sama.
Agama
adalah
cara
masyarakatterutama
masyarakat
primitif
Pendapat tersebut diambil dari Subjudul Kenapa Primitif? di dalam buku Teori
Sosiologi karya George Ritzer terbitan tahun 2008 hlm. 106.
3
Pengertian tersebut diambil dari Subjudul Moralitas di dalam buku Teori Sosiologi
karya George Ritzer terbitan tahun 2008 hlm. 113.
ketulusan terhadap kelompok sosial dan kerelaan pada kelompok yang bukan berdasarkan
kewajiban
eksternal.
Dua
elemen
moralitas
disipilin
dan
keterikatan
saling
menyempurnakan dan mendukung satu sama lain karena keduanya merupakan aspek
yang berbeda dalam masyarakat. Disiplin adalah masyarakat yang dilihat sebagai sesuatu
yang menuntut kita, sementara keterikatan adalah masyarakat yang dilihat sebagai bagian
dari diri kita4.
Elemen moralitas ketiga adalah otonomi. Di sini Durkheim mengikuti definisi
filsafat Kant dan melihatnya sebagai dorongan kehendak yang punya landasan rasional,
dengan corak sosiologis di mana dasar rasional itu tidak lain adalah masyarakat 5. Secara
lebih jelas, konsep ini ingin berbicara mengenai sekelompok manusia yang memiliki alat
fisik berupa ilmu pengetahuan sebagai ide yang bersifat ilmiah, sehingga dunia tidak lagi
berada di luar diri mereka dalam mempelajari hubungan manusia dengan dunianya.
Manusia hanya menyadari apa yang ada di dalam diri mereka yaitu otonomi tingkat
pertama, yaitu hukum dan segala norma yang berlaku di dalam lingkungannya. Hukum
tersebut diadaptasi dengan baik oleh sekelompok manusia, dalam hal ini masyarakat,
bukan sebagai sebuah paksaan melainkan anggapan bahwa hukum tersebut baik dan tidak
ada pilihan yang lebih baik lagi.
Ketiga unsur moralitas di atas merupakan ciri khas moralitas sekuler yang
semuanya dianggap sebagai human science yang mengarah pada sesuatu yang dapat
diverifikasi. Moralitas dianggap rasional sebagai unsur sui generis karena mengikatkan
diri pada kelompok sosial sebagai suatu kodrat alam, yang jika kita melanggarnya maka
kita akan mengasingkan diri atau sama halnya dengan memperkosa kodratnya sendiri.
Dari alasan tersebut, lahirlah suatu kesepakatan kesadaran sosial dalam melihat sebuah
aturanyang merupakan sebuah tuntutan terhadap masyarakatbahwa aturan-aturan
tersebut memiliki alasan-alasan kebaikan, sehingga masyarakat mengikuti dengan suka
rela.
4
melakukan
bunuh
diri
adalah
pendekatan
fakta
sosial.
Durkheim
menyimpulkan bahwa faktor terpenting dalam perbedaan angka bunuh diri akan
ditemukan dalam perbedaan level fakta sosial. Kelompok berbeda yang memiliki
sentimen kolektif berbeda menciptakan arus sosial yang berbeda pula. Arus sosial itulah
yang memengaruhi keputusan seseorang bunuh diri6.
Durkheim membagi bunuh diri ke dalam empat jenis, yaitu bunuh diri egoistis,
bunuh diri altruistis, bunuh diri anomik, dan bunuh diri fatalistis. Bunuh diri egoistis
adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingannya
sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya. Seseorang yang tidak
mampu memenuhi peranan yang diharapkan (role expectation) di dalam perananan dalam
kehidupan sehari-hari (role performance), maka orang tersebut akan frustasi dan
melakukan bunuh diri.
Tipe kedua adalah bunuh diri altruistik (altruistic suicide). Bunuh diri ini terjadi
akibat dari integrasi sosial yang terlalu kuat. Pengorbanan diri mampu mendefinisikan
sikap dan perilaku individu yang sangat menyatu dengan kelompok-kelompok sosial
akhirnya mereka kehilangan pandangan terhadap keberadaan diri sendiri, sehingga
mendorong mereka melakukan pengorbanan (sacrifice) demi kepentingan-kepentingan
kelompoknya. Tipe ketiga adalah bunuh diri anomik. Orang melakukan bunuh diri ini
karena merasa dirinya sebagai beban dalam masyarakat. Contohnya adalah seorang istri
yang melakukan bunuh diri yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Tipe keempat adalah
6
Pendapat tersebut diambil dari Subjudul Bunuh Diri di dalam buku Teori Sosiologi
karya George Ritzer terbitan tahun 2008 hlm. 98.
bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide). Bunuh diri ini terjadi ketika nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat meningkat, sehingga menyebabkan individu ataupun kelompok
tertekan oleh nilai dan norma tersebut. Dukheim menggambarkan seseorang yang
melakukan bunuh diri fatalistik seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan
nafsu yang tertahan oleh nilai dan norma yang menindas.
Durkheim mengakhiri studinya tentang bunuh diri dengan sebuah pembuktian
apakah reformasi bisa diandalkan untuk mencegah bunuh diri. Usaha-usaha yang selama
ini dilakukan untuk mencegah bunuh diri gagal karena ia dilihat sebagai problem
individu. Bagi Durkheim, usaha langsung untuk meyakinkan seseorang agar tidak
melakukan bunuh diri ternyata sia-sia karena penyebab riilnya justru ada dalam
masyarakat7.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan ketiga teori Durkheim mengenai
agama, moralitas, dan suicide adalah ternyata struktur sosial masih memegang peranan
penting di dalam aturan individu antar individu dan individu dengan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari ketiga hubungan teori tersebut yang saling mempengaruhi satu sama
lain. Akan tetapi, bukan berarti dari hubungan yang saling mempengaruhi antar ketiga
teori tersebut, menjadikan teori tesebut masih cocok dipakai ditengah realitas sekarang.
Hal ini disebabkan karena teori yang dikembangkan Durkheim tersebut lahir pada masa
pascarevolusi industri yang mana pada masa sekarang banyak pemikiran Durkheim yang
sudah tidak cocok lagi dengan kultur masyarakatnya.
Acuan Pustaka
Bellah, Robbert N. 1973. Emile Durkheim on Morality and Society. Chicago and London:
The University of Chicago Press.
Durkheim, Emile. 1951. Suicide: A Study in Sociology. London and New York: Free
Press.
______________, 1995. The Elementary Forms of Religious Life. London: Free Press.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Pendapat tersebut diambil dari Subjudul Angka Bunuh Diri dan Reformasi Sosial di
dalam buku Teori Sosiologi karya George Ritzer terbitan tahun 2008 hlm. 101-102.