Anda di halaman 1dari 4

28 Maret 2005

Menguras APBD untuk Terdakwa Korupsi


Pendingin udara ruang rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam agaknya tak mampu menyejukkan suasana rapat yang telanjur memanas. Di ruangan itu, Rabu dua pekan lalu, Panitia Anggaran DPRD Aceh bersitegang dengan Kepala Biro Hukum dan Humas Sekretariat Pemerintah Daerah Aceh, Hamid Zen, ketika mereka membahas rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran 2005. Mulanya Mukhlis Mukhtar, salah seorang anggota Panitia Anggaran DPRD, tertegun saat mencermati perbandingan angka-angka dalam berkas anggaran tahun 2005 dengan tahun sebelumnya. Dia merasa melihat ada yang tak beres. Sejurus kemudian, bekas Ketua Asosiasi Advokat Indonesia cabang Banda Aceh itu angkat bicara, "Ini penyelewengan anggaran." Mukhlis menemukan penurunan drastis jumlah anggaran yang diajukan biro hukum untuk tahun ini. Tahun lalu, anggaran yang diajukan Rp 10,8 miliar untuk pos itu. Pada 2005, menciut menjadi Rp 4 miliar. "Selisih sangat jauh itu menimbulkan pertanyaan," tutur Mukhlis. Jawaban Hamid Zen membuat Mukhlis tak habis mengerti. Menurut Hamid, pembengkakan dalam anggaran tahun sebelumnya terjadi karena ada dana yang dialokasikan guna membiayai proses hukum gubernur non-aktif, Abdullah Puteh, yang didakwa melakukan korupsi atas pengadaan helikopter MI-2. Masih menurut Hamid, dari Rp 5,7 miliar yang dialokasikan, Rp 4,8 miliar telah dicairkan. Sebagian uang itu dipakai Puteh. Hamid tak menyebut secara pasti jumlah uang yang dipakai Puteh. "Itu untuk membayar pengacara dan akomodasi para saksi yang dipanggil ke Jakarta," kata Hamid. Dana tadi dikucurkan sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Puteh sebagai tersangka pada akhir Juni tahun lalu. Saat ini perkara Puteh masih disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertengahan Maret lalu, jaksa menuntut Puteh dihukum delapan tahun penjara. Jika tak ada aral melintang, nasib Puteh diputuskan pada pertengahan April ini. Inilah masalahnya. Di mata Panitia Anggaran, Puteh tak berhak menggunakan dana tersebut. Soalnya, kalaupun ada alokasi untuk dana bantuan hukum, itu dianggarkan guna membantu masyarakat miskin yang tak sanggup membayar pengacara?dikenal dengan sebutan perkara prodeo. "Lagi pula, APBD itu anggaran pembangunan masyarakat. Tak ada istilah dana bantuan hukum untuk pejabat daerah," kata Mukhlis. Mukhlis punya pengalaman soal penggunaan dana bantuan hukum. Ketika menjadi anggota DPRD pada 2002, sebelum terpilih kembali tahun lalu, dia mengusulkan peningkatan dana bantuan hukum. Ketika itu, setiap pengacara yang menangani perkara prodeo dijatah uang Rp 500 ribu per perkara. "Sepanjang sejarah APBD Aceh, nilai paling besar untuk pos itu hanya Rp 500 juta," ujar Mukhlis. Itu sebabnya, Mukhlis tampak terpana ketika angkanya mencapai Rp 5 miliar.

Di mata Mukhlis, persoalan Puteh adalah masalah pribadi. "Dia tak berhak menggunakan dana anggaran APBD. Pertanggungjawaban hukumnya itu urusan pribadi. Lagi pula, dia bukan orang miskin," ujarnya. Benar, Puteh memang tak layak disebut miskin. Dua tahun lalu, kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Puteh mengaku memiliki harta Rp 13 miliar, termasuk rumah mewah di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum menjadi Gubernur Aceh pada 2000, pria 57 tahun itu merupakan seorang pengusaha di Jakarta. Lalu, bagaimana anggaran biaya proses hukum Puteh bisa muncul? Puteh menghindar ketika ditanya soal ini melalui telepon genggamnya. "Saya sedang sakit, lain kali saja, ya," katanya. Wartawan Tempo yang mendatangi tempat Puteh ditahan di penjara Salemba, Kamis pekan lalu, dihadang petugas penjara. "Pak Puteh tak bersedia menerima wartawan," kata petugas itu. Sekretaris Daerah Aceh, Thantowi Ishak, selaku penanggung jawab keuangan eksekutif provinsi itu tak mau banyak bicara. "Dana itu sudah dianggarkan di APBD. Untuk jelasnya, tanya Hamid Zen saja," kata Thantowi. Kepada Tempo, Hamid Zen tak secara langsung mengatakan uang itu untuk Puteh. Dia mengatakan, dana itu untuk bantuan tim kuasa hukum pemerintah daerah yang menangani perkara aparatur pemda. Sebagian, kata dia, ya untuk membayar pengacara Puteh. Hamid mengaku tak ingat lagi perincian dananya. "Datanya sudah dibawa tsunami," ujarnya. Bagi Hamid, tindakan itu bukan tanpa dasar hukum. Dia menunjuk Pasal 25 butir (f) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut dia, kepala daerah berwenang mewakili daerahnya di dalam dan luar pengadilan. "Kepala daerah juga dapat menunjuk kuasa hukum," kata Hamid. Itu sebabnya, Hamid meyakini Puteh berhak menggunakan uang itu. "Lagi pula, Puteh membeli helikopter untuk kepentingan daerah," katanya. Bekas anggota DPRD Aceh, Nasir Djamil, punya cerita soal muasal dana itu. Menurut dia, dalam APBD murni, dana bantuan hukum hanya Rp 700 juta. Itu pun dialokasikan untuk membantu masyarakat miskin yang menghadapi masalah hukum. Angka Rp 5,7 miliar, kata Nasir, hasil revisi anggaran pada akhir masa tugas anggota Dewan periode sebelumnya pada September tahun lalu, tiga bulan setelah Puteh ditetapkan sebagai tersangka. Nasir menduga, alokasi dana itu disetujui di tingkat pimpinan Dewan. Mantan Ketua DPRD Aceh, Muhammad Yus, mengatakan persetujuan itu dicapai lewat mekanisme yang benar. Angka Rp 5,7 miliar itu, menurut Yus, disetujui karena sepanjang 2004 Pemerintah Provinsi Aceh menghadapi banyak gugatan. Yus sependapat dengan Hamid. Dengan alasan kepentingan daerah, dia menilai Puteh berhak menggunakan uang itu. Lagi pula, menurut Yus, pengacara Puteh bukan kelas teri. "Itu pengacara besar, mereka bayarannya miliaran, bukan sepuluh juta. Apalagi tersangkanya gubernur, harus pengacara bagus," ujarnya. Hamid mengamini pernyataan Yus. "Mereka itu pengacara nasional, bayarannya mahal," katanya.

Pengacara yang dimaksud Yus adalah Juan Felix Tampubolon, O.C. Kaligis, Muhammad Assegaf, dan Seno Aji. Tapi Juan Felix justru tak tahu anggaran untuk tim pengacara Puteh mencapai miliaran rupiah. Menurut dia, ketika meminta "bantuannya" pada Juni tahun lalu, Puteh berulang kali meminta agar dirinya tak menuntut bayaran terlalu mahal. "Jangan mengira karena saya gubernur punya uang banyak, jangan disamakan dengan pengusaha. Memang ada uang untuk lawyer, tapi sangat terbatas," kata Felix menirukan ucapan Puteh. Bekas pengacara mantan presiden Soeharto itu mengaku tak tahu bahwa Puteh membayarnya dengan uang APBD. "Saya pikir itu uang pribadi, karena dia bilang uangnya terbatas," kata Felix kepada Tempo. Menurut Felix, timnya dibayar tak sampai 10 persen dari angka Rp 5 miliar tadi. Namun dia menolak menyebut angka pastinya. Felix mengaku, Puteh berjanji menambah bayaran jika hasil persidangan memuaskan. "Tapi jangankan tambahan, sampai sekarang pembayarannya masih dicicil," kata Felix. Hamid mengakui tak semua uang itu untuk pengacara. "Ada juga untuk akomodasi para saksi yang bolak-balik Aceh-Jakarta," katanya. Memang, dalam kasus pembelian helikopter, Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil sejumlah saksi ke Jakarta. Mereka antara lain para ketua DPRD, pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Aceh, dan sejumlah bupati. Bupati Aceh Timur, Azman Usmanuddin, dan Bupati Pidie, Abdullah Yahya, ketika dihubungi Tempo membenarkan pernah dipanggil sebagai saksi. Tapi mereka mengaku ke Jakarta dibiayai daerahnya masing-masing. Azman mengatakan, dua kali dipanggil sebagai saksi, menghabiskan uang Rp 5 juta. Uang itu, kata dia, untuk ongkos pesawat pulang-pergi dan biaya penginapan dua hari. Abdullah Yahya juga mengaku dua kali ke Jakarta dalam kasus Puteh. Sekali jalan, katanya, menghabiskan uang Rp 4 juta. Sumber dananya, ya, dari kas daerahnya sendiri. "Juga dibiayai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi," katanya. Meski begitu, Hamid Zen bergeming. Menurut dia, dana itu dipakai sesuai dengan anggaran dan sudah dipertanggungjawabkan. "Tak ada penyelewengan. Sudah diperiksa dan tak ada masalah," ujarnya. Di mata praktisi hukum Aceh, Rufriadi, Puteh tak berhak membebankan biaya proses hukumnya ke APBD. "Itu uang rakyat. Ini preseden buruk yang dicontohkan tanpa malu-malu oleh pejabat di Aceh," katanya. Artinya, Rufriadi menambahkan, pejabat bisa melakukan tindak pidana dan menyewa pengacara ternama tanpa perlu merogoh kocek. Menurut dia, tak ada aturan yang membolehkan kepala daerah menggunakan dana APBD untuk membiayai penasihat hukumnya. Itu sebabnya, Rufriadi meminta kasus ini diusut. "Apalagi penyimpangan terhadap alokasi itu dilakukan secara terbuka." Yuswardi A. Suud, Adi Warsidi (Banda Aceh)

Anda mungkin juga menyukai