Anda di halaman 1dari 3

Mencari sosok pemimpin Radikal Oleh : Abdul Fatah Jalan yang tak berujung kiranya ungkapan itulah yag

cocok dipakai untuk menggambarkan masa transisi politik Indonesia pasca jatuhnya Suharto dari tampuk kepemimpinan, berawal di tahun 1998 hingga kini yang sudah berumur 14 tahun proyek besar reformasi itu belum bisa dipandang sudah selesai. Bahkan sebagian pengamat politik mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami masa politik yang permanen. Sebuah frase yang menggambarkan secara pas paradok transisi Indonesia yang jalan ditempat. Pernyataan semacam itu tentunya tidak bermaksud untuk menafikan sejumlah prestasi pencapaian politik selama ini, ada sejummlah pencapaian yang boleh dibilang merupakan balok penting bagi dinding demokrasi Inonesia, yaitu amandemen konstitusi yang kemudian melahirkan pemilihan presiden secara langsung, hal ini merupakan inovasi politik yang penting pada era reformasi.( Denny J.A:2006) Pemilihan langsung adalah ciri demokrasi yang memberikan hak masyarakt untuk menentukan pemimpin ideal yang diharapkan mampu untuk merajut serta membawa bangsa ini lebih bermartabat, dan yang terpenting mensejahterakan masyarakat secara umum. Namun Pemimpin ideal tersebut masih dalam proses dalam alam mimpi yang belum kunjung datang dalam dunia (Indonesia) nyata. Adigum Vox populi, fox dei suara rakyat adalah suara tuhan. sering diungkapan menjadi jargon bahwa rakyat adalah penentu segalanya, dan adigum ini pula-lah yang menjadi landasan filosofis dalam berdemokrasi yaitu dari rakyat untuk rakyat. Teori ini menyakini bahwa kehendak rakyat yang diamini secara manyoritas merupakan suatu ungkapan positif untuk kemaslahatan masyarakat di tempat tertentu atau manusia secara umum. Teori ini menegaskan suara rakyat pada hakekatnya adalah suara yang benar-benar muncul dari hati dan menjadi penyampai kehendak ilahi. Namun perlu menjadi catatan, dalam konteks berdemokrasi sekarang, teori ini tidak bisa serta merta menjadi dasar bahwa hasil dari suatu pemilihan langsung yang menelorkan seorang pemimpin maka bisa disimpulkan bahwa pemimpin itu pada hakekatnya adalah pilihan Tuhan. Logika ini tidak bisa dibenarkan, karena pemilihan yang melibatkan masyarakat sekarang cenderung bukan masyarakat yang memilih tapi lebih pada karena factor uang money politic

sebagai alat provokasi untuk memilih kandidat tertentu. Sehingga bukan lagi nurani yang bermain tapi adalah factor ex yang tak lain adalah uang

Pemimpin Radikal Penulis menilai, Indonesia benar-benar membutuhkan sosok radikal yang berani melawan sistem yang tidak pro dengan rakyat. Sosok yang berani untuk melakukan nasionalisasi asset-aset yang telah di kuasai oleh asing, semisal Free port, yang masa kontrak eksploitasi justru di perpanjang sampai 2045. Seorang figur yang berani membrantas korupsi dan menegakan supermasi hukum, tokoh yang dengan tegas gagah berani melawan intervensi asing, dan yang terpenting berani berjuang demi kesejahteraan rakyat. Mari berkaca pada sosok pemimpin di Amerika Latin yang benar-benar mencerminkan seorang pemimpin yang merakyat dan radikal karena berani melawan intervensi asing di negaranya demi kesejaheraan masyarakatnya. Seorang tokoh semisal Pemimpin Venezuela, Hugo Chavez, dengan lantang Hugo menyatakan menolak perdagangan bebas Amerika, Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran yang gaya hidupnya sederhana, tegas dan pemberani. Presiden Kuba, Fidel Castro. Yang sangat popuer dengan pidatonya History will Absolve me sejarah akan membebaskan ku, kemudian ada juga Evo Morales, pemimpin Bolivia. Morales selalu mempropagandakan bahwa musuh paling jahat bagi umat manusia adalah kapitalisme. (Eko Prasetyo : 2006) Mereka adalah sosok pemimpin dengan segala kapasitas kelebihan dan kekurangan-nya, namun telah membuktikan mampu dan berani melawan hirarki sisitem yang tidak memihak pada rakyat. Sebenarnya, bangsa kita telah mulai membuka kran untuk menelorkan sosok pemimpin yang radikal. Ini hanya-lah masalah waktu, sebagai masyarakat kita harus optimis, akan ada sosok yang berani, tegas dan membela rakyat. Sosok yang berani mengatakan benar itu benar dan salah itu adalah salah tidak pandang bulu apakah berasal dari kelompoknya sendiri, partai atau bahkan sanak keluarganya. Proses dari demokratisasi ini sedang bergulir, kita sedang merangkak untuk berdiri dan lari guna menyempurnakan fase demokrasi yang setabil. Ibarat drama transisi ke demokrasi itu membutuhkan sejumlah babak episode, singkatnya untuk terbentuk demokrasi yang menjadi dambaan seluruh masyarakat Indonesia membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Namun penulis yakin, cepat atau lambat ketika momentum perubahan itu akan datang, momentum yang akan

mengantarkan kita pada revolusi nusantara. Ketika masyarakat sudah pada puncak akumulasi bosan dan muak dengan kondisi yang statis dan justru semakin terpuruk, rakyat akan berteriak dan mengeluarkan egoisme-nya untuk merubah keadaan. Masa-masa seperti itulah bagi penulis yang akan memantik kecerdasan dan ketelitian masyarakat untuk mengusung serta memilih pemimpin yang ideal, berdasarkan hati nurani dan tekad bulat untuk menatap indonesai yang lebih cerah. wassalam

Anda mungkin juga menyukai