Anda di halaman 1dari 18

TEOLOGI RASHI>D RID{A<

FUNGSI AKAL DAN WAHYU Oleh ACHMAD CHOLIL ZUHDI

A. Pendahuluan Secara historis Islam berkembang bukan hanya sebagai agama saja, tetapi juga sebagai budaya. Semula Islam hanya sebagai agama di Mekkah, kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara. Di Damaskus berkembang menjadi kekuatan politik dunia dan ketika menginjakkan kakinya di Bagdad disulap menjadi pusat kebudayaan dan peradaban yang tidak kecil sumbangannya terhadap

perkembangan dunia selanjutnya. Dalam perkembangannya, Islam menempatkan akal sebagai unsur yang memainkan peran penting bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Pengkajian terhadap sekian masalah keagamaan, para pakar Islam selama ini tidak semata-mata hanya berpegang pada wahyu, tetapi juga banyak bergantung pada penalaran akal. Penggunaan porsi akal dalam membahas berbagai masalah hampir merata dalam segala bidang keilmuan, khususnya dalam masalah teologi atau ilmu kalam. Sebagai bahan perbandingan, dalam Ilmu fiqh hanya peranan akal yang berkaitan dengan hukum Islam saja yang dipermasalahkan. Sedangkan di dalam ilmu kalam peranannya ditingkatkan menjadi masalah kemampuan akal itu sendiri dan sekaligus akal juga digunakan untuk menanggapi fungsi wahyu terhadap berbagai persoalan teologi. Polemik berkepanjangan mengenai hal ini terjadi antara berbagai aliran teologi Islam yang ada, terutama antara Muktazilah, Asyariah dan Maturidiah. Sedangkan, persoalan pokok yang dipermasalahkan adalah sampai dimana kemampuan akal dan fungsi wahyu terhadap keberadaan

Tuhan, masalah kebaikan-keburukan, dan beban kewajiban atau taklif dari keduanya terhadap manusia. Apabila permasalahannya dirumuskan lebih detail akan menjadi: a. Sanggupkah akal mengetahui Tuhan atau dalam bahasa ilmu kalamnya dikenal dengan istilah marifatullah? b. Dapatkah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan atau bahasa teologinya menjadi wuj>ub marifatullah? c. Mampukah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk atau marifah al-hasan wa al-qubh? d. Sanggupkah akal mengetahui kewajiban untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat atau wuju>b Itina>q al-hasan wa ijtina>b al-qa>bih}? Rashid Rid}a sebagai ulama modern dan sekaligus murid terdekat sang reformis, Muhammad Abduh, tampaknya tidak mau ketinggalan dalam mengkaji permasalahan teologi, khususnya tentang kajian di atas. Namun, dalam menjawab berbagai persoalan ini ia tidak memberikan penjelasan yang tertata rapi dan sistematis secara teknis, tetapi berserakan dalam berbagai jilid (volume) tafsir Al-Mannar yang berkaitan dengan penafsiran berbagai ayat. Pembahasannya sering kali berbaur dengan masalah lain, sehingga perlu diformulasikan terlebih dahulu agar tidak sulit difahami. Ditambah sedikit penjelasan yang dapat dilacak pada kitabnya yang berjudul al-Wahy AlMuhammadi>. Dengan demikian, tampaknya sangat diperlukan mengkaji konsep pemikiran teologi Rashid Rid}a, terutama yang berkaitan dengan peranan akal dan fungsi wahyu yang masih dan tetap inn hingga saat ini.

B. Sekilas tentang Rashid Rid}a> Rashid Rid}a yang memiliki nama lengkap Al-Sayyid Muhammad Rashid Rid}a> (1865-1935) adalah seorang ulama modernis, penulis produktif, pemikir yang cemerlang dan tokoh reformis dalam Islam yang berpengaruh. Rashid

memulai karirnya sebagai pembaharu setelah menjadi murid terdekat dan mitra terbaik Muhammad Abduh (1849-1905). Rashid sebagai murid terdekat- telah berhasil melestarikan pikiran-pikiran dan menyebarkan ide-ide pembaharuan gurunya melalui publikasi dan sosialisasi ke hampir seluruh umat Islam via majalah dan tafsir Al-Manna>r yang diterbitkan. Berkat upayanya, Rashid telah berhasil membuka mata dan pikiran umat Islam dunia akan perlunya pembaharuan pemikiran dan sekaligus aplikasinya di berbagai bidang kehidupan di tempat mereka berada, khususnya yang berhubungan dengan kegunaan akal dan peranan wahyu1

C. Akal dan Wahyu Teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan masalah aktifitas manusia yang berbentuk kebaikan maupun kejahatan sebagai masalah inti meniscayakan penggunaan akal dan wahyu untuk mendapatkan pengertian yang memadai tentang kedua permasalahan tersebut.2 Akal sebagai daya kemampuan untuk berfikir yang dimiliki manusia berusaha keras untuk dapat memahami kedua masalah inti tersebut. Demikian juga, wahyu sebagai pusat informasi yang datang dari langit (Tuhan) memberi tahu manusia tentang hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan dan yang berhubungan dengan kebaikan maupun kejahatan. Konsepsi ini menurut Nasutian merupakan sistem teologi yang dapat digunakan untuk mengukur beberapa faham teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia mampu berpikir untuk sampai kepada masalahmasalah tersebut.3 Menurut para teolog klasik bahwa persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini apabila dihubungkan dengan dua masalah inti tersebut akan melahirkan 2 sub masalah lagi. Masalah pertama berkembang menjadi mengetahui Tuhan dan
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1993), 156.Idem, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 76. 2 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), 79. 3 Ibid.
1

kewajiban bersyukur kepada Tuhan (sebut saja masalah 1 dan 2). Sedangkan, masalah ke dua menjadi kemampuan akal mengetahui baik dan buruk serta kesanggupan akal mengetahui kewajiban untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat (sebut saja masalah 3 dan 4).4 Singkatnya, masalah nomer 1 dan 3 berkaitan dengan pengetahuan (marifat), dan masalah nomer 2 dan 4 berhubungan dengan beban kewajiban (takli>f) bagi manusia. Perdebatan yang terjadi antar aliran teologi, pada hakikatnya berkaitan erat dengan masalah mana saja di antara ke empat masalah itu yang dapat diperoleh penjelasannya melalui akal dan apa saja yang harus melalui wahyu? Masing masing aliran ternyata memberikan jawaban yang berbeda. Namun, sebelum menukik pada inti persoalan akan dijelaskan lebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan sesuatu yang baik dan yang jahat, dalam pengertian khusus. Diartikan khusus, karena baik dan jahat mempunyai tiga dimensi pengertian. Pertama, baik dan jahat yang berhubungan dengan keinginan. Sesuatu akan dikatakan baik apabila cocok dengan keinginan individu. Sebaliknya, dikatakan jahat apabila tidak sesuai dengan motifnya, seperti lengsernya seorang kepala negara akan dianggap baik oleh musuh-musuh bebuyutannya dan akan dianggap tragedi yang menyedihkan oleh para kerabat, pendukung dan kroni-kroni yang yang menjadi pendukungnya. Contoh ini dapat dikembangkan pada berbagai hal mulai dari yang sepele hingga yang mendunia.5 Kedua, baik dan jahat yang ada kaitannya dengan sifat kesempurnaan dan kekurangan. Sesuatu akan dianggap baik apabila memiliki sifat kesempurnaan yang mampu mengangkat martabat pemiliknya, dan akan dikatakan jahat apabila memiliki sifat kekurangan yang otomatis akan menurunkan derajat pelakunya. Misalnya sifat adil adalah baik, sebab sifat ini merupakan sifat kesempurnaan
Muhammad Ibn Abd Al-Kari>m al-Shahrasta>ni>, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kala>m, ed. Alferd Guillaume, (London: Oxford University Press, 1934), 371. 5 Iwa>d} Allah Jar Hijazi, Ibn Al-Qayyim wa Mauqifuh min Al-Tafki>r Al-Isla>mi>, (Kairo: Da>r Al-T{iba>ah Al-Muhammadiah,1960), 160.
4

yang dapat mengangkat derajat pelakunya. Sebaliknya, sifat z{alim adalah buruk dan jahat karena dapat mengurangi kredibelitas seseorang dan sekaligus menurunkan martabatnya. Demikian pula sifat-sifat lain yang seirama dengan contoh.6 Ketiga, baik dan jahat yang berkaitan dengan pujian atau pahala dan kecaman atau hukuman. Tegasnya, adalah sesuatu yang baik dan jahat dalam pandangan syariat. Baik merupakan perbuatan yang mendapatkan acungan jempol dari syariat bagi yang menjalani. Sedangkan, buruk atau jahat adalah tindakan manusia yang dikritik atau dicela oleh syariat. Misalnya, jujur itu dianggap baik karena orang yang melakukan akan mendapat pujian secara syari di dunia dan sekaligus mendapat pahala di akhirat nanti. Sebaliknya, bohong dicap sebagai perbuatan buruk oleh syariat sehingga perlu dikecam di dunia dan harus dihukum atau disiksa di akhirat kelak.7 Baik dan buruk dalam pengertian yang pertama dan kedua para teolog Islam sepakat bahwa akal manusia automatically mampu mengetahui kedua-duanya. Akan tetapi, baik dan jahat dalam pengertian yang ke tiga, perbedaan pendapat tentang kemampuan akal sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Mutazilah secara umum berpendapat bahwa semua persoalan itu, baik yang berkaitan dengan marifat (no.1 dan 3) maupun taklif (no. 2 dan 4) dapat diketahui dan dicerna oleh akal pikiran manusia. Dengan kata lain, mengetahui eksistensi Tuhan dan sekaligus berterima kasih kepada Tuhan sebelum ada wahyu adalah wajib menurut akal. Demikian juga yang berkaitan dengan mengetahui nilai baik dan buruk serta kewajiban mengerjakan atau menjauhinya merupakan keharusan secara aqli.8 Untuk mengetahui pikiran Rashid Rida dalam masalah teologi yang sama agar dapat dibandingkan dengan pemikiran teologi Mutazilah atau aliran lain akan
6 7

Ibid Ibid. Al-Shahrasta>ni>, nihayah Al-Iq 8 Muhammad Ibn Abd Al-Kari>m al-Shahrasta>ni>, Al-Milal wa Al-Nihal, (Kairo: Mustafa al-Babi Al-Halabi, 1967), I, 42-45.

dicoba mengelaborasi beberapa penjelasan yang diberikan Rashid dalam berbagai tulisan yang ada di Al-Wahy Al-Muhammadi> dan tafsir Al-Mannar.

) ( . )( .9
Sementara orang mengatakan bahwa beriman terhadap yang gaib dan beriman terhadap adanya wujud Tuhan adalah sebagai fitrah manusia sejak awal, baik melalui ilham (insting) yang dimiliki oleh setiap individu atau ketika pengetahuannya semakin sempurna. Sebagian pakar yang sudah begitu maju metode berpikirnya hingga memiliki kemampuan menemukan bukti-bukti yang tidak bisa dibantah lagi tentang eksistensi Tuhan sebagai Zat yang Wajib AlWuju>d dengan segala atribut yang dimiliki. Melalui cara ini saja sudah seharusnya manusia memiliki kewajiban untuk menghormati, mensyukuri dan sekaligus menyembahNya. Bahkan ada pakar lain yang mampu membuktikan keabadian nafs setelah mati- baik ketika menghuni surga dengan segala kemewahan yang dimiliki maupun sebaliknya. Bahkan para pakar ini juga sanggup merumuskan beberapa nilai universal, hukum dan moral yang mendorong terciptanya kemaslahatan umum dan interaksi sosial.

Muhammad Rashid Rid}a>, Al-Wah}y Al-Muhammadi>, (Mesir: Mat}baah Al-Manna>r, 1352 H), 30-31.

Semua informasi tersebut dibenarkan oleh Rashi>d, karena terbukti dan memenuhi standar kesejarahan klasik dan modern yang pernah diketemukan manusia. Hanya saja, pembuktian yang dibawa oleh para Nabi dengan yang ditemukan para pakar memiliki perbedaan yang signifikan, baik dari segi sumber, validitas, kepatutan maupun pengaruhnya kepada semua strata sosial. Penjelasan Rashid ini mengandung pengakuan bahwa akal manusia pada dasarnya sanggup mengetahui wujud Tuhan tanpa harus menunggu penjelasan wahyu dan karena kemampuan itu pula manusia memiliki kewajiban untuk bersyukur dan berterima kasih kepadaNya. Penegasannya semakin mengkristal ketika ia mengemukakan alasan bahwa secara fitri dalam diri manusia telah tertanam perasaan (pikiran, insting) yang mendorong manusia untuk meyakini wujud suatu Zat yang telah menciptakan alam dan dirinya dengan segala kehidupan yang ada. Pikiran ini pula yang mendesak dan mengharuskan manusia segera melahirkan ucapan terima kasih melalui bentuk-bentuk ritual dan penyembahan. Hanya saja, kegairahan ini terlalu sering melahirkan kebingungan dan kesalahan yang signifikan dalam

menghubungkan antara makhluk dengan Khaliknya. Sehingga muncul persepsi wujud Tuhan dengan gambaran yang menyimpang terlalu jauh dari wujud yang sebenarnya. Sebagaian lagi mengasumsikan bahwa beberapa tindakan tertentu yang disebut tabu menimbulkan kemarahan Tuhan. Sebaliknya, ada beberapa tindakan, ritual dan pengorbanan yang dapat menyenangkan atau paling tidak dapat meredam kemarahanNya. Sedangkan beberapa kelompok manusia ada yang meyakini tentang suatu kehidupan lain setelah mati- dengan segala unsur kenikmatan dan problem kehidupannya. Bahkan dibayangkan kehidupan di sana hampir sama atau tidak terlalu jauh dengan kehidupan sekarang, sehingga mendorong manusia untuk mempersiapkan perbekalan dan persiapan khusus, baik yang berhubungan dengan perawatan dan pengawetan jasmani melalui ramuan yang sangat spesial maupun

yang berkaitan dengan perbekalan terpilih untuk menghadapi kehidupan mendatang.10 Berangkat dari ketidak kemampuan akal dan pikiran manusia dalam melakukan apa yang seharusnya dipersembahkan kepada Penciptanya dan ketidak sanggupan manusia mempredeksikan gambaran kehidupan mendatang (akhirat), sangatlah logis apabila manusia membutuhkan bantuan Akal lain yang datang dari langit yang telah mengejawantah dalam bentuk wahyu yang ditransformasikan melalui utusanNya.11 Penjelasan ini semakin menggambarkan pikiran tokoh pembaharuan tersebut yang mengakui kemampuan akal manusia dalam mengetahui keberadaan Tuhan dan sekaligus kewajiban mengungkapkan terima kasih dalam bentuk

penyembahan secara general. Di sisi lain, ia memberikan perbedaan mendasar tentang kualitas dan kuantitas pengetahuan, nilai dan metode ritual yang diciptakan akal manusia adalah tidak sama dan tidak sebanding dengan penjelasan wahyu.12 Artinya, kualitas hasil rekayasa otak manusia berada jauh dibawah standar nilai wahyu, karena wahyu lebih terperinci dan lugas, sehingga logis apabila hasil pemikiran akal manusia tidak dapat dijadikan taklif yang membawa konskuensi berkelanjutan dalam bentuk pahala dan siksa di akhirat. Misalnya, sebelum wahyu turun, apabila seseorang telah meyakini wujud Tuhan. Apakah wajib menyembah Tuhan atau tidak (taklif), dalam arti memiliki konsekuensi-pahala dan siksa di akhirat. Menurutnya, akal tidak berhak menentukan taklif tersebut, tetapi harus menunggu penjelasan dari wahyu lebih dahulu:13


10 11

Muhammad Rashi>d Rida>, Tafsi>r Al-Manna>r, (Tt.: Da>r Al-Marifah, tt.), II, 203-204. Ibid 12 Ibid. 13 Al-Isra>, 15.

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. Sikap ini perlu dikemukakan oleh Rashid Rid}a> dalam rangka ikut menjawab perbedaan pendapat para teolog Islam diseputar persoalan apakah hanya dengan penjelasan dari utusan Allah via wahyu taklif itu baru dapat dilaksanakan dengan segala akibatnya, atau cukup dengan akal saja taklif sudah dapat dijalankan. Dalam perbedaan ini, Rashid Rida> lebih memilih yang pertama, yaitu melalui wahyu.14 Pendapat Rashid ini seolah-olah sama dengan pendapat Maturidiah atau Ashariah dan berbeda jauh dengan Mutazilah. Dianggap berbeda dengan Mutazilah ini karena kecaman Rashid terhadap golongan yang menakwilkan ayat tersebut, terutama kata rasu>la> dengan akal. Padahal takwilan itu bertentangan dengan ayat lain yang senada, misalnya ayat 59 Al-Qas}as}: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman. Menurutnya, tidak pernah ada satu orangpun yang memiliki akal sehat yang berani menafsirkan kata rasu>la> dengan akal, kecuali orang gila. Hal ini tidak mengherankan karena dasar orang yang bertaklid adalah tidak menggunakan akal sehat dalam memahami agama dan merasa cukup dengan hanya berpegang pada golongan yang dianut dengan dalih kemampuannya hanya terbatas memahami
14

Rida>, Tafsi>r, VI, 73.

ucapan ulama yang dianut dan tidak mampu menganalisis dalil-dalil akal dan naqal.15 Sedangkan yang dimaksud dengan golongan yang telah menafsirkan kata rasu>la> dengan akal adalah golongan Mutazilah, menurut Wahbah Zuhaili.16 Sikap inilah yang dianggap oleh kebanyakan para peneliti bahwa Rashid Rida berseberangan dengan Mutazilah. Sikap mengkritik Mutazilah ini juga pernah dilakukan oleh Muhammad Abduh dianggap oleh Harun Nasution tidak jelas yang dikritik- sebagai gurunya, kenapa Abduh tetap dianggap sebagai pendukung Mutazilah, sebaliknya Rashid tidak sejalan dengan Mutazilah. Menurut hemat pemakalah pemikiran Rashid, terutama dalam obyek kajian kali ini, lebih mendekati pemikiran Mutazilah. Apalagi kritikan tersebut terdapat dalam tafsir Al-Mannar yang memungkinkan apa yang diucapkan adalah hasil rekaman ucapan Abduh. Di sisi lain, pendapat Rashid kalau dikomparasikan dengan sikap Mutazilah yang bersifat umum tampak ada perbedaan. Namun, kalau diperbandingkan dengan pendapat Mutazilah yang lebih terperinci dan bukan secara umum, seperti yang dikemukakan Ibn Abi Hisyam dan Hilli bahwa ritual-ritual yang dapat diketahui manusia itu bukan melalui akal, tetapi harus melalui wahyu via seorang nabi, akan ada kesamaan atau paling tidak mendekati kemiripan antara pendapat Rashid dengan Mutazilah.17 Kembali pada teks di atas, secara tidak langsung Rashid Rida juga telah menjawab persoalan ketiga dan keempat dengan kalimatnya yang berbunyi:

.
15 16

Ibid Wahbah al-Zuhaili, Us}u>l Al-Fiqh Al-Isla>mi>, (Beirut: Da>r Al-Fikr Al-Mua>s}ir, 1986), I, 123. 17 Abd Al-Jabbar, Sharh} Al-Us}u>l Al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965),, 563. Jamal AlDi>n Abu Mansur Hasan Ibn Yusuf, Anwa>r Al-Malaku>t fi Sharh Al-Yaqu>t, (Teheran: Tp. 1338),104-105.

Artinya, Rasyid secara implisit juga berusaha menjawab pertanyaan apakah akal dapat mengetahui sesuatu yang baik dan yang buruk atau pertanyaan ke tiga(marifat), dan pertanyaan ke empat yang berbunyi dapatkah akal manusia mengetahui adanya kewajiban bagi manusia untuk berbuat baik dan sekaligus berkewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat (takli>f). Tampaknya sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi kedua pertanyaan terakhir ini adalah sama persis ketika berhadapan dengan pertanyaan yang pertama dan kedua. Demikian juga. tentang perbedaan kualitas dan kuantitas penjelasan wahyu yang dibawa para Nabi dibanding dengan elaborasi kemampuan akal terhadap pertanyaan yang sama. Jawaban terhadap pertanyaan ketiga dan keempat semakin mengerucut dan tidak malu-malu lagi ketika ia mengatakan bahwa akal manusia pada dasarnya mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Namun, kemampuan ini akan menjadi gamang dan bahkan menciptakan kesalahan yang fatal ketika keinginan dan hawa nafsu ikut mempengaruhi proses berpikir seseorang. Misalnya, fitnah dan adu domba adalah suatu tindakan yang buruk dan jahat bagi orang yang berpikir netral. Akan tetapi, setelah ada kepentingan lain yang mempengaruhi pikiran, kedua tindakan tersebut akan berbalik 180 derajat menjadi baik dan perlu. Contoh lain yang lebih konkrit adalah yang berkaitan dengan minuman keras atau narkoba. Setiap orang yang pikirannya waras dan nir kepentingan akan bersikap menjauhinya, karena tahu persis sejauh mana konskuensi bahayanya

mengkonsumsi kedua barang tersebut. Berangkat dari unsur-unsur kepentingan yang bersifat alamiah inilah yang mendorong manusia untuk mencari penopang baru yang datang dari langit agar mata hatinya (kejernihan pikiran) tidak dibutakan oleh godaan hawa nafsu dan kepentingan sesaat.18 Apabila pikiran Rashid dalam menjawab semua persoalan teologi yang sedang dikaji ini boleh ditarik garis lurus, maka dapat diduga bahwa Rashid mengakui

18

Ibid, II, 204-205.

kemampuan akal manusia untuk mengetahui keberadaan Tuhan maupun mengetahui kewajiban berterima kasih kepadaNya, serta mengakui kemampuan akal memahami yang baik maupun yang jahat dan mengetahui kewajiban untuk berbuat baik maupun menjauhi perbuatan jahat, hanya dalam batas-batas yang umum atau garis besarnya saja. Sedangkan, perincian dan detailnya adalah tugas wahyu. Pemikiran Rashid yang bersifat general ini tampaknya identik dengan pemikiran Mutazilah yang bersifat umum pulasebagaimana yang ditegaskan Abu Al-Huzail- yang menyatakan bahwa orang berkewajiban mengetahui dan sekaligus berterima kasih kepada Tuhan (persoalan 1 dan 2) dengan akalnya. Demikian juga tentang baik dan buruk dapat diketahui dengan perantaraan akal, sehingga orang wajib mengerjakan yang baik, seperti jujur dan adil, dan juga wajib menjauhi yang jahat seperti bohong (persoalan 3 dan 4).19 Pemikiran di atas yang berkaitan dengan masalah nomer satu dan dua dapat digunakan untuk menganalisis pikiran Rashid Rida tentang kemampuan akal untuk mengetahui keberadaan Tuhan dan sekaligus mensyukurinya. Namun, akal tidak memiliki kemampuan yang legitimate dalam hal yang berkaitan dengan cara menyampaikan syukur tersebut, seperti memuja dan menyembah. Wahyulah yang akan berperan dalam menguraikan tata cara pemujaan dan penyembahan kepada Tuhan. Jadi, akal memang dapat mengetahui eksistensi Tuhan dan sekaligus kewajiban berterimakasih kepadaNya, tetapi wahyulah yang berperan

menerangkan kepada manusia tentang cara yang tepat menyembah Tuhan. Tentang kemampuan akal yang pada dasarnya dapat mengetahui keberadaan Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepadaNya, tetapi tidak tahu cara yang paling tepat untuk menyatakan terima kasih itu, digambarkan oleh Ibn Tufail dalam cerita Hayy Ibn Yaqz}a>n. Meskipun semenjak kecil Hayy- tinggal sendirian di suatu pulau terpencil, namun dengan kekuatan akalnya ia dapat

19

al-Shahrasta>ni>, Al-Milal, 52

mengetahui adanya Tuhan, malahan dapat mencapai tingkat persatuan dengan AlAql Al-Faa>l atau Active Intelllect. Kemudian, ketika seorang ulama yang bernama As}al dari pulau lain datang berkunjung ke tempat Hayy untuk menjelaskan tentang syariat yang diwahyukan Tuhan, ia dapat memahami dan menerima ajaran-ajaran itu. Akan tetapi ia tidak mengerti cara yang sebenarnya untuk menyembah Tuhan dan As}al-lah yang menerangkan caranya. Dalam cerita ini, Hayy mewakili gambaran akal, sedangkan Asal memerankan wahyu.20 Sebagai penguat terhadap prediksi pemikiran Rashid Rida tentang fungsi wahyu dapat juga disejajarkan dengan salah satu pemikiran tokoh MutazilahAbd Al-Jabbar yang menyatakan bahwa akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban secara umum, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia didunia maupun di akhirat. Kehadiran wahyu bertugas menjelaskan perincian garis besar yang telah diketahui oleh akal manusia. Misalnya, akal dapat mengetahui kewajiban manusia bersyukur kepada Tuhan, tetapi ia tidak akan tahu persis cara dan perinciannya. Wahyulah yang bertugas menjelaskan cara dan perincian kewajiban tersebut, seperti bagaimana cara melakukan salat, zakat, puasa dan haji.21 Selanjutnya, tidak semua kebaikan dan keburukan dapat diketahui oleh akal manusia, karena ada beberapa tindakan yang tidak dapat diketahui oleh akal apakah akan membawa kebaikan atau keburukan perbuatan tersebut. Misalnya, akal menyatakan bahwa menghilangkan nyawa hewan merupakan tindakan yang tidak baik. Namun, kemudian wahyu turun untuk mengcounter proposisi akal bahwa menghilangkan nyawa hewan dengan cara disembelih adalah baik, apalagi untuk keperluan konsumsi dan meningkatkan gizi manusia.22 Keterangan di atas yang berkaitan dengan baik dan buruk atau persoalan 3 dan 4 dapat digunakan untuk menganalisis pemikiran Rashid Rida tentang hal yang
20 21

Nasution, Teologi, 96. al-Qa.d}I Abd Al-Jabbar: Al-Majmu> fi Al-Muh}it} bi Al-Takli>f, (Beirut: Institut Des Lettres Orientales, 1965), 22. 22 Abd Al-Jabbar, Sharh} Al-Us}u>l Al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965), 564.

sama. Artinya, bahwa tidak semua yang baik dan yang buruk secara rinci dapat diketahui oleh akal dan untuk mengetahuinya diperlukan bantuan wahyu juga. Wahyu dengan demikian berbuat untuk menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Apalagi perbuatan itu pada hakikatnya ada yang dicela oleh akal, seperti bersikap tidak adil dan berbohong, dan ada yang dicela oleh syariat (wahyu), semisal berzina dan meminum minuman keras. Disisi lain, Rashid Rida juga telah menyinggung tentang sorga dan neraka yang dapat diketahui oleh akal manusia. Namun, untuk perincian tentang keduanya jelas dibutuhkan kehadiran wahyu untuk menjelaskannya. Apalagi akal tidak mungkin mengetahui tingkatan pahala bagi semua perbuatan baik dan juga tidak tahu tingkatan siksa bagi semua perbuatan jahat dikehidupan mendatang atau akhirat. Dari semua uraian diatas dapatlah disimpulkan sementara, karena ilmu sifatnya tentatif, bahwa wahyu bagi Rashid Rida mempunyai fungsi konfirmatif dan sekaligus informatif. Artinya, wahyu berfungsi memperkuat apapun yang telah diketahui oleh akal dan sekaligus menerangkan sesuatu yang belum diketahuinya. Dalam arti lain, wahyu berperan menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Sebelum sampai pada kesimpulan, kajian tentang Rashid Rida ini, akan lebih terbuka untuk dikritisi apabila prediksi pikirannya dapat dibandingkan pikiran Ashariah yang dikenal berseberangan dengan Mutazilah. Menurut sebagian ulama Ashariah, akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan karena segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Oleh sebab itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban dan tidak ada larangan apapun bagi manusia. Jika seseorang , sebelum wahyu turun, andaikata dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifatNya dan kemudian percaya, maka orang tersebut dikatakan sebagai mukmin tetapi tidak berhak mendapatkan pahala dari Tuhan. Jika dimasukkan ke dalam surga itu merupakan kemurahan Tuhan. Apabila terjadi

sebaliknya, ia dianggap manusia yang belum mengenal Tuhan, tetapi tidak ada keharusan untuk disiksa.23 Adapun mengenai soal baik dan buruk , ulama Ashariah mengatakan bahwa akal manusia tidak dapat menentukan keduanya, karena yang dimaksud dengan baik adalah perbuatan yang mendatangkan pujian syariat bagi pelakunya dan yang dimaksud dengan buruk adalah perbuatan yang mendapat celaan syariat. Celaan dan pujian syariat pada hakikatnya hanya dapat diketahui melalui wahyu, maka baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh akal, dan wahyulah yang dapat menjelaskan kepada manusia tentang keduanya. Demikian pula, kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk atau jahat bisa diketahui manusia hanya melalui wahyu pula.24 Penjelasan Ashariah ini bila dilihat gambaran luarnya berbeda dengan pemikiran Rashid Rida, apalagi dengan Mutazilah. Akan tetapi, bagi setiap peneliti yang tidak terburu-buru mengambil kesimpulan dan mau bersabar mendalami semua pemikiran Mutazilah, Ashariah dan khususnya Rashid Rida akan ditemukan benang merah yang menghubungkan pemikirannya dengan pemikiran Mutazilah dan Ashariah. Artinya, dari satu sisi Rashid Rida dapat menerima pemikiran Mutazilah yang bersifat umum, yaitu yang lebih mendahulukan akal ketimbang wahyu. Namun, kalau sudak berkaitan dengan halhal khusus dan terperinci, Rashid lebih cenderung memilih pendapat Ashariah yang memperioritaskan wahyu ketimbang akal. Hal ini pernah diakui sendiri ketika ia dituduh lebih cenderung mengamini pendapat Mutazilah dalam masalah tahsi>n dan taqbi>h ketimbang Ashariah. Tuduhan itu dianggap tidak benar, karena ia pada dasarnya menyutujui keduanya dalam satu sisi dan berbeda dengan keduanya pada sisi yang lain, karena semua pendapatnya didasarkan kepada lahiriah Al-Quran dan Al-Hadith dalam pemahaman salaf. Rashid dapat menerima proposisi kemampuan akal secara
23 24

Nasution, Teologi, i82-83 al-Shahrasta>ni>, Nihayah, 370

umum, namun tidak mungkin akal manusia dapat melampui kualitas wahyu atau syariat, dan manusia sebaiknya tidak perlu mempetakompli Tuhan dengan kewajiban-kewajiban tertentu.25 Berangkat dari sikap pemikiran teologis dan penjelasan yang terakhir, ada sebagian pakar Islam menganggapnya sebagai seorang reformis dan sekaligus sunni yang berpaham salafiah. Karena pengertian salaf al-sa>lih yang dimaksud oleh Rashid Rida adalah metode pemahaman umat Islam periode pertama yang berusaha melihat Tuhan dengan sifat-sifat yang dikemukakan sendiri oleh Tuhan dan rasulNya, sedikitpun tidak menyamakan dengan sifat-sifat ciptaanNya.26

D. Kesimpulan Dari berbagai uraian dan analisis terhadap pikiran-pikiran Rashid Rida dapat dikatakan ia telah menjawab ke empat persoalan di atas. Sedangkan, corak pemikirannya hampir mendekati pemikiran Mutazilah dari satu sisi, karena semua masalah yang ada dapat diketahui dengan akal secara general. Di sisi yang lain hampir mendekati Ashariah, karena wahyu tetap berperan penting dalam rangka menguraikan dan menjabarkan apa-apa yang secara umum diketahui oleh akal. Artinya, akal dan wahyu diletakkan pada proporsinya karena masing-masing mempunyai fungsi dan melaksanakan tugasnya sendiri-sendiri. Keduanya saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain. Dari kesimpulan ini pula ada yang berpendapat bahwa pemikiran Rashid Rida lebih mirip dan mendekati pemikiran golongan Maturidiah Samarkan. Hanya perlu diingat bahwa kata mendekati berarti tidak sama persis dalam segala hal. Allah Alam bi al-S{awa>b.

25 26

Rida>, Al-Mannar, IX, 227. Ibid, 133.

PERPUSTAKAAN

Iwa>d} Allah Jar Hijazi, Ibn Al-Qayyim wa Mauqifuh min Al-Tafki>r Al-Isla>mi>, (Kairo: Da>r Al-T{iba>ah Al-Muhammadiah,1960). Abd Al-Jabbar, Sharh} Al-Us}u>l Al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965) Abd Al-Jabbar: Al-Majmu> fi Al-Muh}it} bi Al-Takli>f, (Beirut: Institut Des Lettres Orientales, 1965). Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1993). Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah, (Jakarta: Universitas Indonesia UI Press, 1987) Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Jamal Al-Di>n Abu Mansur Hasan Ibn Yusuf, Anwa>r Al-Malaku>t fi Sharh AlYaqu>t, (Teheran: Tp. 1338), Muhammad Ibn Abd Al-Kari>m al-Shahrasta>ni>, Al-Milal wa Al-Nihal, (Kairo: Mustafa al-Babi Al-Halabi, 1967),

Muhammad Ibn Abd Al-Kari>m al-Shahrasta>ni>, Nihayah al-Iqdam fi Ilm alKala>m, ed. Alferd Guillaume, (London: Oxford University Press, 1934), Muhammad Rashi>d Rida>, Tafsi>r Al-Manna>r, (Tt.: Da>r Al-Marifah, tt.), Muhammad Rashid Rid}a>, Al-Wah}y Al-Muhammadi>, (Mesir: Mat}baah AlManna>r, 1352 H), Wahbah Al-Zuhaili>, Us}u>l Al-Fiqh Al-Isla>mi>, (Beirut: Da>r Al-Fikr AlMua>s}ir, 1986), I, 123.

Anda mungkin juga menyukai