Anda di halaman 1dari 12

Dua Petani Korea Selatan Masih Ditahan Kepolisian Hong Kong

Dua orang petani Korea yang melakukan protes anti WTO bulan Desember tahun lalu masih ditahan kepolisian Hong Kong. Kedua petani anggota Korean Peasant League (KPL) itu sedang menunggu sidang di awal Maret.

Pestisida Mengancam Kesehatan Perempuan


Penting untuk diingat kembali bahwa peran dan keterlibatan perempuan yang begitu besar dalam pengelolaan lahan pertanian, sehingga perempuan akan sangat beresiko terkena dampak buruk dari pemakaian pestisida.

Berita Hal 3

Berita Hal 10
EDISI 24 - FEBRUARI 2006

PEMBARUAN TANI
M I M B A R K O M U N I K A S I P E T A N I

PEMBARUAN AGRARIA

Dicintai Petani Dibenci Tirani


Konflik Agraria danKekerasan Terhadap Petani di Indonesia
Berita Hal 8

Info Praktis

Membuat Ikan Asap


Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya. Ada bermacam-macam pengawetan ikan, antara lain dengan cara penggaraman, pengeringan, pemindangan, perasapan, peragian, dan pendinginan ikan.Dalam rubrik info praktis kali ini disajikan bagaimana cara mengawetkan produk ikan dan hasil perikanan dengan cara pengasapan.

Pemerintah Tidak Mempunyai Visi Membangun PertanianHal 9 Berita

Hal 11

salam

pembaruan tani

Ketidakadilan Struktur Agraria Dan Konflik yang Terjadi


Kemiskinan bukanlah persoalan teknis hitung-hitungan ekonomi belaka, namun juga ada persoalan struktural didalamnya. Dimana adanya struktur sosial yang timpang, sehingga memberi jalan bagi ekploitasi manusia atas manusia, manusia atas kekayaan alam. Kondisi Agraria yang berkembang dewasa ini telah mengancam keselamatan hidup petani, memperburuk layanan alam terhadap petani, merendahkan kemampuan produktifitas petani dan semakin menurunkan kesejahteraan petani. Kondisi agraria tersebut diperburuk oleh penyelenggara pemerintah yang menyingkirkan petani dalam pembuatan-pembuatan keputusan, oleh aparat bersenjata negara yang memaksa petani dengan kekerasan, dan oleh badan-badan usaha raksasa yang menghisap kekayaan petani. Globalisasi kapitalisme telah bekerja melalui perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan internasional yang menjerat petani. Ketimpangan agraria tersebut semakin lebar terjadi, karena sejak pemerintahan orde baru berkuasa dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, pembaruan agraria tidak dilaksanakan. Hal itu disebabkan telah terjadinya perubahan orientasi ideologi negara, dari yang berorientasi kerakyatan (sosialis populis) menjadi kapitalistis, dan menempatkan program pembaruan agraria hanyalah sebagai perogram teknis/persoalan administratif belaka. Sebagai dasar pembangunan yang akan dilaksanakan di Indonesia, masalah agraria tidak dipandang sebagai persoalan yang mendasar yang harus dilakukan terlebih dahulu. Kapitalisasi agraria menyebabkan petani yang umumnya miskin tidak menguasai dan berdaulat atas sumber agraria. Dimana struktur agraria terkait dengan tiga hal yaitu, Pertama, tentang penguasaan atas sumber-sumber agraria dan kekayaan alam, atau alat-alat produksi yang dikerjakan bagi pemenuhan kebutuhan hidup; Kedua, pada produksinya. Penguasaan atas produksi mempengaruhi cara berproduksi; Ketiga, mengenai pemanfaatan, penggunaan dan distribusi atas hasil-hasil produksi. Dari sebaran konflik agraria yang dialami oleh anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) terlihat begitu banyaknya yang terjadi disektor perkebunan dan kehutanan. Hal ini sesuai dengan data yang tercatat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria yaitu sebaran konflik agraria yang terjadi di seluruh propinsi bagian terbesar adalah konflik di wilayah perkebunan, baik perkebunan negara ataupun swasta ada sekitar 344 kasus. Selanjutnya secara berturut-turut adalah kasus yang berkaitan dengan pembangunan sarana umum atau fasilitas perkotaan sebesar 243 kasus. Untuk sektor kehutanan dan pertambangan mencapai 141 kasus dan 59 kasus. Disebutkan bahwa konflik yang terjadi hingga 2001 terdapat di 1. 753 kasus. Dari sengketa diatas, dalam proses penyelesaiannya terjadi berbagai dinamika. Ketika kasus tersebut mengakumulasi menjadi konflik dan saling berhadapan/berlawanan maka berbagai bentuk kekerasan akan terjadi. Telah disebutkan sebelumnya yang dimaknai dengan konflik agraria secara sederhana adalah proses pertentangan antar dua pihak atau lebih baik untuk memperebutkan sumber agraria atau kekayaan alam lainnya. Dalam pertentangan ini menimbulkan berbagai jenis kekerasan seperti penganiayaan, penembakan, teror, intimidasi bahkan penculikan. Hal ini terjadi tidak hanya terhadap petani namun juga terhadap aktivis/pengurus organisasi tani. Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria setelah rezim Soeharto hingga Desember 2000 setidaknya telah terjadi 14 orang meninggal, 6 kasus penculikan, 21 kasus penembakan terhadap petani. Kemudian juga terjadi penangkapan yang berjumlah 936 orang dalam 73 kasus. Demikian juga korban tak hanya manusia tapi harta benda berupa pembakaran, perusakan, dan pembabatan tanaman milik petani yang terjadi di 28 kasus yang setidaknya luas area yang menjadi korban adalah 307. 954 ha. Demikian gambaran umum konflik-konflik agraria yang terjadi, untuk itu mari kita lakukan pemeriksaan atas ketidakadilan struktur agraria yang menyebabkan ketimpangan dan konflik yang terjadi dimasing-masing penguasaan atas tanah pertanian, perkebunan, hutan, dan tambang yang dialami masyarakat tani secara umum.

PEMBARUAN TANI
FEDERASI SERIKAT PETANI INDONESIA (FSPI) PETANI PRESS
PENANGGUNG JAWAB DICETAK OLEH DITERBITKAN OLEH

HENRY SARAGIH
PEMIMPIN UMUM

ZAINAL ARIFIN FUAD ACHMAD YAKUB


SEKRETARIS REDAKSI PEMIMPIN REDAKSI

TITA RIANA ZEN


SIDANG REDAKSI

INDRA SAKTI LUBIS TEJO PRAMONO AGUS RULI ARDIANSYAH IRMA YANNY ALI FAHMI WILDA TARIGAN CECEP RISNANDAR MUHAMMAD IKHWAN SRIWAHYUNI SUPRIYANTO
M

ARTISTIK DAN TATA LETAK KEUANGAN SIRKULASI

JL MAMPANG O M U N I K XIV NO.5 PRAPATAN A S I P I M B A R K JAKARTA 12790 TELP: +62 21 7991890 FAX: +62 21 7993426 EMAIL: pembaruantani@fspi.or.id www.fspi.or.id

ALAMAT REDAKSI

Redaksi menerima sumbangan artikel, opini atau tulisan mengenai pertanian/agraria/perjuangan yang sesuai dengan visi dan misi tabloid PEMBARUAN TANI. Setiap tulisan yang dikirimkan ke redaksi diketik 1000 (seribu) kata dan dikirimkan lewat pos, fax, maupun email. Apabila tulisan dimuat, anda akan menerima pemberitahuan dari redaksi.
Wartawan PEMBARUAN TANI dilengkapi tanda pengenal dan tidak meminta/menerima apapun dari narasumber

Pembaruan Tani

KABAR UTAMA:

Pembaruan Agraria ....................................................................................

4-7 3

tanggap
Selamat atas terbitnya Pembaruan Tani menjadi setiap bulan. Bagaimana kalau Pembaruan Tani menyediakan satu halaman yang dikhususkan untuk teori-teori tentang gerakan tani dan pengorganisasian. Bahan-bahan tersebut sangat diperlukan bagi serikat-serikat tani di daerah sebagai bahan referensi. Terima kasih. Wahidjan Mataram, Nusa Tenggara Barat

INTERNASIONAL
Dua Petani Korea Masih Ditahan Kepolisian Hong Kong ....................................................................................

PENDAPAT
Konflik Agraria dan Kekerasan Terhadap Petani Di Indonesia .................................................................................... Pemerintah Tidak Mempunyai Visi Membangun Pertanian ....................................................................................

Redaksi, Usulan saudara akan kami pertimbangkan. Tapi kami tidak menjanjikannya dalam waktu dekat.

Pembaruan Tani yang sudah terbit saat ini saya kira cukup bagus. Banyak informasi yang bisa kami dapatkan terutama tentang politik pertanian. Namun porsi pemberitaan lebih banyak di Jakarta/pusat. Alangkah baiknya bila kedepannya, Pembaruan Tani lebih memperbanyak berita-berita dari daerah/serikat-serikat tani di daerah Sarwadi Jambi Redaksi, Pembaruan Tani memang ada rencana untuk memperbanyak porsi pemberitaan dari daerah. Namun kami masih mempunyai kendala sumber daya manusia. Dalam waktu dekat ini kami akan melakukan pembenahan, dan diharapkan porsi pemberitaan dari daerah akan lebih banyak lagi

PETANI PEREMPUAN
Perempuan Berdemo Anti WTO ....................................................................................

INFO PRAKTIS

Membuat Ikan Asap ....................................................................................

8 9 10 11

SERIKAT
GUS DUR: Ketidakadilan Terhadap Petani Harus Dihilangkan ....................................................................................

12

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

internasional

pembaruan tani

Kilas Internasional
Rakyat Thailand Gugat Pemerintahan Bisnis Thaksin
75 ribu orang lebih berkumpul di lapangan Sanam Luang, Bangkok di hari Minggu (26/2) lalu. Demonstrasi ini dilakukan dalam rangka memprotes pemerintahan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Sinawathra. Pemerintahan Thaksin sendiri digugat rakyat semenjak beberapa bulan lalu, setelah dia disinyalir melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Thaksin adalah seorang pebisnis ulung dan pengusaha raksasa, dan rakyat menganggapnya menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan bisnisnya. Hal itu terungkap atas penjualan aset perusahaan raksasa Shin Corp, yang dimiliki Thaksin. Penjualan perusahaan ini ke pihak asing sangat membuat rakyat marah, sementara proses penjualan tanpa dikenakan pajak. Pembukaan perdagangan bebas dengan AS juga memicu kemarahan banyak pihak, termasuk organisasi tani, buruh, akademisi, dan rakyat miskin kota. Mereka yang tergabung dalam Majelis Rakyat Miskin (AoP: Assembly of the Poor) mengatakan bahwa pemerintahan Thaksin adalah pemerintahan korup, tidak demokratis dan sangat neoliberal. Pemerintahan ini dinyatakan membunuh petani Thailand karena harga tidak menguntungkan pertanian lokalmelainkan menguntungkan perusahaan dan bisnis. Thaksin juga ditengarai menjadi dalang penurunan taraf hidup masyarakat miskin kota atas kebijakannya. Upah stagnan, dan pengangguran merebak. Sementara aset negara dijual ke pihak asing, dan pasar dibuka bebas. Usaha perlawanan sedang dijalin. Aliansi rakyat untuk demokrasi memboikot usaha Pemilu yang akan dirancang Thaksin. Kini perlawanan meluas hingga ke desa-desa. Kami berharap rakyat sadar atas pemerintahan korup, dan akan berusaha melakukan pendidikan untuk menentang penindasan ini, demikian kata Pongtip dari AoP. Muhammad Ikhwan

Pembaruan Tani

Aksi petani Korea memprotes WTO di Hong Kong, 13-18 Desember 2005

Dua Petani Korea Masih Ditahan Kepolisian Hong Kong


Dua orang petani Korea yang melakukan protes anti WTO bulan Desember tahun lalu masih ditahan ditahan kepolisian Hong Kong. Kedua petani anggota Korean Peasant League (KPL) itu sedang menunggu sidang di awal Maret. Optimis Mabelle Au, salah seorang tokoh Aliansi Rakyat Hong Kong Melawan WTO (dalam bahasa Inggris: HKPA) mengatakan, Kami dari solidaritas di Hong Kong dan solidaritas internasional menyatakan optimis bahwa kedua orang ini akan dibebaskan. Ia mengatakan bahwa anggota HKPA akan berusaha sekeras mungkin untuk membebaskan kedua petani dari Korea ini. Tim pengacara dan pendukung teknis telah disiapkan. Sementara dari organisasi gerakan petani internasional La Via Campesina, tidak lupa terus mendukung moral para tahanan. Aksi-aksi solidaritas tetap dijalankan, sementara pembelaan terhadap tahanan politik WTO ini juga terus dilancarkan. Henry Saragih, Koordinator Internasional La Via Campesina dan Sekjen FSPI menegaskan, Solidaritas dari seluruh dunia sangat mantap mendukung proses ini, karena sebenarnya petani tidak bersalah. Kami mewakili Indonesia akan ke Hong Kong untuk mendukung mereka. Pelanggaran Hak Asasi Sementara menurut Mabelle dan Henry, banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia selama penahanan petani dalam KTM VI WTO Hong Kong. Sarwadi, petani dari Jambi-Indonesia tidak diperbolehkan mendapatkan obat, sementara banyak petani lain mendapatkan perlakuan tidak layak oleh polisi Hong Kong. Yang terparah adalah perlakuan pada penderita HIV/AIDS dari Thailand, yang menyebabkan mereka kesulitan dalam pengobatan. Tuntutan ini sudah dikumpulkan dan dimasukkan dalam sebuah laporan. Rencananya, laporan ini akan digunakan untuk menuntut polisi Hong Kong dan WTO agar bertanggung jawab dalam penegakan hak asasi manusia dalam proses penangkapan tersebut. La Via Campesina bersama HKPA dan organisasi perjuangan internasional lain berharap laporan ini selesai pada akhir Maret 2006 ini. Muhammad Ikhwan

Rakyat Filipina Gugat Arroyo


Ancaman kudeta menghantui Filipina. Presiden Gloria Macapagal Arroyo, yang merupakan presiden terpilih Filipina terancam ditumbangkan oleh pihak militer dan rakyat. Masih belum jelas benar siapa yang bertanggung jawab atas percobaan kudeta pada akhir Februari 2006 itu, namun pihak pemerintah menuding Angkatan Laut Filipina bersama beberapa aktivis pro demokrasi berada di belakangnya. Yang jelas, Presiden Arroyo telah menyatakan bahwa negara Filipina berada dalam keadaan darurat semenjak tanggal 24 Februari lalu. Dalam keadaan darurat ini, pihak aktivis pro demokrasi mengklaim pemerintahan Arroyo telah menangkapi sekitar 200 pejuang pembela rakyat. Di antara aktivis ini adalah mereka yang aktif dalam organisasi petani, buruh, migran, dan hak asasi manusia. Salah satu aktivis, Crispin Beltran sekarang berstatus tahanan politik bersama ratusan aktivis lainnya. Mereka inilah yang memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menginginkan Arroyo mengundurkan diri dari kursi presiden. Pemerintahan Arroyo sendiri mulai goyah semenjak diklaim mencurangi Pemilu. Skandal kaset rekaman yang melatarbelakangi kecurangan Pemilu Filipina adalah bukti rakyat tidak mau pemimpin yang curang. Lagi pula menurut organisasi tani di Filipina (KMP, PKSK dan Paragos), kebijakan Arroyo juga tidak berpihak pada petani. Arroyo beberapa tahun belakangan membuka pasar, menerapkan kebijakan neoliberalisme dan membuat sektor pertanian Filipina semakin terpuruk. Beberapa aktivis organisasi tani di Filipina juga menjadi buronan pemerintahan Arroyo saat ini. Muhammad Ikhwan

Liberalisasi Pertanian

Tekan Pemerintah Sebelum 30 April


Konferensi Tingkat Menteri WTO pada 13-18 Desember 2006 lalu menghasilkan sebuah kesepakatan yang sangat melukai petani. Selain tidak diikutkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak demokratis, keputusan WTO juga diyakini akan terus merugikan petani dan rakyat kecil. Yang lebih menyakitkan lagi, keputusan itu malah didukung oleh pemerintah Indonesia. Secara umum kesepakatan WTO terbagi tiga kerangka (1) untuk membuka pasar lebih besar, dan kurang memperhatikan faktor subsidi yang bisa melindungi petani dan rakyat kecil (2) menyetujui proposal produk khusus dan mekanisme pengamanan khusus (SP/SSM) yang memungkinkan perlindungan terhadap produk dalam negeri, dan (3) meniadakan subsidi ekspor selambatnya pada tahun 2013. Membunuh Petani Memang benar, proposal SP/SSM bisa menjadi tameng bagi produk pertanian dalam negeri kita (misalnya beras, jagung, gula), namun di satu sisi tidak memberikan senjata untuk berperang dengan negara-negara maju. Sementara pertanian negara maju seperti AS dan Uni Eropa didominasi oleh petani korporat multinasional dan perusahaan raksasa. Mekanisme ini juga tidak bisa menjamin ketergantungan petani akan bahan-bahan kimia, seperti pupuk dan pestisidayang menguntungkan perusahaan pertanian seperti Monsanto, Syngenta, dan Cargill. Kesepakatan WTO ini sementara tidak memperhatikan petani dan rakyat kecil, yang bahkan masih membutuhkan lahan. Ada juga yang perlu subsidi dalam pupuk, sarana produksi pertanian, bahkan alat-alatnya. Pembukaan pasar oleh WTO juga mengakibatkan petani menderita dengan kasus impor beras. Mekanisme pasar domestik dan harga tidak menguntungkan petani lagi, karena dibiarkan bebas. Negara tidak dapat melindungi. Yang diuntungkan hanyalah pedagang dan perusahaan raksasa. Modalitas Sementara untuk merealisasikan liberalisasi pertanian, pemerintah akan menyusun modalitas (panduan kesepakatan liberalisasi yang lebih detail) untuk dibicarakan dan ditetapkan di dalam WTO. WTO menetapkan batas akhir tanggal 30 April 2006 untuk batas terakhir penetapan modalitas pertanian. Untuk itulah, kita butuh berjuang lebih keras dalam menuntut pemerintah agar memperhatikan petani. Selama ini yang diakomodasi adalah kepentingan pedagang dan perusahaan, sementara subsidi pada petani dihilangkan pelanpelan. Pemerintah juga tidak punya cetak biru rencana pertanian jangka panjang, dan membiarkan petani kita dijual di tengah pasar bebas. Muhammad Ikhwan

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

utama

pembaruan tani

PEMBARUAN AGRARIA

Dicintai Petani Dibenci Tirani


Perjuangan kaum tani untuk mewujudkan pembaruan agraria masih harus menempuh jalan panjang. Dukungan politik ke arah itu terasa masih kurang. Bahkan dalam beberapa hal mendapat tentangan keras.
Jajaran penentang paling utama tentu saja para tuan tanah dan perusahaanperusahaan perkebunan besar. Mereka beraliansi menggalang penentangan terhadap perjuangan pembaruan agraria. Segala cara dilakukan mulai berkolaborasi dengan kekuasaan sampai lobi-lobi politik. Bentuk penentangan paling kentara terjadi di pelosok-pelosok pedesaan. Banyak petani yang harus tersingkir dari lahan-lahan pertaniannya hanya demi kepentingan segelintir orang. Sebut saja kasus-kasus agraria di Tanak Awu Lombok Tengah, Pasir Mandoge Sumatera Utara, Cibaliung Banten, Manggarai Nusa Tenggara Timur, Bulukumba Sulawesi Tengah, dan banyak wilayah lainnya. Para penentang pembaruan agraria menjelma menjadi tirani. Mereka siap melibas siapa saja yang mencoba mempertahankan tanahnya atas penggusuran. Disatu sisi, para petani tetap mendambakan pembaruan agraria terwujud. Mereka ingin hak-haknya atas tanah diberi tempat. Mereka juga tidak mau dianaktirikan dalam memperoleh akses terhadap tanah yang selama ini dikuasai perusahaanperusahaan perkebunan besar. Ditengah kisruh agraria yang tak kunjung selesai di negeri ini, Food Agricultural Organization (FAO) sebuah mengadakan konferensi internasional pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan (ICARRD) di Porto Alegre, Brasil. Pesertanya berbagai terdiri dari perwakilan pemerintah dari berbagai negara. Masing-masing negara mengemukakan pembaruan agraria di wilayahnya. Tak ketinggalan juga pemerintah Indonesia. Bersamaan dengan momen itu, pada tanggal 18-19 Februari, sejumlah organisasi tani, nelayan, pemuda, LSM dan masyarakat adat di Indonesia mengadakan pertemuan guna menyikapi konferensi internasional pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan itu. Mereka antara lain, Konsorsium Pembaruan (KPA), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Tani Nasional (STN), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Tani Bengkulu (STAB), Dewan Tani Indonesia (DTI), Petani Mandiri, Rukun Tani dan Nelayan (RTN), SPPQT, SEKTI, BPRPI, Pewarta, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), WALHI, LMND, GMJ, dan PBHI. Organisasi rakyat tersebut menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera menjalankan reforma agraria sejati demi terwujudnya kedaulatan pangan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menyelesaikan konflikkonfil agraria. Tuntutan tersebut berkaitan dengan akan diadakannya International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD). Organisasi rakyat menganggap Country Report yang disampaikan pemerintah Indonesia dalam forum nasional pada, hari Selasa (21/2), mengenai pelaksanaan Pembaruan Agraria sangat tidak memihak rakyat. Apalagi data-data yang dipaparkan tidak mengemukakan keadaan yang sebenarnya terutama tentang kekerasan terhadap petani dan masyarakat yang menjadi korban konflik agraria. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 1970-2001, tercatat telah terjadi 1.753 kasus-kasus agraria yang bersifat struktural. Konflik tersebut juga menyebabkan terjadinya penangkapan, penembakan, penculikan, kriminalisasi, pembunuhan dan tindakan represif lainnya terhadap para petani dan masyarakat yang memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria. Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Henry Saragih menyatakan, sejak UUPA 1960 diundangkan hingga sekarang ini, kewajiban pemerintah nasional untuk menjalankan pembaruan agraria belum juga dilaksanakan. Bahkan, penyelewengan terhadap UUPA semakin mendalam dengan lahirnya undang-undang sektoral yang semakin mengebiri UUPA seperti UndangUndang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA), Undang-Undang Sumber Daya Air (SDA), Undang-Undang Perkebunan dan Undang-Undang Konservasi alam. Henry juga memandang bahwa tidak dijalankannya Reforma Agraria oleh pemerintah telah menyebabkan kemiskinan yang mendalam dan meluas pada sektor-sektor penghidupan rakyat yang berhubungan dengan lapangan agraria. Hal tersebut telah menyebabkan beragam usaha dan proyek permbangunan pedesaan mengalami kegagalan. Sehingga tidak mengherankan jika terlihat dengan jelas dewasa ini bahwa sentra-sentra kemiskinan Indonesia berada di kawasan pedesaan. Kemiskinan yang meluas melahirkan adanya gizi buruk dan busung lapar. Ketimpangan kepemilikan dan pengelolaan atas sumber-sumber agraria adalah akibat langsung dari tidak dijalankannya Reforma Agraria. Ketidakadilan penguasaan dan kepemilikan sumber agraria tersebut menyebabkan makin tingginya jumlah buruh migrant, pengangguran, urbanisasi, dan meningkatnya keluarga petani yang tidak memiliki lahan pertanian, papar Henry. Cecep Risnandar

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

utama

pembaruan tani

Tindak Kekerasan Dalam Konflik Agraria dari Masa ke Masa


Pembaruan Tani/SPSU

Penggusuran warga Pasir Mandoge Sumatera Utara oleh satuan pengamanan perusahaan perkebunan milik grup Bakrie yang dibantu aparat Brimob
Kondisi Agraria yang berkembang dewasa ini telah mengancam keselamatan hidup petani, memperburuk layanan alam terhadap petani, merendahkan kemampuan produktifitas petani dan semakin menurunkan kesejahteraan petani. Kondisi agraria tersebut diperburuk oleh penyelenggara pemerintah yang menyingkirkan petani dalam pembuatan-pembuatan keputusan, oleh aparat bersenjata negara yang memaksa petani dengan kekerasan, dan oleh badan-badan usaha raksasa yang menghisap kekayaan petani. Globalisasi kapitalisme telah bekerja melalui perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan internasional yang menjerat petani. Demikian kirakira sebagian dari nukilan naskah konferensi pembaruan agraria untuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi petani pada April 2001. Dilihat dari aspek demografi, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. lebih dari 70% hidup dari pertanian. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan petani miskin . Secara ekonomi wilayah pedesaan yang menjadi tempat tinggal rakyat tani mengalami penurunan. Jumlah rumah tangga petani mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. berdasarkan Susenas 1993 terdapat 20 juta rumah tangga, jumlah tersebut menjadi 25,4 juta rumah tangga pada tahun 2003. Jumlah rumah tangga petani yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar termasuk petani yang menjadi penggarap juga mengalami peningkatan dari 10,8 juta keluarga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003 atau mengalami peningkatan 2,6 persen tiap tahun. Indonesia juga menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia saat ini. 50 % beras yang di perdagangkan di tingkat internasional atau kira-kira 3 juta ton di impor ke Indonesia (19972002-an). Sebanyak 1.2 juta kacang kedelai diimport ke Indonesia, demikian juga jagung, susu dan kebutuhan pokok lainnya. Nilai Tukar Petani (NTP) Menurun. Terjadinya pengangguran yang melonjak 10 kali lipat pada tahun 1997. Pada tahun 2001 pengangguran terbuka 8 juta atau 8,10%, tahun 2003 meningkat menjadi 10,13 juta atau 9,85%. Indonesia menjadi negara penghutang terbesar di dunia, tahun 1998 nilai utang pemerintah membengkak menjadi 150 milyar dollar AS dan menjadi utang luar negeri tiap orang tidak kurang dari 750 dollar AS. Ditinjau dari tingkat kemiskinan dalam sepuluh tahun terakhir ini Indonesia cenderung mengalami kenaikan secara kualitas seiring dengan terjadinya krisis ekonomi. Dari data yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1996 persentase orang di bawah garis kemiskinan sebanyak 17,7 persen. Sementara pada tahun 1998 jumlah tersebut naik menjadi 24,2 persen dan akhirnya sekarang pada tahun 2003 turun lagi menjadi 17,3 persen (lihat Tabel di bawah). Namun demikian angka tersebut bisa menjadi lebih besar lagi, karena jika dilihat dari dinamika dilapangan, nyaris tidak terdapat kemajuan dari kehidupan rakyat. Terlebih data tersebut bertolak belakang dengan data meningkatnya jumlah petani yang berlahan sempit/miskin. Pandangan pesimistis terhadap penurunan angka kemiskinan tersebut lebih beralasan lagi bila lihat dari kecilnya kredit yang disalurkan oleh perbankan pada sektor pertanian. Pada tahun 2003 kredit untuk sektor pertanian hanya mencapai sekitar 5 persen dari seluruh kredit. Kuat dugaan penurunan kemiskinan tersebut terjadi akibat banyaknya penduduk pedesaan yang pergi ke luar negeri bekerja sebagai buruh migran atau yang dikenal dengan tenaga kerja Indonesia (TKI). Jumlah TKI di luar negeri ini banyak

mengalami peningkatan khususnya mereka yang berangkat secara ilegal. Meskipun telah terdapat banyak kasus mengenaskan dari buruhburuh migran ini, misalnya yang mengalami penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan, dan banyak lagi pelanggaran hak asasi manusia lainnya, masih banyak keluarga petani yang nekat berangkat juga. Hal ini menunjukan bahwa kehidupan pedesaan dianggap oleh para petani dan buruh tani tidak bisa memberi masa depan yang lebih baik. Hal tersebut patut untuk diduga karena penderitaan yang dialami oleh petani sudah berpuluh-puluh tahun tanpa ada perbaikan nasib yang berarti. Karenanya ketika ada kesempatan untuk mengubah nasib, walaupun sifatnya belum pasti, banyak petani yang mencobanya. Konflik dan Kekerasan Atas situasi umum tersebut maka terjadinya konlik agraria adala hal yang tak ter-elakkan. Kaum tani disatu sisi, aparat pemerintah dan negara, modal dan investasi disisi lainnya. Dengan berbagai pola pergeseran konflik dari zaman-ke zaman. Menampakan wujudnya yang asli yaitu suatu proses produksi yang menindas dan menghisap. Ini bukan retorika belaka, berbagai fakta dan praktek dengan mudah kita dapati. Menurut hasil monitoring, investigasi dan advokasi PBHI sampai dengan tahun 2005 lalu, terdapat jenis, watak dan corak tersendiri. Terlihat dari kategorisasi konflik pada area atau kebijakan tertentu. Misalnya pada wilayah pertambangan, kehutanan, perkebunan besar, pembangunan fasilitas umum, pariwisata, kelautan dan kawasan lindung wilayah laut, urban konflik, industrialisasi daerah serta kawasan hutan lindung dan konservasi alam. Dari konflik-konflik dengan berbagai latar belakang tersebut, secara umum tergambar pihak-pihak yang terlibat didalamnya dan bagaimana modus operandi yang digunakannya. Bila kita berkaca dari beberapa konflik agraria dalam hal pertanahan seperti Bulukumba Sulawesi Selatan, Tanak Awu- NTB, dan Serdang Mandegai-Sumut. Maka tidak banyak terdapat pergeseran metode penanganan yang digunakan. Yaitu mulai dari intimidasi sampai kekerasan

secara fisik bahkan hingga penghilangan nyawa. Pembubaran dan pencegatan pertemuan-pertemuan petani, upaya-upaya penggusuran paksa, pemanggilan sampai penangkapan oleh pihak kepolisian terhadap pimpinan-pimpinan lokal, dan proses adu domba antar masyarakat. Dari konflik tersebut, ada beberapa catatan penting. Yaitu pada tahuntahun sebelum 1998, bila kemampuan petani menekan pemerintah pusat (Jakarta) untuk intervensi dalam penyelesaian konflik dan mendapatkan momentum maka dengan lebih mudah sekarang ini mempengaruhi kebijakan-kebijakan ditingkat daerah. Bila sebelumnya yang sangat berperan adalah pihak militer maka sejak otonomi daerah dan pemisahan TNI-POLRI, maka peran kepolisian saat ini besar dalam penanganan konflik agraria. Pendekatan keamanan sekaligus pendekatan penegakkan hukum membuat petani bulan-bulanan menghadapinya. Mulia dari prosedur formal, pemeriksaan, penyidikan hingga akhirnya adalah berujung pada penangkapan. Kita tahu banyak sudah perangkat undang-undang disiapkan secara sistematis untuk memperkuat penjagaan modal besar seperti Undang-Undang perkebunan, undangundang tentang sumber daya air dan perpres 36/2005. Penggunaan unsur sipil saat ini juga dominan terjadi. Untuk beberapa kasus seperti Tanak Awu-NTB, peran 'milisi' yang disiapkan secara rapih oleh-pihak tertentu begitu kuat mempengaruhi dan menekan gerakan petani agar tunduk dan lemah. Atau penggunaan para buruh perkebunan untuk menjebak dan memperlemah gerakan tani seperti di Serdang Bedegai Asahan-Sumatera Utara. Serta pengalihan isu sesungguhnya mengenai batas wilayah/HGU manjadi isu pembagian tanah atas kebaikan perusahaan seperti yang terjadi di Bulukumba. Dimana saat ini perusahaan (PT. LONSUM) dengan kebijakan memberikan ratusan hektar tanah bagi masyarakat yang akhirnya menyebabkan konflik horizontal dan pengaburan persoalan dari penyerobotan tanah untuk perusahaan swasta menjadi perebutan tanah antar masyarakat. Dari beberapa pelajaran konflik agraria yang terjadi itu, ada catatan penting yang sudah seharusnya menjadi perhatian organisasi tani yaitu bagaimana proses penguatan organisasi tetap menjadi tema sentral dalam upaya melaksanakan pembaruan agraria. Achmad Yakub

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

utama

pembaruan tani

Konflik Lahan Pertanian


Orientasi pembangunan yang berpijak pada pertumbuhan ekonomi membuat kebijakan agraria lebih menekankan pada sisi peningkatan produksi. Itulah kemudian secara bersamaan dengan konstelasi politik internasional yang berubah, maka pada sekitar awal tahun 1973 dilaksanakan program revolusi hijau. Pada masa itu tercatat ada 45,6% usaha tani yang hanya menguasai 0,26 ha. Pada tahun 1983 penguasaan atas lahan pertanian bagi petani gurem tak berubah, namun jumlah mereka menyusut menjadi 40,8% dari total usaha tani. Hal ini dimungkinkan banyak dari mereka menjadi tuna kisma dan buruh tani. Indikasi ini terlihat dari hasil sensus tahun 1993 yang menyebutkan jumlah buruh tani 9, 054 juta, dibandingkan sebelumnya yaitu 5,032 juta. Artinya ada peningkatan sekitar 4 juta buruh tani dalam sepuluh tahun antara 1983-1993. Kemudian pada tahun 1993 luas penguasaan petani gurem turun drastis hampir setengahnya menjadi 0,17 ha. Begitu pula halnya terjadi pada buruh tani terjadi peningkatan yang signifikan yaitu menjadi 11, 7 juta pada tahun 2003. dari total buruh tani antara tahun 1983 hingga tahun 2003, terjadi peningkatan secara persentase yaitu 19,5% pada tahun 1983, dan menjadi 35,1% ditahun 1993 serta terakhir melonjak menjadi 45% pada tahun 2003. pada tahun 1993 terdapat 1,3% usaha tani yang menguasai rata-rata luas lahan mencapai 11,90 ha. Ada 10,6% yang menguasai lahan lebih dari 3 ha, sementara itu 39,6% menguasai hanya 0,90 ha dan 48,5% menguasai hanya 0,17 ha. Sementara jumlah rumah tangga petani dalam 10 tahun terakhir dari 1993 2003 meningkat dari 19,95 juta keluarga menjadi 25,4 juta. Kemudian juga petani gurem meningkat cukup besar dari 10,9 juta rumah tangga menjadi 13, 7 juta rumah tangga petani atau peningkatan sekitar 2,8 juta rumah tangga petani yang bergeser menjadi petani gurem. Kenyataan itu diperburuk dengan ketimpangan dalam distribusi penguasaan lahan. Sekitar 70% petani hanya menguasai 13 % lahan, sementara yang 30 % justru menguasai 87 % lahan yang ada. Dari angka-angka hasil survei Badan Pusat Statistik di Indonesia tersebut cukup menjelaskan bahwa dalam periode dilaksanakannya revolusi hijau telah menyebabkan kenaikan petani gurem dan buruh tani serta konsentrasi penguasaan lahan makin timpang, hanya sedikit orang namun menguasai luasan lahan yang mencapai puluhan hektar. Ditengah kesesakan disektor pertanian, disertai ketimpangan penguasaan atas lahan pertanian yang begitu besar tenaga kerja disektor pertanian juga menunjukan jumlah yang besar. Seperti di Jawa Timur pada tahun 2003, jumlah tenaga kerja disektor pertanian adalah terbesar dari berbagai propinsi lainnya dengan jumlah 7, 782 juta diikuti oleh propinsi Jawa Tengah yaitu 6, 385 juta. Jumlah tersebut sesuai dengan data yang menunjukan bahwa 56,5% dari total petani gurem terhadap rumah tangga pertanian nasional terdapat 54, 4 % rumah tangga yang berada di pulau Jawa, sisanya 45, 1% berada diluar pulau Jawa. Achmad Yakub

Ketidakadilan di Sektor Kehutanan

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan

hutan. Hal tersebut bisa terjadi karena kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Tanaman Industri (HTI). Hakhak tersebut diberikan kepada perusahaan baik modal asing ataupun dalam negeri. Investor asing yang begitu tertarik dengan hutan adalah dari Singapura, Jepang, Hongkong, dan Korea Selatan. Sampai tahun 1994, pemerintah telah mencadangkan 3.841.777 hektar areal untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri yang akan dilaksanakan oleh 38 perusahaan. Dari ke-38 perusahaan tersebut, lima besar diduduki perusahaanperusahaan yang bergabung dalam kelompok Barito Pasifik (1.018.700 ha atau 26,5 %), kalimanis (614.080 ha atau

16,0 %), Raja Garuda Mas (428.560 ha atau 11,2 %), Dayak Besar (376.000 ha atau 9,8 %) dan Kayu Lapis Indonesia (300.000 ha atau 7,8 %). Sedangkan sisanya, 1.104.437 ha atau 28,7 % dimiliki oleh perusahaan lain. Dengan demikian Barito Pasifik menguasai lahan yang paling besar, mendekati luas untuk 23 perusahaan lainnya. Sampai dengan 1990, pemerintah Indonesia telah memberikan konsensi kepada 578 pemegang HPH yang

meng-eksploitasi 59, 9 juta hektare hutan. Sampai saat ini tercatat sebanyak 296 industri pengolahan kayu, dan 119 industri plywood. Pada awalnya eksploitasi hutan ini dilakukan oleh investor asing sampai dengan tahun 1978 telah tercatat 95 perusahaan asing yang memperoleh konsesi hutan. Perkembangan kemudian perusahaan asing ini banyak yang melakukan kerjasama dengan perusahaan dalam negeri, sudah tercatat 89 perusahaan. Badan usaha lainnya yang juga tidak kalah luasnya menguasai hutan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perhutanan, yaitu perhutani/inhutani. Perhutani/inhutani menguasai kawasan hutan produksi diluar kawasan yang konsesinya diberikan kepada perusahaan HPH. Departemen pertanian mendirikan perusahaan kehutanan Jawa Tengah atau disingkat Perhutani Jawa Tengah pada tahun 1961. Perhutani menguasai kawasan hutan Jawa seluas 2, 7 juta hektare yang meliputi hutan, gunung, danau dan air.

Berdasarkan fungsi hutan, Perhutani diberikan hak pengelolaan Hutan produksi yang terbagi atas Unit pengelolaan I (Jawa Tengah), Unit pengelolaan II (Jawa Timur) dan Unit Pengelolaan III (Jawa Barat). Walaupun tingkat pembangunan kehutanan terhitung sangat intensif dan bersifat serentak diseluruh pelosok tanah air juga tingkat eksploitasi hutan yang tinggi. Namun kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata sangat kecil. Pada tingkat harga konstan tahun 1983, kontribusi sub-sektor kehutanan hanya berkisar 5% terhadap sektor pertanian, dan berkisar 1% terhadap PDB. Disamping itu, kontribusi subsektor kehutanan terhadap penyerapan tenaga kerja juga rendah. Subsektor kehutanan hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 0,3% terhadap daya serap tenaga kerja secara keseluruhan dan o,5 % terhadap daya serap sektor pertanian. Achmad Yakub

EDISI 24 - FEBRARI 2006

utama

pembaruan tani

Ketidakadilan Struktural di Lahan Perkebunan


Sejarah perkebunan adalah sejarah penjajahan bagi rakyat di Indonesia. Bagaimana tidak sejak pertengahan abad 19 kehadiran perkebunan besar diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena sifatnya yang berskala besar dan ekspansif perkebunan memerlukan lahan yang cukup luas. Pada awalnya perkebunan swasta tergolong sedikit. Namun sejak oil boom di Indonesia mulai memudar maka pemerintah mulai melirik sektor perkebunan besar dengan memberikan berbagai kemudahan bagi investor untuk berusaha diperkebunan. Dalam rangka meningkatkan ekport nonmigas maka usaha perkebunan sedemikian rupa di rancang agar memberikan devisa yang besar bagi negara. Tak mengherankan berbagai perusahaan dengan mudah mendapatkan Hak Guna Usaha ataupun dengan metode Perkebunan Inti Rakyat (PIR) diberbagai daerah terutama di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Model PIR atau yang disebut oleh Bank Dunia sebagai Nucleus Estate and Smallholders Scheme, sesungguhnya adalah bentuk penghisapan bagi perkebunan rakyat yang berskala besar. Dengan metode ini satuansatuan perkebunan rakyat yang kecil dimobilisasi menjadi kesatuan besar, yang kemudian oleh pemodal dikendalikan sedemikian rupa agar tetap tergantung. Mulai dari pembangunan pabrik, transportasi hingga penentuan harga jual hasil perkebunan. Ditengah semakin merosotnya luas lahan pertanian yang dikuasai petani, meningkatnya jumlah dan proporsi rumah tangga petani gurem serta semakin terbatasnya lahan yang layak untuk diolah menjadi tanah pertanian, perusahaan-perusahaan perkebunan besar semakin berkibar. Sampai tahun 1994, pertambahan luas tanah pertanian yang dikuasai oleh perkebunan besar mencapai tahap yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu hampir dua kali lipat dari luas perkebunan pada tahun 1938. Bertolak belakang dengan penguasaan atas tanah dibidang pertanian rakyat, pertumbuhan perkebunan, terutama kelapa sawit begitu pesat. Dalam sepuluh tahun terjadi pertumbuhan hingga 120%. Pada tahun 1993 1997 terjadi pertumbuhan sebesar 1, 338 juta hektare, pada tahun 1998 pertumbuhannya menjadi 1, 828 juta hektare. Kemudian berturut-turut tiap tahun hingga 2003 rata-rata tak kurang dari sekitar 2,5 juta hektare lahan perkebunan sawit, lihat tabel berikut. Penguasaan dari perkebunan sawit

Pembaruan Tani

Lahan pertanian yang berbatasan dengan perkebunan di NTT


itu terbesar ada dipihak swasta, pada tahun 2002 swasta menguasai 57 % atau sekitar 2. 394,4 juta ha dari total keseluruhan luas perkebunan kelapa sawit sebesar 4. 116,6 juta ha. Kemudian disusul oleh perkebunan rakyat seluas 1. 222,3 juta ha atau 30% dan penguasaan oleh perusahaan negara sebesar 541 juta ha atau 13%. Kita bisa juga lihat perkembangan perkebunan sawit di Indonesia dimana mulai menemukan momentumnya pada tahun 1985 dengan luas lahan 600.000 hektar menjadi 3 juta hektar pada tahun 1999. Dimana 60 % luas perkebunan sawit di Indonesia, 4,6 juta hektar diantaranya dikuasai 27 grup perusahaan termasuk PT Perkebunan Nusantara dengan jumlah konsesi luas lahan 770.000 hektar. Dan diantara ke 27 group perusahaan perkebunan sawit tersebut (diluar PTPN) 75% adalah dikuasai oleh perusahaan asing. Konglomerasi pertanian terjadi akibat strategi pembangunan pertanian yang keliru, yaitu dengan menekankan pembangunan pertanian yang berskala agrobisnis. Ini sangat tidak mungkin dilakukan petani yang umumnya skala usahanya masih gurem, karena mereka tidak punya akses yang cukup terhadap alat produksi (tanah). Akibatnya jika ada keuntungan yang dipetik dari konglomerasi ini, sudah dapat

dipastikan tidak akan jatuh ke pangkuan petani, tetapi mereka yang punya akses produksi yang kuat. Dalam kurun waktu 31 tahun, antara 1963 sampai 1994, penguasaan tanah pertanian oleh perkebunan besar mengalami perkembangan pesat. Ditahun 1938 terdapat 2.400 perkebunan besar yang menguasai 2.500.000 hektar tanah pertanian (rata-rata 1.042 hektar), maka di tahun 1994 terdapat 1.409 perkebunan yang menguasai tanah pertanian seluas 4.232.000 hektar (rata-rata 3.361 hektar). Perkembangan usaha perkebunan dan keterbatasan tanah yang layak untuk usaha pertanian, merupakan salah satu pemicu konflik agraria yang khas pada dua dekade terakhir. Perkembangan usaha perkebunan

besar seringkali dibarengi dengan hilangnya penguasaan tanah dari tangan petani, baik melalui cara-cara kekerasan yang dilakukan maupun dengan cara-cara 'damai'. Lebih jauh, petani juga tidak mempunyai kemandirian untuk menentukan komoditas apa yang bisa mereka tanam dilahannya. Hal ini ditambah dengan rentannya posisi tawar petani untuk menentukan harga komoditasnya. Kondisi ketidak mandirian petani dalam menentukan komoditas yang akan ditanam dan posisi tawar yang rendah umumnya terjadi pada perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Situasi ini, mirip dengan sistem cultuurstelsel yang dijalankan pemerintah hindia belanda lebih dari dua setengah abad yang lalu. Ahmad Yakub

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

pendapat

pembaruan tani

Konflik Agraria danKekerasan Terhadap Petani di Indonesia


Indonesia sebagai sebuah negara agraris dengan mayoritas penduduk tinggal pedesaan dan hidup dari pertanian. Sudah seharusnya pemerintah Indonesia sebagai bagian dari negara meletakkan penataan agraria yang adil sebagai syarat dasar dari pembangunan Indonesia. Namun ketimpangan penguasaan dan kepemilikan struktur agraria selama ini tak pernah diselesaikan secara mendasar. Hal ini terbukti dengan terjadinya ribuan sengketa agraria. Terjadinya perampasan tanah-tanah yang dimiliki petani dan masyarakat adat. Belum lagi keterlibatan militer, kepolisian dan aparat pemerintah terlihat dalam banyak konflik agraria diberbagai daerah di Indonesia. Pada Sensus Pertanian 1993, sektor pertanian dikerubuti 20 juta rumah tangga, sedangkan pada Sensus Pertanian 2003 jumlah mereka naik menjadi 25,4 juta rumah tangga, terjadinya kenaikan sebesar 5.400.000 rumah tangga adalah hal yang sangat signifikan atas evaluasi model pembangunan saat ini. Sementara itu jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga tahun 2003 (2,6 persen per tahun). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani alias ekonomi mereka mengalami keruntuhan dan termarjinalkan (Wiwik, 2004). Ketimpangan penguasaan struktur agraria tidak terlepas dari kehidupan politik yang berkembang di sebuah negara, seperti Indonesia. Ketidakadilan agraria yang terjadi akibat feodalisme dan kolonialisme berkuasa secara fisik di Indonesia pernah di carikan pemecahan masalahnya sejak merdeka tahun 1948 hingga dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sayangnya, pada jaman rezim orde baru malah membalikkan semangat ini dengan langsung melakukan perubahan kebijakan pembangunan ekonomi yang berwatak populis kerakyatan, menjadi kebijakan ekonomi pertumbuhan, yang kapitalistik, melalui pendekatan pengembangan industri. Kebijakan pembangunan ekonomi kapitalistik ini ditandai dengan lahirnya produk undang-undang sebagi alat legitimasi, dan melakukan pergeseran makna dan pencabutan undang-undang yang dianggap menggangu arus masuknya investasi dan proses kapitalisasi sumber-sumber agraria. Hal ini berlanjut hingga hari ini, simak saja insiatif dari pemerintah dan parlemen bersama organisasi level internasional seperti WTO. Situasi tersebut menyebabkan petani dan masyarakat umum merasa tertindas melalui kebijakan publik dan kekerasan struktural dengan berbagai ikutannya. Tindakan yang paling kentara adalah kekerasan fisik dan caracara teror. Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang Serdang Bedagai Sumatera Utara. Semua peristiwa tersebut posisi petani disisi yang dipersalahkan, di hakimi dan di jadikan sebagai objek dalam proses penyelesaian konflik. Dalam perjuangan pelaksanaan pembaruan agraria, konflik agraria adalah salah satu tema sentral wacana. Christodoulou (1990) mengatakan, bekerjanya pembaruan agraria tergantung watak konflik yang mendorong dijalankannya pembaruan. Artinya karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi, dan de-eskalasi, pola penyelesaian dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh konflikkonflik agraria di satu sisi dapat membawa dijalankannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan rasional), di sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan sendiri (Usep Setiawan, 2004). Kekerasan terhadap petani dalam lapangan konflik agraria seringkali menjadi alat pukul balik kepada petani dengan sistematis terjadi kriminalisasi, penangkapan, pemberian stigma anti pembangunan ataupun komunis, dan berbagai teror yang ditujukan bagi organisasi ataupun individu-invidu secara langsung. Juga pada posisi tersebut aparat militer maupun kepolisian sebagai lembaga keamanan dan ketertipan masyarakat justru dalam banyak kasus memperlihatkan keberpihakannya tidak kepada petani. Namun berpihak kepada kepentingan modal/investasi dan kepada penguasa. Dengan situasi seperti diatas, menata ketimpangan dan ketidakadilan struktur agraria yang terjadi, maka sangat mendesak bagi Indonesia untuk melaksanakan Pembaruan Agraria yang Sejati. Juga dibutuhkan metode kerja yang jitu terutama dalam lapangan ideologi, politik dan organisasi agar dapat membongkar ketidakadilan struktur agraria tersebut. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama adalah, bagaimana kebijakan agraria saat ini, bagaimana peta konflik agraria, bagaimana kualitas dan kuantitas perjuangan pembaruan agraria di Indonesia. Terlebih lagi mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh petani, serta dampak ikutannya secara sosiologis, budaya, hukum dan politik.

Oleh Ahmad Yakub Deputi Kajian Kebijakan dan Kampanye Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)

Situasi tersebut menyebabkan petani dan masyarakat umum merasa tertindas melalui kebijakan publik dan kekerasan struktural dengan berbagai ikutannya. Tindakan yang paling kentara adalah kekerasan fisik dan cara-cara teror.

organisasi keuangan internasional--Bank Duniauntuk merubah berbagai kebijakan agraria. Bank Dunia mengucurkan dana hutang sebesar $300 juta untuk menggolkan UndangUndang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan mendukung program Land Administration Project (LAP) dengan juga mendukung merubah total UUPA 1960 menjadi Rancangan Undang-Undang Agraria yang saat ini diusulkan oleh Badan Pertanahan Nasional, Lahirnya Undang-Undang No. 18/2004 tentang Perkebunan yang banyak mengakomodasi kepentingan perusahaan perkebunan. Belum lagi situasi tata ekonomi politik dunia yang sangat timpang antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin seperti Indonesia melalui organisasi-

dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Untuk menyebut beberapa contoh kekerasan yang mengemuka seperti penembakan petani di Bulukumba Sulawesi Selatan, Pembubaran secara paksa pertemuan petani, penembakan dan penangkapan petani diTanak Awu, NTB, penangkapan petani di

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

pendapat

pembaruan tani

Pemerintah Tidak Mempunyai Visi Membangun Pertanian


Oleh Wahdat Kurdi Pemerhati masalah-masalah pertanian, alumnus IPB
Salah satu kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia Bersatu yang cukup menarik dicermati adalah penetapan fokus secara umum dan menyeluruh kepada pertanian. Sektor pertanian dipilih sebagai basis pembangunan karena dinilai mampu menciptakan banyak lapangan kerja. Mengingat wilayah pedesaan menyumbangkan bagian terbesar terhadap angka kemiskinan dan pengangguran, maka revitalisasi pertanian juga diyakini sebagai titik masuk yang tepat untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Fokus kepada pertanian adalah satu dari tiga unsur triple strategi yang ditetapkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Pembangunan pertanian diharapkan akan mengkatalisis dua unsur triple strategi yang lain yakni pengembangan sektor riil serta pertumbuhan ekonomi dan investasi. Logika dari triple strategi ini sederhana. Perhatian lebih kepada pembangunan sektor pertanian dapat menghasilkan peningkatan suplai pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Disamping dapat menghemat devisa karena mensubstitusi produk impor, peningkatan suplai pangan dan bahan baku juga akan menciptakan industriindustri baru (agroindustri) hulu-hilir yang menjadi sarana untuk mengakomodasi transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian. Ini berarti, sektor pertanian dapat menyediakan modal bagi pengembangan sektor-sektor lain. Penghematan devisa, pembentukan industri-industri baru, serta ketersediaan kesempatan kerja yang lebih luas pada akhirnya akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Namun setelah dua bulan pemerintah Indonesia Bersatu bekerja, sama sekali belum terdengar apa yang hendak dilakukan pemerintah untuk mewujudkan triple strategi itu. Belum ada pemaparan lengkap bagaimana fokus kepada pertanian sebagai dasar pembangunan nasional akan diimplementasikan sehingga apa yang menjadi arah, prasyarat, sasaran, dan cara untuk mencapai sasaran pembangunan tersebut juga belum tersusun secara sistematis. Jika keadaan ini terus berlanjut maka program-program yang dilaksanakan pemerintah hampir pasti akan mengulangi pola masa lalu yang bersifat parsial, prematur dan tidak menyentuh akar persoalan. Keunggulan Kompetitif Data statistik sepanjang puluhan tahun selalu menyuguhkan kenyataan ironis tentang nasib penduduk pedesaan (yang hampir seluruhnya berprofesi petani). Ironis, sebab meskipun para penduduk pedesaan itu hidup di zona gudang pangan dan bahkan mereka sendiri yang memproduksi bahan-bahan pangan, namun justru merekalah kontributor terbesar terhadap angka kemiskinan dan malnutrisi. Sebagai respon terhadap fenomena ini, sekitar satu dekade yang lalu pernah berkembang pemikiran bahwa pembangunan pertanian yang hanya mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam dan tenaga kerja yang berlimpah sulit untuk dipertahankan lagi. Para petani hidup miskin karena terlalu bertopang kepada keunggulan komparatif tadi, padahal semua orang sudah terlanjur masuk dan hidup di dunia persaingan, dunia survival of the fittest. Karena itu, mau tidak mau mereka harus mencari cara bagaimana menjadi yang paling 'fit' supaya bisa bertahan hidup. Menurut pemikiran tersebut, daya saing adalah kata kunci untuk menciptakan kondisi fit. Namun daya saing tidak bisa diperoleh hanya dari faktor tenaga kerja atau sumber daya alam yang berlimpah saja, tetapi perlu pula faktor lain yaitu injeksi teknologi. Daya saing mesti diciptakan melalui upaya perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan dengan teknologi sebagai pemeran utamanya. Penggunaan teknologi selanjutnya akan mengalihkan sasaran modernisasi pertanian dari meningkatkan produktivitas kepada memperbaiki kualitas. Dengan kata lain, para petani bukan hanya harus memproduksi produk pertanian dalam jumlah yang cukup tetapi juga mesti memproduksi menurut standar mutu yang diinginkan. Pemikiran bahwa teknologi adalah satu-satunya faktor yang akan meningkatkan daya saingdan selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan petani tidak sepenuhnya benar. Jauh hari sebelum berkembangnya gagasan untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui adopsi teknologi, produk-produk teknologi mulai dari benih, pupuk, pakan, pembasmi hama atau penyakit, alat dan mesin pertanian hingga piranti manajemen sesungguhnya juga telah digunakan. Namun demikian, pertanian Indonesia tak kunjung kompetitif dan nasib petani pun tak kunjung membaik. Ini menunjukkan bahwa teknologi semata tidak bisa meningkatkan daya saing dan kesejahteraan petani. Peran Kelembagaan Di luar teknologi, kelembagaan adalah faktor lain yang sangat berpengaruh untuk menciptakan daya saing dan kesejahteraan petani. Kelembagaan diperlukan untuk memecahkan persoalan hambatan internal maupun eksternal yang tidak bisa diatasi oleh teknologi. Hambatan internal, misalnya modal yang terbatas. Sedangkan hambatan eksternal berjenjang mulai dari tingkat mikro sampai makro. Di tingkat mikro, ditemukan banyak pola hubungan patron-klien yang bersifat asimetris, yaitu suatu pola dimana terjadi transfer surplus dari petani kepada patron. Sementara di tingkat makro, belum ada kebijakan politik yang memberikan perlindungan memadai terhadap petani dan produkproduk pertanian lokal, dan selain itu, juga belum terbangun sistem pasar yang benar-benar memberikan insentif yang cukup bagi para petani. Dalam konteks kelembagaan usaha, koperasi adalah alternatif terbaik untuk menciptakan daya saing dan kesejahteraan petani. Sejak awal telah ditentukan bahwa anggota koperasi merupakan pemilik koperasi yang disamping dapat memperoleh manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi juga pada akhir tahun masih dapat menerima sisa hasil usaha (istilah ini sering dikacaukan dengan keuntungan). Posisi anggota, konsumen sekaligus pemilik ini sangat penting untuk menghilangkan pola patron-klien yang mereduksi hak petani atas hasil usahanya. Demikian pula, cukup banyak contoh bukti keberhasilan koperasi dalam membangun posisi tawar bersama dalam berbagai konstelasi perundingan, baik dalam tingkatan bisnis mikro hingga tingkatan kesepakatan internasional. Kekuatan posisi tawar ini sangat berguna bagi para petani yang umumnya lemah dalam menghadapi pasar atau kebijakan yang merugikan. Watak koperasi yang konsolidatif adalah faktor yang paling berperan dalam menciptakan kekuatan posisi tawar ini. Adakalanya respon terhadap tuntutan pasar menjadi dasar usaha pertanian. Misalnya, petani membudidayakan tanaman tertentu yang memiliki harga tinggi di pasaran karena ingin memperoleh keuntungan yang segera, padahal budidaya tanaman tersebut bukan kompetensi utama mereka. Tentu saja keadaan ini sangat berbahaya bagi kelestarian tanaman lokal. Dengan kehadiran koperasi maka kejadian semacam ini dapat dihindarkan, sebab sebagai lembaga yang berorientasi kepada pelayanan anggota, usaha koperasi selalu dimulai dari bagaimana mengembangkan kompetensi utama anggotanya, bukan bagaimana memperoleh keuntungan segera dari pasar. Usaha koperasi selalu didasari kepercayaan bahwa pasar akan menyerap apapun yang berkualitas, sedangkan kualitas akan terjamin melalui pengembangan kompetensi utama secara terus menerus. Koperasi sejak kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu dasar self help dan cooperation selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Nilai etik yang melekat dalam koperasi berupa kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial, dan kepedulian kepada pihak lain merupakan landasan bagi sikap menolong diri sendiri secara bersama-sama. Nilai-nilai tersebut adalah syarat mutlak bagi keberhasilan pembangunan pertanian. Persoalan pengembangan koperasi di Indonesia memang sering dicemooh seolah sedang menegakkan benang basah. Namun hal ini sama sekali bukan merupakan argumen untuk menunjukkan kekuranglayakan koperasi sebagai suatu bentuk lembaga usaha. Masalah yang dihadapi koperasi lebih disebabkan oleh sikap oknum (di dalam maupun di luar koperasi) yang bertindak atas nama koperasi tetapi tidak berperilaku berdasarkan nilai dasar koperasi. Jika ini masalahnya, ia tentu tidak hanya terjadi dalam koperasi tetapi juga muncul dalam hampir semua segi kehidupan bangsa. Revitalisasi koperasi dapat didorong melalui pembentukan lembaga keuangan khusus yang memberikan kredit dengan syarat-syarat yang realistis bagi koperasi, misalnya bunga rendah dan tanpa agunan. Lembaga ini dapat dibentuk pemerintah dengan memobilisasi dana yang memang ditujukan untuk keperluan dimaksud atau merealokasi dana dari pos-pos yang tidak penting. Semakin besar dana yang dialokasikan untuk mendanai usaha koperasi, semakin besar peluang koperasi untuk mengembangkan diri. Namun demikian, aktivitas pembiayaan ini harus dilakukan dalam suatu sistem yang menutup peluang timbulnya ketergantungan, suatu sistem yang mampu memicu koperasi untuk mandiri dan bahkan menjadi sumber kemandirian bagi pihak lain. Darimana Memulainya? Pertama-tama harus diasumsikan bahwa tujuan pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan. Selanjutnya harus diasumsikan pula bahwa pemanfaatan sumber daya alam lokal secara optimal adalah langkah paling mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. Asumsi ini bukan tidak berdasar, sebab fakta menunjukkan bahwa bumi Indonesia mengandung kekayaan alam amat berlimpah. Dalam hal tanaman pangan misalnya, Indonesia memiliki lebih dari 800 macam sumber tanaman pangan selain padi-padian yang keseluruhannya bernilai ekonomi tinggi jika dikembangkan secara serius. Kelompok usaha petani atau masyarakat pedesaan dengan menggabungkan diri dalam suatu koperasiadalah aktor utama dalam pengelolaan potensi lokal itu. Melalui koperasi itu dilakukan berbagai aktivitas usaha, bukan hanya yang berkaitan dengan kegiatan on-farm, tetapi juga mencakup usaha lain seperti pengolahan pasca panen, pengadaan sarana pengolahan, pemasaran produk olahan, pendanaan, hingga kegiatan pembinaan. Agar kompetensi utama koperasi semakin kuat, posisi single commodity multi function cooperative bisa menjadi pilihan terbaik. Dukungan dari lembaga pendidikan dan lembaga penelitian dalam bentuk pembinaan dan supervisi kegiatan koperasi adalah hal yang mendesak. Melalui kegiatan pembinaan, kedua lembaga tersebut akan menjadi agen transfer teknologi dan manajemen modern yang diperlukan koperasi. Pemerintah juga memiliki peran strategis untuk mendukung kegiatan koperasi dengan membangun lembaga pembiayaan khusus yang akan memberikan kredit bagi usaha koperasi dan kelompok usaha yang tergabung di dalamnya. Sistem pembiayaan harus diatur sedemikian rupa untuk menjamin penggunaan dana yang optimal sekaligus mencegah berbagai kebocoran yang tidak perlu. Selain itu, karena ketersediaan lahan adalah masalah besar dalam usaha pertanian maka pemerintah dapat menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak guna lahan milik pemerintah, misalnya lantai hutan, kepada para petani. Terakhir, pemerintah juga memiliki kekuatan untuk membangun fasilitas pemasaran yang memungkinkan koperasi berhubungan langsung dengan konsumen tanpa melalui perantara. Pembangunan pertanian mustahil mencapai sasarannya tanpa koordinasi sistematis berbagai pihak. Oleh karena itu, hubungan antara koperasi, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, lembaga pembiayaan dan pasar harus terikat dalam suatu sistem jaringan yang kokoh dan langsung di bawah kendali pemerintah. Namun pendekatan yang digunakan tidak mungkin lagi bersifat sentralistik dan top down, karena Indonesia kini berada dalam alam desentralisasi, demokratisasi dan globalisasi.

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

petani perempuan

pembaruan tani

Pestisida Mengancam Kesehatan Perempuan


Penting untuk diingat kembali bahwa peran dan keterlibatan perempuan yang begitu besar dalam pengelolaan lahan pertanian, sehingga perempuan akan sangat beresiko terkena dampak buruk dari pemakaian pestisida. Minimnya informasi tentang bahaya pestisida turut berperan pada ancaman pestisida terhadap kesehatan perempuan, dan semakin tertutupi akibat gencarnya promosi dan janji-janji manis (perusahaan) pestisida. Bagaimana pestisida MERACUNI ? Pada dasarnya pestisida adalah racun artinya sangat berbahaya bagi semua makhluk hidup tidak hanya manusia, tetapi terhadap tanaman maupun hewan. Pestisida meracuni dengan proses langsung maupun tidak langsung, dalam proses tidak langsung, seperti melalui pencemaran terhadap lingkungan, tanah dan air. Gejalagejala yang ditimbulkan oleh keracunan pestisida mirip dengan keluhan penyakit lainnya, seperti gangguan kulit, pusing bahkan pingsan. Yang sulit dideteksi apabila gejala yang muncul dengan cepat seperti kanker atau gangguan pada sistem syaraf, ditambah lagi para dokter yang belum terlatih untuk mengenali penyakit terkait dengan keracunan pestisida. Keracunan langsung seperti : (1) melalui kulit, kerusakan kulit merupakan kasus keracunan pestisida yang paling sering ditemukan. Pada umumnya terjadi pada saat proses penggunaan pestisida, seperti ketika petani mencampurkan pestisida (akan semakin parah lagi kebiasaan tidak menggunakan sarung tangan), memegang tanaman yang baru saja disemprot, pakaian yang terkena pestisida bahkan berakibat pada anggota keluarga yang mencuci pakaian yang telah terkena pestisida. (2) melalui pernapasan, hal ini sering terjadi, karena orang selalu tidak sadar telah teracuni pestisida. Pada proses penyemprotan orangorang di sekitarnya akan dengan mudah teracuni pestisida, dan sering tidak disadari oleh korban, ditambah lagi ada beberapa jenis pestisida yang sama sekali tidak berbau sehingga sama sekali tidak diketahui. (3) melalui mulut, dapat terjadi apabila seseorang meminum pestisida, baik secara sengaja maupun secara tidak disengaja. Sering secara tidak sadar, seseorang makan atau minum air yang telah tercampuri pestisida atau ketika seseorang yang telah terkena pestisida makan dengan tangan, tanpa terlebih dalulu mencuci tangan dengan bersih. Bagaimana pestisida berdampak terhadap perempuan ? (1) Pestisida menyebabkan kemandulan, beberapa jenis pestisida yang sering dilakukan dalam dunia pertanian diketahui dapat menyebabkan kemandulan, tidak hanya pada perempuan tetapi juga terhadap laki-laki. Dari beberapa kasus yang ditemukan, mereka tidak dapat mempunyai keturunan lagi setelah teracuni pestisida. Pestisida dapat membunuh sel-sel sperma. (2) Pestisida menyebabkan kanker payudara dan meracuni ASI ibu yang sedang menyusui, ketika perempuan teracuni pestisida, pestisida masuk ke organ-organ penting di dalam tubuh, seperti hati atau ginjal dan kemungkinan kecil akan keluar kembali hanya melalui urine, kotoran atau keringat, sehingga dapat mengendap di organ lain salah satunya payudara. Sehingga beberapa kasus perempuan yang menderita kanker payudara ternyata erat kaitannya akibat endapan pestisida selama bertahun-tahun. Disamping itu akibat

Petani perempuan sedang menuai padi di Aceh


endapan racun tersebut juga sangat berpengaruh buruk terhadap ASI, yang tentunya mempengaruhi kesehatan bayi yang masih mengkonsumsi bayi. Padahal, pemberian ASI kepada bayi sangat penting untuk kesehatan bayi, karena banyak kandungan ASI yang tidak dapat dipenuhi oleh susu formula. (3) Pestisida Menyebabkan keguguran, kematian bayi dan cacat bayi pada ibu hamil, beberapa penelitian menemukan bahwa pestisida juga sangat berakibat buruk terhadap fungsi reproduksi perempuan, pestisida dapat meracuni bayi dalam kandungan melalui ari-ari bayi. Bahkan pestisida dapat merusak fungsi reproduksi perempuan sebelum masa kehamilannya, yang berakibat pada, keguguran, kematian bahkan cacat bayi. Pada kasus keguguran, ditemukan bahwa akibat teracuni pestisida, ibu yang hamil telah mengalami gangguan

Pembaruan Tani

pada bulan pertama kehamilannya. Penting untuk dicatat bahwa, bayi dapat teracuni pestisida meskipun sang ibu tidak berhubungan langsung pestisida, hal ini dimungkinkan dari kontak si ibu dengan suaminya yang menyemprot pestisida. Apa yang harus dilakukan ? pertanyaan di atas pasti berkecamuk pada benak setiap pembaca, dan jawaban yang paling tepat adalah tinggalkan pemakaian pestisida dan mulailah mengawali aktifitas pertanian kita dengan sistem pertanian organik terutama bagi petani perempuan yang sampai saat ini masih terjebak dengan penggunaan pestisida. Mengapa harus membayar mahal untuk menjadi sakit, kalau tidak harus membayar dan tetap sehat? Wilda Tarigan dari berbagai sumber

Seorang perempuan penyabit rumput dan buruh tani di Kabupaten Karawang

Pembaruan Tani

10

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

info praktis

pembaruan tani

Membuat Ikan Asap


Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya. Tanda ikan yang sudah busuk antara lain, mata suram dan tenggelam; sisik suram dan mudah lepas; warna kulit suram dengan lendir tebal; insang berwarna kelabu dengan lendir tebal; dinding perut lembek; warna keseluruhan suram dan berbau busuk. Sedangkan tanda-tanda ikan yang masih segar antara lain, daging kenyal; mata jernih menonjol; sisik kuat dan mengkilat; sirip kuat; warna keseluruhan termasuk kulit cemerlang; insang berwarna merah; dinding perut kuat; bau ikan segar. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu pengawetan ikan perlu diketahui semua lapisan masyarakat. Pengawetan ikan secara tradisional bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak. Untuk mendapatkan hasil awetan yang bermutu tinggi diperlukan perlakukan yang baik selama proses pengawetan seperti : menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, menggunakan ikan yang masih segar, serta garam yang bersih. Ada bermacam-macam pengawetan ikan, antara lain dengan cara penggaraman, pengeringan, pemindangan, perasapan, peragian, dan pendinginan ikan. Tabel 1. Komposisi Ikan Segar per 100 gram Bahan Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa ikan mempunyai nilai protein tinggi, dan kandungan lemaknya rendah sehingga banyak memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh manusia. Manfaat makan ikan sudah banyak diketahui orang, seperti di negara Jepang dan Taiwan ikan merupakan makanan utama dalam lauk seharihari yang memberikan efek awet muda dan harapan hidup lebih tinggi dari negara lainnya. Penggolahan ikan dengan berbagai cara dan rasa menyebabkan orang mengkonsumsi ikan lebih banyak. Ikan asap adalah hasil pengawetan ikan secara tradisional yang pengerjaannya merupakan gabungan dari penggaraman (perendaman dalam air garam) dan pengasapan sehingga memberikan rasa khas. Berbagai cara penggasapan tergantung pada jenis ikan yang diasap dan besar kecilnya ikan yang diasap. BAHAN 1) Ikan bandeng 6 kg 2) Garam 1 kg 3) Arang, potongan kayu, atau serbuk gergaji secukupnya ALAT 1) Lemari asap (tungku, drum) 2) Pisau 3) Baskom CARA PEMBUATAN 1) Siangi ikan, cuci, dan kelompokkan menurut ukuran; 2) Masukkan garam ke dalam liter air dan didihkan, kemudian dinginkan. 3) Rendam ikan selama 15-20 menit, tiriskan, dan angin-anginkan sampai permukaan kering; 4) Ikat satu persatu kemudian : Gantungkan dalam ruang pengasapan, dengan jarak masing-masing 1 cm atau; gantung dengan ekor ke bawah dan kepala menghadap ke atas dengan menggunakan kaitan kawat, atau susun satu persatu di atas anyaman 6) Bubuhkan ampas tebu atau serbuk gergaji sedikit demi sedikit sampai timbul asap. Panas diatur pada suhu 700 ~ 800 C. selama 2-3 jam (harus dijaga agar panas merata dan ikan tidak sampai hangus); Panas diatur pada suhu 300 ~ 400 C selama 4 jam terus menerus. Hasil pengasapan ditandai dengan bau harum yang khas dari ikan asap. 7) Keluarkan ikan asap dari lemari pengasapan lalu bungkus atau kemas dalam kantong plastik. Catatan: 1) Ciri-ciri khas ikan asap yang baik adalah : rupa dan warna produk harus bambu, kemudian disusun dalam lemari pengasapan secara berlapislapis. Antara asing-masing lapisan diberi jarak kira-kira sama dengan rata-rata panjang ikan. Agar pengasapan merata ikan harus dibolak-balik. licin, mengkilat, dan berwarna coklat emas muda; bau dan rasa produk memberikan bau atau aroma yang khas ikan asap (bau asap yang sedap dan merangsang selera); berair. 5) Siapkan bahan bakar berupa arang dan potong-potong kayu di bawah ruang pengasap, kemudian bakar; 2) Dengan cara pengasapan pada suhu 700 ~ 800 C, ikan tahan lama disimpan sampai 1 bulan, dibandingkan dengan pengasapan pada suhu 200 ~ 300C (kurang dari 1 bulan) panas dibandingkan dengan pengasapan pada suhu 200 ~ 300C. (sampai 1 bulan). 3) Selain bandeng, ikan yang biasa diasap adalah ikan tembang, lemuru, kembung, selar, tongkol, dan cakalang. Diagram Alir Pembuatan Ikan Asap

Sumber : Tri Margono, Detty Suryati, Sri Hartinah, Buku Panduan Teknologi Pangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, 1993.

refleksi

Ilmu Pertanian
Titis Priyowidodo

Tak ada yang berhak mengaku sebagai pelopor penelitian di bidang pertanian karena ilmu dan teknologi pertanian dikembangkan oleh sebuah sistem sosial yang sangat tua. Pertanian sebagai sistem sosial adalah sebuah peradaban tua yang sampai sekarang masih tetap menunjukkan perannya di atas bumi ini. Jika peradaban berburu atau mengumpulkan makanan sudah dianggap primitif dan hanya dilakukan oleh manusia purba, berbeda dengan peradaban bercocok tanam. Menurut pendapat Ong Hok Ham seorang sejarahwan, justru pertanian dianggap sebagai sistem sosial yang menjadi korban dari terbentuknya sistem negara. Sistem sosial pertanian atau bercocok tanam telah bertahan selama ribuan abad bukan sekedar teknik untuk memproduksi bahan makanan, untuk mempertahankan hidup yang sangat dasar, akan tetapi

sistem sosial pertanian selama berabad-abad dari pertama kali manusia purba menebarkan benih untuk dipetik telah berkembang selayaknya inti lembaga yang terus membelah dan tumbuh berkembang. Dari budaya ini muncul perkampungan-perkampungan primitif yang jauh lebih modern daripada perkampungan di kala peradaban mengumpulkan dan berburu. Kelembagaan sosial pun tumbuh dengan pesatnya dalam masyarakat bercocok tanam ini di seluruh muka bumi, meskipun mereka hidup terpisah laut, gunung, hutan, es, dan lain-lain. Di perguruan tinggi pertanian kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu dan teknologi. Di sana terdapat penelitian-penelitian mengenai segala yang bersentuhan dengan pertanian, yaitu sosial, ekonomi, dan teknologi pertanian. Bangunan megah perguruan tinggi yang menurut Paulo

Freire selayaknya sebagai pusat pendidikan seharusnya melakukan kegiatannya yaitu memproduksi kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran, gender, maupun kesadaran kritis lainnya, yang kemudian dalam kesadaran kritis tersebut tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan 'ideologi dominan' yang tengah berlaku di masyarakat serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah perubahan sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Hal itu ternyata masih sangat jauh dengan kenyataan yang berlaku, karena yang terjadi justru sebaliknya, banyak perguruan tinggi yang justru dipenuhi oleh birokrat kampus yang menyerah pada 'ideologi dominan' yang tengah berlaku. Namun apa itu 'ideologi dominan' bagi mereka hanyalah hantu-hantu yang tak

terlihat karena kemalasan untuk menumbuhkan kesadaran kritis. Pertanian bukan hanya berisi teknologi untuk berproduksi, melainkan meliputi aspek sosial, ekonomi, dan budaya yang telah melembaga selama ribuan abad. Janganlah berpikir pertanian alami yang juga terkenal dengan pertanian organik hanyalah sebuah teknik berproduksi. Masanobu Fukuoka, seorang peneliti Jepang yang berubah haluan menjadi petani telah menunjukkan bahwa pertanian adalah sebuah pandangan hidup. Didalamnya terdapat budaya dan muatan filosopis tinggi disamping hal-hal teknis. Jadi, apakah cukup ilmu yang didapatkan di perguruan tinggi dan pengalaman yang mungkin didapatkan selama ini tentang tanaman? Untuk menjawab 'cukup', hal itu tidak cukup alasan.

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

11

serikat
Gus Dur :

pembaruan tani

Ketidakadilan Terhadap Petani Harus Dihilangkan


Pembaruan Tani

Gus Dur mengingatkan, negara ini tidak seharusnya dijadikan sebagai ajang korupsi, karena dampak yang paling buruk akan dirasakan oleh para petani. bibit menjadi mahal, pupuk mahal, transportasi mahal, semua serba mahal, tegasnya. Pemerintah harus berani dan secara tegas mengambil kebijakan, sehingga keadilan ekonomi bisa dirasakan para petani. Pemerintah harus berani memberantas korupsi. Jangan malah pemerintah yang korupsi sendiri. Karena korupsi menjadikan ekonomi mahal, kata Gus Dur. Pagelaran seni dan budaya ini di isi dengan pembacaan puisi, lagulagu rakyat yang dibawakan oleh Iwan Fals, Franky Sahilatua, Dik Doang, dan Rieke Diah Pitaloka. Tampak hadir pada pagelaran tersebut Sekjen dan Presidium FSPI dan beberapa ketua serikat anggota FSPI serta LSM dan ormas petani. Tita Zen
Pembaruan Tani

Polisi Menangkapi Petani Tanak Awu


Kamis (2/2), pagi hari aparat kepolisian dari Polres Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menyisir desa Tanak Awu dan menangkap Ketua Organisasi Tani Lauq Kawat Serta NTB Haji Lalu Chaerudin dan anggotanya Musamah. Para petani dikenai tuduhan melakukan tindakan penghasutan. Selama ini masyarakat Tanak Awu sering melakukan demonstrasi untuk menuntut hak mereka atas tanah yang ditempatinya. Sekjen Serta NTB, Wahidjan mengatakan aparat kepolisian akan terus melakukan penyisiran dan menangkapi petani lainnya. "Seharusnya polisi tidak main tangkap seperti itu. Cara-cara orde baru jangan dipergunakan lagi karena meresahkan masyarakat. Justru seharusnya polisi bertugas mengayomi masyarakat," ujarnya. Deputi Federasi Serikat Petani Indonesia, Ahmad Yakub menduga penangkapan tersebut berkaitan dengan konfilk agraria di Tanak Awu. Pemerintah bersama dengan PT Angkasa Pura I berencana membangun bandara internasional di atas lahan yang masih digarap para petani. Konflik pertanahan ini mencuat sejak masa orde baru dimana pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah dinilai warga penuh intimidasi dan sangat tidak adil. Cecep Risnandar

Mantan presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan, petani Indonesia yang secara umum berpenghasilan rendah terus-menerus dihimpit berbagai tanggungan akibat sistem sosial yang tidak adil.

Ketidakadilan terhadap petani harus segera dihilangkan. Demikian disampaikan Gus Dur pada pagelaran seni dan budaya Sepiring Nasi untuk Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Kamis (9/1/06) malam.

Pembaruan Tani

Solidaritas untuk Petani


Sudah saat nya bagi pemerintah untuk segera melaksanakan pembaruan agraria agar tercipta keadilan produksi bagi petani sehingga tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk mengimpor pangan, demikian disampaikan Somaeri, Presidium FSPI pada jumpa pers pergelaran pentas seni dan kebudayaan bertajuk Sepiring untuk Indonesia yang digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Kamis (9/2/06). Pergeralan budaya ini dihadiri oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan didukung oleh seniman Indonesia diantaranya Rieke Diah Pitaloka, Franky Sahilatua, Iwan Fals, Dik Doang, dan beberapa seniman dari IKJ. FSPI, beberapa organisasi yang fokus pada petani turut pula membantu, diantaranya STN, IPPHTI, KRKP, IGJ, Walhi, Bina Desa, IPNU, INFID. Pagelaran diisi dengan pembacaan puisi oleh Rieke dan Jose Rizal serta pementasan musik berisi lagu-lagu rakyat yang dibawakan oleh Iwan Fals, Franky, Dik Doang, dan beberapa kelompok pengamen jalanan (KPJ). Menurut koordinator acara, Franky Sahilatua, pagelaran kegiatan ini diharapkan bisa menjadi stimulan untuk menggalang kesadaran masyarakat terhadap nasib petani di Indonesia. Selain itu kita juga mengingatkan kepada pemerintahan sekarang bahwa pemerintah telah mengabaikan nasib petani dengan memberlakukan beras impor di saat panen raya,'' Ujar Frankie. Pada akhir acara dibacakan pernyataan sikap yang menuntut pemerintah Indonesia agar menjadi benteng perlindungan bagi jutaan petani dan rakyat Indonesia. Selain itu, meminta pemerintah memberantas korupsi dan mengusahakan penghapusan hutang luar negeri, mencabut berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat khususnya petani, seperti: Perpres 36/2005, ijin impor beras, privatisasi air, perumisasi Bulog, tarif impor rendah, kenaikan harga BBM dan lainnya serta menuntut pemerintah untk segera menjalankan pembaruan agraria dan mewujudkan kedaulatan pangan. Tita Zen

Telah terbit buku:


Judul : Impact of The WTO on Peasants in South East Asia and East Asia Penerbit : La Via Campesina Tahun : 2005

Dapatkan segera di Sekertariat FSPI Jl. Mampang XIV No.5, Jakarta Telp. 021 7991890 Fax. 021 7993426 Email: fspi@fspi.or.id

12

EDISI 24 - FEBRUARI 2006

Anda mungkin juga menyukai