Anda di halaman 1dari 3

Prilaku Sadar lingkungan Oleh : Abdul Fatah1 Masalah banjir yang baru-baru ini melanda kawasan dieng di Desa

Tieng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, adalah salah satu bentuk murka dari alam karena prilaku manusia yang kurang peka terhadap lingkungan. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Bupati Wonosobo A Kholiq Arif menyebutkan bahwa terdapat 3.785 hektar lahan yang sangat kritis kondisi tanahnya. Serta terdapat 14 desa di kecamatan Kejajar yang berpotensi bencana. Dan permasalahannya adalah masyarakat sekitar mengunduli bukit di daerah tersebut dan dijadikan sebagai tempat untuk bercocok tanam sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya sehari-hari. Karena tak adalagi pohon yang bisa menampung air akibat penggundulan maka datanglah Banjir (Wawasan, 20/12/12) Belajar dari apa yang telah terjadi di wonosobo menunjukan, bahwa banyak dari kita yang masih belum peka serta peduli dengan kondisi lingkungan. Banjir bagi penulis adalah bentuk amarah dari alam yang keseimbangannya kurang dijaga dengan baik oleh manusia. Peristiwa alam yang merusak sudah berulang kali kita alami termasuk yang terjadi di Sukolilo Pati. Namun keinginan untuk berteman dengan alam dan belajar untuk tidak berprilaku distruktif kepada alam ternyata belum muncul di dalam sanubari kita. Oleh karena itu, sikap prilaku yang toleran dan ramah pada lingkungan seyogyanya bisa menjadi tumpuan kita semua. Paling tidak dengan prilaku yang ramah lingkungan bisa menimalisir murka alam. Etika Lingkungan Masalah lingkungan adalah masalah moral dan prilaku manusia demikian tesis yang sering diungkapkan oleh Sonny Keraf. Menurutnya lingkungan hidup semata-mata bukan masalah tekhnis, demikian pula krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. (A. Sonny Keraf, 2010) Frans Magnis Suseno juga menambahkan bahwa Perlunya untu dikembangkan suatu sikap dan kesadaran baru manusia tentang alam sebagai lingkungan hidupnya, tentang hubungannya dengan lingkungan hidup, serta tanggung jawabnya terhadap kelestarian lingkungan hidup tersebut. (Franz Magnis Suseno, 1993) Etika lingkungan adalah etika yang dikembangkan oleh Sony Keraf agar manusia bisa sadar bahwa lingkungan itu bagian integral dari manusia itu sendiri sehingga manusia bisa berprilaku yang ramah kepada lingkungan. Secara teoritis etika mempunyai pengertian sebagaia berikut, secara etimologis etika berasal dari kata yunani ethos (jamaknya (ta etcha) yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam arti ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dilakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang disebar luaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Singkatnya kiadah ini menentukan apa yang baik harus dilakukan dan apa
1

Abdul Fatah adalah Mahasiswa BU Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Undip Semarang

yang buruk harus dihindari. Oleh karena itu etika sering dipahami sebagai ajaran yang berisikan tentang aturan hidup bagi manusia. Pengertian etika yang diuatarakn Sony Keraf diatas justru sama dengan pengertian moralitas. Secara etimologis, moral berasal dari kata latin mos (jamaknya : Mores) yang juga berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi secara harafiah, etika dan moralitas samasama berarti adat kebiasaan yang dibakukan dalam bentuk aturan (baik perintah atau laranngan) (A.Sonny Keraf, 2010) Namun dalam pengertian yang yang lebih jauh etika secara substansi berbeda dengan moralitas. Etika dipahami sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi kongkrit tertentu. Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, dan tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi kongkrit. Sehingga etika sebenarnya adalah sebuah refleksi kritis tentang norma dan nilai atau prinsip moral yang dikenal umum selama ini, kaitannya dengan lingkungan hidup dan refleksi kritis tentang cara pandang manusia, alam dan hubungan antara manusia dan alam serta prilaku yang bersumber dari cara pandang ini. dari refleksi kritis ini lalu disodorkan cara pandang dan prilaku yang dianggap lebih tepat terutama dalam kerangka menyelamatkan krisis lingkungan hidup Etika Ekosentrisme Teori tentang etika langkungan hidup cukup banyak varianya dinataranya adalah antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme dan lain sebagainya. Namun dalam tulisan ini penulis hanya mencoba sedikit menguraikan etika ekosentrisme yang dianggap paling proposional untuk merespon permasalahan lingkungan dewasa ini. Etika ekosentrimes merupakan aliran etika yang ideal sebagai pendekatan dalam mengatasi krisis ekologi dewasa ini. Hal ini disebabkan karena etika ekosentrisme lebih berpihak pada lingkungan secara keseluruhan, baik biotik maupun abiotik. Hal terpenting dalam pelestarian lingkungan menurut etika ekosentris adalah tetap bertahannya segala yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat. Benda-benda kosmis memiliki tanggung jawab moralnya sendiri seperti halnya manusia. Karena pandangan yang demikian maka etika ini sering kali disebut juga Deep Ecology (J. Sudriyanto, 1992). Sebagai sebuah istilah Deep Ecology dikenalkan pertama kali oleh Arne Naes seorang filosof Norwegia, tahun 1973. Naes kemudian dikenal sebagai seorang tokoh utama gerakan Deep Ecology hingga sekarang. Deep Ecology juga disebut etika bumi. Bumi dianggap memperluas ikatan-ikatan komunitas secara kolektif yang terdiri atas manusia, tanah, air, tanaman, binatang. Bumi mengubah peran homo sapiens manusia menjadi bagian susunan warga dirinya. Sifat holistik ini menjadikan adanya rasa hormat terhadap bagian yang lain. Etika ekosentris mempercayai bahwa segala sesuatu selalu dalam hubungan dengan yang lain, di samping keseluruhan bukanlah sekedar penjumlahan-penjumlahan. Jika bagian berubah, keseluruhan akan berubah pula. Tidak ada bagian dalam sesuatu ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Maka prinsip moral yang dikembangkan Deep Ecology adalah kepentingan seluruh komonitas ekologis.(A. Sonny Keraf, 2010)

Dengan adanya paradigma Deep Ecology yang sangat ramah pada lingkungan serta dengan asumsi bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, tentunya kita selaku manusia akan mempunyai norma dan nilai dalam berprilaku pada alam. Jika kita telah mempunyai pandangan bahwa manusia bagaimanapun membutuhkan alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, semestinya prilaku arif yang tercermin dalam tindakan nyata pada alam bisa kita lakukan dengan penuh keikhlasan. Nilai etis yang dilakukan untuk bersahabat dengan alam bukan karena paksaan tapi karena memang itulah yang sewajarnya dilakukan sebagai bagian komonitas dari makhluk hidup secara keseluruhan. Jika kita baik pada alam, alam pun akan baik pada kita, Wassalam.

No. HP : 085 865 414 250

Anda mungkin juga menyukai