Anda di halaman 1dari 7

CATATAN SINGKAT TENTANG PEMBAHASAN RUU KUHP

Harkristuti Harkrisnowo
Pada Seminar Refleksi 70 tahun Pembaruan Hukum Pidana Indonesia
yang diselenggarakan oleh Universitas Semarang
Jakarta, 2 Desember 2015

Yang terhormat
Gubernur Jawa Tengah
Rektor Universitas Semarang
Para Pendiri Universitas Semarang
Seluruh dosen, mahasiswa dan hadirin yang saya hormati,
Assalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat berkah dan
perlindungannyalah kita semua dapat berkumpul disini dalam keadaan sehat walafiat dalam
acara yang penting ini.

Pertama-tama saya ingin memulai dengan memberikan apresiasi pada Universitas Semarang
yang telah menyelenggarakan acara yang penting ini ketika RUU KUHP tengah dalam
pembahasan oleh Panitia Kerja di DPR. Panitia Kerja RUU KUHP sebagian diantaranya hadir
disinisaat ini tengah bekerja keras dengan melakukan pembahasan setiap hari Senin sampai
dengan Kamis, dan ini direncanakan akan terus berlangsung sampai dengan Desember 2016.
Tentu tekad semacam ini membutuhkan bukan hanya stamina tapi juga persistensi agar kita
memperoleh KUHP Nasional yang selaras dengan nilai dan norma bangsa Indonesia.

Tujuh dasawarsa sudah berlalu sejak dimulainya suatu corpus magnum berupa penyusunan RUU
KUHP. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa RUU KUHP adalah ancient legacy yang
dihasilkan para perancangnya yang terdiri dari para akademisi dan praktisi hukum sejak
pertengahan tahun 1960. Sejarah mencatat bahwa ketua tim perancang yang pertama berasal dari
Semarang, yaitu Prof. Sudarto. Berturut-turut kemudian tim ini diketuai oleh para profesor
hukum pidana, Prof Oemar Seno Adji, Prof Roeslan Saleh, Prof Mardjono Reksodiputro, dan
kemudian, Prof Muladi, yang juga berasal dari Semarang. Kajian demi kajian per cluster mulai
dilakukan dengan memakan waktu lama dengan banyak perdebatan yang sengit. Namun semua
sepakat bahwa RUU KUHP perlu untuk menegakkan kembali basic social values, untuk
berperan sebagai ultimum remedium manakala instrumen hukum lain tidak berhasil, dan tentunya
harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Patut dicatat bahwa inilah yang terjadi walau pada
saat awal penyusunannya isu HAM memang belum mencuat ke permukaan, apalagi UU tentang
Hak Asasi Manusia.

Ibu Bapak yang terhormat,

Ada kesedihan, jauh di dalam sini, ketika mengetahui bahwa masih saja ada kelompok-kelompok
yang ingin menunda pembahasan RUU KUHP, masih saja ada yang memandang bahwa RUU
KUHP merupakan upaya pemerintah untuk menghadang gerakan pemberantasan korupsi, masih
saja ada yang tidak menyadari sense of urgency dari keberadaan KUHP Nasional.. namun ketika
membaca Term of Reference Panitia Seminar ini, saya sangat gembira karena dicantumkan
bahwa Pengesahan RKUHP menjadi hukum positif merupakan harga mati. Perjuangan untuk
mengesahkan RKUHP nasional harus dilakukan secara berkelanjutan dan mengharapkan
dukungan dan partisipasi dari segenap kalangan masyarakat. Terima kasih pada Universitas
Semarang.

Sedianya, saya ingin meyampaikan mengenai sejarah singkat, landasan teoretik dan muatan
RUU KUHP. Akan tetapi tentu saya harus mengurungkan niat itu karena melihat bahwa disini
telah ada Prof Muladi dan Prof Barda. Merekalah yang terlibat langsung dalam perancangan
RUU KUHP sejak awal, yang mengetahui firsthand, tentang sejarah, falsafah dan perdebatan-
perdebatan paradigmatik dan pragmatik yang terjadi dalam perancangan RUU KUHP. Dan
dalam tim perumus yang terakhir, Prof Barda memimpin tim untuk Buku I, sedang Prof Muladi
untuk Buku II.

Oleh karenanya, perkenankan saya menyampaikan beberapa hal yang berkenaan dengan
kebijakan pemerintah mengenai RUU KUHP. Pertama, pembahasan RUU KUHP dengan DPR
harus terus berjalan, walaupun ada yang memprotes. Teringat saya tahun lalu, 2014, ketika
pembahasan baru saja dimulai, baru hari pertama, saat itu ada Prof Muladi dan saya di DPR, dan
tiba-tiba muncul surat KPK yang menuntut dihentikannya pembahasan ini karena dianggap
melemahkan KPK. Tentu saja kami terkejut karena tidak pernah terlintas di benak tim perancang
mengenai pelemahan lembaga ini. Akhirnya, karena media terus menerus mengangkat isu ini,
tidak ada kelanjutan pembahasan. Padahal saat itu kami sudah bersepakat dengan DPR untuk
menyelesaikan Buku I dahulu, karena usia RUU KUHP sudah sangat tua, dan we have to start
now, walau menyadari bahwa pembahasan RUU tidak mungkin carry over di DPR. Bahkan
argumentasi kami bahwa hal-hal yang diprotes dirumuskan dalam Buku II yang masih lama akan
dibahas, dipandang sebagai excuses.

Perlu saya sampaikan bahwa DIM RUU KUHP untuk Buku I berjumlah 2299. Pada dua minggu
terakhir ini pembahasan intensif di DPR telah (atau baru) mencapai DIM., atau baru Pasal 57
dari 218 Pasal dalam Buku I, atau786 pasal keseluruhan RUU KUHP. Apakah Panja bekerja
lambat? Tentu tidak. Namun membicarakan asas-asas yang esensial, yang akan menjadi panduan
kita satu abad ke depan, memang bukan diskusi ringan. Tidak mungkin asas-asas dibicarakan
dalam waktu singkat. Bahkan untuk beberapa DIM, Pemerintah diminta untuk melakukan
reformulasi, konsolidasi dan relokasi. Proses pembahasan RUU ini terbuka untuk umum, dan
apabila ada dugaan political bargaining disitu, pasti akan nyata dalam butir-butir pembahasan.

Hadirin yang berbahagia,

Perkenankan saya memberi catatan mengenai polemik lex specialis dan lex generalis yang
ternyata masih tetap diperdebatkan. Bahkan minggu lalupun saya langsung mendengar dari Plt
Ketua KPK dan perwakilan BNPT yang meminta agar tindak-tindak pidana yang menjadi
kewenangan lembaga-lembaga ini tidak dimasukkan ke dalam RUU KUHP, tapi tetap dalam UU
tersendiri seperti sekarang.

Munculnya adagium lex specialis derogat legi generali awalnya adalah sebagai metode
penafsiran untuk menghilangkan keragu-raguan penegak hukum, manakala terdapat dua hukum
yang berbeda yang mengatur hal yang sama. Dalam kondisi semacam ini maka yang berlaku
adalah hukum yang mengatur dengan lebih khusus, lebih detail, asalkan kedudukan hukum
kedua ketentuan tersebut setara. Silvia Zorzetto (2012) misalnya dengan lugas mengatakan
bahwa ,lex specialis is often used to solve redundancy in law, rather than legal antinomies,
and so it is a tool to prevent the simultaneous application of special and general compatible
rules.

Dengan kata lain, lex specialis merupakan ketentuan khusus yang merupakan pengecualian dari
ketentuan umum yang diatur dalam suatu undang-undang yang bersifat all-encompassing, yang
mengatur general rules, dan juga generic crimes. Tidak mungkin ada lex specialis manakala
tidak ada lex generalis. Jika dalam lex generalis tidak diatur, bagaimana bisa muncul lex
specialis? Spesialis atau kekhususan dari apa?

Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam hukum administrasi yang memiliki sanksi pidana,
karena yang diutamakan adalah ketentuan administratif, misalnya dalam hukum perbankan dan
hukum perpajakan. Keberadaan sanksi pidana dalam UU tersebut merupakan upaya ultimum
remedium, senjata terakhir untuk menegakkan hukum administrasi, yakni yang digunakan (dan
diancamkan tentunya) manakala sanksi administrasi atau sanksi lain dipandang tidak cukup
memadai atau tidak cukup kuat untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut.

Dengan demikian pengaturan tentang tindak-tindak pidana khusus yang masuk dalam ranah
hukum pidana tetap diperlukan keberadaannya dalam RUU KUHP sebagai lex generalis, untuk
menekankan bahwa ketentuan di luar KUHP merupakan pengkhususan lebih lanjut mengenai
tindak-tindak pidana tersebut. Istilah kodifikasi terbuka acap kali dipakai dalam konteks ini,
yakni dimana RUU KUHP merupakan kodifikasi, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dibuka
kemungkinan pengaturan khusus di luar KUHP.

Mengutip NA, dikatakan bahwa: Jika sangat diperlukan untuk kepentingan pencegahan dan
penegakan hukum terhadap kejahatan dalam Buku Kedua KUHP yang dinilai sebagai kejahatan
yang luar biasa, pemerintah dapat merumuskan kebijakan legislasi penegakan hukum pidana
dalam bentuk undang-undang untuk menegakkan pasal-pasal tertentu dalam KUHP dan
mengatur prosedur tertentu yang menyimpangi dari prosedur umum yang ditetapkan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Ibu Bapak yang terhormat,

RUU KUHP sebagai suatu kodifikasi memang banyak mendapat tantangan khususnya karena
adanya keinginan untuk mempertahankan undang-undang pidana di luar KUHP. Bahkan
pimpinan KPK juga mengatakan bahwa tidak mungkin seluruh aturan pidana diatur dalam satu
KUHP, tidak mungkin dilakukan unifikasi. Bagaimana jika terjadi perkembangan dan diperlukan
aturan pidana baru? Mengenai hal ini perlu saya sampaikan bahwa salah satu yang dianggap
sebagai urgent reason eksistensi RUU KUHP justru adanya berbagai aturan hukum pidana di
luar KUHP yang masing-masing merumuskan tentang norma tindak pidana, tentang
pertanggungjawaban, dan tentang pemidanaan sendiri, dan tidak selalu mengacu pada asas-asas
umum dalam KUHP. Tidak dapat disangkal bahwa telah terjadi perubahan dan pergeseran
paradigm dalam ilmu hukum pidana. Itu pulalah sebabnya mengapa ada RUU KUHP, yang
mencoba menyelaraskan konten KUHP dengan UU di luar KUHP, sekaligus dengan
menginkorporasikan pembaruan yang terjadi dalam doktrin hukum, dalam dunia internasional,
dan tidak bertentangan dengan basic norms and values kita, bangsa Indonesia.

Untuk memastikan bahwa RUU KUHP tidak out of date tim perumus juga memperhatikan
berbagai instrumen HAM internasional yang berkenaan dengan hak masyarakat dalam peradilan
yang telah disahkan Indonesia, misalnya Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment UU no 5 tahun 1998; International Convention For
The Suppression of The Financing Of Terrorism, UU no. 6 tahun 2006; United Nations
Convention Against Corruption UU no. 7 tahun 2006, dan International Convention against
Transnational Organized Crime UU No. 5 tahun 2009.

Kerangka Teoretik Pembaruan Hukum Pidana

Apabila menoleh jauh ke belakang, kita akan menemukan bahwa KUHP kita yang nama aslinya
Wetboek van Strafrecht ini berembrio pada Code Penal di Perancis, yang dilahirkan pada masa-
masa dimana Classical School di abad 18 masih mendominasi pemikiran para teoritisi dan yang
menjadi mainstream. Berlandaskan pada adagium let the punishment fit the crime, aliran ini
memang menekankan asas legalitas dengan menekankan pada perbuatan sebagai inti dari hukum
pidana. Intinya adalah bahwa tindak kejahatan yang sama harus mendapat hukuman yang sama,
titik. Implikasi lainnya adalah bahwa filosofi pemidanaan (the philosophy of punishment) lebih
dititik beratkan pad retributivism atau pembalasan sebagai tujuan penjatuhan pidana yang utama.

Berkembangnya aliran neo-klasik (Neo-classical school) telah menggeser paradigma let the
punishment fit the crime menjadi let the punishment fit the criminal, yang berarti pemidanaan
harus memperhitungkan bukan hanya perbuatan yang dilakukan, akan tetapi juga berbagai
kondisi yang ada di seputar pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut. Pemikiran ini
kemudian menimbulkan perkembangan hukum pidana yang bersumbu pada perbuatan dan juga
pelaku perbuatan. Pada dasarnya hal ini menuntut adanya keseimbangan antara unsur obyektif
atau perbuatan/lahiriah, dengan unsur subyektif atau pelaku dengan sikap batinnya. Apabila
dibandingkan dengan konsep yang berkembang dio Negara-negara Anglo-American, konsep ini
setara dengan konsep actus reus dan mens rea yang terangkum dalam adagium actus reus non
facit reum nisi mens sit rea. Sadurannya kira-kira adalah suatu perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan pada seseorang, kecuali ada sikap batin yang salah (the act is not
culpable unless the mind is guilty).

Tidak kalah pentingnya adalah kerangka teoretik yang berkenaan dengan falsafah pemidanaan.
Mudah difahami karena KUHP yang kini kita berlakukan berasal dari akhir abad ke 19 yang
masih lekat dengan retributivism, maka perumusan pasal-pasalnya juga juga berwarna
retributivism. Perkembangan terakhir dalam ilmu hukum pidana yang mengetengahkan
pendekatan restorative justice tentunya tidak dapat diabaikan. Salah satu contoh yang
mengemuka dalam konteks ini adalah diperkenalkannya judicial pardon atau rechterlijke
pardon, yang membuka kemungkinan bagi pengadilan untuk memberikan maaf pada pelaku
kejahatan yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara sah dan meyakinkan. Tentu
saja pemberian maaf ini tidak dapat diterapkan untuk semua tindak pidana, akan tetapi hanya
pada tindak pidana yang ringan, dengan memperhatikan keadaan pribadi pelaku atau keadaan
pada waktu perbuatan dilakukan, dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Dengan demikian diharapkan bahwa perkara-perkara pidana yang tempo hari merampas
perhatian publik seperti kasus nenek Minah akan dapat diatasi.

Masih dalam konteks yang sama, adalah masuknya falsafah pemidanaan yang diangkat dari
kearifan lokal atau local wisdom masyarakat Indonesia, ke dalam RUU KUHP. Dalam pasal
tentang tujuan pemidanaan, salah satunya adalah ...menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat... Aim of punishment semacam ini jelas tidak ditemukan dalam alam pemikiran dan
literatur dari Barat.
RUU KUHP juga memperkenalkan jenis pidana selain perampasan kemerdekaan, yang selama
ini masih menjadi primadona pilihan hakim. Alternatives to imprisonment yang dirumuskan
berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Perumusan jenis pidana ini juga memiliki
fungsi konstruktif dalam sistem pelaksanaan pidana, yaitu mengurangi insidensi,
frekuensi dan prevalensi penjatuhan pidana penjara, yang pastinya akan berimbas pada
pengurangan masalah overcrowding di lembaga pemasyarakatan.

Masih berkaitan dengan pemidanaan, RUU KUHP memperkenalkan double track system, yaitu
merumuskan bukan hanya sanksi pidana akan tetapi juga sanksi tindakan (punishment and
measures). Hal ini selaras dengan perkembangan teori pidana yang menekankan kebutuhan
hukum pidana to reform a criminal, re-socialization and rehabilitation of the convicted person;
to prevent the crime by the same offender or other members of society. .Dalam hal-hal tertentu
pelaku tindak pidana yang terbukti melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana, tetapi
hanya dikenakan tindakan. Dimungkinkan pula bagi hakim untuk memilih antara
mengurangi pidana yang dijatuhkan atau mengenakan tindakan, dalam tindak-tindak
pidana yang ditentukan. Mengenai tindakan yang dapat dikenakan, dibedakan antara
tindakan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab atau kurang mampu
bertanggung jawab, dan tindakan bagi orang yang mampu bertanggung jawab Hal ini
dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat.
Saya menyadari bahwa masih banyak isu-isu dalam RUU KUHP yang perlu disampaikan.
Namun saya sangat menyadari bahwa tidak mungkin saya menyampaikan semuanya tanpa
kehilangan fokus pembicaraan dalam waktu yang singkat ini. Oleh karenanya perkenankan saya
mengakhiri sambutan ini dengan mengajak kita semua yang hadir disini untuk terus mendorong
pembahasan RUU KUHP agar menjadi hukum nasional yang berkeadilan dan sesuai dengan
nilai-nilai kebangsaan, dan tentunya tanpa perlu mengabaikan perkembangan global.

Terima kasih atas perhatian para hadirin semua.

Bilahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Semarang, 2 Desember 2015,

Harkristuti Harkrisnowo

Anda mungkin juga menyukai