Anda di halaman 1dari 16

PEMBARUAN TANI

M I M B A R K O M U N I K A S I P E T A N I
EDISI 25 - MARET 2006
PENDAPAT

Harga Eceran Rp 3.000,-

Ketimpangan Penguasaan Tanah Dan Jalan Keluarnya


Ada permasalahan besar dalam persoalan pertanahan di negeri ini. Fakta menunjukkan bahwa penguasaan tanah sangat timpang. Sebagian besar tanah-tanah dikuasai oleh sekelompok kecil orang yang memiliki modal besar. Halaman 6

MERAMPAS TANAH RAKYAT


Sengketa Agraria di Bandar Pasir Mandoge Asahan, Sumatera Utara
Penggusuran selalu meninggalkan cerita pilu. Kekerasan kerap menimpa orang-orang yang tergusur. Posisi mereka seakan lumpuh dihadapan hukum dan mesin kekuasaan. Jerit tangis pun kadang hanya terdengar sesekali di media massa, lalu tenggelam ditelan hiruk pikuk kehidupan. Buntutnya, sekelompok anak manusia harus terusir dari ranah kehidupannya.

Ketidakadilan Agraria
Saat ini Indonesia menghadapi kemungkinan krisis pangan yang cukup berat. Krisis ini disebabkan oleh memburuknya ketidakadilan agraria, yang tidak hanya menindas kaum tani, melainkan memenjara rakyat Indonesia dalam kungkungan feodalisme dan imperialisme. Untuk itu, gerakan land-reform menduduki posisi penting. Gerakan ini adalah sokoguru gerakan demokratis dan pembebasan nasional untuk seluruh rakyat Indonesia. Halaman 7

NASIONAL

Memperdaya Dengan Hukum

Halaman 8

Petani Tanak Awu Temui Gus Dur


SOROTAN

Halaman 10

Kekerasan Modal Dalam Masalah Pangan


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan lebih jauh lagi, UU itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Sebagian berpendapat undang-undang tersebut patut diadukan ke Mahkamah Konstitusi.
Halaman 12

Harus ada distribusi lahan subur, termasuk juga pemberian hak kepada petani untuk mengontrol air, benih, keanekaragaman hayati, teknologi untuk memproduksi pertanian berdasarkan prinsip kedaulatan pangan. Henry Saragih, Sekjen FSPI dan Koordinator La Via Campesina, mengatakannya saat membuka Konferensi Pembaruan Agraria (ICAARD), di Porto Alegre Brazil. Berita selengkapnya ada di halaman 3.

SALAM
Tak ada pilihan, kecuali melawan
Kaum tani di Indonesia terutama tani miskin dan buruh tani serta masyarakat tak bertanah semakin sulit saja. Dari jaman- ke jaman, dari penguasa ke penguasa, petani menjadi bulanbulanan kebijakan yang melulu berpihak kepada pemodal dan kaum kaya di desa dan kota. Perjuangan naik bangun, pasang surut berlangsung panjang. Sejarah perlawanan kaum tani untuk merebut hak-hak demokratis dan hak paling dasar tak pelak mengundang amarah penguasa yang kaya raya. Karena dianggap menganggu arus modal yang masuk kocek-nya. Antara pengusaha, aparat polisi dan penguasa menjawab gerakan rakyat tani untuk mempertahankan dan merebut hak-hak petani, yaitu melalui moncong senjata, proses hukum berbelit dan penuh rekayasa, politisasi persoalan menjadi kriminal dan pemenjaraan petani. Celakanya ini berlaku berulang-ulang. Lihat saja beberapa kasus yang dialami petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di berbagai wilayah yang saat ini sedang menghangat kembali seperti Bandar Pasir Mandoge, Kab. Asahan Sumatera Utara dan di Tanak Awu, Lombok Tengah NTB . Petani di Bandar Pasir Mandoge Sumut, yang konflik dengan PT. Bakrie Sumatra Plantation Tbk. menjadi korban kekerasan dan penangkapan oleh satuan pengamanan perusahaan bersama aparat kepolisian setempat. Penggusuran paksa, penganiayaan, pelecehan tak henti hingga saat ini. Terakhir adalah tanggal 27 Maret 2006, sekitar 100 orang Security PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP) yang dikawal oleh 6 anggota Brimob dan 4 anggota polisi ke lahan yang disengketakan dengan menggunakan tiga buah truk. Mereka langsung merusak lahan petani yang sudah ditanami dengan menggunakan bulldozer. Kejadian itu diiringi dengan penangkapan empat petani oleh Polres Asahan, sehari kemudian dilepas kembali. Dari empat petani yang ditangkap tersebut yang mengalami luka-luka adalah Sidabutar dengan kuku jempol kaki lepas, Syahmana Damanik luka pukul di dada dan tangan berdarah karena pada saat ditangkap diseret dan dipukuli serta Juniar Tampubolon yang saat ini sedang mengasuh bayi berumur 2 bulan. Seorang petani perempuan, Teti br. Tampubolon mengalami luka bocor dikepala yang kemudian dibawa ke Rumah Sakit setempat. Sedangkan Rumena br Manurung hingga malam ini tidak diketahui keberadaannya kemudian ditemukan warga dalam keadan terborgol. Eilin (anak Nuraini br. Panjaitan) yang ikut ditangkap namun kemudian dilepas mengalami trauma, serta puluhan petani lainnya yang mengalami luka-luka. Padahal sebelumnya pada 23 Agustus 2005, lima orang petani telah ditangkap dan dipenjarakan dengan dalih pengrusakan di areal lahan perusahaan, penangkapan tersebut juga dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak prosedural oleh aparat kepolisian Kab. Asahan. Sekarang ini kelima petani tersebut mengalami persidangan dan divonis hukuman penjara rata-rata 12 bulan. Selanjutnya pada tanggal 9 Februari 2006. Aparat kepolisian (Brimob) melakukan pengusiran paksa kepada para petani penggarap lahan. Akibat pengusiran paksa itu, 23 orang petani perempuan mengalami pemukulan hingga pingsan dan luka-luka. Di sisi lain, sistem politik macet menyalurkan aspirasi rakyat, mulai dari DPR, pemerintah tingkat desa hingga Presiden. Tak ada jalan lain kecuali melawan. Tak ada pilihan lain bagi rakyat yang dipinggirkan, akhirnya mereka melawan dengan caranya masing-masing. Buruh melakukan mogok, dan aksi-aksi demonstrasi semakin marak. Mereka melawan dalam rangka menjalankan amanat proklamasi kemerdekaan RI 1945, mewujudkan cita-cita bangsa yang sejahtera, adil makmur dan berkeadilan sosial. Masyakarat adil makmur bukan impian. Ia akan nyata bila masyarakat menemukan kesadaran kolektifnya bahwa perubahan itu dimulai dari segi yang paling kecil dan berubah menjadi besar dengan kerja-kerja pendidikan, aksi dan kampanye massa yang aktif dan terus menerus. Bersatunya buruh, petani, dan kalangan lainnya. Jadi tak usah menunggu keajaiban bahwa penguasa yang sebagian besar korup itu akan berpihak kepada rakyat miskin. Tek perlu menunggu ratu adil itu, bergerak berbareng saat ini juga secara serentak dan bersama-sama. Tak ada pilihan lain kecuali melawan.

Pembaruan Tani - Maret 2006

UNDANGAN TERBUKA
Dalam memperingati hari Hak Asasi Petani dan Perjuangan Petani Internasioanl 17 dan 20 April 2006, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) bersama Dewan Tani Karawang akan melaksanakan serangkaian kegiatan yang di antaranya adalah DISKUSI DAN PANEN RAYA PETANI. Oleh karena itu, kami bermaksud mengundang saudara/i untuk mengikuti kegiatan tersebut diatas sebagai peserta. Adapun kegiatan tersebut akan di selenggarakan pada : Hari, Tanggal: Senin 17 April 2006 Tempat Desa Solokan Kec. Pakisjaya Karawang JABAR Waktu 10.00 WIB s.d Selesai Tema: Kebijakan Beras Di Indonesia Dan Kedaulatan Pangan Bentuk Kegiatan : (1) Diskusi dan Panen Raya Petani Kebijakan Beras di Indonesia dan Kedaulatan pangan (2) Panen Raya Petani (3) Pentas Seni dan Budaya Acara ini akan diramaikan juga dengan pementasan seni budaya dari tim Kesenian rakyat/petani Karawang dan Franky Sahilatua* Demikian surat undangan ini kami sampaikan. Atas kehadiran dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
* masih dalam konfirmasi

Pemimpin Redaksi: Achmad Yakub; Redaktur Pelaksana: Cecep Risnandar Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Tejo Pramono Reporter: Umran S (NAD), Edwin Sanusi (Sumatera Utara), Fajar Rilah Vesky (Sumatera Barat), Tyas Budi Utami (Jambi), Agustinus Triana (Lampung), Atep Toni, Usep Saeful, Dimas Barliana, Harry Mubarak (Jawa Barat), Edi Sutrisno, Ngabidin (Jawa Tengah), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Mulyadi (Jawa Timur), Marselinus Moa (NTT). Penerbit: Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Aibidin Fuad Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Sarhedi, Gunawan Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email: pembaruantani@fspi.or.id website: www.fspi.or.id

Redaksi menerima tulisan, artikel, opini yang berhubungan dengan perjuangan agraria dan pertanian dalam arti luas yang sesuai dengan visi misi Pembaruan Tani. Bila tulisan dimuat akan ada pemberitahuan dari redaksi.

Pembaruan Tani - Maret 2006

INTERNASIONAL
Kilas
Pertemuan London Gagal, WTO Stagnan
Pertemuan kecil WTO tingkat menteri di London berakhir melempem. Keenam pihak yang mewakili 60% perdagangan dunia (AS, Uni Eropa, Jepang, India, Australia, dan Brazil) tidak menghasilkan kesepakatan apapun mengenai perdagangan bebas dunia. Hal ini cukup menggembirakan, karena tenggat waktu modalitas (panduan kesepakatan liberalisasi yang lebih detail) perdagangan bebas untuk pertanian adalah 30 April. Jika pada tenggat tersebut tidak ada kesepakatan, maka kehancuran WTO semakin dekat. (MI)

Henry Saragih:

Jangan Gunakan Pendekatan Pasar dalam Pembaruan Agraria


Semakin banyak petani kehilangan tanah pertaniannya yang disebabkan oleh kebijakan keliru dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan WTO.
Muhammad Ikhwan Perlu upaya serius untuk kembali melaksanakan pembaruan agraria yang dijalankan dengan komitmen penuh. Pembaruan agraria harus benar-benar bisa mendistribusikan lahan pertanian kepada rakyat, bukan dengan pendekatan pasar seperti yang ditawarkan Bank Dunia. Pernyataan tersebut dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) yang juga Koordinator Umum La Via Campesina, Henry Saragih pada pembukaan Konferensi Internasional Pembaruan Agraria: (ICARRD: International Conference on Agrarian Reform and Rural Development) di Porto Alegre Brasil pada 6 Maret 2006. Pada acara pembukaan yang dihadiri oleh Wakil Presiden Brasil tersebut, Henry menekankan perlunya pembaruan agraria. Harus ada pembaruan agraria yang integral dan sejati yang ditandai dengan adanya distribusi lahan subur kepada petani, termasuk juga pemberian hak kepada petani untuk mengontrol air, benih, keanekaragaman hayati, teknologi untuk memproduksi tanah pertanian bagi petani hingga saat ini masih merupakan masalah besar. Lebih lanjut Diouf juga mengatakan bahwa kenyataan menunjukan target untuk mengurangi kelaparan di dunia hingga setengahnya pada tahun 2015 tidak mungkin lagi dapat tercapai. Karena itu upaya untuk melakukan Konferensi Internasional Pembaruan Agraria kali ini sesungguhnya penting sekali. Sementara itu, Ketua Presidium FSPI Wagimin yang juga hadir di Brasil bersama beberapa petani menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah Indonesia, karena tidak adanya Menteri Pertanian ataupun Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang hadir. Hal ini sekali lagi Henry Saragih, pada pembukaan menunjukan bahwa Presiden ICAARD di Porto Alegre, Brasil. Susilo Bambang Yudhoyono telah ingkar dari janjinya untuk kelaparan adalah sebuah melaksanakan pembaruan kenyataan yang tidak bisa agraria. Bahkan program dipungkiri masih terjadi saat ini pembaruan agraria yang jelas di dunia. Padahal beberapa dituliskan dalam revitalisasi upaya juga telah dilakukan pembangunan pertanian, seperti melalui program PBB, perikanan dan kehutanan Tujuan Pembangunan Milenium (RPPK), pada kenyataannya (Milenium Development Goals: hanya sekedar janji saja. MDGs). Masalah utama dari Pemerintah takut bila harus lambatnya upaya pengurangan berkomitmen menjalankan kemiskinan dan kelaparan pembaruan agraria. tersebut karena akses kepada
Tejo Pramono/PEMBARUAN TANI

pertanian berdasarkan prinsip kedaulatan pangan. Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal FAO, Dr. Jacques Diouf mengatakan bahwa kemiskinan dan

Surat Dari Tahanan Politik WTO di Hong Kong


Yun Il Kwon and Park In Hwan, dua tahanan politik WTO yang masih menjalani proses pengadilan di Hong Kong mengirimkan surat kepada petani di seluruh dunia. Surat yang ditulis dengan semangat solidaritas ini seolah ingin menunjukkan kepada petani dunia bahwa WTO telah berlaku semena-mena kepada para petani. Dalam surat itu tertulis juga pada akhirnya kaum tani akan memenangkan perjuangannya melawan WTO. Berikut ini petikan suratnya: Kami Yun Il Kwon dan Park In Hwan, petani anggota Korean Peasant League (KPL) yang ditahan pada perjuangan melawan WTO di Hong Kong. Dari ke-14 tahanan yang menjadi tersangka, akhirnya 12 dari kami dibebaskan dan semua tuduhan tidak terbukti. Tinggal kami berdua yang akan menghadapi proses pengadilan dimulai dari tanggal 2 Maret di Pengadilan Fanling, Hong Kong. Jika memang kami terbukti melakukan sesuatu pada perjuangan melawan WTO yang harus dipertanggungjawabkan, maka kami akan menanggungnya. Walau begitu, setelah melalui pembicaraan yang panjang dengan organisasi petani, buruh dan lainnya, juga tak lupa dengan pengacara kami, dengan ini kami nyatakan bahwa kami sangat percaya bahwa persidangan ini akan kami menangkan. Salah satu dari kami adalah petani yang menanam mentimun, dan sekarang adalah waktu yang sangat penting bagi proses panen mentimun di Korea. Dengan tidak mengurus tanaman mentimun dalam dua minggu saja, akan fatal akibatnya bagi panen kami. Namun kami tetap dengan jantan berangkat ke Hong Kong memenuhi panggilan pengadilan. Juga untuk memenuhi janji kami pada rakyat dan kawan kami di seluruh dunia. Dan lebih penting lagi, untuk memenangkan pengadilan iniuntuk membuktikan bahwa perjuangan kami tulus. Kami tidak ingin mengalihkan arah perjuangan kita semua, petani seluruh dunia. Perjuangan kita bukanlah dalam pengadilan kami berdua, karena sesungguhnya perjuangan melawan WTO belum selesai. Kita telah menang dalam KTM VI WTO Hong Kong. Namun WTO terus menghantui kita, dan harus kita lawan hingga kita menang. Kami berdua akan menjadi ujung tombak perjuangan Lanjutkan perjuangan melawan WTO! 4 Maret 2006 Yun Il Kwon dan Park In Hwan, di Hong Kong Korean Peasant League (KPL)

Pembukaan Konferensi Internasional Pembaruan Agraria (ICARRD: International Conference on Agrarian Reform and Rural Development). Porto Alegre, Brasil. Senin, (6/3).

UTAMA
Sengketa Agaria di Pasir Mandoge Kabupaten Asahan, Sumatera Utara

Pembaruan Tani - Maret 2006

MERAMPAS TANAH RAKYAT


Cecep Risnandar Penggusuran adalah penggusuran. Tak peduli apakah seseorang telah menempati tanah itu bertahuntahun lamanya atau bahkan sejak turun temurun, bila kekuasaan berkata lain semuanya harus hengkang. Seperti yang terjadi pada warga Desa Sei Kopas, Bandar Pasir Mandoge, Asahan, Sumatera Utara. Dahulu tahun 1945, sesaat setelah Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya, terbentuklah struktur pemerintahan yang bernama Desa Silau Jawa dengan kepala desa Tuan Adam Manurung. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1951, sekelompok masyarakat membuka lahan kosong untuk dijadikan tempat bercocok tanam disekitar desa tersebut. Sebagian besar warga Desa Silau Jawa mencari nafkah dengan bercocok tanam. Kehidupan di Desa Silau Jawa terus berkembang, hingga Desa tersebut dimekarkan menjadi Desa Silau Jawa (tetap), Desa Sei Nadoras dan Desa Sei Kopas. Semenjak memasuki masa kemerdekaan pembangunan berjalan begitu pesat. Pada tahun 1983 Bupati Asahan ketika itu, Bahmit Muhammad, menyerukan agar warga menginventarisasikan tanahnya. Bahmit bermaksud akan membangun perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) seluas 674 hektar meliputi desadesa tersebut. Bupati mengajak masyarakat bermusyawarah dan memberi nama areal itu Huta Kesepakatan. Sesuai dengan maksudnya, Bupati menunjuk PT Usaha Swadaya Perdana (USP) sebagai bapak angkat dalam pola PIR tersebut. Namun pada kenyataanya, Bupati mengalihkan lahan masyarakat kepada PT USP melalui surat jual beli yang tidak pernah diketahui masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, PT USP berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantation (masih USP). Kemudian, tanah para petani menjadi areal milik perusahaan perkebunan tersebut. Saat itu, para petani tidak berani menganggu gugat, karena pemerintah orde baru sangat represif dalam menyelesaikan setiap sengketa tanah rakyat. Entah dengan cara apa, Hak Guna Usaha (HGU) beralih dari PT USP ke PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP). Baru setelah masa reformasi bergulir, rakyat mulai berani mempertanyakan lahan tersebut. Pada tahun 1999, masyarakat Silau Jawa dan Huta Padang membentuk organisasi tani yang beranama Kelompok Tani Maju Bersatu yang beranggotakan 250 kepala keluarga. Baru pada tahun 2003, anggota Kelompok Tani Maju Bersatu me-reclaiming lahan yang dahulu direbut perusahaan. Langkah ini dilakukan masyarakat karena aspirasi mereka tidak pernah digubris oleh pemerintah maupun pihak perusahaan. Kemudian para petani mengerjakan lahan tersebut dengan menanami tanaman pangan dan perkebunan. Beberapa diantaranya membangun saung atau rumah-rumah tempat berteduh dan berjaga ladang. Namun ketenangan para petani terusik kembali. Tanah mereka kini kembali digugat pihak perusahaan perkebunan. Perusahaan secara agresif merusak kembali lahan yang telah ditanami para petani. Mereka menggunakan buldoser dan alatalat berat, mengerahkan puluhan bahkan ratusan pengawal keamanan, diantaranya aparat kepolisian dan tentara. Petani kembali lagi diusir dari lahan garapannya. Penggusuran selalu meninggalkan cerita pilu. Kekerasan kerap menimpa orangorang yang tergusur. Posisi mereka seakan lumpuh dihadapan hukum dan mesin kekuasaan. Jerit tangis pun kadang hanya terdengar sesekali di media massa, lalu tenggelam ditelan hiruk pikuk kehidupan. Buntutnya, sekelompok anak manusia harus terusir dari ranah hidupnya.

Asal Usul Tanah Sengketa


Di Desa Sei Kopas, Bandar Pasir Mandoge Kab. Asahan, Sumatera Utara

Pembukaan lahan oleh masyarakat, Tanah yang diperjuangkan terletak di desa Sei Kopas, kecamatan Bandar Pasir Mandoge kabupaten Asahan, dahulunya bernama Desa Silau Jawa, setelah dilakukan pemekaran sekarang menjadi Desa Sei Kopas.

1953

Bupati Asahan pada masa itu, Dr. Bahmit Muhammad, mengimbau pada masyarakat menginventariskan tanah itu kepada pemerintah setempat dengan maksud agar dijadikan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) seluas 674 Ha. Tanah yang itu tanpa kejelasan sudah menjadi milik PT. BSP (Bakrie Sumatera Plantations) Masyarakat Sei Kopas membentuk kelompok tani Maju Bersatu yang beranggotakan 250 kk yang bertujuan menyatukan persepsi untuk menuntut tanah yang pernah dijadikan pola PIR. Ketika aspirasi sudah tidak diperhatikan oleh pemerintah, masyarakat Sei Kopas me-reclaiming tanah tersebut. Strategi yang digunakan ialah menanami lahan tersebut dengan tanaman keras dan tanaman pangan serta mendirikan tiga unit bangunan sederhana di sana. Luas tanah yang dituntut oleh masyarakat seluas 220 Ha.

1983

1999

2003

Pembaruan Tani - MARET 2006

UTAMA
dan Nuraini br Simanjuntak. Menjelang sore, sekitar pukul empat, keempat petani yang dipukuli dan petani yang mencoba menolongnya dibawa dengan truk ke Polres Asahan di Kisaran. Berbeda dengan petani lainnya, Damanik dibawa satpam ke PT BSP. Selama perjalanan Damanik diintimidasi. Aku mantan pembunuh. Sudah banyak orang aku bunuh. Tunggulah bagianmu di BSP, disana kau pasti mati, ujar para pengancam itu. Sambil bicara mereka juga menyundut tangan Damanik yang masih diborgol dengan rokok yang masih menyala. Sampai di PT BSP, aparat brimob yang ada di BSP meminta luka-luka Damanik dibersihkan. Setelah bersih, Damanik diangkut ke Polres Asahan. Disana ia bertemu dengan rekan-rekannya yang lain. Menjelang pukul lima sore, datang Andi Kurnia, pengurus Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Andi meminta ijin agar para petani bisa berobat ke rumah sakit. Menjelang maghrib, para petani dibawa kembali ke Polres Asahan. Di Polres, para petani mulai diperiksa pukul setengah sembilan malam dan selesai pukul satu dinihari. Para petani dikenakan pasal 335 dan 336 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Para petani tidak menerima tuduhan tersebut. Menurut mereka, pihaknya tidak memulai keributan. Justru satpam PT BSP yang pertama kali menyerbu masuk ke lahan yang mereka garap. Padahal, kawasan itu masih menjadi sengketa antara para petani dengan PT BSP dan sampai peristiwa itu terjadi belum ada penyelesaian terhadap sengketa agraria tersebut. Besoknya, para petani sepakat mengadukan tindakan kekerasan yang mereka terima dari PT BSP ke Polres Asahan. Mereka menuntut para penyerbu dengan pasal 170 KUHP tentang penganiayaan.

Mereka Mengaku Preman...


Cecep Risnandar Senin pagi tanggal 27 Maret lalu, bukan hari yang baik bagi petani di Desa Sei Kopas, Bandar Pasir Mandoge. Saat itu Syahmana Damanik, Marasi Sidabutar, Juniar br Tampubolon bersama beberapa petani lainnya sedang duduk-duduk di lahan pertaniannya sambil menikmati teh. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika tiba-tiba sebuah buldozer yang dikawal satuan pengamanan (Satpam) PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) memasuki lahan pertanian yang mereka garap. Alat berat itu menerjang lahan pertanian mereka. Pisang, jagung dan kelapa sawit milik petani hancur lebur dalam sekejap. Para petani hanya terbengong-bengong seolah tak percaya lahan mereka hancur lebur dalam sekejap. Mereka tak melakukan tindakan perlawanan apapun, mengingat jumlah satpam PT BSP begitu banyak. Menurut penuturan petani, jumlah satpam yang dikerahkan sekitar 100 orang. Disamping para satpam ada beberapa orang aparat Brimob dan hadir juga Kapolsek Bandar Pasir Mandoge. Melihat kejadian itu, Juniar Br Tampubolon mendatangi polisi dan berkata, Pak, BSP merusak tanaman kami. Amankanlah kami! Tapi aparat kepolisian tak menggubris aduan para petani. Mereka terlihat tenang-tenang saja. Malah Kapolsek meninggalkan lokasi tersebut. Masyarakat mulai bertanyatanya dengan tindak tanduk aparat yang cuek bebek. Kecurigaan mulai mencuat, beredar kabar dalam barisan satpam PT BSP terdapat preman. Mereka ada yang mengaku sebagai preman Pematang Siantar, kata Syahana Damanik menguatkan. Kondisi semakin panas. Damanik mulai memanggil para petani lainnya dari dusun terdekat mengabarkan penghancuran lahan mereka. Para petani mulai berdatangan. Sebagian besar diantaranya perempuan. Mereka mulai menghadang laju buldoser dan para para pengawalnya. Saat hari mulai panas, salah seorang petani yang mengahadang, Nuraini br Panjaitan, terkenal pukulan satpam. Keadaan pun menjadi ricuh, semakin sengit lagi perlawanan para petani dan semakin banyak lagi petani yang terkena pukul pentungan para pengawal. Ibu-ibu yang gigih mengahadang serbuan satpam, mulai melakukan perlawanan. Mereka memungut gumpalan tanah dan ranting-ranting dan melemparkannya ke arah barisan satpam. Menjelang tengah hari, penggusuran berhenti. Pasukan Satpam PT BSP mengambil ancang-ancang sambil beristirahat. Saat itu sudah delapan hektar lahan petani diobrak-abrik. Setelah beberapa saat, para satpam kembali melakukan aksi penggusuran. Kali ini yang jadi sasaran adalah saung-saung petani yang dijadikan posko (tempat berjaga ladang). Perlawanan petani semakin sengit. Anakanak dihadirkan kedalam posko dengan harapan pihak BSP tidak akan merubuhkan bangunan. Tapi tidak dihiraukan pasukan satpam. Para petani mulai mengambil alat-alat pertanian sebagai senjata untuk bertahan. Namun karena jumlah satpam yang didukung aparat kepolisian cukup banyak. Perlawanan petani bisa dipatahkan. Warga mengaku sekitar 25 sampai 30 terkena pukulan satpam dan aparat. Bahkan beberapa diantaranya ditangkap dan dianiaya satpam PT BSP. Pasukan satpam PT BSP menangkap Syahmani Damanik. Tak hanya itu, Damanik dipukuli. Sekitar enam orang, Damanik memperkirakan jumlah para penganiayanya. Selain Damanik, Sidabutar juga ditangkap dan dipukuli. Melihat kejadian itu, Juniar br Tampubolon mencoba menolong. Namun naas, pria ini dihantam popor senapan Brimob. Perlakuan ini dialami juga oleh Tetti br Tampubolon

KRONOLOGIS PENGANIAYAAN PETANI DI PASIR MANDOGE, SUMATERA UTARA


Pukul 08.30 WIB Berdasarkan surat dari Fraksi Keadilan Sejahtera DPRD Asahan No. 87/F-PKS/DPRD-AS/2006 tentang himbauan agar PT BSP tidak melakukan pengerjaan lahan dilahan yang diklaim oleh masyarakat Sei Kopas sampai ada pembicaraan lebih lanjut di DPRD Asahan, maka sekelompok ibu-ibu dari Sei Kopas, yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti Tampubolon, Herlina Marbun, Nannaria Manurung, Lina Manurung, Nursinah Manurung, Duna Samosir dan Br. Manalu, melakukan diskusi ringan sekaligus memantau kondisi lahan di posko yang mereka bangun di lahan konflik tersebut. Pukul 14.00 WIB Masuk dua buldoser ke lokasi lahan dikawal 50 orang berpakaian petugas keamanan (seragam lengkap berwarna biru-biru). Ada indikasi sebagian orang-orang ini bukan petugas keamanan yang biasa menjaga, akan tetapi preman yang dibayar. Ibu-ibu dari Sei Kopas ini melakukan pengusiran, yang berakibat tindak kekerasan dan caci maki terhadap diri mereka. Pukul 14.30 WIB Tujuh orang ibu-ibu menerobos ke depan untuk menghadang buldoser, tapi mereka dipukul, ditendang, dan diseret oleh petugas keamanan tersebut. Melihat strategi yang mereka lakukan tidak berhasil, mereka memakai strategi aksi buka baju yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti Tampubolon,Duma Samosir, Rukiah, Lina Manurung dan Herliana Marbun. Aksi ini tetap tidak berhasil dan orang-orang dari PT BSP tersebut malah menikmati 'pemandangan' yang menggiurkan mereka. Orang-orang tersebut adalah: Satpam ( 50 orang), Brimob Polisi (5 orang) dan TNI (1 orang). Pukul 15.45 WIB Dua belas orang ibu-ibu masuk dari Sei Kopas karena mendengar kawan-kawan mereka dianiaya. Mereka datang secara bertahap sampai pukul 16.00 WIB. Kedua belas ibu-ibu tersebut adalah: Priska Sihombing, Romenna Manurung, Kamariah Manurung, Eilin Saragih, Minta Uli Sinaga, Rasmi Sirait, Rospita Hutauruk, Mariana Marbun, Risma Uli, Neli Silalahi, Rusti dan Rukiah. Perlawanan tetap tidak seimbang, karena pihak PT BSP semakin buas agar lebih puas, seperti anjing pemburu yang berusaha menangkap buruannya. Ini terbukti mereka mengejar ke segala arah sampai ke atas pohon pun mereka kejar. Selama lebih setengah jam 'diburu', kelompok ibu-ibu ini memutuskan meninggalkan lahan karena kondisi benar-benar tidak seimbang dan di tubuh penuh luka dan memar. Sampai mereka meninggalkan lahan buldoser terus beraksi mengerjakan lahan. Pukul 17.00 WIB Lima belas orang ibu-ibu melakukan pengaduan ke Polsek Bandar Pasir Mandoge dengan nomor surat : STPL/05/II/2006/SPK atas nama Herliana Marbun. Pasal yang mereka adukan adalah 352 KUHP. Sebagian lagi tidak ikut karena mereka masih trauma dengan aparat. Kelima belas orang tersebut yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti Tampubolon, Herliana Marbun, Manaria Manurung, Cendi Maria, Rukiah, Rumenna, Rasmi ,Rospita, Bimberi, Tiruma, Nurhini, Rusti, Teruma, Duma. Tiga orang juga divisum et repertum yaitu Juniar Tampubolon, Herliana Marbun dan Tetti Tampubolon. Sayangnya sampai sekarang belum ada respon yang memuaskan oleh pihak kepolisian. Asahan, 17 Februari 2006 Serikat Petani Sumatera Utara

PENDAPAT

Pembaruan Tani - Maret 2006

Ketimpangan Penguasaan Tanah Dan Jalan Keluarnya


Agustinus Triana
Staff Informasi dan Komunikasi Serkat Petani Lampung (SPL) Ada permasalahan besar dalam persoalan pertanahan di negeri ini. Fakta menunjukkan bahwa penguasaan tanah sangat timpang. Sebagian besar tanah-tanah dikuasai oleh sekelompok kecil orang yang memiliki modal besar. Menurut sensus pertanian 1983, rata-rata penguasaan tanah pertanian di Indonesia sekitar 0,98 hektar untuk tiap rumah tangga petani. Angka ini tentu saja tidak sama disetiap tempatnya. Di Jawa kepemilikan tanah petani hanya 0,58 hektar sedangkan untuk luar Jawa rata-rata 1,58 hektar. Pada tahun 1993 kepemilikan rata-rata semakin turun menjadi 0,83 hektar per rumah tangga petani. Dengan rincian di Jawa sekitar 0,47 hektar sedangkan luar Jawa 1,27 hektar. Dalam pada itu jumlah petani gurem terus bertambah dari semula 9.532.000 pada tahun 1983 menjadi 10.937.000 pada tahun 1993. Bertambahnya jumlah petani gurem lebih besar terjadi diluar Jawa, yakni sebesar 33,4% dalam kurun waktu sepuluh tahun. Sedangkan untuk Jawa meningkat 9,37%. Hasil sensus pertanian 1993 menunjukkan 43% dari total rumah tangga pertanian atau sejumlah 11 juta keluarga adalah tuna kisma dan petani kecil yang penguasan tanahnya tidak lebih dari 0,1 hektar. Sedangkan 16% lainnya atau sejumlah 4,4 juta keluarga penguasaan lahannya hanya 1 hektar. Jika data-data tersebut dikelompokan, 84% penduduk pedesaan menguasai 31% total luas lahan pertanian sedangkan 16% lainnya menguasai 69% luas lahan. Data lain menunjukkan bahwa luas lahan pertanian berkurang dari 5,72 hektar (1983) menjadi 5,24 juta hektar (1993) atau menurun 0,48 juta hektar. Dari data-data tersebut bisa dilihat timpangnya penguasaan lahan pertanian di Indonesia. Bila dipelajari dengan cermat, ketimpangan penguasaan tanah ini disebabkan karena tanah yang seharusnya menjadi sumber kekayaan alam dan budaya berubah menjadi sekedar komoditi ekonomi. Sehingga mereka yang memiliki modal besar dengan mudah menguasai tanah dalam jumlah besar. Dengan sendirinya keberlangsungan penguasaan dan pemanfaatan tanah selalu dihitunghitung dengan pertimbangan kapitalisme. Di sisi lain, rakyat kecil tidak mendapat apa-apa dan menjadi korban dari proses akumulasi dan kapitalisasi tanahtanah tersebut. Proses kapitalisasi tanah terus berlangsung secara masif. Terutama terjadi di pedesaan-pedesaan diluar Jawa dimana perusahaanperusahaan perkebunan berkembang sangat pesat. Hal ini diperparah dengan tidak adanya kebijakan yang mampu mengatasi persoalan ketimpangan ini. Alih-alih teratasi, pemerintah malahan mengambil tindakan kontra produktif dengan keluarnya Perpres 36/2005. Bila sudah diserahkan kepada swasta, mau tidak mau harus mengikuti kaidah ekonomi dimana laba merupakan satu-satunya tujuan. Ketimpangan penguasaan tanah tidak sekedar menyebabkan ketidakadilan ekonomi semata. Akibatnya bisa jauh merembet kedalam kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini baik secara sosial maupun politik petani kecil semakin termarjinalkan. Maka tak pelak lagi konflik-konflik agraria bermunculan disana-sini dan rakyat kecil selalu menjadi korbannya. Menurut Christopher W More, akar permasalahan sengketa agraria salah satunya disebabkan oleh perilaku destruktif dan kontrol kepemilikan sumber daya yang tidak seimbang. Jadi, penyelesaian konflik-konflik agraria hanya bisa di lakukan dengan mempersempit ketimpangan penguasaan tanah. Posisi rakyat, terutama di pedesaan, saat ini semakin rentan menghadapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak populis. Untuk mengakomodir kepentingan pemodal pemerintah tidak segansegan mengambil resiko berhadapan dengan rakyatnya. Pada keadaan demikian tentu saja pemilik modal lebih dominan dan rakyat berada pada posisi tertindas. Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan rakyat untuk menang sekaligus keluar dari proses penindasan? Mengharapkan kesadaran pemerintah yang lebih betah bersandar pada para pemilik modal adalah mustahil. Atau berharap akan datangnya ratu adil sama saja dengan menyetujui adanya penindasan. Menurut hemat saya, rakyat sendiri yang harus bangkit mengusahakan kemenangan itu. Rakyat harus merebut dan mempertahankan hak-haknya. Jalannya, rakyat harus berkumpul dan berserikat membentuk organisasi perjuangan yang kuat. Lewat organisasi rakyat bisa menghimpun kekuatan dan memberdayakan dirinya. Jawaban jujur dan adil sebagai solusi dari ketimpangan penguasaan tanah akan terjawab dengan sendirinya. Sekaligus jawaban tersebut merupakan hal mendasar dalam mengubah keadaan sekarang.

Posisi rakyat, terutama di pedesaan, saat ini semakin rentan menghadapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak populis. Untuk mengakomodir kepentingan pemodal pemerintah tidak segansegan mengambil resiko berhadapan dengan rakyatnya.

Perpres tersebut membuka ruang seluas-luasnya kepada pemodal untuk mengkonsolidasikan penguasaan atas tanah. Buntutnya sudah bisa ditebak, rakyat kembali menjadi korbannya. Dengan dalih untuk kepentingan umum, pemerintah dan para pemodal dengan mudah dapat merebut paksa tanah-tanah petani. Pertanyaan selanjutnya, apakah Perpres 36/2005 itu benar-benar dipakai untuk membela kepentingan umum dan pembangunan? Belajar dari pengalaman orde baru, ternyata manfaat pembangunan yang didengung-dengungkan pemerintah hanya dirasakan segelintir orang diantaranya para pemilik modal dan sejumlah birokrat. Buktinya kerjakerja pembangunan hanya bisa berjalan jika ada modal dari swasta.

PENDAPAT
Ketidakadilan Agraria
Suryawijaya
Saat ini Indonesia menghadapi kemungkinan krisis pangan yang cukup berat. Krisis ini disebabkan oleh memburuknya ketidakadilan agraria, yang tidak hanya menindas kaum tani, melainkan memenjara rakyat Indonesia dalam kungkungan feodalisme dan imperialisme. Untuk itu, gerakan land-reform menduduki posisi penting. Gerakan ini adalah sokoguru gerakan demokratis dan pembebasan nasional untuk seluruh rakyat Indonesia. Diperkirakan, konsumsi beras perkapita antara tahun 2001 sampai 2006 akan mengalami peningkatan dari 153,53 kg perkapita pertahun menjadi 154,14 kg perkapita pertahun. Pada tahun 2021 diprediksikan sampai kepada angka konstan 147 kilogram per kapita/tahun. Dengan asumsi produktivitas sama dengan saat ini, tahun 2020 areal sawah yang diperlukan untuk seluruh wilayah Indonesia sekitar 9,3 juta hektar. Saat ini, luas areal sawah di Indonesia mencapai sekitar 8,9 juta hektar. Dari luas itu, 45 persen di antaranya di Pulau Jawa dan Bali. Selanjutnya berturut-turut Sumatera 22,4 persen, Sulawesi 11,1 persen, Nusa Tenggara dan Maluku 6,4 persen, Kalimantan 14 persen, dan Irian Jaya 0,32 persen. Terlihat Jawa masih menjadi tumpuan bagi pengadaan pangan nasional. Dengan data tersebut, secara logika, Indonesia harus memperluas areal lahan pertanian agar mampu mengimbangi naiknya grafik konsumsi pangan masyarakat. Masalahnya, pada saat ini ternyata sektor pertanian sudah tidak lagi menjanjikan. Dari data BPS, dalam waktu 10 tahun terakhir telah terjadi alihfungsi lahan sawah seluas 80.000 ha per tahun. Selama periode 1999-2002 telah terjadi pengurangan lahan sawah seluas 563.159 hektar, atau ratarata 187.720 hektar per tahun. Sekitar 30 persen sawah yang hilang itu berada di Jawa (167.150 hektar), dan 70 persen lainnya di luar Jawa. Untuk Jawa, konversi yang cukup tinggi terjadi di Jawa Barat (5,1 persen) dan Jawa Timur (6,3 persen). Padahal, kontribusi dua propinsi ini terhadap produksi padi nasional sangat besar sekitar 33 persen dari total produksi. agraria. Monopoli kepemilikan Dalam jangka pendek, alih tanah di segelintir orang adalah fungsi memang belum terasakan hasil dari sekian banyak dampaknya terhadap ketahanan pertentangan di lapangan agraria. pangan. Namun, bila terus terjadi Pertentangan-pertentangan tanpa ada langkah-langkah tersebut terwujud dalam berbagai komprehensif menghentikannya gejala. Muara dari pertentanganakan mengganggu ketahanan pertentangan tersebut adalah pangan nasional. Apalagi perampasan tanah (land grabbing), kehilangan sawah di Jawa baik yang dilakukan secara halus sebenarnya bisa berdampak sangat maupun kasar. besar, karena kualitas sawah di Dari pemantauan Konsorsium luar Jawa masih belum Pembaruan Agraria (KPA), mengimbangi kualitas sawah di sepanjang masa Orde Baru sampai Jawa. Desember 2001 paling tidak telah Produktivitas padi di Jawa bisa terjadi 1.753 kasus perampasan mencapai 51,94 kuintal per hektar, tanah dari petani dengan areal sementara di luar Jawa hanya 39,52 yang dirampas seluas 10.892.203 kuintal per hektar. Kalaupun ha. Perampasan ini mengakibatkan kehilangan sawah di Jawa akan sekitar 1.189.482 kepala keluarga dikonversi dengan pencetakan menjadi korban. Data konkretnya, sawah di luar termasuk Jawa, biayanya sengketa-sengketa akan sangat yang terselubung, mahal dan mungkin jauh membutuhkan lebih besar. dalam waktu Kedua, waktu lama. yang tidak lama monopoli Kehilangan kepemilikan dan sawah di Jawa lagi, niscaya penguasaan sulit tergantikan. Indonesia akan sumber-sumber Permasalahan di sektor ini mengalami krisis agraria menyebabkan sebenarnya pangan yang berkembang bukan hanya luasnya praktikancaman yang merupakan praktik sisa feodal muncul dari dalam corak derasnya proses bentuk terburuk produksi alih fungsi lahan. krisis agraria masyarakat Di samping itu, pedesaan. Proses menurunnya monopoli jumlah tenaga kepemilikan dan kerja di sektor penguasaan tanah pertanian juga terjadi dengan didahului oleh menjadi ancaman yang nyata pada adanya alih kepemilikan yang produktivitas pertanian. kemudian menyebabkan terjadinya alih fungsi (konversi) Masalah Pokok lahan. Proses ini menyebabkan Bila paparan di atas kita luas lahan pertanian yang dikelola persingkat, dalam waktu yang kaum tani mengalami pemusatan tidak lama lagi, niscaya Indonesia ditangan segelintir orang yang akan mengalami krisis pangan pada giliran berikutnya yang merupakan bentuk terburuk mengalami penyempitan. krisis agraria. Pada sisi lain, jumlah kaum tani Krisis ini tentunya tidak hanya yang bekerja di atas tanah tidak berimbas pada kehidupan kaum mengalami perubahan yang tani sebagai kalangan yang paling berarti. Tingginya kebutuhan akan menggantungkan hidupnya pada tanah menyuburkan praktik sokongan sumber-sumber agraria. persewaan tanah oleh petani Krisis ini akan menimpa seluruh miskin dan buruh tani kepada rakyat Indonesia. Permasalahan klas-klas pemilik lahan. Hubungan yang harus kita perdalam adalah sewa-menyewa lahan inilah yang apa yang menjadi sebab terjadinya menyebabkan menjamurnya krisis agraria? hubungan produksi setengahPertama, krisis agraria terjadi feodal di pedesaan. karena adanya konsentrasi atau Ketiga, dominasi feodalisme monopoli dalam kepemilikan dan sesungguhnya erat dengan penguasaan sumber-sumber kepentingan imperialisme. Sejak masa kolonialisme Belanda, feodalisme telah menjadi alas kekuasaan imperialisme. Pada saat ini, imperialisme memang tidak menancapkan kekuasaannya secara langsung, melainkan menggunakan kakitangannya yakni kelas kapitalis komprador, tuan tanah besar, dan kapitalis birokrat dan menindas bukan hanya kaum tani, melainkan seluruh rakyat, terutama rakyat pekerja yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Keempat, imperialisme dan feodalisme menyebabkan kontradiksi di sektor agraria mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Kontradiksikontradiksi ini menyebabkan menurunnya daya dukung alam dan produktivitas pertanian. Imperialisme yang memaksa kaum tani untuk melaksanakan revolusi hijau, mekanisasi pertanian, pupuk kimia, dan bibit-bibit hasil rekayasa genetik menyebabkan turunnya daya tawar masyarakat desa yang didominasi kaum tani dihadapan imperialisme dan feodalisme. Penurunan daya tawar masyarakat desa, khususnya kaum tani, berjalan seiring dengan memburuknya krisis imperialisme dan membusuknya feodalisme. Semakin hari, krisis yang terjadi semakin memaksa kaum tani, bersama klas buruh dan massa tertindas lainnya, untuk menanggung beban krisis terberat. Pencabutan subsidi di berbagai bidang di samping kenaikan harga yang tidak tertanggulangi, menurunkan daya produksi kaum tani. Inilah yang mengakibatkan produktivitas pertanian mengalami kemerosotan yang cukup dalam. Bila disimpulkan, permasalahan pokok yang diderita kaum tani saat ini adalah luasnya praktik sisa-sisa feodalisme dan dominasi imperialisme. Feodalisme dan imperialisme telah mengakibatkan terjadinya krisis agraria, yang ditandai dengan adanya pemusatan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta menurunnya daya hidup dan daya produksi kaum tani. Penulis adalah Direktur Institute for National Democratic Studies (Indies)

NASIONAL

Pembaruan Tani - Maret 2006

Memperdaya Dengan Hukum


Cecep Risnandar/PEMBARUAN TANI

Cecep Risnandar
Maman, petani asal Ciamis, mungkin tak pernah menyangka kalau dirinya dituduh melakukan tindakan pidana yang ia sendiri tidak merasa melakukannya. Seperti petani lain di desanya, Maman biasa bertani di sekitar hutan. Malapetaka datang tatkala Perum Perhutani mulai mempertanyakan lahan yang digarap para petani. Tuduh-tuduhan itu berawal dari datangnya surat panggilan Kepolisian Sektor Langkap Lancar kepada Rosidin dan Herdi pada 4 Januari lalu. Kedua anggota organisasi tani Bangun Karya itu dianggap melanggar UU No.41 tahun 1999 tentang perambahan hutan. Namun tuduhan tersebut dianggap tidak berdasar. Baik Rosidin maupun Herdi tidak menanggapi surat panggilan itu. Alasannya, mereka merasa tidak terkait dengan apa yang dituduhkan Polsek Langkap Lancar, Ciamis. Lagi pula, mereka tidak serius menanggapi isi surat panggilan itu karena suratnya hanya ditulis tangan. Dua hari berselang, datang surat panggilan lain. Kali ini ditujukan kepada Maman yang juga anggota organisasi tani Bangun Karya. Isinya agak lain, kali ini tuduhannya sebagai penadah hasil hutan ilegal dengan mencatut UU No.41 pasal 50 dan KUHP pasal 480. Para petani mulai bertanya-tanya dengan datangnya surat panggilan yang ditujukan kepada mereka. Isinya mengerikan, tuduhan berbuat pidana. Kemudian mereka berunding dan bersepakat memberikan kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum Serikat Petani Pasundan (LBH-SPP) untuk mengonfirmasi perihal surat-surat itu. Supriadi, aktivis LBH-SPP yang menjadi salah seorang kuasa hukum para petani akhirnya mendapat konfirmasi dari kepolisian. Surat yang semula ditujukan kepada Maman dan kawan-kawan ternyata keliru. Kemudian pada tangga 13 Januari, penyidik pembantu Bripka Adung dan Brigadir Tatang Koswara datang ke sekertariat SPP Bangun Karya. Disana kedua penyidik

bertemu para petani. Dalam pertemuan itu, polisi mengaku surat panggilan kepada Maman dan petani lainnya keliru alias salah sasaran. Lebih jauh lagi pihak kepolisian meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji akan memberikan permintaan maaf secara tertulis yang akan disampaikan melalui pihak desa selambat-lambatnya tanggal 16 Januari. Ditunggu-tunggu surat permintaan maaf tak kunjung tiba. Sehari setelah batas penyerahan surat, yaitu tanggal 17 Januari sekitar pukul 2 dini hari, datang aparat kepolisian menggunakan 16 sepeda motor dan 8 mobil. Mereka langsung menangkap Maman dan Rosidin. Kedua petani ini ditangkap dengan tuduhan tindak pidana perambahan hutan. Namun ada yang janggal dalam proses penangkapannya. Menurut pengakuan warga yang ditegaskan dalam siaran pers SPP, rombongan penyergap bukan hanya polisi tetapi hadir juga kelompok preman. Penangkapannya pun penuh intimidasi, mereka mengepung rumah Maman di Dusun Segong dan rumah Rosidin di Dusun Wangkalronyok sebelum fajar tiba. Baru pada pukul 4 dini hari, kedua petani dibawa ke Polres Ciamis dengan status tahanan titipan Polsek. Karena prosesnya yang tiba-tiba dan datang dengan rombongan besar, warga masyarakat menjadi resah. Mereka mengira Maman dan Rosidi diculik, bukan ditangkap pihak kepolisian. Atas bantuan beberapa aktivis mahasiswa Farmaci dan LBH-SPP masyarakat bisa mengkonfirmasikan keadaan Maman dan Rosidin. Sehari setelah peristiwa itu, sekitar 25 petani anggota organisasi tani Bangun Karya mendatangi Polres Ciamis untuk besuk. Selain itu warga dan beberapa aktivis terus mengonfirmasikan perihal penangkapan yang menurut mereka tidak jelas alasannya kepada pihak kepolisian. Dari keterangan polisi, mereka mengetahui bahwa Maman melanggar pasal 56 KUHP mengenai membiarkan terjadinya tindak pidana. Dilihat dari proses penangkapannya, ada beberapa

keanehan. Sejak surat pemanggilan sampai penangkapan, pasal yang dituduhkan kepada para petani terus berganti-ganti. Para aktivis menganggap penangkapan tersebut berlatar konflik agraria antara warga dengan pihak Perum Perhutani. Dan, penangkapan itu merupakan bagian dari konflik tersebut. Memang sudah sejak lama para petani bersengketa lahan dengan Perum Perhutani. Perum mengklaim lahan yang kini digarap petani masuk wilayahnya. Hal ini bertentangan dengan petani. Sengketa berkepanjangan itu tak pernah terselesaikan secara tuntas. Bahkan efeknya melebar kemana-mana. Para penggarap di sekitar hutan seringkali berbenturan dengan pihak Perum. Biasanya posisi petani sangat lemah. Seringkali mereka dijadikan bulan-bulanan dengan berbagai tuduhan kriminal. Meskipun begitu, para petani anggota organisasi tani Bangun Karya tidak pernah surut langkah. Seperti dalam kasus penangkapan Maman dan Rosidin. Berkat advokasi yang gigih dari para petani, aktivis mahasiswa dan LBH-SPP, akhirnya Maman dibebaskan kembali pada tanggal 28 Januari lalu. Sengketa agraria yang berbuntut mengkriminalisasikan petani kerap kali terjadi di desa-desa yang berbatasan dengan lahan perkebunan atau HTI. Modus operandinya sama. Banyak perusahaan yang mengklaim lahan yang sedang digarap petani masuk wilayah mereka. Tapi para petani tak pernah menerimanya.

Alasannya, mereka merasa sudah turun temurun mendiami dan menggarap lahan pertaniannya. Centang perenang masalah agraria ini tak kunjung terselesaikan. Agaknya pemerintah enggan menyentuh persoalan itu. Padahal masalah tanah menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagi sebagian rakyat di pedesaan, tanah dan pertanian bukan sekedar sumber ekonomi semata tetapi juga didalamnya terkandung nilai-nilai kebudayaan lainnya. Parahnya, apabila konflik agraria mengemuka antara petani dan perusahaan-perusahaan besar, penguasa cenderung berada di pihak perusahaan. Persis seperti yang terjadi pada Maman dan Rosidin. Hal tersebut sudah lama menjadi pengamatan Achmad Ya'kub, Deputi Kajian Kebijakan Federasi Serikat Petani Indonesia. Pertanian sudah menjadi way of life (jalan hidup) bagi kebanyakan masyarakat pedesaan, ujarnya. Yang terpenting menurutnya pemerintah harus lebih proaktif menyelesaikan konflik agraria. Salah satunya dengan melakukan pembaruan agraria dan menegakkan Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dalam menyelesaikan sengketa tanah. Sehingga petani merasa terlindungi hak-haknya terutama bila berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar. Tidak seperti sekarang, rakyat selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Rakyat selalu menjadi tertuduh dan terusterusan ditangkapi. tandasnya.

Pembaruan Tani - Maret 2006

NASIONAL

Ribuan Buruh Demonstrasi Menolak UU 13/2005 dan Revisinya


Cecep Risnandar/PEMBARUAN TANI

Sekitar 5000 buruh berdemonstrasi di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan penolakannya terhadap UU No.13 tahun 2003 dan revisinya yang saat ini sedang dipersiapkan pemerintah. Selasa (4/4) Ribuan buruh yang terdiri dari berbagai serikat buruh di Jakarta dan sekitarnya, berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, Selasa (4/4). Mereka menolak UU 13/2005 tentang ketenagakerjaan dan revisinya yang sedang disiapkan pemerintah. Menurut para buruh, peraturan tersebut sangat menindas karena banyak klausul yang merugikan kaum buruh. Serikat buruh mensinyalir adanya kepentingan global yang ikut berperan dalam merancang undang-undang yang merugikan kaum buruh itu. Pemerintah Indonesia selama ini lebih berpihak

kepada pengusaha dan pemodal besar. Sedangkan kaum buruh yang menjadi tulang punggung industri diabaikan kepentingannya. Dalam usulan revisi UU 13/2005 semakin menonjol kepentingan modal. Diantaranya kewajiban perusahaan menyediakan perlindungan, pasal 33 ayat 3, akan dihapus. Semua jenis pekerjaan bisa dikontrakkan (pasal 59) dan seluruh jenis pekerjaan bisa di outsorcing (pasal 64, 65, 66). Selain itu revisi UU berencana menghapus cuti panjang atau istirahat. Dan banyak lagi hal merugikan lainnya. Dalam aksi itu, para buruh meminta bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun pihak kepresidenan tidak merespon permintaan mereka. Mereka yang melakukan demo antara lain, SBJ, GSPERMINDO, GSBI, GSBM, GSPMII, FSBSI, FSBI, FSPMI, FPBI, FNPBI, SPMI, SPOI, SPN, SBTPI, KASBI, dan banyak lagi. Cecep Risnandar

SENGKETA AGRARIA

Media Masa Kurang Memberi Ruang


Tita Riana Zen
Kegelisahan terhadap situasi politik di Indonesia yang tidak menentu terutama konflik-konflik disektor agraria menimbulkan rangkaian kekerasan terhadap petani dan masyarakat adat dengan melibatkan aparat negara. Investasi besar di bidang agraria disertai dengan berbagai kebijakan yang melindungingnya, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, mengakibatkan adanya Judicial Violence yang melegalkan konflik tersebut. Ketika konflik semakin meluas, media massa sepertinya kurang memberikan ruang yang cukup untuk penyelesaian satu kasus agraria dan kurang membangun opini terhadap kasus-kasus konflik agraria tersebut. Hal tersebut muncul dalam diskusi FSPI, PBHI dan FPPI dengan Harian Kompas di Kantor Redaksi Harian Kompas, Selasa (7/03/06). Dalam kunjungan tersebut rombongan diterima Budiman, desk politik harian Kompas dan Widoro, Wartawan Kompas. Ada beberapa hal yang harus diketahui oleh publik, bahwa prinsip-prinsip agraria telah disamarkan menjadi Sumber Daya Alam, sehingga muncul berbagai UU yang sifatnya sektoral dan mengakibatkan UUPA tidak bisa berjalan Demikian disampaikan Deputi Kebijakan dan Pengkajian FSPI, Achmad Yakub. Menurut Yakub, pemisahan oleh pemerintah terhadap makna agraria terbukti dengan dikeluarkannya berbagi UU Sektoral, padahal pengertian agrarian menurut UUPA adalah segala kekayaan di tanah, air, dan udara. Lebih jauh, Yakub mengatakan pemerintah sibuk mempersiapkan perangkat legal terhadap kekerasan. Misalnya dalam UU perkebunan, perkebunan dilegalkan untuk memiliki aparat keamanan sendiri dan mengakibatklan tindakan yang sangat refresif ketika terjadi konflik dengan petani, seperti yang terjadi di Asahan dan Lombok. Muhammad Reza dari FPPI menambahkan, sistem pengelolaan distribusi sumber daya alam yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab konflik yang terjadi dimasyarakat. Pembangunan yang mengandalkan bantuan asing dan mengamankan investasi dengan menekan rakyat, menjadikan konflik yang berkepanjangan di negeri ini, ujarnya. Menurut Gunawan dari PBHI, ketika terjadi konflik agraria yang muncul di media adalah konflik kekerasan, sedangkan substansi dari konflik agraria nya tidak pernah muncul. Menanggapi hal tersebut, Budiman menjelaskan bahwa Kompas adalah koran harian yang memiliki siklus berita lebih cepat jika dibandingkan tabloid mingguan atau majalah yang lebih memungkinkan mengulas berita secara mendalam. Isu di media harian sangat banyak, sehingga untuk menjadi isu utama tidak mudah karena harus bersaing dengan isu yang lain. Disinilah dibutuhkan keahlian membungkus isu agar menarik media sehingga berpengaruh kepada khalayak luas, lanjut Budiman. Kompas juga memberikan beberapa kritikan terhadap gerakan yang dilakukan LSM dan Ormas di Indonesia. LSM dan Ormas tidak konsisten dalam menangani sebuah isu, selalu berubah-ubah sehingga tidak pernah selesai pada satu tujuan tertentu, tegasnya. Kunjungan Ke Koran Tempo FSPI dan PBHI juga melakukan kunjungan singkat ke kantor redaksi Koran Tempo di Kebayoran Baru Jakarta Selatan, kamis (23/03/06). Dalam kunjungan rombongan diterima redaktur Koran Tempo. Dalam diskusi tersebut, FSPI memaparkan tentang rangkaian konflik-konflik agraria yang melibatkan aparat Negara. Konflik agraria yang terjadi telah mengakibatkan korban di pihak petani seperti yang terjadi di Asahan dan Lombok. Dengan kunjungan ini diharapkan FSPI dapat membangun kampanye dengan melibatkan media massa agar terbangun opini publik untuk mendorong partisipasi massa yang lebih luas

KABAR TANI
Cecep Risnandar/PEMBARUAN TANI

Pembaruan Tani - Maret 2006

Gus Dur: Belum Perlu Bandara Internasional


pemerintah dinilai warga tidak adil. Pasalnya, pembebasan tanah yang dimulai pada masa orde baru tahun 1995 penuh intimidasi. Masyarakat Tanak Awu mengaku melepaskan tanah mereka dengan terpaksa. Sejak reformasi bergulir, warga kembali berani mempertanyakan hak-hak mereka terhadap tanahnya. Namun aspirasi warga tidak ditanggapi pemerintah. Protesprotes petani mengenai tanahnya kerap kali dijawab dengan tindakan kekerasan. Bahkan, para petani sering kali harus berhadapan dengan kekuatan sipil pro-bandara yang terorganisasi yang sengaja dibentuk untuk melawan kelompok petani yang mempertahankan hak atas tanahnya. Petani Tanak Awu korban penggusuran rencana pembangunan bandara di Sebelumnya, pada tanggal 18 Lombok Tengah, bertemu Gus Dur di kantor PBNU. Mereka meminta dukungan September 2005,para petani yang Gus Dur dalam memperjuangkan hak-haknya. Selasa (28/2). tengah mengadakan rapat umum Abdurrahman Wahid menganggap korban kekerasan dan represivitas dibubarkan secara paksa oleh polisi. pembangunan bandara bertaraf aparat di kantor PB NU, Jakarta, Akibatnya, 27 petani terkena tembak dan lainnya luka-luka. internasional di Lombok belum Selasa (28/2). Kemudian pada tanggal 25 Januari perlu. "Belum saatnya Lombok Para petani itu datang p u n y a b a n d a r a ( b e r t a r a f mengadukan penggusuran lahan 2 0 0 6 , p a r a p e t a n i k e m b a l i internasional, red)," ungkapnya. p e r t a n i a n n y a p e m b a n g u n a n melakukan aksi di depan kantor Pernyataan itu dilontarkan Gus Dur bandara bertaraf internasional, di DPRD Lombok Tengah. Aksi yang ketika bertemu dengan petani Lombok Tengah, NTB. Selama ini dilakukan secara damai berakhir Tanak Awu, Nusa Tenggara Barat, pembebasan tanah yang dilakukan rusuh. Para petani tiba-tiba diserang sekelompok orang yang membawa senjata tajam. Berberapa petani terluka, sebagian dilarikan ke rumah sakit. Petani Tanak Awu tidak hanya menerima bentuk-bentuk kekerasan saja. Akhir-akhir ini, TNI akan menggelar "kegiatan sosial" di Desa Tanak Awu. Namun petani merasa ketentramannya terganggu, karena TNI melakukan kegiatan di desa mereka dengan membawa senjata lengkap. Masyarakat menganggap kegiatan itu sebagai teror. "Masyarakat ketakutan dengan dengan kehadiran aparat," ujar Haji Hanan, salah seorang petani Tanak Awu yang menemui Gus Dur. Menanggapi hal itu, Gus Dur mengatakan akan membicarakan kesulitan petani kepada tokoh NU yang ada di NTB. Gus Dur berjanji akan berbicara kepada Tuan Guru Turmudzi, ulama kharismatik di NTB. Gus Dur juga meminta agar masyarakat tetap bertahan dan tidak menghabiskan energi yang tidak perlu. Masyarakat Tanak Awu diminta untuk tidak takut dengan teror-teror dari pihak manapun. "Masyarakat tidak perlu takut," kata Gus Dur. Cecep Risnandar

Petani Pasir Mandoge Mengadu Ke DPR


Tiga orang petani pasir mandoge, Sumatera Utara, bertandang ke DPR RI, Rabu (1/3). Ketiga petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) tersebut diterima anggota DPR RI Nursyahbani Katjasungkana. Mereka datang mewakili masyarakat desa Pasir Mandoge yang saat ini tanahnya digusur untuk kepentingan perusahaan perkebunan milik grup Bakrie. Menurut pengakuan para petani, perusahaan perkebunan berusaha mengambil alih lahan masyarakat secara paksa. Perusahaan tersebut berdalih telah mempunyai HGU tanah yang menjadi sengketa. Tapi menurut masyarakat, perusahaan tidak memilikinya.
Cecep Risnandar/PEMBARUAN TANI

Petani dari Bandar Pasir Mandoge menemui anggota DPR RI dari fraksi Kebangkitan Bangsa, Nusyahbani Katjasungkana di Gedung DPR RI, Jakarta. Rabu (1/3).

Para petani menengarai, tanah mereka telah diklaim seorang mantan pejabat yang kemudian menjualnya ke perusahaan perkebunan. Saat ini, para petani berusaha mempertahankan tanah sengketa. Dilapangan mereka seringkali diteror, baik dari pihak perusahaan maupun aparat pemerintah. Bahkan, aparat pemerintah berusaha mengkriminalisasi para petani dalam mempertahankan tanahnya. Saat ini, lima petani ditahan atas tuduhan melakukan pengrusakan diatas lahan milik perusahaan perkebunan. Para petani menilai tuduhan itu mengada-ada dan merupakan fitnah yang kejam. Karena mereka tidak pernah melakukan pengrusakan. Pada kesempatan yang sama, datang juga perwakilan petani Tanak Awu, Lombok Tengah, yang menjadi korban represivitas aparat. Mereka mengadukan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat dalam penyelesaian sengketa tanah di Tanak Awu. Cecep Risnandar

Petani Tanak Awu dan Pasir Mandoge diterima Komisi III DPR RI
Petani Tanak Awu (Nusa Tenggara Barat) dan Pasir mandoge (sumatera Utara) diterima Komisi III DPR RI, Senin (6/3). Pertemuan diadakan di ruang sidang Komisi III sekitar pukul 16.00 WIB. Para petani diterima oleh Ketua Komisi III Muzzamil (FPKS) dan Trimedya Panjaitan (FPDIP). Selain itu hadir juga Panda Nababan dan sejumlah anggota DPR RI lainnya. Kepada Komisi III petani mengadukan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di Tanak Awu dan Pasir Mandoge. Petani juga mengadukan teror dan penangkapan oleh kepolisan terhadap para petani. Pengangkapan tersebut bersumber dari konflik agraria antara para petani Tanak Awu dengan PT Angkasa Pura serta para petani Pasir Mandoge dengan PT Bakrie Sumatera Plantation. Tapi pemerintah tidak memediasi konflik tanah tersebut. Malahan pemerintah daerah dengan aparat kepolisian ikut mendukung perusahaan dan melakukan tindakan pengusiran kepada para petani. Caracara kekerasan pun kerap terjadi. Cecep Risnandar

10

Pembaruan Tani - Maret 2006

KABAR TANI
Petani Minta Mabes Polri Usut Tuntas Tindak Kekerasan yang Dilakukan Aparatnya
Petani Tanak Awu (Nusa Tenggara Barat) dan petani Pasir Mandoge (Sumatera Utara) mengadukan tindakan kekerasan aparat kepolisian ke Mabes Polri, Selasa (7/3). Rombongan petani diterima di bagian Reskrim Mabes Polri. Petani Tanak Awu mengadukan tindak kekerasan polisi saat membubarkan rapat umum petani 18 September tahun lalu. Pembubaran paksa tersebut memakan korban 27 orang luka tembak dan 6 orang luka pukul. Selain itu, aparat melakukan penangkapan dan intimidasi kepada para petani yang melakukan rapat umum. Petani Tanak Awu juga meminta Mabes Polri untuk menindak anggotanya di daerah yang melakukan tindak kekerasan. Selama ini, Polres Lombok Tengah tidak mau mendengarkan keluhan para petani. Bahkan setiap protes terhadap aksi kekerasan polisi selalu dijawab dengan penangkapan-penangkapan. Hingga saat ini tiga petani masih ditahan pihak kepolisian. Para petani itu dituduh telah melakukan penghasutan dan melakukan tindakan yang tidak menyenangkan. Petani Tanak Awu juga meminta Mabes melakukan investigasi kasus pembububaran rapat umum 18 September 2005 dan mendesak kepolisian untuk segera membebaskan temantemannya yang ditahan. Pada kesempatan yang sama, petani Pasir Mandoge mengadukan kesewenang-wenangan kepolisan dalam melakukan peggusuran di desa Pasir Mandoge. Penggusuran dilakukan karena perusahaan perkebunan milik Bakrie Grup mengklaim lahan pertanian masyarakat setempat. Padahal masyarakat sudah turun temurun mendiami tanah mereka. Masyarakat juga memiliki bukti kepemilikan atas lahan yang mereka tempati. Tetapi pihak perusahaan tak ambil pusing. Perusahaan tetap mengklaim lahan masyarakat sebagai HGU milik mereka. Anehnya, PT BSP sebagai pemegang HGU tak mau menunjukan bukti HGU yang mereka miliki. Alih-alih bisa menunjukkan bukti, perusahaan malahan mengerahkan satuan pengamanan yang dibantu oleh Brimob untuk mengusir warga dari atas tanah pertaniannya. Dalam pelaksanaan penggusuran, perusahaan yang melibatkan aparat kepolisan seringkali melakukan tindakan kekerasan dan pemaksaan terhadap warga. Selain itu para petani merasa terteror dengan tindakan aparat yang menangkapi para petani. Selain mengadukan tindakan kekerasan kepada Mabes, para petani juga menggelar demo di halaman Mabes. Demontrasi dilakukan dengan tertib dan damai. Pada kesempatan itu, petani berorasi meneriakan aspirasi mereka. Cecep Risnandar
Cecep Risnandar/PEMBARUAN TANI Cecep Risnandar/PEMBARUAN TANI

Petani Tanak Awu dan Pasir Mandoge Melabrak Kantor Komnas HAM
menindaklanjuti kasus-kasus para petani. M Bilah menjanjikan pada tanggal 13 Maret akan datang ke Tanak Awu, Nusa Tenggara Barat untuk menyelidiki pelanggaran aparat kepolisian terhadap hak-hak politik petani. Sedangkan untuk kasus kekerasan dan ekosob, Komnas berjanji akan lebih mempercepat prosesnya. Untuk kasus kekerasan di Pasir Mandoge, Sumatera Utara, Komnas mengaku belum mendapat pelaporan/pengaduan dari petani. Namun hal itu dibantah petani. Tahun lalu anggota Komnas Hasbalah M Saad pernah melakukan penyelidikan terhadap kasus itu, ujar Achmad Yakub. Menanggapi hal tersebut, Komnas terkesan kebingungan. Para petani mengenggap prosedur kerja Komnas tidak jelas dan banyak berjanji tapi tak pernah menepatinya. Akhirnya, Komnas menghimbau kasus tersebut dilaporkan kembali. Sekaligus meminta kembali data-data dan fakta-fakta tindakan pelanggaran HAM kepada para petani. Permintah Komnas tersebut ditanggapi sinis oleh para petani. Walaupun begitu petani sepakat akan memberikan data dan fakta kasus-kasusnya. Agaknya petani harus menerima pil pahit dipermainkan birokrasi negeri ini. Cecep Risnandar

Petani Tanak Awu dan Pasir Mandoge bersama aktivis pemuda dan mahasiswa berorasi di dalam gedung Komnas HAM. Senin (6/3)

Petani Tanak Awu (Nusa Tenggara Barat) dan Pasir Mandoge (Sumatera Utara) melabrak Komnas HAM, Senin (6/3). Di dalam ruangan kantor para petani langsung menggelar spanduk dan melakukan orasi. Kedatangan petani ke kantor Komnas HAM untuk menanyakan kejelasan Komnas HAM dalam menyelidiki tindak kekerasan aparat kepolisan terhadap petani di NTB dan Sumatera Utara. Sudah berulangkali FSPI menanyakan hal ini kepada Komnas HAM, namun para petani selalu dipingpong kesana kemari tanpa ada penjelasan yang memadai. Padahal kasus kekerasan tersebut sudah dilaporkan beberapa bulan sebelumnya, bahkan untuk kasus Sumatera Utara sudah dilaporkan setahun

sebelumnya. Selama itu Komnas HAM hanya berjanji akan menyelidiki namun faktanya tak ada laporan kemajuan apapun. Rupanya kesabaran petani ada batasnya. Para petani yang berkumpul dihalaman Komnas sejak pukul 5 pagi akhirnya menerobos masuk ke dalam kantor begitu kantor dibuka pukul 9 pagi. Kedatangan mereka untuk meminta bertemu langsung dengan Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara. Para petani gagal menemui Ketua Komnas HAM karena Garuda Nusantara sedang tidak ada di tempat. Akhirnya, para petani diterima oleh Wakil Ketua Komnas HAM, Zoemrotin dan dua anggotanya, M Bilah dan Lis Sugandi. Dalam pertemuan itu Komnas berjanji akan segera

Petani Tanak Awu dan Petani Pasir Mandoge Mendatangi BPN


Kamis (9/3), petani Tanak Awu (Nusa Tenggara Barat) dan Pasir Mandoge (Sumatera Utara) berdialog dengan pejabat Badan Pertanahan Nasional Pusat Supratman di Jakarta. Dalam dialog tersebut, petani mengadukan konflik agraria yang mereka alami di desanya masing-masing. Petani Pasir Mandoge meminta BPN menunjukkan HGU milik PT Bakrie Sumatera Plantation yang menyabot lahan mereka. Selain itu, Petani juga meminta BPN pusat untuk meninjau kembali HGU PT BSP karena masyarakat merasa lahan pertanian yang mereka miliki sejak 1953 tiba-tiba menjadi wilayah HGU perusahaan tanpa alasan yang jelas. Menjawab tuntutan petani itu, pihak BPN berjanji akan menelusuri HGU PT BSP. BPN juga akan mengkaji konflik agraria di tanah para petani tersebut. Bersamaan dengan itu, Petani Tanak Awu mengadukan penggusuran lahan pertaniannya oleh PT Angkasa Pura. Proses ganti rugi lahan yang akan dijadikan bandara itu, menurut para petani banyak menyimpang. Kepada para petani BPN berjanji akan meninjau kasus Tanak Awu. Cecep Risnandar

11

SOROTAN

Pembaruan Tani - Maret 2006

Kekerasan Modal Dalam Masalah Pangan


Gunawan Masalah pangan masih merupakan masalah krusial di negeri ini. Dalam carut marutnya pembangunan, ternyata masih banyak saudara kita yang hidup serba kekurangan. Bahkan sebagian diantaranya menderita gizi buruk dan busung lapar. Ditengah situasi seperti ini, justru undang-undang tentang pangan dirasakan tidak melindungi rakyat kecil. Bahkan lebih dari itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 dan berpotensi melanggar hak rakyat. Sebagian berpendapat undangundang tersebut patut diadukan ke Mahkamah Konstitusi. Undang-undang pangan tersebut menyatakan bahwa pangan sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dari klausul tersebut, jelas terlihat sangat berorientasi ke industri. Banyak hal terlupakan dalam masalah pangan seperti ketersediaan lahan pertanian, perlindungan distribusi hasil pertanian rakyat dan jaminan sosial kepada para pelakunya dalam hal ini petani. Keberpihakan undang-undang tersebut pada industri ditandai dengan lebih banyaknya bahasan mengenai rekayasa genetika, iklan dan label, perdagangan terutama soal harga, makanan instan, ketahanan pangan melalui cadangan pangan. Dalam hal ini, Amidhan, Ketua Subkomisi Hak Ekosob Komnas HAM menegaskan sejauh yang dapat dipahami hingga saat ini justeru masalah pangan menjadi salah satu sumber pelanggaran hak asasi manusia. Dalam wacana hak asasi manusia, pelanggaran di sektor ini dimasukan ke dalam kekerasan oleh modal. Hal ini terjadi, lagi-lagi oleh karena berbagai kepentingan saling bertarung. Khususnya kepentingan ekonomi baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Kini pangan diperlakukan sebagai komoditi ekonomi semata. Tampaknya logika berpikir demikian dianut undang-undang tentang pangan. Di mana undangundang tersebut lebih memberikan perlindungan kepada para pengusaha agar dapat memproduksi komoditi sesuai standar international. Di sisi lain mengorbankan perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penghormatan hak atas pangan rakyat. Perihal kekerasan oleh modal, dapat dilihat dari kasus-kasus pengaduan yang diterima Komnas HAM. Sebut saja misalnya perihal rekayasa genetik (kasus PT Sanghyang Seri, kasus Monsanto, Kapas Transgenik), kemasan (kasus halal versus tidak halal), dan kasus impor beras (kasus petani yang dirugikan akibat impor beras). Pemihakan kepada modal ini disinyalir Henry Saragih, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menyebabkan Indonesia mengalami rawan pangan. Kebijakan pangan dan pertanian yang bersifat monokultur, artinya terjadi penyeragaman kebudayaan dan strategi pembangunan pertanian yang padat modal. dalam pandangannya kebijakan i n i m e n g a r a h p a d a ketergantungan pada satu jenis tanaman, yakni tanaman padi untuk menghasilkan beras sebagai bahan makanan pokok. Hal ini bisa menjebak dalam kebijakan harga pangan yang murah untuk menopang pengembangan industri dan pengembangan sektor lainnya. Kebijakan pangan murah terlihat jelas dalam masalah perberasan, dimana beras impor lebih murah daripada beras lokal. Sehingga pemerintah lebih memilih beras impor dibanding beras buatan petaninya sendiri. Pemerintah membuat pajak impor pangan sangat rendah, bahkan untuk beras dan jagung sempat menyentuh angka nol persen di tahun 1998. Akibat orientasi kebijakan pertanian yang terlalu pro pada agribisnis/indutri, perdagangan benih dan teknologi pertanian hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan internasional.
Tita Zen/PEMBARUAN TANI

Petani anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) asal Batang, Jawa Tengah, memprotes kebijakan pemerintah mengimpor beras dari Vietnam. Monopoli ini mengakibatkan semakin leluasanya korporasi internasional menentukan harga seenaknya. Hal ini diperparah dengan dipaksakannya liberalisasi pasar pertanian. Pasar bebas dunia telah mengakibatkan terjadinya monopoli perdagangan di mana negara industri maju mampu meningkatkan ekspor pertaniannya menjadi lebih kuat akibat masih diterapkannya praktek-praktek dumping secara terselubung, tambah Henry. Carut marutnya kebijakan pangan nasional dilontarkan juga oleh Johnson Panjaitan, Ketua Badan Pengurus PBHI. "Ada konspirasi internasional dalam kasus impor beras ini, selain Vietnam dan Thailand ada mafia nasional dan internasional yang diuntungkan," ungkapnya. Menurut Johnson, Indonesia merupakan wilayah agraria yang strategis di kawasan Asia Pasifik sehingga tidak tertutup kemungkinan pihak asing, terutama negara produsen beras di Asia seperti Vietnam dan Thailand mengacaukan sistem pangan nasional. Lebih jauh lagi, Johnson berpendapat alasan pemerintah mengimpor beras karena keterbatasan persediaan petani sangat tidak masuk akal. "Petani kita ini sebenarnya survive, t e r m a s u k d a l a m memperhitungkan persediaan beras sejak masa tanam hingga musim panen, sehingga tidak mendasar jika pemerintah mengimpor beras dengan alasan terbatasnya persediaan," ujarnya.
Penulis adalah staf Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)

12

Pembaruan Tani - Maret 2006

PETANI PEREMPUAN

Dari Konferensi Ke-17 Asosiasi Petani Perempuan Nouminren


Wilda Tarigan Petani perempuan yang tergabung dalam organisasi petani Nouminren di Jepang, pada tanggal 4-5 februari lalu melaksanakan Konferensi ke- 17 Asosiasi Petani Perempuan Nouminren di Tokyo, Jepang. Lebih dari 100 petani perempuan bergabung dari seluruh Jepang untuk berbagi pengalaman dan menjelaskan tujuan pergerakan mereka. Dalam konferensi ini ada dua hal yang mereka bahas bersama, pertama adalah bagaimana bertahan hidup dibawah reforma struktural pemerintah dibidang pertanian dan kedua, bagaimana berjuang melawan Neoliberalisme yang diusung organisasi perdagangan dunia (WTO). Para peserta meyakini bahwa hal terpenting dalam pergerakan mereka adalah Jangan pernah menyerah dalam memproduksi pangan. Tahun lalu, pemerintah Jepang telah mengumumkan dikeluarkannya kebijakan baru yang disebut Kebijakan Lintas Komoditi sebagai bagian dari reforma struktural pertanian. Program ini juga bertujuan untuk mengurangi jumlah keluarga petani dengan memisahkannya dari Petani bersertifikat, yaitu petani yang memiliki lahan lebih dari 4 hektar (di pulau main land) atau lebih dari 10 hektar (di pulau Hokkaido) tergantung pada besar areanya. Artinya hanya 10% dari 2.7 juta petani dapat bersertifikat dan dapat memperoleh dana subsidi langsung dari pemerintah. Sisanya terpaksa harus memutuskan apakah mereka terus bertani atau tidak tanpa memiliki pendapatan yang stabil. Jepang adalah negara pengimpor pangan. Di negara ini, subsidi dalam negeri untuk bidang pertanian belum digunakan untuk dumping produk pertanian yang surplus ke negara lain. Subsidi tersebut bermanfaat untuk menjaga kehidupan keluarga petani. Tetapi, pemerintah telah memutuskan untuk memotong subsidi tersebut dengan mengikuti keinginan perusahaan transnasional, agen-agen investasi, terutama Amerika Serikat, 40% adalah rasio kecukupan pangan saat ini (berdasarkan kalori) di Jepang. Persentasenya sangat rendah di dunia dan masih dibawah standar. Saat ini tidak hanya pertanian bangsa Jepang yang mengalami krisis hebat tetapi juga kedaulatan pangan Jepang. Dalam presentasinya Yos Hitaka Mashima, wakil ketua Nouminren, mengungkapkan fakta bagaimana perusahaan transnasional Jepang bertujuan mencari keuntungan dari pertanian, bagaimana seriusnya krisis yang pernah dialami petani Jepang, dan atau acara tertentu dengan jaringan penjualan Nouminren yang luas, yaitu melalui jaringan My Home Country Network. Gerakan mereka dengan pemasaran langsung sangat efektif untuk menghubungkan konsumen dan produsen dan mendukung mereka untuk tetap berproduksi. Seorang perempuan yang tinggal dekat Tokyo menceritakan bahwa ia membawa beberapa paket Miso, sejenis pasta terbuat dari kedelai dan sering dipakai untuk sup Miso laku terjual di konferensi petani perempuan Jepang tahun bahwa sangat tergerak dan terkesan dengan saling berbagi pengalaman dan pemahaman dengan perempuan lain dari negara-negara Asia dan belahan dunia lainnya. Satu hal yang dikutip Masuko Takahashi, ketua Asosiasi Perempuan, saat membacakan laporan aksi WTO di Hong Kong Desember silam, tentang pesan dari Yoon pada program pelatihan petani perempuan di Seoul, Korea Selatan bulan Agustus tahun lalu. Kami saling berbagi pengalaman dan menjadi tahu penderitaan dan kesulitan yang dialami perempuan Asia. Jadi, Katakan Tidak! pada neoliberalisme, dan penting untuk memperkuat solidaritas internasional, ujarnya. Di malam pertama konferensi, pesta diadakan. 100 hidangan yang ada dipesta dibawa oleh para peserta. Makanan tersebut merupakan hasil panen dari sayurmayur dan buah-buahan yang ditanam sendiri. Sebagian diolah secara tradisional, sebagian di dapat dari lokal, dan sebagian merupakan tanaman asli Jepang. Para peserta yakin bahwa ada banyak jenis pangan di negara ini dan produk pertanian lokal yang sangat enak dan aman dikonsumsi. Para petani perempuan yang berpartisipasi dalam konferensi ini berkomitmen untuk tetap bertani. Takahashi menekankan, kita harus meningkatkan semangat kita. Para perempuan sebaiknya turut serta dalam setiap diskusi untuk melindungi pertanian kita baik secara lokal maupun internasional. Mari kita dukung dan semangati teman-teman yang menderita dan hampir menyerah dalam bertani. Harga pasar dari produk-produk pertanian sebenarnya diatur oleh perusahaan-perusahaan dan semakin menurun. Tetapi para petani perempuan terus aktif dan bekerja keras dalam memproduksi pangan. Dengan saling berbagi pengalaman, mereka telah saling mendukung satu sama lain. Slogan Down, Down, WTO! terus diteriakkan dalam Konferensi petani perempuan Nouminren ke17 ini.

bagaimana kedaulatan pangan digunakan sebagai gerakan melawan neoliberalisme. Nakako Nakajima, wakil ketua asosiasi petani perempuan dan juga seorang petani beras dan gandum, juga mengatakan, Harga gandum akan naik % dari harga awal dibawah kebijakan baru. Para petani tidak mampu membayar ongkos produksi, dan untuk membeli pupuk. Pemerintah seharusnya mengijinkan para petani yang mencoba untuk terus bertani dan melindungi produksi pangan dalam negeri. Peserta yang hadir juga menekankan pentingnya meningkatkan kesempatan bagi petani untuk melindungi produksi dalam negeri, dan penting untuk terus membangun diskusi dan pertemuan lain di setiap komunitas petani. Banyak petani perempuan yang melaporkan bahwa mereka telah mencoba menjual produk-produk mereka ke pasar pagi lokal, forum,

lalu. Ia mengakui bahwa kini ia menjadi senang menjual makanan buatannya sendiri. Seorang petani organik yang telah bertani selama 18 tahun dan memiliki 4 hektar lahan pertanian, Yoshino Katori mengatakan, Perempuan senang berproduksi. Jika kita dapat menjual produk dan mengatur kehidupan kita, kita dapat menentang kebijakan pemerintah. Membangun solidaritas internasional juga menjadi Kunci utama dari gerakan petani, seperti solidaritas internasional melalui La Via Campesina. Dalam aksi menetang pertemuan tingkat menteri WTO di Hongkong pada bulan Desember tahun lalu, Lebih dari 20 petani perempuan Nouminren berangkat ke Hong Kong dan bergabung dalam Aksi Petani Perempuan La Via Campesina menentang pertemuan WTO tersebut. Beberapa orasi para perempuan yang bergabung di aksi Hong Kong mengungkapkan

13

INFO PRAKTIS

Pembaruan Tani - Maret 2006

Obat Tradisional Naik Pangkat


www.prn2.usm.my www.tabloidnova.com

Tanaman Meniran, di tanah terbuka dan didalam pot

Di Ternate namanya gosau ma dungi. Di Malaka panggilannya dukung anak-anak dan turi hutan. Di India, kilanelli; Cina, zhen chu cao atau ye xia zhu. Di Jawa disebut memeniran atau meniran. Namanya memang beragam, tapi di semua tempat itu ia akrab dikenal sebagai salah satu bahan baku obat-obatan tradisional. Itu karena tradisi lokal pada masa lampau meyakini meniran bermanfaat bagi kesehatan.
Destika Cahyana & Achmad Yakub Riset abad 21 membuktikan, ekstrak Phyllanthus niruri b e r k h a s i a t s e b a g a i immunomodulator alias pengatur sistem imun tubuh. Ia pun dinobatkan sebagai fitofarmaka, obat herbal yang telah melalui uji klinis. Nenek moyang kita sejak dulu kala memang menggunakan meniran sebagai obat-obatan tradisional. Ia dipakai secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk ramuan. K Heyne, penulis buku Tumbuhan Berguna Indonesia, mencatat, publikasi meniran sebagai obat rakyat telah mulai dilakukan pada rentang waktu yang panjang oleh Georgius Everhardus Rumphius. Di bukunya yang berjudul Het Amboinsch Kruidboekterbit pada 1741-1755 Rhumpius menulis, meniran digunakan sebagai campuran obat minum bagi anakanak yang terkena ayan dan kejang. Ia juga mengatakan, masyarakat Jawa menggunakan meniran sebagai campuran obat sakit perut mulas dan kencing batu. Karena itulah meniran dikenal sebagai bahan baku pengobatan rakyat yang penting. Tanaman istimewa itu disebut meniran karena di bawah pelepah daun terdapat bulatan kecil berwarna putih atau kuning. Bentuk itu mirip pecahan beras yang dalam bahasa jawa disebut menir. Terbukti Tiga ratus tahun kemudian, catatan Rhumpius mengenai meniran yang berkhasiat obat terbukti. Tiga penelitian yang dilakukan hampir berbarengan pada awal 2000-an menyimpulkan hasil yang hampir serupa. Di tiga rumah sakit terkenal seperti, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta; RS dr Soetomo, Surabaya; dan RS dr M Hoesin, Palembang, meniran diuji klinis sebagai antituberkolosis. Hasilnya, pasien yang diberi obat anti TBC plus meniran sembuh lebih cepat ketimbang tanpa meniran. Ia juga diujikan pada penderita asma, hepatitis, herpes, infeksi saluran pernapasan akut, dan keputihan. Semua itu

merupakan penyakit yang diawali oleh sistem kekebalan tubuh yang lemah. Hasilnya pun menggembirakan, meniran ampuh mengatasinya. Di kalangan kedokteran meniran dikenal sebagai imunomodulator atau imuno stimulan. Sederhananya, disebut sebagai penguat sistem kekebalan tubuh. Menurut Dr Suprapto Ma'at Apt dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, sistem imun ialah sistem pertahanan yang menangkal bahan berbahaya agar tubuh tidak sakit. Selain itu ia juga berperan menjaga keseimbangan sel tubuh, dan membinasakan sel tubuh yang mutasi. Naik pangkat Karena telah terbukti berhasil diuji secara klinis, maka meniran naik pangkat dari obat tradisonal biasa menjadi fitofarmaka pada Maret 2005. Secara sederhana, fitofarmaka ialah obat-obatan alam yang telah melalui uji klinis sehingga terjamin khasiat dan keamanannya. Meniran yang telah lulus uji itu diproduksi oleh PT Dexa Medica yang dikenal oleh masyarakat dengan merek STIMUNO.

Sekadar catatan, walau bumi Indonesia kaya tanaman herbal, hingga saat ini produk yang telah naik kelas menjadi fitofarmaka ini baru 5 tanaman. Salah satunya adalah temulawak. Di Indonesia, sertifikat fitofarmaka dikeluarkan oleh Badan Pengawan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI). Lembaga itu menggolongkan obat tradisonal Indonesia menjadi tiga tingkat: jamu, obat herbal terstandar, dan terakhir fitofarmaka. Jamu ialah obat tradisonal asli. Sedangkan obat herbal terstandar merupakan obat-obatan alam yang telah dibuktikan keamanannya dan khasiatnya melalui uji pra klinis (diuji pada hewan, red) dan bahan bakunya telah terstandarisasi. Bila demikian, tingkatan fitofarmaka jauh lebih tinggi bukan? Maka jangan ragu konsumsi meniran yang telah terstandarisasi. Bila tak tersedia, petiklah 5 tanaman meniran segar di pekarangan, rebus dengan air sebanyak 4 gelas hingga tersisa 2 gelas. Minumlah pada pagi dan sore hari. Itu ibarat membangun benteng agar tubuh Anda tahan dari gempuran penyakit.

Tanaman meniran, nama latinnya Phyllanthus niruri, banyak terdapat disekitar kita.

14

Pembaruan Tani - Maret 2006

REFLEKSI

Pencuri ketimun
Taufik Sadewa Malam beranjak turun. Kurasakan penat di sekujur tubuhku. Tulangtulang terasa pegal akibat kerja seharian di lahan tandus yang tak juga mau tunduk. Musim tanam tiba, dan selalu hanya kepasrahan yang tertinggal. Setelah tahun demi tahun cuma menghadiahkan panen yang gagal. `"Mak, Aning nggak bisa tidur." Genduk* kecilku merapatkan diri minta perhatian. Kupeluk tubuh mungilnya. Matanya mengerjap berulang-ulang. Ingatanku melayang pada masa ketika aku seusia bocah itu. Sewaktu kecil, ibu selalu mengantar tidurku dengan dendang lembut atau dongengdongeng indah, seakan aku tak pernah mampu memasuki alam mimpi tanpa melalui cerita-cerita ibu. Dan di antara banyak cerita itu, Kancil Nyolong Timun adalah dongeng favoritku, aku selalu meminta ibu mengulangulangnya kembali. Dalam benak kecilku, hanya Pak Tani saja di dunia ini yang punya tanah dan kebun mentimun. Jika saat sarapan pagi ibu menyiapkan menu nasi goreng plus lalapan mentimun, aku selalu bertanya kepadanya, "Bu, ini timunnya pak tani yah ?" Dan ibu selalu mengiyakan. Seraya menyuapiku, biasanya ibu juga menjelaskan, bahwa bukan timun saja yang di tanam oleh pak tani, tapi juga padi, sayur-mayur bahkan teh dan kopi adalah hasil kerja keras pak tani. Kudengarkan setiap tutur ibu dengan takjub. Betapa hebat yang namanya pak tani. Mungkin ia tak jauh beda dengan Dewa-dewa agung dalam dongeng ibu yang lain. Karenanya sejak kecil, aku bercita-cita jadi petani. Cita-cita yang membuat guru-guruku di SD mengerutkan dahi. "Wie, punya cita-cita itu mbok yang tinggi. Seperti Ani itu lho, cita-citanya jadi pilot, atau Yono yang pingin jadi insinyur. Bapakmu kan Dokter, Ibumu guru, kok kamu malah pingin jadi petani. Apa nggak pingin jadi orang yang lebih hebat daripada bapak ibumu ?" Pak Ismail, guru
www.e-smartschool.com

PMP-ku bertanya heran. Namun waktu itu aku tetap saja ngotot, kalau sudah besar aku pingin jadi petani. Meski dalam kenyataan sehari-hariku di Jakarta, kehidupan petani yang sesungguhnya tak pernah kutemui. Aku tumbuh di tengahtengah manusia urban yang individual tapi mengidealkan kehidupan yang penuh kerelaan, kerja keras, damai dan berkecukupan. "Mak, Aning belum ngantuk." Suara bening genduk kecilku menyengat kesadaranku. Kuusap

Kelelahan kerja di ladang seharian membuatku hanya ingin merebahkan badan setelah malam tiba. "Emak tahu nggak, dongeng Pak Tani nyolong ti" "Hus, kok Pak Tani nyolong Timun, terbalik ning" Potongku cepat. "Enggak kok mak, kata eyang, emang pak Taninya yang nyuri timun." Aku bengong. Kuperhatikan bocah kecilku yang kehilangan rasa kantuknya. Dia Tampak semangat dengan cerita yang baru

menanam bahan makanan. Padahal bahan makanan itulah yang saat ini dibutuhkannya. Kancil kembali termenung "Cuma ada satu cara, Pak tani harus ditipu !" Putusnya cepat. Demikianlah, Kancil berupaya mengumpulkan seluruh penghuni hutan. Ia menyamar menjadi raja dan menitahkan kepada petani di seluruh negeri untuk menjual tanahnya kepada raja. Dan bagi siapa saja yang paling cepat menjual tanahnya, ia akan dianugerahi pusaka kerajaan dan gelar kebangsawanan. Akhirnya, Pak Tani dan kawankawannyapun berlomba-lomba menyerahkan sawahnya. Di antara mereka tentu sangat bangga jika bisa berjasa untuk negara, apalagi memperoleh gelar bangsawan. Lambat laun, tak ada satupun petani di negeri itu yang memiliki tanah. Kini, jika lapar menghimpit perut mereka, pak tani tak bisa seenaknya mengambil buah mentimun yang ditanamnya sendiri. Ia harus menunggu pembagian jatah dari kancil. Atau kalau tidak, ia harus mencuri Aning, genduk kecilku itu mengakhiri ceritanya sembari memainkan kancing bajuku. Ceritanya yang mengalir meski dengan suara patah-patah membuatku luruh dalam realitas hidupku sendiri. Betapa cita-cita masa kecilku untuk menjadi petani, ternyata membuahkan hidup yang tak seindah dan seheroik bayangan benak kecilku. Sementara saudara-saudaraku yang lain sukses sebagai wiraswastawan atau pekerja profesional, aku justru terpuruk di desa tandus yang tak begitu menghasilkan. " Mak, enak ya jadi kancil itu. Pinter, kaya.." setengah terjaga genduk kecilku berkata. " Mak, aku pingin jadi kancil saja lah. Huaahhh, emm." Ia menguap. Kupandangi matanya yang mulai terpejam. Kubiarkan perempuan kecil itu bermimpi menjadi kancil.

rambutnya pelahan. Kucoba menyanyikan sebuah tembang jawa meski dengan suara kering. "Mak..," Kuhentikan tarikan suaraku. Bocah kecilku menggeliat dalam dekapan. "Mak, kancil itu kayak apa tho ?" Tanyanya polos. "Sepulang nganter kiriman buat emak siang tadi, Aning ketemu Eyang Landung. Beliau lagi mancing mak. Eayang itu pintar cerita ya." Aku tak menyahut. Kekaguman genduk kecilku pada Eyang Landung mengingatkanku akan ketakjubanku pada Ibu dan ceritanya yang tak pernah habis. Tidak seperti ibu, aku tak pernah gemar mendongeng untuk Aning,

didapatnya. Syahdan, di suatu negeri, hiduplah seekor kancil yang cerdik. Binatang mungil itu tampak termenung sendirian di bawah pohon rindang. Baru kemarin ia lepas dari ancaman pak Tani. Itu terjadi sewaktu ia tertangkap basah menyatroni kebun mentimun pak tani. Untung, ketika ia sudah hampir disembelih untuk dijadikan hidangan pesta perkawinan anak pak tani itu, ia berhasil melarikan diri dengan selamat "Ugh." Kancil menggeliat. Siang yang begitu terik. Perutnya belum lagi terisi sejak pagi. Agar tetap bisa bertahan hidup, agaknya ia harus mencari akal. Sampai saat ini, hanya pak tani yang memiliki tanah dan rajin

15

SERIKAT TANI
Syahroni/PEMBARUAN TANI

Pembaruan Tani - Maret 2006

Petani Tanak Awu Protes Ke Dephub


Petani Tanak Awu, Nusa Tenggara Barat, protes penggusuran ke Departemen Perhubungan, Rabu (8/3). Mereka memprotes kebijakan pemerintah untuk mendirikan bandara internasional di atas lahan pertanian subur milik masyarakat Desa Tanak Awu. Padahal, pembebasan lahan bandara oleh PT Angkasa Pura itu masih menyimpan segudang masalah sehingga menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan. Akibat konflik tersebut lagi-lagi petani yang menjadi korban. Dalam beberapa kesempatan, para petani mangalami tindak kekerasan seperti penembakan, pemukulan dan penangkapan oleh aparat kepolisian. Para petani menuntut agar Departemen Perhubungan meninjau ulang pendirian bandara di areal konflik tersebut, karena akibatnya sangat merugikan warga setempat. Selama ini, pemerintah daerah dan PT Angkasa Pura secara sepihak memaksakan untuk menggusur para petani Tanak Awu dari lahan pertaniannya. Di Departemen Perhubungan, para petani diterima oleh bagian Humas. Petugas Dephub berjanji akan menyampaikan tuntutan petani kepada Menteri Perhubungan, Hatta Rajasa.

Kabupaten Ogan Komeri Ilir (OKI), Sumatera Selatan, merupakan wilayah potensial untuk daerah pertanian dan perikanan. Lahannya yang terdiri dari rawa-rawa, terkenal dengan sebutan lebak lebung, sudah sejak dulu dimanfaatkan petani sekitar. Untuk bercocok tanam para petani menerapkan teknik menanam padi sonor (menebar benih langsung ke lahan). Teknik itu sudah ada sejak dulu dan dilakukan turun temurun.

Rencana Pembangunan Kebun Sawit Di Kab. OKI Berpotensi Singkirkan Petani


Muhammad Husin Petani di Kabupaten Ogan Komeri Ilir, Sumatera Selatan, ketar-ketir dengan rencana pemerintah daerah membangun usaha perkebunan sawit di wilayahnya. Pasalnya, perkebunan itu bersinggungan dengan lahan yang selama ini digarap masyarakat. Seperti sudah diketahui sebelumnya, Bupati Ogan Komeri Ilir telah memberikan konsesi tanah seluas 45 ribu hektar kepada PT Persada Sawit Mas (PSM). Lahan itu meliputi tiga kecamatan dan 28 desa, diantaranya 18 desa di kecamatan Pampangan, 9 desa di Kecamatan Tulung Selapan dan satu desa di Kecamatan Air Sugihan. Pemerintah daerah bersama PT PSM akan mengadopsi pola inti-plasma dalam sistem operasinya. Dari 18 desa yang direncanakan di kecamatan Pampangan, delapan diantaranya sudah mulai dikembangkan dengan luasan lahan 3.600 hektar yang meliputi Desa Deling, Pangkalan Lampan, Lirik, Menggeris, Secondong, Talang daya, Rambay dan Jermun. Meskipun begitu, para petani tetap merasa was-was lahan yang kini sedang digarapnya akan diklaim pihak perkebunan. Kepada tim investigasi dari Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS), mereka mengaku khawatir karena lahan garapannya masuk dalam wilayah pemberian konsesi kepada pihak perkebunan. Padahal para petani sebelumnya sudah menempati lahan tersebut secara turun temurun. Kebanyakan dari mereka menanaminya dengan tanaman pangan seperti padi. Sebagian lagi ditanami komoditi perkebunan rakyat seperti tanaman karet. Warga juga memanfaatkan lahan untuk mencari kayu bakar rumah tangga. Kekhawatiran para petani bukannya tanpa alasan, karena pemerintah daerah belum-belum sudah menyatakan tidak mengakui hak-hak tanah para petani yang bersinggungan dengan rencana pembangunan perkebunan itu. Kini, pihak PT PSM merangkul pemerintah kecamatan dan desa untuk mewujudkan ambisinya. Mereka membentuk koperasi unit desa sebagai alat kemitraan antara petani dengan perusahaan memakai pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Namun sayangya rencana tersebut dinilai para petani tidak melibatkan rakyat secara luas. Bahkan menurut penuturan warga kepengurusan KKPA terdiri dari para pejabat desa. Muhamad Hasan, salah satu anggota Majelis Pimpinan Petani SPSS, menyesalkan rencana pembangunan perkebunan sawit. Menurutnya rencana pembangunan perkebunan sawit itu cenderung meminggirkan petani kecil, padahal tujuan pembangunan seharusnya untuk mensejahterakan rakyat. Di satu sisi dipandang akan mengangkat ekonomi petani, di sisi lain perusahaan sangat agresif untuk mendapat keuntungan bisnis. Dari kedua pihak yang berbenturan kepentingannya itu yang dirugikan adalah kaum tani, ujarnya.

STN Gelar Kongres


Serikat Tani Nasional (STN) akan menggelar kongresnya yang ke-4 pada tanggal 30 Maret sampai dengan 2 April 2006. Kongres tersebut diadakan di Kampung Tapos Desa Sukaharja Kec. Cijeruk, Kab. Bogor. Panitia kongres mengundang berbagai organisasi tani dan LSM pendukung gerakan tani. Berbagai organisasi yang diundang sebagai peninjuai diantaranya Federasi Serikat Petani Indonesia, Aliansi Petani Indonesia, Aliansi Gerakan Reforma agraria, Pergerakan Tani Nelayan Indonesia Mandiri dan Dewan Tani Indonesia.

FSPI Gelar Pelatihan Dasar Jurnalistik


Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) mengadakan pelatihan jurnalistik bagi anggotanya yang berlangsung dari tanggal 20 sampai 23 Maret. Pelatihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan jurnalistik anggotanya dan mengaktifkan sistem korespondensi untuk tabloid Pembaruan Tani dan website FSPI. Pelatihan ini rencananya akan dihadiri oleh beberapa pemateri antara lain, Abdul Manan jurnalis majalah Tempo dan juga sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Khudori jurnalis Metro TV online dan Hatim Ilwan jurnalis majalah Gatra. Pelatihan diikuti 14 peserta yang datang dari 10 serikat tani anggota FSPI.

816 10 10

Anda mungkin juga menyukai