Anda di halaman 1dari 2

Politik Ekologis Sudah bukan barang asing bagi saya ketika dosen-dosen di kelas menyisipi materi kuliah mereka

dengan keluh kesah tentang lemahnya background para petinggi negeri ini di bidang biologi khususnya ekologi. Ambil contoh, penutupan sungai untuk dibuat jalan beraspal, pembiaran daerah aliran sungai sebagai tempat tinggal, pembuatan dam dll. Sekarang anda bayangkan sebuah sungai yang telah dibuat fasilitas dam yang disemen kanan kirinya, dan dipinggirnya di daerah aliran sungainya, dibangun perumahan. Terdengar biasa bukan? Apa yang salah dengan dam? Dam bagi manusia sekilas mungkin menguntungkan, akan tetapi, ikan-ikan yang berumah dua(eh, saya lupa istilahnya :p), yang tinggal di laut dan bereproduksi di sungai dan sebaliknya seperti salmon jelas akan terganggu siklusnya. Bagaimana ikan-ikan itu bisa bolakbalik kalau ada dam? Terpaksa perjalanan mereka terhenti akibat dam bukan? Dan karena habitatnya yang tidak sesuai, ikan-ikan tersebut bisa jadi punah. Nah, kalau punah? Maka rantai makan-memakan akan terganggu dan sistemnya goyah. Terlihat sepele? Tunggu dulu! Bagaimana kalau ikan tersebut ternyata ikan pemakan ganggang beracun? Maka bila ikan ini berkurang, air yang digunakan manusia bisa jadi mengalami blooming alga sehingga beracun bukan? Masalahnya, saya hampir pasti yakin sebagian besar pejabat negara di bidangbidang krusial tersebut berlatar belakang hukum atau militer dan beberapa sarjana sosial yang lain. Background ekologi mereka dipastikan minim karena hanya mendapatkannya dari materi di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Padahal, coba kembalikan memori anda sejenak, seberapa besar porsi ekologi yang dibahas selama tiga tahun lebih belajar biologi? Jawabannya sangat minim dan menurut saya kurang aplikatif. Padahal, mau tak mau, se-modern apapun peradaban manusia, ketergantungan kita terhadap keseimbangan alam untuk terus bertahan hidup tidak akan bisa dilepaskan. Manusia hanya merupakan loncatan-loncatan api listrik kecil dari proses dinamika alam yang apabila sistemnya diganggu gugat, maka loncatan-loncatan api listrik ini bisa jadi terhenti alias tamatlah riwayat kita sebagai spesies bumi. Fenomena ini, sepengelihatan saya tidak hanya melimpah ruah di bidang politik atas, akan tetapi juga di media massa dan masyarakat. Ingat Marzuki Ali dan statemen tentang, kalau tidak mau kena tsunami ya jangan tinggal di pulau? Harus

saya tegaskan saya sama sekali bukan pendukung Marzuki Ali, akan tetapi saya setuju dengan pertanyataannya. Karena itulah faktanya. Itulah yang benar, itu terjadi sepanjang usia bumi dan tidak bisa dinafikan. Menerima alam, menghormatinya sebagai komponennya tanpa berlaku sok angkuh, harus disadari sejak dini bahwa alam adalah sebuah sistem dan manusia sama sekali tidak spesial dibandingkan keseluruhan sistem. Laut ya laut, hidup di sepanjang cincin api jelas akan beresiko terkena tsunami. Nah, disinilah pentingnya politik ekologis. Dimana kebijakan-kebijakan sosial yang diambil hendaklah disesuaikan dengan alur alam. Hendaklah menghormati alam yang sebenarnya untuk kelangsungan hidup kita juga. Saat ini, saya jadi benar-benar merindukan sosok pemimpin yang bisa melakukannya. Yang berani mematok harga tinggi untuk bensin dan parkir akan tetapi menyediakan kenyamanan dan kemurahan kendaraan umum. Yang berani membangun taman kota dan menyingkirkan mall-mall, serta yang berani meminimalisir perdagangan global dan memanfaatkan apa yang ada pada diri kita saja (bukan karena politik bla, bla, bla, tapi untuk efisiensi energi. Anda mau makan apel impor yang menghabiskan energi dan polusi besar karena harus diterbangkan dari luar ke Indonesia? Hitung, berapa apel tersebut telah memperpendek umur manusia di bumi!)

Anda mungkin juga menyukai