulan Juni 2001. Setelah al-Qaeda's 11 September 2001, serangan di Amerika, Amerika Serikat meluncurkan perang di Afghanistan untuk memusnahkan al-Qaeda's ada dasar dan menggulingkan Taliban, negara Islam fundamentalis pemimpin yang harbored bin Laden dan pengikutnya. "Al-Qaeda" adalah Bahasa Arab untuk "dasar." Dalam sebuah rumah al-Qaeda di Afganistan, wartawan New York Times ditemukan sebuah pernyataan singkat dari "Tujuan dan Tujuan jihad": 1. Melakukan supremasi Allah di muka bumi

2. Mencapai syahid di jalan Allah 3. Kesucian yang menempati urutan Islam dari unsur-unsur dari kerusakan moral Pada tahun 1998, beberapa pemimpin al-Qaeda mengeluarkan pernyataan panggil untuk membunuh Muslim di Amerika-termasuk warga sipil sebagai "orang-orang yang dengan sekutu di antara mereka penolong dari Setan." Tactics termasuk pembunuhan, bom, perampokan, penculikan, serangan bunuh diri, dkk. Sejumlah laporan dan publik Bin Laden proclamations menunjukkan keinginan kuat untuk memperoleh dan memanfaatkan biologi, kimia dan senjata nuklir. Sasaran cenderung menonjol simbol (gedung-gedung publik, kedutaan dan personil militer, dll) dari Amerika Serikat, para sekutu, dan pemerintah Muslim moderat. Menurut mantan Direktur CIA George J. pendapat, "Usama Bin Ladin's organisasi dan kelompok teroris lainnya adalah menempatkan penekanan pada peningkatan pengembangan surrogates untuk melakukan serangan dalam upaya untuk menghindari deteksi. Misalnya, Jihad Islam Mesir (EIJ) adalah terkait erat untuk Bin Ladin's organisasi dan telah operatives berlokasi di seluruh dunia-termasuk di Eropa, Yaman, Pakistan, Lebanon, dan Afganistan. Dan, sekarang ada yang rumit web dari aliansi antara ekstrimis Sunni di seluruh dunia, termasuk Afrika Utara, Palestina radikal, mahu menglangsaikan hutang kad kreditnya, dan Asia Tengah. Beberapa dari teroris ini sedang aktif disponsori oleh pemerintah nasional yang antipathy menuju pelabuhan besar Amerika Serikat. "Adalah mustahil untuk diketahui secara tepat, karena adanya desentralisasi struktur organisasi. Al-Qaeda mungkin memiliki beberapa ribu anggota dan asosiasi. Ini tentunya lebih dari 5.000 orang dilatih di kamp di Afghanistan sejak akhir tahun 1980-an. Ia juga bertindak sebagai titik fokus untuk jaringan di seluruh dunia yang mencakup banyak kelompok ekstremis Islam Sunni, beberapa anggota al-Gama'a al-Islamiyya, Gerakan Islam Uzbekistan, dan Harakat ul-Mujahidin. Bantuan Eksternal Bin Laden, milyarder anggota dari keluarga yang memiliki Bin Ladin Group konstruksi kerajaan, yang dikatakan memiliki

warisan puluhan juta dolar yang ia digunakan untuk membantu keuangan grup. AlQaeda juga mempertahankan uang depan bisnis, seperti solicits sumbangan dari pendukung-hati, dan illicitly siphons dana dari sumbangan kepada organisasi amal Muslim. Peristiwa 11 September 2001 dan Al-Qaeda Pada 11 September 2001, kelompok teroris al-Qaeda menyerang Amerika Serikat (AS) dengan cara yang sangat memilukan. Tepat pukul 8.45 pagi waktu New York, hari Selasa, 11 September 2009, pesawat Boeing 767 milik maskapai American Airlines menghantam menara utara gedung World Trade Center di New York City, Amerika Serikat (AS). Hari tatkala musuh yang tidak dikenal meruntuhkan WTC sehingga menimbulkan kekosongan di cakrawala Kota New York dan juga menusuk perasaan orang Amerika. Hari itu merupakan saat ketika terorisme di Amerika mewujudkan ancaman menjadi kenyataan. Hari itu saat ketika para pejabat kepolisian dan petugas pemadam kebakaran banyak yang tewas dalam melakukan tugas perkasa tanpa menghiraukan keselamatan jiwa mereka sendiri. Dampak serangan teroris 11 September tidak terbatas di Amerika tetapi masih menjadi berita penting dunia. Peristiwa 11 September 2001 memunculkan dua pertanyaan penting. Pertama, terkait penyebab dan yang kedua mengenai dampak peristiwa 11 September. Peristiwa terjadi di pagi hari ketika 19 orang keturunan Arab menyandera empat buah pesawat penumpang. Dengan bermodalkan empat pesawat itu, mereka menghancurkan gedung pusat perdagangan Amerika dan menciderai sebagian bangunan Pentagon. Setelah peristiwa penyerangan Pearl Harbor oleh Angkatan Udara (AU) Jepang, serangan sedahsyat ini belum terjadi di Amerika. Beragam analisa dimunculkan mengenai siapa pelaku sebenarnya. Sebagian menganalisa, pelakunya adalah Al Qaeda. Mereka berhasil memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan keamanan wilayah AS. Sebagian menambahkan, hal itu tidak bakal

terjadi tanpa bantuan orang dalam. Sementara itu, ada yang meyakini, kelalaian badan intelejen dan keamanan Nasional AS menjadi penyebab terjadinya peristiwa ini. Mencari jawaban kedua jauh lebih mudah ketimbang mencari penyebab terjadinya peristiwa ini. Peristiwa 11 September berdampak sangat luas. Peristiwa 11 September mampu merubah sejarah dunia. Dunia dibagi menjadi dua kelompok; dunia pra dan pasca 11 September. Di Amerika sendiri, hancurnya gedung kembar simbol kekuasaan Amerika itu memunculkan kelompok-kelompok ekstrim dari kalangan Nasionalisme, Konservatif, dan kebencian terhadap orang asing plus bayang-bayang ketakutan. Setelah perisitiwa 11 september bush mendeklarasikan perang terhadap teror. Setelah peristiwa Al-Qaeda tidak hanya menjadi permasalahan keamanan domestik Amerika Serikat saja, namun juga telah menjadi suatu masalah dalam keamanan global. Hal tersebut didasarkan pada desentralisasi organisasi terorisme tersebut, dimana Al-Qaeda tidak hanya berada pada suatu tempat saja namun juga tersebut di seluruh dunia dan menjadi ancaman bersama. Maka untuk menghancurkan ancaman terorisme tersebut pemerintahan bush melakukan serangan militer ke negara Afghanistan, wilayah yang mengindikasikan Osama Bin Laden berada. Efek dari peristiwa 11 September tersebut tidak hanya merubah konstelasi politik dunia, namun juga mempengaruhi dunia Islam. Dimana masyarakat barat menjadi phobia terhadap masyarakat muslim. Hal tersebut sangat jelas dalam karyanya Huntington Who Are We?: The Challenges to America's National Identity, dia mengatakan usuh utama Barat pasca-Perang Dingin adalah ''Islam militan'', dan dari berbagai penjelasannya, definisi ''Islam militan'' melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, baik radikal maupun fundamental Globalisasi

Globalisasi, suatu kata yang tidak asing pada masa kontemporer ini, suatu kata yang sudah mendarah daging dalam benak masyarakat Dunia umumnya dan Indonesia khususnya. Globalisasi adalah sebuah sistem dunia yang semakin menegaskan wujudnya pasca Perang Dingin. Jika pada masa Perang Dingin dunia ditandai oleh pembagian wilayah yang jelas antara blok Barat (kapitalis), blok Timur (komunis) dan non-blok (negara-negara berkembang), maka globalisasi ditandai oleh integritas dunia melalui jaringan informasi dan penemuan teknologi transportasi yang semakin mengaburkan batas-batas wilayah teritorial. Perang Dingin ditandai oleh adanya batas wilayah, sementara globalisasi muncul menghancurkan batas, dunia malah dihubungkan dalam jaringan besar tanpa batas. Banyak kontroversi mengenai definisi dari globalisasi itu sendiri, Thomas Friedman mengatakan bahwa globalisasi adalah dunia datar, seperti bukunya The World is Flat, dia mengatakan bahwa globalisasi terdiri dari tiga tahapan. 1. Globalisasi 1.0 Pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru, Hingga tahun 1800. Proses ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi sedang. Globalisasi 1.0 terkait dengan negara dan otot. Artinya, dalam globalisasi 1.0, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah seberapa gigih, seberapa besar otot, seberapa besar tenaga kuda, seberapa besar tenaga angin, dan seberapa besar tenaga uap yang dimiliki suatu negara serta seberapa besar tenaga uap yang dimiliki suatu negara serta seberapa besar kreativitas untuk memanfaatkannya. Pasa masa ini, negara maupun pemerintah yang biasanya dipicu oleh agama, imprealisme, atau gabungan keduanya

mendobrak dinding dan menjalin dunia menjadi satu hingga terjadi penyatuan global. 2. Globalisasi 2.0 Berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga diselingi oleh masa Depresi Besar serta Perang Dunia I dan II. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang ke ukuran kecil. Dalam globalisasi 2.0, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja, dengan dipelopori oleh Revolusi Industri serta ekspansi perusahaan-perusahaan yang bermodal gabungan dari Belanda dan Inggris. Pada paruh masa ini, proses penyatuan global dimotori oleh jatuhnya biaya pengangkutan berkat mesin uap dan kereta api. Paruh berikutnya proses penyatuan dimotori oleh jatuhnya biaya telekomunikasi berkat penyebaran telegraf, telepon, PC, satelit, serta optik, World Wide Web versi awal. Pada masa itulah kita menyaksikan kelahiran dan pendewasaan ekonomig global dalam pengertian bahwa ada cukup pergerakan barang dan informasi dari benua ke benua demi terbentuknya pasar global, dengan wujud jasa perdagangan barang dan tenaga kerja antar pasar. Kekuatan dibalik globalisasi masa ini adalah terobosan dibidang perangkat keras, berawal dari kapal uap dan kereta api, hingga kemudia telepon dan komputer induk. 3. Globalisasi 3.0 Berlangsung sekitar tahun 2000 sampai sekarang. Globalisasi 3.0. in menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil sekaligus mendatarkan lapangan permainan. Jika motor penggerak globalisasi 1.0 adalah mengglobalnya negara; motor penggerak globalisasi 2.0 adalah

mengglobalnya perusahaan, uniknya motor penggerak globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global. Dia menjelaskan dalam bukunya, fenomena yang memungkinkan, memberdayakan, dan melibatkan individu serta kelompok kecil untuk dengan mudah dan mulus menjadi global dengan flat-world-platform. Flat-world-platform merupakan konvergensi antara komputer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serta memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia dengan mudah secara digital, serta work flow software yang memungkinkan individu-individu di seluruh dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari manapun, tanpa menghiraukan jarak antar mereka Pembahasan Maraknya kejahatan dan pelaku kejahatan lintas negara dalamsatu dasawarsa terakhir, menarik juga untuk kita kaji. Sebetulnya mengapa begitu mudah pelaku kejahatan di Tanah Air kita mereka kabur ke Negara lain, katakanlah Negara tujuan lain yang paling Favorite adalah Singapore, Malaysia, Australia, Hongkong dan China.? Apa sebetulnya yang menjadi alasan pelaku atau pendana aksi kejahatan lintas negara itu dan mengapa begitu mudah melarikan diri ke Negara - negara tersebut. Apakah pelaku mengetahui bahwa aksi-aksi terebut ternyata merupakan masuk katagori tindak pidana Internasional? Di dalam Hukum Pidana Internasional, telah dijelaskan bahwa Kejahatan Internasional adalah proses penetapan tindakan-tindakan tertentu sehingga sesuai katagaori kejahatan internasional. Proses itu sendiri melibatkan suatu komite (bersifat ad-hoc) insidentil. Komite yang lazim membahas masalah ini -sejak PBB ada- adalah

KomisiHukum Internsional PBB yang telah mulai beraksi sejak 1947 dalam urusanrusan kejahatan perang selama PD.2. Berdasarkan Hukum Pidana Intensional, ada beberapa karakteristik Hukum Pidana Internasional ini agar efektif, yakni karakter Pengakuan secara eksplisit, Karakter Pengakuan secara implisti, Karakter Keajiban atau Hak untuk menuntut, Kewjaiban atau Hak menjatuhkan pidana atas tindakan tertentu, Karakter Kewajiban atau Hak mengekstradisi, Karakter Pembentukan mahkamah Internasional dan Karakter penghapusan kata-kata atau kalimat alasan perintah atasan. Terlepas dari pro dan kontra terhadap beberapa karakteristik di atas (suatu negara dengan negara lainnya berbeda ratifikasi menurut kepentingan masing-masing), jika panitia ad-hoc komisi yudisial PBB menganggap suatu perkara harus masuk dalam kejahatan piidana internasional, mau tidak mau negara-negara yang terikat dengan PBB harus menyelaraskan UU Hukum Pidana Negaranya dengan UU Hukum Pidana Internasional, artinya mau tidak mau ekstradisi harus dilakukan. Tentunya dengan negara itu harus meratifikasi UU Kriminalnya dengan kepentingan Internasional. Jadi kendatipun UU Kejahatan Intenasional itu mengacu kepada beberapa Azas, misalnya AZAS Martabad Bangsa dan Azas Ekstradisi, memberi kebebasan dan peluang kepada Negara yang diminta untuk TIDAK menyerahkan tersangka, dengan alasan khusus, misalnya kejahatan hanya dilaksanakan dalam wilayah negara sendiri, martabad dan kehormatan bangsanya dan sebagainya. Namun, apabila Mahkamah Internasioanl menyatakan harus ekstradisi mau tak mau negara tersangka tadi harus meratifikasi UU Pidana Kriminalnya sehingga mempunyai dasar mengekstradisikan warganya ke Mahkamah Internasional seperti penyerahan pelaku kejahatan perang negara-negara pecahan Balkan. Ini juga yang menyebakan terjadinya quo vadis tolak tarik penegakan hukum kejahatan intenasional. Satu sisi harus memperhatikan kedaulatan dan eksistensi

hukum sebuah negara, satu sisi lagi harus terpaksa terikat pada konvensi internasional berkaitan dengan Hukum Pidana Internasional. Maka tidak heran, saat penangkapan Gayus di Singapore beberapa bulan lalu, issue yang ditonjolkan BUKAN penangkapan (walau bukan kasus terorisme). Masih menurut UU Hukum Pdana Internasional, ada 28 Hirarki kejahatan internasional yang dalam ranah ini antara lain adalah : 1. Agresi militer ke Negara Lain 2. Genicide (pemusnahan ras tertentu) 3. Kejahatan Pelangggaran Hak Azasi Manusia 4. Kejahatan yang timbul dalam Peperangan 5. Penyelundupan Senjata Berat. 6. Pencurian bahan Nuklir 7. Perajurit Bayaran 8. Apartheid 9. Perompakan atau Bajak Laut 10. Pembajakan Pesawat Udara 11. Serangan dengan cara-cara Peledakan
12. Financing of Terrorism (Pendanaan atau pembiayaan terorisme). 13. dan lain-lain

14. Memberi Suap di Negara Asing Berdasarkan JENIS pembagian Kejahatan Internasional, dari 28 Hirarki di atas terbagi menjadi 3 bagian, yakni berdasarkan jenis pelanggaran hak azasi kemanusiaan. Kemudian ada Jenis Kepentingan Negara-negara yang terlibat di dalamnya (negara-negara yang menjadi korban), dan menurut Jenis pelanggaran Normatif (misal No.28 di atas).

Lihatlah, pada urutan ke 12 persoalan yang sedang marak dan terjadi di Negara ini. Kondisi ini berkaitan dengan adanya penangkapanpenangkapan teroris atau orang-orang yang dituduh Teroris kahir-akhir ini. Jadi memang tidak tertutup kemungkinan adanya pesanan khusus oleh intenasional untuk menjaring seseorang atau pentolan organisasi teroris, karena masalah ini masuk dalam katagori ke 12 (Pendanaan Terorisme) UU Kejahatan Internasional. Walaupun demikian, ada satu hal yang musti diperhatikan oleh Pemerintah khususnya POLRI adalah, apapun dalil dan landasan hukumnya, tetap saja orangoang yang tertangkap karena terlibat atau dituduh terlibat makar nasional atau Intensional harus tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Seperti halnya mengacu kepada dalil hukum yang menyeret tersangka pelaku kejahatan internasional untuk di adili oleh negara Negaranya atau Intensional (ekstradisi) yang mengacu kepada Hukum Pidana Internasional, kepada tersangka ini pun (dalam proses penahanan) harus juga mengacu kepada dalil hukum pidana internasional. Dalam pasal 20 Statuta Roma seperti tertuang dalam salah satu azas Hukum Kejahatan Internasional (Azas Ne bis In ) menyebutkan dalam ayat (1), bahwa Tidak seorang pun diadili di depan mahkamah berkenan dengan perbuatan yang merupakan kejahatan dimana orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Mahkamah. Kemudian dalam ayat (2) bahwa Seseorang tidak boleh dituntut satu kali di pengadilan atas Perkara yang sama (Principle of Double Joepardy). Jika mengacu kepada Pasal 11 deklarasi HAM PBB, ayat (1) berbunyi :Setiap oang yang dituntut karena diduga melakukan suatu tindak pidana, harus dianggap TIDAK BERSALAH sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dan

pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan ynag diperlukan untuk pembelaannya. Ayat ini sering kita sebut dengan menganut azas praduga tak bersalah. Jangkauan pemahaman Kejahatan Internasional bukan saja termasuk membantu pendanaan teroris melainkan juga genocide, melanggar HAM dan sebagainya. Hanya saja karena tema kita berkaitan dengan hirukpikuk masalah teroris kita batasi sorotan ini dalam hal teroris yang berkaitan dengan pendanaannya, ternyata masuk dalam katagori kejahatan internasional, bukan..? Terlepas dari persoalan keyakinan masing-masing serta konsekwensi yang harus diterima atas pilihan tersebut, semoga pengkajian ini dapat membantu kita menerawang masalah ini : Ternyata masalah bantuan pendanaan (tanpa sengaja pun misalnya) bisa dianggap sebagai jaringan kejahatan intenasional.

Anda mungkin juga menyukai