Anda di halaman 1dari 37

BAB II PEMULIHAN KETERTIBAN KEHIDUPAN SOSIAL DAN PENINGKATAN KEHIDUPAN DEMOKRASI

A. Keadaan Awal Pada tingkat global, mayoritas pemerintah di hampir semua negara di dunia, pada peralihan milenium dewasa ini menghadapi masalah-masalah sosial politik besar, yang kuantitas maupun kualitasnya belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Kompleksitas permasalahan ini, antara lain disebabkan oleh terjadinya lompatan besar di bidang teknologi, yang selain membawa manfaat besar, juga mengandung potensi berbagai dampak negatif. Diantara kebanyakan negara-negara berkembang, Indonesia dengan berbagai kompleksitas masyarakatnya, bisa dimasukkan ke dalam kelompok negara yang mengalami masalah sosial politik yang paling berat. Pada tingkat nasional, tidak terlaksananya penyelenggaraan negara yang baik (good governance), absennya nilai-nilai pemerintahan yang bersih (clean government), dan terabaikannya proses-proses demokratis dalam hubungan kelembagaan antara II - 1

lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara, telah menempatkan krisis Indonesia sebagai krisis multidimensi terberat dan terlama, apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, yang juga mengalami krisis ekonomi dan moneter serupa. Pemerintah hasil Pemilu, yang dikatakan sangat demokratis sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia, baru berjalan selama 9,5 bulan. Dalam usianya yang sangat singkat, pemerintah memikul beban yang amat berat, berupa krisis multidimensi yang berkepanjangan sejak pertengahan tahun 1997. Pengalaman di masa yang lalu, kekuasaan eksekutif yang terlalu dominan dan terpusat, telah menyebabkan terjadinya eksesekses yang bersifat destruktif pada struktur politik, proses politik, budaya politik serta infrastruktur demokrasi. Dominannya lembaga eksekutif dan peranan ABRI di masa lalu, mengakibatkan terbatasnya kemampuan dan terhambatnya fungsi lembaga legislatif dan lembaga-lembaga tinggi negara (MPR/DPR, BPK, DPA), lembaga yudikatif (MA), infrastruktur politik (partai-partai politik), dan kurang mandirinya sektor perekonomian dari dinamika politik, serta rapuhnya solidaritas sosial. Mekanisme hubungan pusat dan daerah juga cenderung mengikuti pola sentralisasi, terutama dalam pengambilan keputusan yang seringkali kurang sesuai dengan kondisi-kondisi unik kemasyarakatan, ciri khas geografis, serta heterogenitas sosial dan demografis setiap daerah. Pemerintah mengambil posisi amat dominan, sehingga masyarakat makin kehilangan daya kreatif dan inovatifnya. Keadaan ini telah menghambat penciptaan dan pelaksanaan kebijakan yang mengakomodasikan aspirasi rakyat dalam mewujudkan keadilan, serta pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan pembangunan yang terlalu menekankan pendekatan sektoral dan terpusat, sangat mempersempit peluang daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan pada gilirannya menciptakan ketergantungan berlebihan daerah terhadap pusat. Implikasi di bidang politik direfleksikan dalam berbagai bentuk pelaksanaan yang pemerintahan tidak mendukung II - 2

terwujudnya proses atau mekanisme politik seperti yang seharusnya. Proses demokrasi tidak tumbuh wajar dan alami, sehingga menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang tidak mampu dijembatani, berujung pada terjadinya keresahan sosial di berbagai daerah yang di antaranya membuahkan pergolakanpergolakan sosial dan memicu gerakan separatisme. Persatuan nasional Indonesia dewasa ini dihadapkan pada berbagai problematika perpecahan, permusuhan, serta penghancuran diri, yang terindikasi pada terjadinya konflik-konflik horisontal dengan kekerasan, dan mekanisme penyelesaian politik yang dinilai kurang lancar. Disharmoni sosial yang terjadi dalam hubungan antarsuku, antarpenganut agama, antarpaham politik, dan antarkelompok rasial, seperti yang masih terus terjadi sampai akhir-akhir ini, telah menyulitkan pemerintah dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan. Pada saat ditinggalkan oleh pemerintahan orde baru (Orba), sistem politik yang kurang mentolerir perbedaan politik dengan pemerintah, telah mewariskan permasalahan ketidakpuasan, yang berkembang menjadi bibit-bibit disintegrasi. Kurang tepatnya pengelolaan konflik sosial politik dan tidak meratanya alokasi sumber-sumber daya pembangunan ke wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan, menjadi cikal bakal rasa ketidakadilan dan perasaan diabaikan bagi daerah-daerah yang relatif terpencil di luar Jawa. Selain itu, berbagai penyelewengan dan melemahnya nilainilai moral yang seolah-olah berkembang dalam sistem dan aparatur pemerintah, telah menjadi bibit bagi munculnya ketidakadilan dan kemiskinan struktural dalam kehidupan mayoritas rakyat. Lebih jauh lagi, muncul trauma mendalam terhadap metode-metode penyelesaian konflik (conflict resolution) dalam masyarakat, yang lebih banyak mengutamakan bentuk-bentuk represi. Kegiatan penyelenggaraan Pemilu di masa Orba, dinilai oleh banyak pihak terlalu mengutamakan upaya mobilisasi rakyat melalui intimidasi yang meluas demi memenangkan peserta Pemilu tertentu. Oleh karena itu, dapat dimengerti bila pasca pemerintahan Orba, terjadi euforia luar biasa di kalangan masyarakat. Kondisi seperti ini jelas memerlukan kepemimpinan yang kuat, bersih, dan konsisten agar II - 3

mampu memberikan arah dan penyadaran akan tujuan yang sesungguhnya dari reformasi dan demokratisasi Indonesia. Gerakan separatisme dan pergolakan sosial di daerah Aceh, Irian Jaya, dan Maluku memang telah memasuki tahap yang sangat kompleks. Persoalan Aceh merupakan akumulasi dari persoalan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pendekatan kekerasan dalam penyelesaian persoalan Aceh di masa lalu, yang seringkali menimbulkan ekses timbulnya banyak korban pembunuhan dan penganiayaan di kalangan sipil. Hal ini ternyata telah menimbulkan dampak ketidakpercayaan masih cukup besar di kalangan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat, walaupun pembunuhan dan penganiayaan itu juga dialami aparat keamanan yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata. Masalah kemanusiaan akibat konflik politik yang terjadi di Aceh telah menimbulkan kerugian berupa korban jiwa maupun harta benda. Permasalahan ini secara obyektif berimplikasi pada trauma, depresi dan perasaan tertekan, ketakutan, serta kurangnya kepercayaan masyarakat Aceh terhadap upayaupaya perdamaian dan rekonsiliasi pemerintah. Sementara itu jeda kemanusiaan di Aceh yang tujuannya sangat mulia, justru dimanfaatkan oleh oknum gerakan Aceh merdeka (GAM) untuk memprovokasi rakyat dan melakukan kegiatan untuk kepentingannya, yang juga menimbulkan ketidaktenangan rakyat. Hal yang demikian itu, tentu saja memerlukan upaya keras dan membutuhkan waktu untuk memulihkan kondisi psikologis masyarakat. Upaya pemulihan terhadap faktor-faktor psikologis dan sosiologis seperti itu, biasanya jauh lebih kompleks dan lebih sulit dibandingkan dengan upaya pemulihan kerusakan-kerusakan fisik, bangunan, dan infrastruktur perekonomian yang kasat mata. Pada saat yang sama, konflik sosial yang melibatkan masyarakat yang berbeda agama di wilayah Maluku, sudah memasuki suatu tingkat yang sangat memprihatinkan. Pemerintah menduga, ada kalangan elite politik tertentu yang secara sengaja telah mengorbankan masyarakat Maluku untuk menciptakan destabilitas lebih lanjut, sehingga kerusuhan berpotensi menyebar ke wilayah lainnya. Sebaliknya, pemerintah cukup memahami aspirasi II - 4

rakyat Irian Jaya (Papua) untuk merdeka, bahwa aspirasi ini muncul dari rasa kekecewaan mendalam atas perlakuan yang diperoleh masyarakat Irian Jaya pada masa lampau. Irian Jaya telah begitu lama merasa diabaikan dalam proses pembangunan nasional, padahal Irian Jaya kaya dengan sumberdaya pertambangan dan mineral. Rakyat Irian Jaya merasa tidak mendapatkan bagian yang adil dari eksplorasi pertambangan dan mineral di wilayah itu. Hal ini masih ditambah lagi dengan kekecewaan atas kurang dihargainya nilai-nilai sosial budaya masyarakat Irja, dalam proses pembangunan wilayah. Dunia internasional memperhatikan dengan seksama, mampukah Indonesia menyelesaikan soal Aceh, Maluku dan Irja ini secara demokratis dan tanpa kekerasan. Hal ini tentu sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan kita semua bangsa Indonesia, termasuk rakyat di ketiga daerah tersebut. Dunia internasional telah menyaksikan, peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Timor Timur pascaJajak Pendapat pada akhir 1999. Pelanggaran HAM di kawasan Timtim ini telah menyebabkan citra Indonesia menjadi cukup merosot. Citra yang merosot ini karena Indonesia dianggap telah gagal memenuhi jaminannya untuk mengendalikan situasi keamanan di Timor Timur berdasarkan Kesepakatan Tripartit di New York pada Mei 1999. Kegagalan itu telah mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa, serta diikuti dengan arus pengungsian besar-besaran ke wilayah RI, terutama menuju Propinsi NTT. Pada puncak aliran pengungsi, di bulan September-Oktober 1999, pengungsi Timor Timur mencapai tak kurang dari 284.000 jiwa. Setelah dilakukan upaya intensif dalam pemulangan pengungsi, maka jumlah pengungsi sudah mengalami penurunan sejak Oktober 1999. Pada tingkat masyarakat, keadaan obyektif yang tidak bisa diabaikan adalah munculnya berbagai tindakan destruktif yang tidak jarang tanpa alasan yang rasional di dalam kehidupan sosial dan kecenderungan meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai tindakan kriminalitas. Kecenderungan umum ini diikuti munculnya fenomena tindakan main hakim sendiri di sementara kalangan dengan menggunakan kekerasan, yang menyebabkan hilangnya II - 5

nyawa orang-orang yang belum tentu sepenuhnya bersalah. Dengan tidak mengabaikan kemungkinan adanya kesengajaan dan rekayasa politis untuk membuat situasi sosial dan politik yang demikian itu, namun hal ini bisa menjadi cermin dari berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada proses-proses hukum dan proses-proses politik yang berlaku secara normal. Di lain pihak, kitapun tidak boleh jemujemunya untuk meminta kepada elite politik, masyarakat kampus, dan segenap lapisan masyarakat bahwa proses penyelesaian hukum membutuhkan bukti-bukti yang cukup dan membutuhkan upaya yang panjang serta waktu yang relatif lama, sehingga menuntut kesabaran bagi kita semua. Di sisi lain, persatuan nasional juga mendapatkan ancaman serius dengan masih berakarnya politisasi nilai-nilai agama sebagai bagian dari pertentangan kepentingan politik dan kekuasaan, selama beberapa tahun terakhir. Fanatisme keagamaan seringkali dimanipulasikan sebagai alat primordial dan bendera politik untuk memperoleh kekuasaan politik demi memperjuangkan aspirasiaspirasi politik partisan tertentu, yang tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Akhir-akhir ini, iklim kebebasan telah membuat kelompok primordial ini makin menegaskan keberadaan diri di pentas perpolitikan nasional, bahkan dengan tidak ragu-ragu menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Amat sering terjadi kekerasan dilakukan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham, dengan menggunakan agama sebagai perisai. Selain itu, nilai-nilai primordial lain seperti ras dan asal usul etnis telah diperalat mencapai tujuan politik sempit. Ketidakadilan antardaerah, propinsi, kelompok-kelompok dan golongan dalam masyarakat, telah dieksploitasi secara politis sehingga telah menjadi ancaman nyata terhadap keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, harapan dan modal dasar yang konstruktif dalam membangun nilai-nilai budaya politik yang diterima semua kelompok tanpa didominasi oleh agama dan golongan tertentu, masih cukup besar. Optimisme ini didasarkan pada kenyataan bahwa partai-partai politik yang berasas nasionalisme dan II - 6

berkomitmen demokrasi tampil unggul dalam Pemilu. Sebaliknya, partai-partai politik yang berasaskan primordialisme, termasuk atas agama tertentu, ternyata tidak memperoleh suara yang signifikan pada Pemilu 1999 lalu (Tabel II-1). Hal terakhir ini menjadi indikasi yang jelas, bahwa mayoritas rakyat Indonesia, sesungguhnya adalah mayoritas yang bisa dan mau disiapkan menuju tatanan sistem politik demokrasi yang sehat, yang menempatkan semua warganegara setara, tanpa memandang asal usul etnis, ras, ideologi, dan keyakinan agama tertentu. Rakyat Indonesia sebagai bangsa umumnya sudah sepakat untuk mengubah sistem politik ke arah yang lebih demokratis. Sebuah tindakan perubahan yang cukup mendasar, yakni peralihan dari suatu sistem politik yang hanya bertumpu pada kekuasaan eksekutif ke arah demokrasi, sedang berlangsung. Dengan dilaksanakannya Pemilu pada Juni 1999 lalu, berarti telah dimulai berlangsungnya peralihan sistem politik menuju ke suatu sistem politik yang demokratis dan menuju ke arah terbentuknya masyarakat modern (civil society) yang tangguh. Perubahan juga mencakup peralihan dari suatu masyarakat politik berbudaya primordial, diarahkan ke masyarakat berbudaya politik modern yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Sistem politik baru di mana pemimpinnya tak lebih dari manusia biasa belaka (primus inter pares), yang terpilih melalui mekanisme politik oleh mayoritas wakil rakyat, dan dalam menjalankan misinya tidak tabu atau alergi untuk diawasi dan dikontrol. Sistem kepartaian yang kini bersifat multipartai, sudah mulai menunjukkan gejala ke arah kristalisasi dengan munculnya beberapa partai politik yang cukup dominan di MPR/DPR. Karena partai-partai yang berorientasi pada asas-asas kepartaian politik modern sudah cukup kuat berakar, maka partai-partai primordial yang saat ini masih cukup besar, secara alamiah diperkirakan tidak lagi mendominasi kehidupan politik dan penyelenggaraan negara di masa depan. Kompromi-kompromi secara rasional dalam penciptaan mekanisme politik yang sudah mulai terjadi dalam transisi demokrasi dewasa ini, merupakan awal yang perlu ditidaklanjuti II - 7

secara sistematik dan berkelanjutan. Organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang pada masa lalu kurang diakui peranannya, dewasa ini mulai menunjukkan peran yang baik dalam memberdayakan masyarakat. Ormas dan LSM dituntut untuk mampu menjadi tumpuan harapan dalam upaya memandirikan masyarakat dalam mencapai kemajuan dan kesejahteraannya, berdasarkan kesadaran partisipasi, tidak lagi berdasarkan mobilisasi dan instruksi pemerintah. Dalam sistem politik di masa lampau, masyarakat lebih banyak dianggap sebagai obyek pembangunan. Keadaan ini diharapkan dapat berubah secara mendasar, sejalan dengan makin tingginya tuntutan penyesuaian kehidupan politik dengan aspirasi-aspirasi politik rakyat. Sedangkan pemerintah saat ini sedang mensosialisasikan dan memposisikan perannya sebagai fasilitator. Pemerintah sedang berbenah diri dalam membentuk perannya sebagai penengah yang adil bagi setiap upaya penyelesaian berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat yang majemuk, melalui mekanisme hukum. Kitapun tidak bisa menutup mata, bahwa pada saat penegakan hukum sangat diperlukan pada saat seperti sekarang ini, ternyata secara bersamaan terjadi pula penipisan kepercayaan masyarakat luas terhadap lembaga penegakan hukum, karena sudah amat dicemari berbagai tindakan korupsi yang seolah-olah sudah membudaya. Selama bertahun-tahun rakyat menyaksikan sendiri rendahnya mutu penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, tanpa mengetahui secara persis apa sebenarnya yang menyebabkan rendahnya profesionalisme dan integritas moral aparat-aparat penegakan hukum dan tidak berwibawanya lembaga peradilan. Hukum belum mampu melindungi masyarakat dari berbagai tindak kriminalitas, kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan. Selain makin merebaknya perasaan diberlakukan tidak adil di kalangan masyarakat, muncul juga sikap-sikap sinis dan pesimisme yang meluas, sehingga muncul berbagai kejengkelan dan ejekan terhadap dunia peradilan, antara lain berupa tuduhan mafia peradilan kepada dunia kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian sebagai tritunggal penegak hukum Indonesia. Nilai-nilai HAM II - 8

sangat jauh dari harapan masyarakat, bahkan tidak jarang pelanggaran HAM dilakukan oleh aparat penegak hukum secara terbuka, dan tanpa adanya sanksi hukum kepada para pelakunya (impunity). Oknum-oknum aparatur yang korup dan bermoral rendah, seringkali memanfaatkan nama lembaga tertentu untuk melakukan tindakan melawan hukum. Dengan kepercayaan rakyat yang begitu rendah terhadap penegak hukum, aparatur negara dan sedikitnya elit pemimpin yang mampu menunjukkan dirinya sebagai teladan dalam hal sikap dan perilakunya, pemerintah harus memulai menjalankan pemerintahan bermodalkan itikad baik untuk membalikkan semua keadaan secara perlahan tapi pasti ke arah yang lebih stabil dan kondusif bagi pembangunan nasional secara menyeluruh. Selain itu, dominannya mobilisasi politik yang seringkali menggunakan intimidasi dan bahkan menggunakan kekerasan di masa lalu, menyebabkan munculnya suatu tradisi penyelesaian konflik yang cenderung berorientasi pada kekerasan. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus-kasus kekerasan di masyarakat secara umum, maupun pada tingkat organisasi politik kepartaian dan organisasi massa. Masyarakat secara umum belum terbiasa dengan penyelesaian konflik secara demokratis. Dalam konteks inilah bisa dilihat munculnya fenomena militerisasi sipil, yakni munculnya kebanggaan-kebanggaan yang tidak pada tempatnya pada penggunaan atribut-atribut kemiliteran di kalangan organisasi massa dan partai-partai politik. Perkembangan ini tidak sepatutnya dibiarkan, karena dapat mendorong penggunaan pola dan cara kekerasan, dalam menyelesaikan berbagai konflik di dalam masyarakat, terutama konflik politik. Dalam hubungannya dengan pengurangan dan peniadaan dampak militerisasi sipil, secara sistematik, maka dikeluarkannya keputusan politik dalam memisahkan Polri dari TNI sejak 1 April 1999, dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Pertahanan, merupakan modal awal yang positif. Sejalan dengan kebijakan ini, keputusan internal TNI untuk melakukan reorientasi peran dan fungsi militer, merupakan awal yang baik dalam II - 9

membangun demokrasi. Selanjutnya peran dan fungsi antara tugastugas pertahanan dan keamanan nasional ditetapkan batas-batasnya secara lebih jelas antara TNI dan Polri. Dalam kaitan ini, TNI memiliki tugas untuk menjaga berbagai ancaman terhadap kedaulatan negara, integritas bangsa, serta keutuhan wilayah negara; yang dalam konteksnya termasuk ke dalam domain pertahanan nasional. Berbagai bentuk keamanan nasional yang memiliki spektrum luas mulai dari ketertiban masyarakat sampai kekerasan bersenjata, haruslah terpetakan secara obyektif dan dikelola secara profesional. Meskipun Polri akan menjadi komponen inti kekuatan keamanan nasional, namun pada saat gangguan keamanan sudah berupa kekerasan bersenjata atau dalam intensitas yang lebih tinggi, maka secara profesional hanya mungkin dihadapi dengan kekuatan TNI. Keadaan transisi, baik yang terjadi pada TNI maupun Polri, menuntut tindakan-tindakan yang bersifat sistematik dan berlanjut, guna menuju terbentuknya lembaga TNI dan Polri yang profesional. Dalam konteks keamanan dan ketertiban masyarakat, pemerintah menghadapi tugas yang berat, terutama dengan meningkatnya gangguan keamanan, bentrokan sektarian antarkelompok dan antarkampung, tawuran massal, serta tindakantindakan melawan hukum lainnya (Tabel II-2). Masalah peredaran dan penyalahgunaan narkoba, umpamanya, akhir-akhir ini makin sulit dikendalikan. Persoalan penyalahgunaan obat-obatan ini telah merambah lapisan masyarakat yang paling rawan, yakni anak-anak usia sekolah di semua tingkat, selain mahasiswa dan generasi muda yang memasuki usia produktif. Berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba ini adalah penularan HIV/AIDS dan pornografi, termasuk penyalahgunaan seksual serta pelacuran anak-anak di bawah umur. Masalah penyalahgunaan narkoba, pornografi dan HIV/AIDS ini apabila tidak ditangani secara serius, akan berdampak pada aspekaspek lain yang tampaknya tak berkaitan secara langsung, yakni dampak politik, ekonomi dan patologi sosial secara luas, termasuk kriminalitas dan kekerasan struktural. Keprihatinan dalam menghadapi krisis multidimensi bangsa Indonesia, telah bertambah berat dengan datangnya berbagai II - 10

bencana alam serta bencana kemanusiaan, yang memakan korban jiwa dan harta tidak sedikit. Baik akibat bencana alam maupun konflik sosial bernuansa SARA yang terus menerus terjadi, telah ikut mempersulit upaya dan kinerja pemerintah dalam menangani krisis secara nasional. Pada awal krisis moneter tahun 1997, terjadi kebakaran hutan besar di Kalimantan dan Sumatera, yang dampak ekologisnya masih terus berakumulasi sampai saat ini. Dampak kerusakan ekologis, asap dan pencemaran udara telah menimbulkan keprihatinan bahkan sampai ke negara-negara tetangga Malaysia dan Singapura, serta menurunkan kepercayaan terhadap kemampuan Indonesia dalam menanggulangi bencana kebakaran. Demikian juga dengan terjadinya bencana tanah longsor di NTT dan gempa bumi di Sulawesi Tengah. Hambatan keuangan yang menyebabkan keterbatasan pemerintah dalam menanggulangi bencana, jelas tidak akan dapat diterima sepenuhnya oleh semua pihak, terutama oleh kalangan elit politik yang mungkin ingin memanfaatkan situasi ini demi kepentingan politik golongannya. Generasi muda, termasuk anak-anak usia sekolah dan balita, merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif bencana alam dan konflik sosial yang berdimensi kekerasan. Krisis ekonomi dan berbagai bencana konflik sosial, penyalahgunaan seksual dan kriminalitas lainnya telah membuat beban yang bakal dipikul kelompok generasi muda dan anak-anak memprihatinkan. Apabila tidak ada tindakan yang serius untuk mengatasi dampak yang bakal muncul, bukan mustahil kelompok usia muda dan balita ini berpotensi menjadi the lost generation yang secara potensial menjadi beban negara di masa depan. Namun demikian, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, kitapun patut bersyukur bahwa ada beberapa landasan konstruktif dalam bidang perundang-undangan yang sudah diletakkan pemerintah sebelumnya. Disahkannya berbagai produk perundang-undangan baru di bidang politik, antara lain, UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang telah memungkinkan berkembangnya sistem multipartai; UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu yang telah menjadi landasan penting diselenggarakannya II - 11

Pemilu yang demokratis pada 1999; UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; serta UU No. 6 Tahun 1999 tentang Referendum sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1985. Walaupun masih jauh dari sempurna, namun perundang-undangan ini dirasakan cukup mampu menjadi modal dasar bagi transisi menuju kehidupan yang demokratis. Paket undang-undang bidang otonomi daerah dan pemerintahan antara lain dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang baru menggelinding pada bulan Mei 1999. Implikasi yang terjadi, yaitu berbagai penyesuaian cukup mendasar dalam tatanan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, dan penataan kembali hubungan pusat-daerah, mulai berpengaruh terhadap berbagai kondisi, khususnya di daerah. Namun demikian, terlepas dari kontroversi penerapan otonomi daerah, hampir semua kalangan sepakat, bahwa otonomi daerah yang lebih luas tak mungkin dihindarkan dalam kerangka reformasi menuju sistem politik demokrasi. Dalam hal perundang-undangan bidang pertahanan dan keamanan nasional, ada kontroversi yang cukup menyita perhatian pemerintah, yakni mengenai pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), meskipun secara formal sudah disetujui oleh DPR untuk diundangkan. Penolakan yang begitu gencar dilakukan oleh berbagai kalangan menyebabkan UU tersebut ditangguhkan pelaksanaannya, pada masa pemerintahan yang lalu. UU PKB ini sejak awal ditujukan untuk menggantikan UU No. 23/Prp Tahun 1959, yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan dinamika masyarakat demokratis. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama berjalan, karena akan menyebabkan keadaan yang mengambang, yang bisa mengundang kerawanankerawanan politik. Pemerintah setuju agar UU PKB ini dipertimbangkan secara matang pemberlakuannya, agar tidak bersifat menghambat upaya demokratisasi.

II - 12

Satu hal perlu diingatkan kembali, bahwa pemerintah hasil pemilu ini berada pada suatu keadaan transisi menuju suatu sistem politik demokratis. Pemerintah mulai berjalan secara efektif dalam suatu keadaan di mana lembaga-lembaga menjalankan birokrasi sebagai sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, yakni penyelenggaraan negara sebagai pengemban amanat rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya. Pemerintah dan seluruh aparat birokrasi yang ada saat ini, masih dalam tahap eksperimen trial and error, mencari pola terbaik dalam menjalankan roda administrasi negara, dengan kontrol yang ketat dari DPR, pers dan lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya. Menyelenggarakan negara dan birokrasi dalam era demokrasi dan keterbukaan seperti saat ini, memerlukan berbagai visi, keterampilan, dan keahlian mencapai kompromi politik, sikap-sikap akomodatif terhadap perbedaan, seni mengelola konflik, kemampuan berdialog demi mencapai konsensus, tidak hanya keterampilan teknokratis dan profesionalisme dalam pengertian yang sempit. Oleh karena beratnya persoalan sosial politik dan ekonomi Indonesia, maka arah kebijakan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004 (GBHN) bidang politik serta pertahanan dan keamanan yang tampaknya merupakan hal yang wajar, ternyata berkembang menjadi suatu hal yang tidak mudah dilaksanakan oleh pemerintah. Bila dinyatakan secara ringkas, arah kebijakan GBHN adalah menjaga dan mempertahankan persatuan dan kesatuan nasional serta membangun dan meningkatkan kehidupan demokrasi. Arah kebijakan ini merupakan amanat GBHN yang bersifat prinsip dan menjadi arahan kebijakan pemerintah dalam periode lima tahun ke depan. Dengan segala kekurangan yang ada, berbagai penyempurnaan dan koreksi telah dilakukan pemerintah dalam bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan, serta HAM.

II - 13

B. Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai Pedoman umum dalam merumuskan langkah-langkah kebijakan yang lebih kongkrit dalam rangka pemulihan ketertiban kehidupan sosial dan peningkatan kehidupan demokrasi, antara lain meliputi penjabaran arah kebijakan yang berpedoman pada upaya demokratisasi, dengan tujuan penyempurnaan peran dan fungsi struktur politik dan infrastruktur demokrasi, peningkatan kualitas proses politik dan budaya politik demokratis, peningkatan hubungan luar negeri, disertai upaya pemulihan ketertiban sosial dan integrasi nasional. Langkah berikutnya, adalah merumuskan berbagai strategi implementasi, yang diperkirakan bisa berdaya dan berhasilguna, serta cukup bisa diterima oleh berbagai kalangan politik dan masyarakat secara umum. Langkah-langkah kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan pada ukuran-ukuran suatu sistem politik demokrasi secara ideal, tetapi juga mendasarkan diri pada berbagai realitas yang dihadapi masyarakat. Di satu pihak, pemerintah sadar sepenuhnya, bahwa demokratisasi, walaupun perlu segera dimulai prosesnya, tidak mungkin dibangun dalam waktu singkat. Di lain pihak, pemerintah menghadapi pula kenyataan di tingkat masyarakat bawah, bahwa krisis sosial ekonomi dewasa ini, telah menyebabkan pemiskinan dan penurunan mutu hidup masyarakat secara luar biasa. Rakyat tak mungkin menunggu dan diminta bersabar lebih lama lagi. Dilema-dilema antara demokrasi dan pemenuhan kebutuhan ekonomi, yang seringkali menimbulkan ketidaksabaran, tidak jarang menggoda untuk diambilnya jalan pintas politik yang berbahaya, yakni kembalinya otoriterisme baru. Itikad baik dan kesadaran seluruh kalangan elit politik, sangat dibutuhkan, agar perekonomian mampu segera mewujudkan kesejahteraan minimal yang dibutuhkan rakyat untuk bertahan hidup layak, di lain pihak proses demokrasi terus berjalan secara baik.

II - 14

1.

Struktur Politik dan Infrastruktur Demokrasi

Pada tataran struktur politik, kebijakan masing-masing bidang yang diamanatkan oleh GBHN diupayakan untuk sejalan dan saling memberikan dukungan satu sama lainnya. Untuk kepentingan itu, maka mekanisme hubungan kelembagaan perlu disempurnakan; baik di dalam lembaga pemerintahan, maupun hubungan pemerintah dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lainnya. Tujuan dan sasaran utama penyempurnaan struktur politik adalah terciptanya penyelenggaraan negara yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean government). Dalam kerangka hubungan antar lembaga-lembaga tinggi negara, struktur politik disempurnakan menuju berfungsinya mekanisme mengimbangi dan mengontrol (check and balance) secara optimal. Pemerintah, sejauh yang menyangkut kewenangannya, telah berusaha meletakkan dasar-dasar yang dibutuhkan bagi upaya menuju titik keseimbangan baru yang menjamin berjalannya demokrasi dalam hubungan otoritas dan fungsi-fungsi kelembagaan eksekutif dan penyelenggaraan negara secara menyeluruh. Pemerintah menerapkan pembenahan ke dalam sebagai bagian dari mekanisme bekerjanya suprastruktur politik yang sehat, pada saat bersamaan menerapkan kebijakan yang mampu menjembatani hubungan dan koordinasi yang baik dengan lembagalembaga tinggi negara lainnya. Kebijakan yang nyata antara lain berupa upaya perampingan dan efisiensi birokrasi. Sejak awal, prioritas yang cukup tinggi diberikan pemerintah pada upaya mendorong penguatan kinerja, efisiensi, dan produktivitas lembaga dan birokrasi pemerintahan. Pemerintah memberikan fasilitas bagi berkembangnya kemandirian lembaga-lembaga tinggi negara dan lembaga penegak hukum, agar mampu mendukung proses demokratisasi. Sebaliknya, mengurangi peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah yang berpotensi dapat menghambat proses demokratisasi. Di lain pihak, pemerintah telah merumuskan kebijakan pemberdayaan masyarakat, berupa upaya memperkuat lembaga-lembaga swadaya masyarakat II - 15

yang diharapkan mampu mengoptimalkan potensi masyarakat dalam menyelesaikan urusannya sendiri. Upaya ini berdasarkan asumsi bahwa di masa depan pemerintah hanyalah berperan sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bidang politik, pertahanan, dan keamanan, diproyeksikan untuk mampu saling berinteraksi secara positif dengan bidangbidang lainnya, termasuk bidang ekonomi dan penciptaan supremasi hukum. Kondisi politik yang cukup stabil, kondisi pertahanan dan keamanan nasional yang mantap dan dinamis, terciptanya tingkat kesejahteraan minimal melalui sistem perekonomian yang adil, serta terbangunnya supremasi hukum, diharapkan menjadi infrastruktur yang kokoh bagi berkembangnya sistem politik yang demokratis. Selama pemerintahan demokratis ini dilaksanakan oleh penyelenggara negara, berbagai langkah penerapan kebijakan politik penting sudah diambil, sebagai kewajiban dan tanggung jawab politik terhadap amanat rakyat di dalam GBHN. Dari berbagai langkah inilah, pemerintah melakukan evaluasi untuk kemudian menyusun arah kebijakan, serta strategi politik yang diperlukan dalam pengelolaan negara di masa setahun mendatang. Secara khusus perlu digarisbawahi, bahwa telah ada berbagai perkembangan penting dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Nasional. Bidang keamanan nasional penting untuk menjadi fokus pandangan di tengah era demokrasi ini, karena dengan berkembangnya paradigma baru di dalam kehidupan bangsa, terdapat pergeseran atau mungkin juga berupa gesekan yang disebabkan perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, yang dibutuhkan dalam mendukung demokratisasi. Dengan berlangsungnya reformasi yang lebih mendasarkan diri pada penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang didukung oleh jaminan rasa aman yang cukup memadai, maka caracara represi dan kekerasan, telah berkurang secara proporsional dan alamiah. Dengan demikian tidak ada lagi hal-hal yang dapat menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat untuk menyatakan pendapat secara bebas dan berinisiatif dalam menyelesaikan II - 16

berbagai persoalan yang dihadapi, serta aktif dalam kegiatan politik sesuai dengan aspirasinya masing-masing. TNI dan Polri sebagai inti kekuatan pertahanan dan keamanan nasional, tetap berfungsi menjaga kedaulatan bangsa dan negara dari ancaman dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah telah mendukung secara penuh perumusan kebijakan dan pelaksanaan paradigma baru TNI yang semula bersifat dogmatis menjadi analisis komprehensif. Pemerintah telah mengambil inisiatif untuk kembali memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dengan jabatan Panglima TNI dalam kabinet, demi menghindarkan pemusatan kekuasaan komando yang terlalu dominan, pada saat bersamaan menyerahkan jabatan Menhan kepada seorang sipil. Tindakan ini telah mengundang penghargaan luas dunia internasional. Sejalan dengan itu, Keputusan Rapat Pimpinan TNI pada April 2000 untuk menghapuskan Dwifungsi ABRI, merupakan keputusan yang menjadi salah satu tonggak demokrasi. Pemisahan Polri dari TNI, telah mendapatkan legitimasi, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No.89 Tahun 2000, tanggal 1 Juli 2000, tentang Pemisahan Polri dari Departemen Pertahanan, dan selanjutnya langsung berada di bawah Presiden RI; sambil menunggu keputusan yang paling tepat, dimanakah Polri selayaknya ditempatkan dalam struktur pemerintahan dan sistem penegakan hukum nasional. Pemerintah telah berhasil meyakinkan kalangan pimpinan TNI dan Polri untuk kembali pada tugas pokoknya, yaitu menjadi inti kekuatan pertahanan dan keamanan nasional, dengan menghindarkan keterlibatan pada kebijakan dan masalah-masalah politik. Implementasi kebijakan sangat penting yang telah diambil pemerintah dalam mengurangi hambatan atas perkembangan demokrasi, adalah menghapuskan Dwifungsi ABRI (TNI/Polri). Penghapusan Dwifungsi ABRI disertai pula dengan tekad untuk melepaskan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada para wakil rakyat yang dipilih secara demokratis pada Pemilu 2004 mendatang.

II - 17

Polri telah pula dikembalikan hakikat peranannya sebagai lembaga sipil bersenjata, yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat dan menjaga ketertiban sosial. Untuk itulah pemerintah sudah menetapkan kebijakan, agar Polri, diorientasikan sebagai bagian dari pilar penegakan hukum yang tidak dioperasionalkan berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan internal kepolisian, melainkan dengan asas-asas operasional yang lebih luas, atas dasar perlindungan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi penegakan hukum. Diharapkan dalam waktu selambat-lambatnya enam bulan mendatang, posisi Polri ini telah dilandasi oleh undangundang baru tentang Polri, sebagai pengganti UU No.28 Tahun 1997. Dengan demikian, pemerintah secara hampir bersamaan, telah berhasil melaksanakan salah satu amanat penting dari reformasi politik, yaitu menyangkut militer dan kepolisian. Beberapa perumusan dan pelaksanaan kebijakan dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Nasional antara lain melalui proses pembentukan RUU Rahasia Negara, RUU Senjata Api, dan RUU Kepolisian, yang saat ini sedang mengalami proses pengesahan di kantor kepresidenan. Selain itu, pemerintah sedang menata secara intensif berbagai kekuatan yang ada di kalangan masyarakat sipil, antara lain disesuaikan dengan reorientasi peran dan fungsi lembaga-lembaga pertahanan dan keamanan nasional, serta secara bertahap mengurangi militerisasi sipil dalam masyarakat. Upaya-upaya ini antara lain dengan menata dan menghapuskan organisasi-organisasi semi militer, seperti Resimen Mahasiswa (Menwa). Upaya ini masih akan dilanjutkan pada organisasi-organisasi politik yang memiliki satuan-satuan tugas yang berorientasi paramiliter. Salah satu tindakan lainnya yang telah dilakukan pemerintah sejak awal pembentukan kabinet adalah membubarkan Departemen Penerangan, dengan demikian menghilangkan salah satu potensi hambatan terbesar bagi pers bebas dan kontrol bagi aliran informasi yang diperlukan bagi proses pendewasaan masyarakat dan pendidikan demokrasi, serta sarana pengawasan politik agar penyelenggara negara tidak menyalahgunakan kekuasaan yang II - 18

dipercayakan rakyat padanya. Pemerintah juga menghapuskan Departemen Sosial, dalam rangka mendidik masyarakat untuk mengambil alih tanggung jawab sosial di tangan mereka sendiri. Kedua tindakan penghapusan departemen penting tersebut, walaupun dalam jangka pendek cukup menimbulkan gejolak, namun dalam jangka panjang akan bermanfaat bagi tumbuhnya demokrasi dan kebebasan berpendapat, serta diharapkan berguna dalam rangka memupuk munculnya inisiatif secara mandiri bagi masyarakat agar mampu mengurus dirinya sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri.

2.

Proses Politik dan Budaya Politik

Salah satu prasyarat demokrasi adalah transparansi dan akuntabilitas publik, yang salah satu tonggak terpentingnya adalah kebebasan pers memberikan informasi kepada masyarakat, pendidikan politik masyarakat, dan alat kontrol kepada kekuasaan. Tindakan memperkuat kebebasan berpendapat pers dan media massa, membuktikan itikad baik pemerintah bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Apa saja yang dilakukan pemerintah langsung dapat dinilai secara transparan oleh masyarakat melalui pers dan media massa. Dalam waktu setahun ini, pers dan media massa telah melancarkan kontrol dan pemberitaan yang kritis terhadap jalannya pemerintahan dan perpolitikan pada umumnya. Pemerintah memastikan bahwa sistem pers bebas terus berlanjut, karena pers yang bebas merupakan salah satu prasyarat mutlak bagi berjalannya demokrasi. Untuk memenuhi salah satu prinsip demokrasi dan kebebasan berpolitik, pemerintah telah pula melakukan pembebasan semua tahanan politik serta berupaya meninjau berbagai produk peraturan perundangan diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia dan politik yang demokratis. Saat ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia boleh berbangga pada dunia, bahwa penjara-penjaranya tidak lagi diisi II - 19

oleh warga negaranya hanya karena pandangan politik mereka berbeda dengan pemerintah. Selain itu, pemerintah sudah menghapus berbagai hambatan-hambatan sosial dan peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap sebagian warga negara Indonesia, karena agama yang mereka yakini. Sebagai contoh, pemerintah menghapus peraturan diskriminatif terhadap penganut agama minoritas melakukan upacara keagamaannya secara terbuka. Pemerintah meminta maaf kepada mereka, atas tekanan-tekanan diskriminatif yang telah mereka alami selama ini. Kebijakan pemerintah dalam hal ini diwujudkan dalam pemberlakuan Keppres No.6 Tahun 2000, tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967. Ketentuan tersebut sudah disosialisasikan melalui radiogram Menteri Dalam Negeri No.188.51/110/SJ tanggal 19 Januari 2000 yang mengemukakan bahwa perayaan/kegiatan Hari Raya Imlek tidak perlu ijin khusus. Pemerintah juga telah meminta maaf dan menyampaikan rasa penyesalan yang mendalam atas penderitaan berbagai kelompok yang telah mengalami tindakan diskriminasi sosial politik, tanpa pernah jelas kesalahan mereka selama bertahun-tahun. Termasuk di dalamnya adalah kepada keluarga yang anggota keluarga mereka dituduh terlibat dan menjadi anggota PKI, dan ribuan keluarga dari mereka yang dianiaya dan dibunuh tanpa pengadilan karena dicurigai sebagai anggota partai terlarang itu, pasca gagalnya apa yang disebut sebagai G30S/PKI pada 1965 dan tahun-tahun sesudah itu. Walaupun keputusan sepenuhnya berada di tangan MPR/DPR, tetapi sejak awal pemerintah telah secara konsisten mengajukan usul pencabutan Tap MPRS No.XXV/Tahun 1966 tentang pelarangan atas ajaran Marxisme-Leninisme dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut hemat pemerintah, rekonsiliasi nasional sesungguhnya, barulah bisa terjadi apabila semua ideologi dibiarkan saja berkembang sebagai wacana kebangsaan. Demokrasi akan mempunyai mekanisme tersendiri untuk melakukan seleksi, ideologi apa yang dikehendaki oleh rakyat, melalui mekanisme politik yang sehat dan bertanggung jawab.

II - 20

3.

Pemulihan Ketertiban Sosial dan Integritas Nasional

Pemulihan ketertiban sosial dan penyelesaian gejolak sosial politik di ketiga wilayah, Maluku, Irian Jaya, dan Aceh, dilakukan berdasarkan pendekatan persuasif dan tanpa kekerasan. Pemerintah sudah memutuskan, bahwa aspirasi rakyat ketiga wilayah perlu didengarkan dalam suatu dialog yang konstruktif dan dengan upaya maksimal untuk memahami kondisi sosio politik, tingkat kesejahteraan ekonomi dan kultural di ketiga wilayah. Selain itu, penghormatan dan penegakan hukum dan nilai-nilai universal HAM tetap menjadi pedoman dasar dalam upaya pemulihan keamanan dan ketertiban di wilayah-wilayah bergolak. Normalisasi kehidupan sosial dan pemulihan moral serta rehabilitasi sarana dan prasarana fisik diupayakan secara simultan dalam semangat rekonsiliasi nasional. Pemerintah meyakini bahwa keinginan memisahkan diri dari negara kesatuan RI, bukanlah gagasan yang berdiri sendiri, melainkan terkait sekali dengan persoalan keadilan sosial politik dan kesejahteraan ekonomi. Pemerintah percaya, anasir-anasir politik yang fanatik untuk memisahkan diri tanpa alasan yang masuk akal, hanya minoritas belaka, mengingat persamaan latar belakang historis Aceh dan Irian Jaya dalam proses kemerdekaan Indonesia sebagai negara-bangsa yang modern. Ada perasaan senasib sepenanggungan yang kental, yang mendorong bersatunya Aceh dan Irian Jaya di masa lalu, bersama dengan wilayah-wilayah lainnya di seluruh Indonesia. Selain itu, pemerintah meyakini bahwa rakyat Aceh dan Irian Jaya secara umum cukup menyadari, berdiri sendiri sebagai negara merdeka di era globalisasi ini bukan hal yang mudah, melainkan membutuhkan pengakuan internasional yang luas, serta berbagai infrastruktur politik dan kenegaraan lainnya, agar mampu mempertahankan eksistensinya secara wajar. Oleh karena alasan di atas, dalam upaya mempertahankan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sinkronisasi antara II - 21

kebijakan politik dalam negeri dan politik luar negeri bersifat sangat strategis, termasuk dalam upaya penyelesaian masalah-masalah gerakan separatisme dan pemulihan ketertiban di Aceh, Irian Jaya, dan Maluku. Penyelesaian masalah di ketiga propinsi ini berpedoman pada prinsip menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat. Sedangkan untuk Maluku sedang dicarikan formula yang paling bisa diterima oleh semua pihak yang bertikai, sementara ini pemberlakuan Darurat Sipil diharapkan akan mampu memulihkan situasi normal di wilayah Maluku. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, pemerintah menerapkan secara konsisten kebijakan politik demokratis, secara sistemik, dan terlembaga, atas semua masalah berdimensi kedaerahan, serta melalui pendekatan dialog tanpa kekerasan. Kebijakan pemberdayaan lembaga-lembaga perwakilan rakyat di daerah pada umumnya serupa antara satu wilayah dengan wilayah otonom lainnya, yakni berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hanya saja, pemerintah secara fleksibel siap berdialog, dengan memperhatikan kebhinekaan masing-masing daerah dengan dimensi masalahmasalahnya yang unik dan khusus. Saat ini pemerintah sedang mempersiapkan RUU Otonomi Khusus di Aceh, sebagai perwujudan dari amanat SU-MPR tahun 1999. Otonomi khusus Aceh akan segera diwujudkan pada akhir tahun 2000 ini juga. Penerapan otonomi khusus juga akan diberlakuan di Irian Jaya, tanah Papua, dalam waktu yang hampir bersamaan dengan dilaksanakannya otonomi khusus di Aceh. Untuk kawasan Maluku, pemerintah mengeluarkan Keppres No. 88 Tahun 2000 yang berisi pemberlakuan Darurat Sipil berdasarkan UU No. 23 Prp Tahun 1959 juncto UU No. 52 Prp Tahun 1960 yang memberikan kewenangan khusus bagi Presiden dan para pembantunya baik di pusat dan daerah untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam mengatasi konflik SARA yang telah memakan korban ribuan jiwa sejak awal konflik mengemuka pada Januari 1999. Pemerintah juga sedang melakukan koordinasi dengan berbagai pihak di luar pemerintah, mencari akar II - 22

persoalan konflik Maluku, termasuk kemungkinan adanya rekayasa politik untuk menciptakan ketidakstabilan politik untuk kepentingan politik partisan tertentu. Kalau ternyata ada pihak-pihak yang sengaja memprovokasi pergolakan sosial SARA di Maluku, maka pemerintah memiliki komitmen untuk mengambil tindakan secara tegas. Tujuan akhir penyelesaian konflik Maluku adalah pemulihan keamanan dan ketertiban, dengan proses yang sesuai dengan aspirasi berbagai pihak, mengutamakan dialog, serta menghormati hak-hak asasi manusia. Permasalahan pengungsi asal Timor Timur bersumber pada derasnya arus pengungsian ke NTT, yang apabila tidak ditangani secara benar dapat memperbesar penderitaan kemanusiaan dan dapat menurunkan citra dan martabat bangsa Indonesia. Dalam menyelesaikan permasalahan pengungsi ini digunakan pendekatan pemenuhan hak asasi manusia, yaitu memenuhi/melayani pilihan sukarela warga pengungsi untuk: (1) Kembali ke Timor Timur (diharapkan bisa kembali semuanya); (2) Bagi pengungsi yang belum mempunyai keputusan, untuk sementara dapat tinggal di Indonesia dengan mendapatkan pembinaan agar bersedia kembali ke Timor Timur; dan (3) Bagi para pengungsi yang telah memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia, akan dibina dan dipulihkan kehidupannya. Untuk menangani pemulangan pengungsi asal Timor Timur yang ada di segenap penjuru tanah air, Pemerintah RI telah melakukan kerjasama dengan UNHCR. Adapun dalam upaya pemulihan kehidupan sosial kemasyarakatan di Timor Timur dilakukan kerjasama dengan badan-badan PBB seperti UNHCR, WHO, dan Palang Merah Internasional. Program pemulangan pengungsi ke kampung halaman mereka telah berhasil mengembalikan lebih dari 118.000 jiwa, sehingga jumlah pengungsi yang masih tinggal di NTT kurang dari 130.000 jiwa (Tabel II-3). Dengan didasari oleh keinginan yang tulus untuk mencari jalan keluar bagi rakyat Aceh yang selama ini menderita akibat dari berlarut-larutnya konflik internal bersenjata di Aceh, Pemerintah II - 23

Indonesia belum lama ini bersedia untuk melakukan dialog dengan semua pihak yang terkait dengan masalah konflik di Aceh. Penyelesaian politik yang lebih memajukan dialog dan rekonsiliasi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah Aceh secara damai. Keppres No. 75 Tahun 2000 tentang Tim Koordinasi Penyelesaian Masalah Aceh, diharapkan mampu berperan dalam mencari formulasi yang makin mendekati penyelesaian masalah Aceh. Tim ini bersama GAM telah mampu bekerjasama dan berdialog untuk menyelenggarakan Jeda Kemanusiaan di Aceh. Dialog antara Pemerintah Indonesia dan faksi-faksi GAM diawali dengan suatu pertemuan penjajakan yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue (HDC), sebuah LSM internasional independen yang berkedudukan di Swiss. Proses dialog berlangsung selama tiga putaran yang dimulai sejak Januari 2000. Proses dialog tersebut telah menghasilkan Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh (Kesepahaman Bersama mengenai Jeda Kemanusiaan untuk Aceh). Kesepahaman Bersama ini meliputi upaya bersama baik untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan maupun pengurangan ketegangan dan penghentian kekerasan di Aceh. Kesepahaman Bersama tersebut telah ditandatangani pada tanggal 12 Juni 2000 di Swiss. Komponen Jeda Kemanusiaan terdiri dari Langkah Kemanusiaan dan Modalitas Keamanan. Sehubungan dengan hal tersebut, kedua pihak sepakat untuk membentuk Komite Bersama Langkah Kemanusiaan dan Komite Bersama Modalitas Keamanan. Selain itu, dibentuk pula Forum Bersama yang berkedudukan di Swiss. Jangka waktu berlakunya Jeda Kemanusiaan adalah tiga bulan dan akan dikaji pelaksanaannya sebelum berakhirnya Jeda Kemanusiaan. Kesepahaman Bersama ini merupakan langkah awal dari suatu perjalanan seribu langkah dalam upaya penyelesaian akhir masalah Aceh secara damai. Kesepahaman Bersama ini, jika terlaksana dengan baik, diharapkan dapat menumbuhkan rasa saling percaya bagi proses selanjutnya. Pada saat ini, komite-komite yang dibentuk berdasarkan Kesepahaman Bersama mulai bekerja guna pelaksanaan dari II - 24

Kesepahaman Bersama tersebut dan telah menghasilkan beberapa pokok aturan dasar. Masyarakat internasional telah pula mengulurkan berbagai bantuan agar Jeda Kemanusiaan untuk Propinsi Aceh dapat terlaksana dengan baik. Momentum Jeda Kemanusiaan tersebut perlu dimanfaatkan oleh pemerintah dalam upaya menghentikan permusuhan, pertumpahan darah, dan penderitaan rakyat Aceh. Berbagai kerusuhan memang masih terjadi di berbagai daerah, namun telah banyak berkurang intensitasnya. Pemerintah menduga, bahwa konflik-konflik berdarah seperti yang terjadi di Maluku, misalnya, bukanlah cerminan sesungguhnya dari perselisihan di tingkat masyarakat, melainkan sangat boleh jadi digerakkan oleh kalangan tertentu yang tidak suka dengan proses demokrasi yang sedang berjalan. Apabila titik simpul kerusuhan dan anarki ini diatasi, maka kerusuhan diyakini akan mampu diredam. Untuk menangani kerusuhan sosial yang terjadi di Maluku, pemerintah pusat telah berusaha dengan kemampuan yang ada untuk membantu para pengungsi secara optimal. Perhatian dari badanbadan PBB/internasional yang dikoordinasikan oleh perwakilan UNDP di Jakarta cukup besar. Pemulihan kehidupan sosial masyarakat Maluku yang telah porak poranda dilakukan dengan kebijakan terpadu, melalui gabungan pendekatan sekuriti, rekonsiliasi dan rehabilitasi dengan didukung oleh partisipasi para pihak yang berkepentingan. Baik untuk menangani bencana kemanusiaan akibat konflik sosial maupun akibat datangnya bencana alam, sangat dirasakan kendala tidak tersedianya dana segar yang bersifat on-call, yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mencegah atau menanggulangi korban jiwa dan penderitaan yang lebih besar lagi. Perlu kiranya disampaikan terima kasih yang tulus kepada berbagai lembaga pemerintah maupun organisasi bantuan non-pemerintah negara-negara sahabat, yang secara spontan telah memperlihatkan solidaritas dan perhatian besar pada masalah-masalah bencana kemanusiaan di Indonesia, seperti halnya yang terjadi pada bencana II - 25

gempa bumi besar yang terjadi di Propinsi Bengkulu belum lama berselang. Dalam hal penanggulangan bencana alam, berdasarkan Keppres No.106 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), sudah dibentuk mekanisme penanggulangan bencana nasional. Mekanisme ini melibatkan Menko Kesra dan Taskin, Meneg Maskat/BKSN, Departemen Kesehatan, Departemen Kimbangwil, TNI, dan SAR Nasional (BASARNAS). Mabes TNI berinisiatif cukup cepat dalam menanggulangi bencana alam, maupun dalam upaya mengatasi dampak konflik sosial, berupa pengiriman tenda, perahu karet, obatobatan, maupun pesawat-pesawat angkut militer dan kapal-kapal perang. Berbagai jenis kapal TNI-AL, misalnya, telah menunjukkan peranan yang besar dalam mencegah dan meminimalisir dampak bencana kemanusiaan yang terjadi, dengan berinisiatif membawa bantuan bahan-bahan kebutuhan pokok serta peralatan kesehatan, selain juga memperlancar pengungsian dari daerah bencana. Sebagai usaha preventif, selain lembaga-lembaga yang sudah ada, pemerintah juga telah membentuk Tim Yustisi Kebakaran Hutan dan Lahan yang melibatkan aparat penegak hutan (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk menindak pihak-pihak yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan secara hukum. Kejaksaan telah ditunjuk mewakili pemerintah untuk menuntut perusahaanperusahaan yang melakukan pembakaran dengan prioritas pada kasus yang telah diidentifikasi dan sedang disidik oleh Tim Yustisi. Namun demikian, perlu dijelaskan bahwa penanggulangan bencana bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah belaka, melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal penanggulangan tindak kriminalitas narkoba, kebijakan terpadu masih terus diupayakan koordinasinya. Secara horisontal, sudah ada koordinasi antara aparat penegak hukum, lembaga keamanan, organisasi keagamaan, kalangan pendidikan dan lembaga rehabilitasi korban narkoba dalam mengatasi masalah narkoba. Nasib bangsa dan masa depan generasi muda sangat II - 26

tergantung pada kelanjutan upaya koordinasi berbagai kalangan terkait tersebut. Secara vertikal, masalah narkoba diatasi secara lebih terpadu dan berkelanjutan antarinstansi terkait dari pusat sampai ke tingkat RT dan RW, ditunjang dengan UU Narkotika, UU Psikotropika dan diperkuat dengan terbentuknya Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), serta dengan mengoptimalkan fungsifungsi kelembagaannya seperti tertuang dalam Keppres No.116 Tahun 1999. Pemerintah sangat mendukung kampanye untuk menegakkan hukum serta memperkeras sanksi secara maksimal bagi para pengedar narkoba dalam segala bentuk dan jenisnya.

4.

Hubungan Luar Negeri

Kebijakan politik luar negeri difokuskan kepada upaya dan penggalangan dukungan terhadap pelaksanaan demokratisasi di Indonesia, dan utuhnya wilayah Negara Kesatuan RI, serta mengembalikan kepercayaan internasional. Disadari bahwa keberhasilan pemulihan kondisi sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya juga dipengaruhi oleh kerjasama dan bantuan luar negeri. Diplomasi dan hubungan internasional Indonesia sedang mencari bentuknya yang baru secara lebih proaktif, serta mampu menegaskan netralitas Indonesia dalam percaturan politik internasional. Pertemuan Kepala Negara RI dengan pemimpin berbagai negara, telah berhasil meningkatkan saling pengertian antara Indonesia dengan dunia internasional, termasuk negaranegara kunci, baik secara politik maupun ekonomi, seperti AS, Jepang, Uni Eropa, serta Cina dan India. Gagasan tentang Poros Segitiga Asia yang tidak mengikat antara Cina, Indonesia, dan India, telah banyak menimbulkan apresiasi dalam rangka mencari jalan ke luar untuk menemukan Tatanan Baru Internasional yang lebih adil antara Negara-negara Maju di kelompok Utara dengan Negara-negara Sedang Berkembang di kelompok Selatan. Salah satu kebijakan utama pemerintah yang penting digarisbawahi adalah mengukuhkan legitimasi dan pengakuan II - 27

internasional terhadap pemerintah Indonesia dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Politik luar negeri bebas aktif yang berujung tombak diplomasi yang lebih proaktif adalah landasan utama kebijakan pemerintah untuk mengembalikan posisi terhormatnya di dunia internasional. Pemerintah dalam bulan-bulan pertama telah berhasil secara menentukan dalam mendapatkan kredibilitas yang tinggi di mata internasional dan pengakuan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penegasan dunia internasional atas persatuan keutuhan wilayah nasional Indonesia ini, mendapat dukungan kebijakan pemerintah yang secara prinsip mengutamakan pendekatan anti-kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah disintegrasi dan gerakan separaratis di Aceh dan Irian Jaya. Komitmen untuk mengadili berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur pasca Jajak Pendapat tahun 1999 secara tanpa pandang pangkat dan jabatan aparat militer juga telah menguatkan kredibilitas Indonesia di dunia internasional. Penerapan kebijakan luar negeri bebas aktif yang proaktif telah berhasil secara amat baik. Sejumlah 34 negara yang dikunjungi Presiden selama 9,5 bulan ini, dengan tegas mengakui integritas wilayah NKRI dan mengakui keabsahan Pemerintah baru hasil Pemilu 1999. Pemerintahan negara-negara sahabat, baik negaranegara tetangga ASEAN, negara-negara Barat, termasuk AS dan Uni Eropa, maupun mitra negara-negara Selatan, termasuk Cina, India dan Jepang, mendukung sepenuhnya proses demokratisasi di Indonesia. Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, IDB, dan ADB, telah menyatakan komitmennya yang positif dalam mendukung pemulihan ekonomi Indonesia, melalui perubahan struktur perekonomian ke arah yang lebih sehat, adil dan mampu mendukung pembangunan berkelanjutan (sustainable development) serta mendorong pertumbuhan demokrasi.

C.

Tindak Lanjut yang Diperlukan Berbagai hal penting yang telah dilakukan pemerintah

II - 28

dalam mendorong demokrasi dengan cara memperkuat struktur dan lembaga politik, serta berbagai upaya memperkuat mekanisme politik, serta budaya politik yang menjunjung tinggi persamaan di muka hukum, adalah merupakan langkah-langkah awal perjalanan kehidupan demokrasi dan mempertahankan persatuan nasional. Masalah-masalah besar akan terus berdatangan menguji keteguhan hati seluruh bangsa dan kemantapan tujuan nasional Indonesia. Hanya sebuah pemerintahan yang mempunyai visi yang menjangkau jauh ke masa depan, serta mendapat dukungan rakyat sepenuhnya, paling mungkin membawa Indonesia selamat, dan berjaya di masa depan. Itupun masih belum memberikan jaminan mutlak atas keberhasilannya, mengingat konstelasi politik nasional dan internasional yang terus berubah. Oleh karena itulah, beberapa prioritas upaya politik perlu dilakukan dalam membangun demokrasi, dengan meminimalisir ekses-ekses negatif yang menyertainya.

1.

Struktur Politik dan Infrastruktur Demokrasi

Dalam bidang perundangan-undangan politik, pemerintah telah menyiapkan pengajuan RUU tentang Rekonsiliasi Nasional (RUU/RK) sebagai dasar pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang bernilai strategis bagi pengembangan iklim politik yang demokratis. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini diharapkan mampu bekerja secara efektif sebagai sarana untuk menyembuhkan luka-luka yang disebabkan oleh berbagai konflik politik dan pelanggaran kemanusiaan di masa lalu, termasuk eksesekses dari penumpasan G30S/PKI beserta penyelidikan latar belakang peristiwanya. Selain itu pemerintah telah pula mengajukan RUU tentang Pengadilan HAM sebagai dasar dalam pelaksanaan pengadilan bagi para pelanggar HAM, dalam upaya menempatkan posisi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Apabila Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mampu bekerja dengan prosedur standar internasional, maka berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan politik di masa lalu akan II - 29

jelas pertanggung jawabannya. Selanjutnya, diharapkan akan dapat membantu proses penyelesaian politik dan hukum secara adil, dengan jaminan bahwa pelanggaran-pelanggaran politik dan kemanusiaan serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan, dalam sistem politik demokrasi. Dalam bidang struktur politik, pemerintah mendukung pendapat tentang perlunya perbaikan-perbaikan yang signifikan atas UUD 1945 yang dilakukan MPR. Amandemen konstitusi adalah hal yang lumrah di negara demokrasi. Bahkan apabila rakyat melalui para wakilnya, menghendaki konstitusi yang baru, maka pemerintah akan patuh melaksanakannya. Peran dan fungsi MPR/DPR perlu terus-menerus disempurnakan agar makin mendekati dan mewakili aspirasi mayoritas rakyat. Wacana tersebut perlu dibuka secara luas, sehingga dapat mengungkap berbagai isu penting yang berkembang, seperti perlu tidaknya wakil TNI/Polri di MPR, setelah keberadaan wakil TNI/Polri di DPR dianggap tidak diperlukan lagi. Pengurangan jumlah anggota Fraksi TNI di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan konsekuensi dari kesepakatan yang telah dituangkan dalam UU No.4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di samping itu, perlu pula diperhatikan mengenai status Utusan Daerah di MPR, sejalan dengan pemberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, yang menjadi landasan pemberlakuan Otonomi Daerah. Kedua produk perundang-undangan tentang otonomi daerah pun masih perlu dituangkan secara sungguh-sungguh ke dalam peraturan-peraturan pelaksanaan yang adil dan jelas arahnya. Posisi TNI dan Polri memerlukan tindak lanjut politis yang lebih mendasar. Baik TNI maupun Polri diusulkan untuk tidak berada langsung di bawah Presiden, melainkan berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan bagi TNI dan Departemen Dalam Negeri atau Depkumdang bagi Polri. Perlu ditegaskan, bahwa baik TNI maupun Polri adalah lembaga-lembaga pertahanan dan keamanan nasional yang mobilitasnya digerakkan oleh kebijakan politik sebagai penyelenggara negara. Kekuasaan Presiden terhadap TNI sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 II - 30

Pasal 10, yang menyatakan: Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Kewenangan Presiden adalah sebagai Panglima Tertinggi atas TNI, karena Presiden secara politik menerima delegasi kekuasaan dari rakyat. TNI tidak bisa bergerak sendiri, tetapi harus didasarkan atas kewenangan yang diberikan undang-undang. Politik pertahanan nasional tidak lain adalah untuk mendukung Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan RI. Pembagian kewenangan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI di masa mendatang perlu dilakukan untuk lebih memperjelas tugas dan tanggung jawab masing-masing. Menhan memiliki tugas dan bertanggung jawab atas kebijakan politik pertahanan, kebijakan dan perencanaan kekuatan pertahanan, serta penyiapan sarana dan prasarana pendukung sistem pertahanan nasional. Di sisi lain, Panglima TNI memiliki tugas dan bertanggung jawab atas pemeliharaan dan peningkatan kualitas kekuatan dan kemampuan pertahanan, pengkajian perencanaan, dan penerapan strategi militer, serta perencanaan dan pelaksanaan operasi militer. Secara konseptual, dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional, perlu upaya melanjutkan misi, kebijakan pembangunan sektor hankam sebagai jabaran dari arah dan kebijakan pembangunan sektor hankam, sebagaimana tertuang dalam GBHN 2000-2004, dalam rangka pencapaian visi yang menyeluruh dari Departemen Pertahanan. Secara kontekstual, diperlukan upaya pelaksanaan berbagai upaya yang berkaitan dengan reformasi secara menyeluruh, penataan organisasi, penataan peran TNI, pemutakhiran peraturan perundang-undangan dan pembudayaan kesadaran bela negara. Perlu pula diperjelas hubungan TNI-Rakyat, dalam kerangka sishankamrata sesuai dengan semangat konstitusi dan berdasarkan kebutuhan nyata dari rakyat. Salah satu aspek yang berkaitan dengan pemantapan stabilitas keamanan adalah melakukan penyesuaian peran TNI menggunakan paradigma baru TNI. Berdasarkan paradigma baru tersebut, maka TNI dituntut konsisten dan sungguh-sungguh II - 31

melakukan berbagai upaya redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran TNI dalam kehidupan berbangsa, penghapusan kekaryaan TNI, serta tidak terlibatnya TNI dalam politik. Dalam peninjauan doktrin dan pola operasionalnya, peran TNI yang semula bersifat dogmatis, diarahkan menuju pendekatan analisa komprehensif, di mana TNI dipandang sebagai bagian dari sistem nasional, sehingga TNI dapat tampil dalam postur baru dan reformis pada abad XXI. Redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran TNI ditujukan dalam mendukung perkembangan politik nasional yang bertujuan membentuk masyarakat modern (civil society), serta mengembangkan sistem demi terwujudnya tujuan akhir, yakni kesejahteraan dan keadilan rakyat Indonesia. Dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional diperlukan pula pembaruan, yaitu dengan mengganti atau mengamandemen UU No. 20 Tahun 1982 sebagai konsekuensi reformasi internal Dephan, TNI, profesionalisme Polri, maupun paradima baru TNI, untuk selanjutnya dijabarkan ke dalam berbagai peraturan pelaksanaan.

2.

Proses Politik dan Budaya Politik

Hal strategis dalam penyempurnaan proses politik demokrasi adalah penyelenggaraan pemilihan Presiden RI secara langsung mulai tahun 2004. Konsekuensinya adalah, dipisahkannya antara proses Pemilu untuk memilih Presiden dengan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat, sehingga diharapkan kemungkinan terjadinya distorsi dalam proses artikulasi politik aspirasi rakyat dapat dihindarkan secara optimal. Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, pemilihan kepala pemerintahan (eksekutif) diadakan dalam kerangka yang terpisah dengan pemilihan anggota-anggota dewan perwakilan rakyat (legislatif). Terkait dengan agenda penyempurnaan struktur politik melalui amandemen UUD 1945, maka perlu dibangun secara terusmenerus hubungan saling mendukung dan mengoreksi (check and balance) antara Presiden dan DPR. Sistem oposisi politik yang II - 32

menghadapkan partai yang membentuk pemerintahan dengan partai yang mengimbangi kekuatan pemerintah perlu diperkenalkan dan dibangun, agar pemerintah selalu memberikan yang terbaik dari potensi yang dimilikinya. Budaya oposisi untuk memastikan adanya proses politik yang transparan dan bertanggung jawab pernah menjadi tradisi politik di Indonesia pada masa demokrasi parlementer. Oleh karena itu, sesungguhnya, Indonesia sudah mempunyai pengalaman, dalam upaya membangun kembali budaya oposisi di masa mendatang. Penyusunan naskah peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik perlu ditindaklanjuti guna memenuhi kebutuhan operasional dalam aktualisasi partai politik dalam iklim demokratis yang sedang berkembang. Untuk itu diperlukan kajian dan analisis bersama tentang kegiatan partai politik, baik dalam pendidikan politik rakyat maupun dalam peluang mengikuti, sehingga keberadaan partai politik benar-benar efisien dan sesuai dengan harapan rakyat para pendukungnya. Dalam upaya menciptakan proses dan budaya politik demokrasi, diperlukan adanya perbaikan mutu pendidikan nasional di semua tingkat dan bidang. Pemerintah mempunyai keprihatinan yang besar atas mutu pendidikan dewasa ini, oleh karena itu mendorong wacana kurikulum pendidikan nasional yang mendukung kemandirian, memupuk budaya demokrasi, serta berorientasi pada pembangunan bangsa yang berkarakter (nation and character building). Selain itu, budaya menghormati HAM dan menjunjung tinggi hukum perlu ditanamkan pada generasi muda, sebagai dasar pembentukan masyarakat warga yang modern (civil society), yang mengerti dan berkesadaran tinggi terhadap hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

3.

Pemulihan Ketertiban Sosial dan Integritas Nasional Upaya penyelesaian masalah separatisme konflik berdarah II - 33

di daerah, terutama: Aceh, Irian Jaya, dan Maluku serta daerah dengan potensi masalah lainnya, seperti Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, dilakukan secara sistematis dan bertahap. Penataan sistem prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemerintah daerah, termasuk hubungan kerja timbal balik dan terbuka antara eksekutif dan legislatif daerah, perlu disempurnakan dengan mengutamakan mekanisme yang mencerminkan aspirasi masyarakat daerah. Dalam penentuan kebijakan dan prosedur politik dalam hubungan kelembagaan di daerah, Pemerintah pusat berperan sebagai fasilitator. Walaupun demikian, dalam berbagai kebijakan strategis, pemerintah pusat masih perlu terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Untuk wilayah Aceh, pemerintah perlu menindaklanjuti berbagai kebijakan politiknya dengan komitmen yang lebih nyata dan konkret, yaitu dengan secara konsisten melakukan penghentian tindak kekerasan setelah pencabutan DOM pada 1999 dan melanjutkan proses damai setelah pemberlakuan Jeda Kemanusiaan di Aceh. Selanjutnya, Pemerintah secara berkelanjutan dan konsisten, perlu memenuhi secara optimal hak-hak rakyat Aceh dalam kerangka pemberlakuan otonomi khusus. Memperhatikan berbagai realitas yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, maka politik luar negeri dijadikan alat perjuangan untuk menjaga keutuhan wilayah nasional, persatuan bangsa serta stabilitas nasional khususnya menghadapi masalah separatisme di Aceh dan Irian Jaya. Sementara itu, pemisahan Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu dijamin agar tidak menimbulkan preseden buruk. Selanjutnya Timor Timur sudah selayaknya dijadikan sebagai negara mitra dengan menghilangkan berbagai hambatan psikologis dan politis, sebagai bekas wilayah Indonesia. Timtim perlu dijadikan tetangga yang bersahabat dan dapat dijadikan batu loncatan diplomasi internasional Indonesia di kawasan Pasifik Selatan, Asia, dan Oceania. Dalam menyikapi persoalan Irian Jaya, pemerintah akan tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan di Aceh, yakni dengan mengutamakan dialog guna mencari II - 34

penyelesaian yang komprehensif dan berkelanjutan. Pedoman utama yang digunakan adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi Khusus bagi Irian Jaya diharapkan pada akhirnya akan dapat diterima oleh rakyat Irian Jaya, antara lain dengan pemberian konsesi yang luas untuk menikmati nilai tambah ekonomi dari eksplorasi sumberdaya alam di kawasan itu. Daerah Maluku yang sudah mengalami kerusakan yang luar biasa, baik dalam hal infrastruktur kehidupan sosial kemasyarakatan dan ekonomi, maupun trauma psikologis masyarakat yang cukup berat, dalam waktu tak terlalu lama lagi diharapkan dapat memulai pembangunan kehidupan sosialnya kembali. Pemberlakuan darurat sipil berdasarkan UU No. 23 Prp Tahun 1959, sudah memperlihatkan hasilnya. Setelah tertib sipil dipulihkan kembali, pemerintah tetap berkeyakinan, bahwa pemulihan kehidupan sosial dan rekonsiliasi melalui dialog yang konstruktif sebaiknya tetap dilakukan terutama oleh masyarakat Maluku sendiri. Pemerintah bersedia bertindak sebagai fasilitator dan penengah antara pihakpihak yang selama ini berselisih.

4.

Hubungan Luar Negeri

Dalam meningkatkan hubungan dan kerjasama luar negeri, Indonesia tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif dengan penekanan pada pendekatan yang lebih proaktif. Politik luar negeri diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial serta ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama regional dan internasional. Politik luar negeri Indonesia diabdikan untuk menunjang kesejahteraan umum dan pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan hubungan ekonomi luar negeri perlu dilakukan dengan pendekatan secara politis-ekonomi tanpa mengabaikan stabilitas keamanan, sosial dan budaya yang diarahkan untuk II - 35

menunjang prioritas pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Indonesia tetap perlu menjalankan politik luar negeri yang rasional dan moderat dengan mengandalkan prinsipprinsip kerjasama internasional, saling menghargai kedaulatan nasional, serta menghormati prinsip-prinsip non-intervention dan non-interference dalam pergaulan internasional. Diplomasi Indonesia dilaksanakan dengan menjauhi sikap konfrontatif. Dengan demikian, Indonesia perlu terus berperan aktif dalam diplomasi proaktif serta tidak reaktif dalam upaya penyelesaian konflik dan upaya pemeliharaan perdamaian dunia. Walaupun kawasan Asia baru saja dilanda krisis ekonomi dan keuangan, dan masing-masing negara kawasan tersebut sedang memusatkan perhatian pada pemulihan perekonomian dalam negeri, namun hal ini tidak mengendurkan hubungan kerjasama yang erat di antara sesama negara kawasan. Hubungan Indonesia dengan negaranegara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) tetap menempati prioritas tertinggi. Melalui forum ASEAN, berbagai dialog kerjasama dengan pihak-pihak lain di luar Asia Tenggara diharapkan terus dijalin dan dikembangkan dengan baik, termasuk dengan negara-negara besar dunia. Tanpa jaringanjaringan kerjasama yang telah dikembangkan oleh ASEAN tersebut, dampak krisis ekonomi terhadap situasi politik, ekonomi dan sosial akan menjadi jauh lebih buruk. Salah satu kegiatan yang telah dikembangkan oleh ASEAN, adalah kerjasama dengan tiga negara Asia Timur yang merupakan negara-negara penting di Asia-Pasifik dan merupakan motor penggerak perekonomian Asia yaitu RRC, Jepang dan Korea Selatan, atau dikenal dengan sebutan ASEAN+3". Dalam kaitan ini Presiden R.I. telah menghadiri Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Informal ASEAN ke-3 di Manila, 28 Nopember 1999, yang dilanjutkan dengan Pertemuan-pertemuan Puncak ASEAN dengan RRC, Jepang, dan Korea Selatan, baik secara bersama maupun secara terpisah dengan masing-masing negara Asia Timur tersebut. Hasil terpenting adalah kesepakatan KTT ASEAN+3 untuk meningkatkan kerjasama diantara negara-negara ASEAN, RRC, Jepang, dan Korea Selatan yang II - 36

tercantum dalam pernyataan tentang Kerjasama Asia Timur (Statement on East Asia Cooperation), yang meliputi kerjasama di bidang ekonomi, keuangan, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, dialog politik dan masalah-masalah lintas-batas. Sementara itu, hubungan Indonesia-Australia yang menurun secara drastis pada pasca pengumuman hasil jajak pendapat di Timor Timur pada Agustus-September 1999, dengan upaya dan niat baik kedua kepala pemerintahan, telah menampakkan tanda-tanda membaik. Saat ini, kedua negara tengah mengupayakan perbaikan hubungan bilateralnya, serta merencanakan untuk melakukan dialog segitiga antara Indonesia-Timor Timur-Australia. Berdasarkan berbagai capaian-capaian politik dalam negeri maupun internasional yang telah dikemukakan di atas, serta diikuti dengan berbagai tindakan pemulihan ketertiban kehidupan sosial politik secara menyeluruh, pemerintah merasa yakin bahwa demokratisasi dan pembangunan nasional secara umum berada pada arah yang benar. Upaya-upaya politik pemerintah hendaknya didukung oleh seluruh pihak yang berkepentingan akan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah menghimbau agar kepentingan-kepentingan politik yang bersifat partisan lebih mampu menahan diri dan tidak memaksakan kehendaknya, agar situasi kebersamaan dan semangat kebangsaan yang kondusif, mampu diperbaiki secara berkelanjutan.

II - 37

Anda mungkin juga menyukai

  • HEMATOCHEZIA
    HEMATOCHEZIA
    Dokumen21 halaman
    HEMATOCHEZIA
    Hendri Jaya Permana
    100% (2)
  • HEMATOCHEZIA
    HEMATOCHEZIA
    Dokumen21 halaman
    HEMATOCHEZIA
    Hendri Jaya Permana
    100% (2)
  • BAB 2. Tinjauan
    BAB 2. Tinjauan
    Dokumen5 halaman
    BAB 2. Tinjauan
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Pandujvhgan Prajhgktis Kljinis
    Pandujvhgan Prajhgktis Kljinis
    Dokumen2 halaman
    Pandujvhgan Prajhgktis Kljinis
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • LAPSUS IMA (Isi)
    LAPSUS IMA (Isi)
    Dokumen32 halaman
    LAPSUS IMA (Isi)
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Dian 2
    Dian 2
    Dokumen1 halaman
    Dian 2
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • COVER Vitiligo
    COVER Vitiligo
    Dokumen2 halaman
    COVER Vitiligo
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Vaskularisasi Otak
    Vaskularisasi Otak
    Dokumen11 halaman
    Vaskularisasi Otak
    Hendri Jaya Permana
    100% (1)
  • Referat DN Dian
    Referat DN Dian
    Dokumen21 halaman
    Referat DN Dian
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Vitiligo
    Vitiligo
    Dokumen33 halaman
    Vitiligo
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Referat Cranial Arteritris
    Referat Cranial Arteritris
    Dokumen18 halaman
    Referat Cranial Arteritris
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Judul Referat DN
    Judul Referat DN
    Dokumen1 halaman
    Judul Referat DN
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Referat Diabetic Nefropati
    Referat Diabetic Nefropati
    Dokumen23 halaman
    Referat Diabetic Nefropati
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Referat USG Mata
    Referat USG Mata
    Dokumen12 halaman
    Referat USG Mata
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Referat DN Dian
    Referat DN Dian
    Dokumen21 halaman
    Referat DN Dian
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Hematochezia
    Cover Referat Hematochezia
    Dokumen3 halaman
    Cover Referat Hematochezia
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Referat USG Mata
    Referat USG Mata
    Dokumen12 halaman
    Referat USG Mata
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • SEROSIS
    SEROSIS
    Dokumen14 halaman
    SEROSIS
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • KB Hormonal 2
    KB Hormonal 2
    Dokumen25 halaman
    KB Hormonal 2
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Responsi Epilepsi
    Responsi Epilepsi
    Dokumen4 halaman
    Responsi Epilepsi
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Pembahasan
    Pembahasan
    Dokumen1 halaman
    Pembahasan
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi Dalam Kehamilan
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    Dokumen8 halaman
    Hipertensi Dalam Kehamilan
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Ortodonti
    Ortodonti
    Dokumen16 halaman
    Ortodonti
    Suryo Basofi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Demam Typhoid
    Lapsus Demam Typhoid
    Dokumen33 halaman
    Lapsus Demam Typhoid
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan TB
    Penyuluhan TB
    Dokumen17 halaman
    Penyuluhan TB
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Chapter I
    Chapter I
    Dokumen4 halaman
    Chapter I
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Pembahasan
    Pembahasan
    Dokumen1 halaman
    Pembahasan
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Pembahasan
    Pembahasan
    Dokumen1 halaman
    Pembahasan
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat
  • Soft Tissue Diseases
    Soft Tissue Diseases
    Dokumen24 halaman
    Soft Tissue Diseases
    Hendri Jaya Permana
    Belum ada peringkat