JURISDIKSI
Masaki Hamano (Comparative Study in the Approach to Jurisdiction in Cyberspace) legislative jurisdiction (jurisdiction to prescribe) judicial jurisdiction (jurisdiction to adjudicate) executive jurisdiction (jurisdiction to enforce)
Jonathan Clough (Principles of Cybercrime) 1. Prescriptive jurisdiction 2. Adjudicative jurisdiction 3. Enforcement jurisdiction
1. 2. 3.
JURISDIKSI TRADISIONAL
Masaki Hamano (Comparative Study in the Approach to Jurisdiction in Cyberspace)
Ada tiga kategori jurisdiksi tradisional :
1) jurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction atau jurisdiction to prescribe) : a States authority to make its substantive law applicable to particular persons and circumstances; 2) jurisdiksi judisial (judicial jurisdiction atau jurisdiction to adjudicate) : a States authority to subject persons or things to the process of its courts or administrative tribunal, whether in civil or in criminal proceedings, whether or not the State is a party to the proceedings; 3) jurisdiksi eksekutif (executive jurisdiction atau jurisdiction to enforce) : a States authority to induce or compel compliance or to punish noncompliance with its laws or regulations, whether through its courts or by use of executive, administrative, police, or other nonjudicial action;
Jurisdiksi tradisional berkaitan dengan batasbatas kewenangan negara di tiga bidang penegakan hukum :
Pertama, kewenangan pembuatan hukum substantif (oleh karena itu disebut jurisdiksi legislatif, atau dapat juga disebut jurisdiksi formulatif). Kedua, kewenangan mengadili atau menerapkan hukum (oleh karena itu disebut jurisdiksi judisial atau aplikatif). Ketiga, kewenangan melaksanakan/memaksakan kepatuhan hukum yang dibuatnya (oleh karena itu disebut jurisdiksi eksekutif).
Pendapat J-P banyak yang mengkritik, a.l. : (1) Lawrence Lessig; (2) Christopher Doran; (3) Masaki Hamano.
KRITIK (lanjutan)
(2) Masaki Hamano :
ide J-P ini tidak terwujud dalam kenyataan. Sekalipun banyak kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan dunia cyber, namun pengadilanpengadilan di Amerika Serikat telah menerima pendekatan tradisional terhadap sengketa jurisdiksi cyberspace daripada menyusun seperangkat hukum baru yang lengkap mengenai cyberlaw. Adalah benar bahwa ada keterbatasan kemampuan negara untuk mengatasi problem yurisdiksi yang ditimbulkan oleh Internet. Akan tetapi, adalah juga benar bahwa cyberspace tidak sama sekali bebas dari peraturan-peraturan pemerintah.
Barda :
setuju dengan pernyataan Masaki Hamano di atas. Sistem hukum dan jurisdiksi nasional/territorial memang mempunyai keterbatasan, namun tidak berarti aktivitas di ruang cyber dibiarkan bebas tanpa hukum. Ruang cyber (mayantara) merupakan bagian atau perluasan dari lingkungan (environment) dan lingkungan hidup (life environment) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya. Jadi merupakan juga suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi. perusakan dan pencemaran informasi di mayantara (dapat disebut dengan istilah cyber-damage dan cyber-pollution) merupakan bagian dari environmental crime yang perlu dicegah dan ditanggulangi. Oleh karena itu, jurisdiksi legislatif atau jurisdiction to prescribe tetap dapat dan harus difungsikan untuk menanggulangi cyber-crime yang merupakan dimensi baru dari environmental crime. problem jurisdiksi yang menonjol terletak pada jurisdiksi judisial/ adjudikasi (jurisdition to adjudicate) dan jurisdiksi eksekutif (jurisdiction to enforce) karena kedua masalah ini sangat terkait dengan kedaulatan wilayah dan kedaulatan hukum masing-masing negara. Oleh karena itu perlu ada harmonisasi, kesepakatan, dan kerja sama antar-negara mengenai masalah jurisdiksi ini.
PENGATURAN JURISDIKSI
Australia memberi kewenangan untuk menuntut seseorang dimanapun berada yang menyerang komputer di wilayah Australia. USA : tidak hanya dapat menuntut setiap orang asing yang menyerang komputer-komputer di USA, tetapi juga orang Amerika yang menyerang komputer di negara-negara lain. Dari ketentuan demikian terlihat, bahwa komputer dipandang sebagai kepentingan nasional dan sekaligus kepentingan internasional yang sepatutnya dilindungi, dan oleh karena itu terkesan dianut asas ubikuitas (the principle of ubiquity) atau asas omnipresence (ada di mana-mana). Prinsip ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan, bahwa delik-delik yang dilakukan/terjadi sebagian di wilayah territorial negara dan sebagian di luar territorial suatu negara, harus dapat dibawa ke dalam jurisdiksi setiap negara yang terkait.
Ketentuan no. 1 jelas memuat asas territorialitas. No. 2 mengandung asas ekstra territorial (di luar Indonesia), namun juga mengandung asas territorialitas & asas ubikuitas.
TEORI YURISDIKSI
1. theory of the uploader and the downloader; 2. theory the law of the server, 3. the theory of international spaces. Ad 1 : The theory of the uploader and the downloader. Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Kota Minnesota di Amerika Serikat adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini.
Ad 2 : Theory the law of the server. Pendekatan ini memperlakukan server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu dimana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing. Ad 3 : The theory of international spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.