Anda di halaman 1dari 11

WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH

Oleh : Asep Ridwan H, SHI, M.Ag



Dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah sendiri secara hukum diakui
manakala dicatat oleh dan dilaksanakan di hadapan Petugas Pencatat Nikah.
Dikarenakan dalam undang-undang terdapat istilah anak yang sah dan berlandaskan
teori mafhum mukhalafah tentu sebagai kebalikannya maka ada anak yang tidak
sah, oleh karenanya dalam tulisan ini penulis mengambil istilah anak tidak sah.
Berkaitan dengan anak yang tidak sah terdapat dua macam kasus posisi anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah dalam hukum keperdataan di Indonesia.
Pertama, Anak yang dihasilkan dari suatu perzinahan. Anak ini dilahirkan
akibat dari hubungan intim antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa
adanya ikatan perkawinan yang sah atau lebih lazim disebut zina. Baik secara fikih
klasik maupun fikih kontemporer yang tertuang dalam qanun di Indonesia, anak ini
dinyatakan bukan sebagai anak yang sah dari ayah dan ibu bioligisnya. Dalam
perempuan yang hamil karena perzinahan, maka dapat dinikahkan dengan laki-laki
yang menghamilinya berdasarkan pasal 53 ayat (1) KHI, akan tetapi apakah dengan
hal tersebut anak yang dilahirkan dapat dikatakan sebagai anak yang sah ?
Terdapat dua penafsiran atas Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam. Pendapat pertama menafsirkan bahwa setiap anak yang
dihasilkan akibat hubungan suami isteri atau perkawinan yang tidak sah, maka
anaknya pun tidak sah. Baik anak tersebut lahir pada saat laki-laki dan perempuan
yang berzina tersebut telah menikah ataupun lahir tanpa ayah sekalipun. Pendapat
kedua menafsirkan, bahwa anak yang sah adalah pada saat ia lahir orang tuanya
berada dalam perkawinan yang sah, meskipun janin anak tersebut terbentuk dari
hubungan suami isteri yang haram pada saat ayah dan ibu dari anak tersebut belum
menikah akan tetapi telah melakukan hubungan suami isteri. Meskipun demikian
pendapat ini dibatasi, yaitu apabila perempuan yang mengandung anak tersebut
menikah dengan laki-laki yang menghamilinya pada saat usia kandungan belum
mencapai 4 bulan.
Kedua, anak yang dihasilkan atas perkawinan yang tidak dicatat di KUA, atau
lebih dikenal dengan istilah perkawinan di bawah tangan. Secara fikih perkawinan
tersebut sah, akan tetapi tidak diakui oleh Undang-undang. Dalam hal perkawinan
dibawah tangan, untuk mendapatkan legalitas maka dapat dilakukan melalui isbat
nikah ke Pengadilan Agama. Apabila permohonan isbat nikah di kabulkan, maka anak
yang terlahir atas perkawinan tersebut dengan serta merta menjadi sah dan diakui
keperdataannya oleh Undang-undang. Akan tetapi selama perkawinannya tidak
diisbatkan tentu keberadaan anak juga tidak diakui, karena perkawinannyapun tidak
ada.
Peraturan perundang-undangan memberikan opsi hukum bagi perkawinan
yang tidak tercatat di KUA untuk mendapatkan pengakuan hukum melalui jalur
pengesahan perkawinan melalui putusan Pengadilan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 7 yaitu :
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-
hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-
anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Akan tetapi bagi seseorang yang mengajukan isbat nikah atas perkawinannya
dengan istri kedua (poligami), tetap berlaku ketentuan poligami sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 dan 5, serta dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 55 s/d 59.
Akan tetapi manakala permohonan isbat nikah itu ditolak baik karena alasan
bahwa ternyata dalam proses pemeriksaan persidangan pernikahan tersebut adalah
pernikahan atas seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana laki-laki tersebut
masih dalam suatu ikatan pernikahan dengan wanita lain (poligami) sedangkan alasan
dan prosedur poligami tidak dapat dipenuhi sehingga karenanya hakim menolak
permohonan tersebut, maka tentu saja secara formil perkawinan itu dianggap tidak
ada.
Bilamana tidak terjadi perkawinan, maka tentu saja keberadaan anakpun
menjadi tidak diakui. Sehingga anak yang terlahir dari perkawinan siri yang ditolak
oleh pengadilan dikategorikan sebagai anak diluar perkawinan.
1

Dari kasus diatas, apabila pada muaranya anak tidak mendapatkan legalitas
sebagai anak yang sah, maka undang-undang menyatakan anak tersebut hanya
memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya saja
2
. Dengan
demikian maka hak-hak keperdataan anak terhadap ayah dan keluarga ayah menjadi
tidak ada. Hak-hak yang hilang tersebut adalah :
1. Hak saling mewarisi baik sebagai dzawil furud
3
maupun sebagai ashobah.
2. Biaya penyusuan
4
.
3. Hak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan pada saat belum dewasa
5
.
4. Mendapatkan perwakilan dalam melakukan perbuatan hukum pada saat belum
dewasa
6
.
5. Hak-hak untuk mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin, dan hak-hak
keperdataan lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut penulis hendak menyikapinya bahwa hilangnya
hak-hak keperdataan anak merupakan sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan
dan kebenaran yang hakiki. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya anak tidak
pernah meminta untuk dilahirkan kedunia. Pemikiran itu didasarkan atas beberapa
pendekatan sebagai berikut :



1
Lihat pasal diatas tentang kedudukan anak diluar nikah.
2
Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 berbunyi : Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jo. Pasal 186 yang berbunyi : "Anak yang lahir
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya".
3
Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 ayat (1).
4
Kompilasi Hukum Islam Pasal 104 ayat (1) berbunyi Semua biaya penyusuan anak dipertanggung
jawabkan kepada ayajnya.. Apabila ayah telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan
kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
5
Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 point (c) yang berbunyi Biaya pemeliharaan di tanggung oleh
ayahnya.
6
Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (2) berbunyi : Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam maupun diluar Pengadilan.
a. Pendekatan melalui teori victim (korban).
Pada suatu ketika diajukan isbat poligami ke Pengadilan Agama, dan karena
dalam persidangan telah terbukti poligami siri yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan isteri kedua dan seterusnya tanpa izin isteri pertama, maka Pengadilan Agama
menolak isbat poligami tersebut, dan berdampak kepada tidak diakuinya anak yang
terlahir dari poligami tersebut. Maka sesunggunya perbuatan poligami tersebut dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Pelanggaran delik tanpa izin pertama
melanggar Pasal 279 ayat 1 dan 2 KUHP yang menyatakan diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.

(1) Barang siapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa pernikahan
atau pernikahan-pernikahannya yang telah ada menjadi penghalang yang
saha untuk itu;
(2) Barang siapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa
pernikahannya atau pernikahan-pernikahan pihak lain menjadi penghalang
yang sah untuk itu;

Kemudian, bahwa perbuatan poligami sirri tanpa izin pertama dalam ranah
perdata merupakan perbuatan yang melanggar hukum perikatan, karena pada
hakikatnya pernikahan termasuk pada perikatan dan dengan melakukan pernikahan
kedua tanpa izin istri pertama dapat diartikan mencederai perikatan tersebut sehingga
dikategorikan wan prestasi. Hal tersebut dapat pula dikategorikan perbuatan
pelawanan hukum (onrechtsmatige-daad) karena melanggar Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Pasal 4 dan 5 jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 s.d 59.

Dari dua hal diatas, maka sesungguhnya yang bersalah adalah pasangan yang
melakukan poligami siri tersebut, dan oleh karenanya ketika Putusan Hakim menolak
permohonan isbatnya, dan berujung kepada tidak diakuinya perkawinan, hal tersebut
demi keadilan merupakan hukuman bagi orang yang berbuat salah. Akan tetapi
bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak diakui tersebut ?
dalam teori victim, sesungguhnya anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak
sah adalah korban, karena pada dasarnya anak tidak meminta untuk dilahirkan
kedunia, ia terlahir akibat dari perbuatan melawan hukum kedua orang tuanya.
Bilamana perbuatan salah yang dilakukan oleh orang tua, berakibat kepada
anak yang harus menjadi korban dengan menanggung hukuman tidak memiliki hak
keperdataan atas ayahnya, maka sesungguhnya hal ini sangat mencederai hakikat
keadilan.
Begitupun dengan perbuatan zina yang dalam ranah hukum Islam
dikategorikan sebagai perbuatan dosa besar. Maka apabila hukuman atas perbuatan
zina yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dibebankan kepada anak
yang dilahirkan, hal tersebut tidaklah tepat, karena anak tidak melakukan perbuatan
dosa, dan anak hanya menjadi akibat dan korban atas perbuatan orang tuanya.

b. Pendekatan Hukum dan Perundang-undangan
Tercabutnya hak-hak keperdataan anak yang disebabkan bukan karena
perbuatannya, sesungguhnya mencederai rasa keadilan dan bertentangan dengan
beberapa prinsip yang terdapat dalam undang-undang. Diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before
the law), karena dengan mencabut hak keperdataan anak diluar nikah terhadap
ayah menjadikan kedudukan anak tidak sama dihadapan hukum.
2. Bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) yang
berbunyi : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidakada kecualinya.
3. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 4 yang berbunyi : Setiap anak berhak untuk hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
4. Dengan hilangnya hak-hak keperdataan anak dari ayahnya diatas, maka
hilanglah pula hak-hak anak uuntuk mendapat pendidikan, nafkah,
perlindungan dan sebagainya dari ayahnya tersebut. Hal ini tidak sesuai
dengan Pasal 1 ayat (12) UU No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi : Hak anak
adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara, dan
beberapa melanggar lainnya seperti Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan undang-undang yang lainnya.
5. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Azazi Manusia yang juga mengatur tentang perlindungan anak yang
menyatakan Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, dan Negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk
kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak
dalam kandungan. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan
status kewarganegaraan
7
.
6. Bertentangan dengan Deklarasi Social Welfare dan Human Rights untuk
anak (Deklarasi Jenewa, 1924) asas 1 yaitu : Anak-anak berhak menikmati
seluruh haknya yang tercantum dalam deklarasi ini. Semua anak tanpa
pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa membedakan
suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dibidang
politik atau dibidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social, kaya atau
miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari dirinya sendiri maupun dari
segi keluarganya
8
.

c. Pendekatan Akidah Keislaman
Islam memandang bahwa anak merupakan amanat dari Allah SWT, dimana
orang tua berkewajiban memenuhi kebutuhan materil meliputi sandang - pangan
papan juga kebutuhan moril berupa pendidikan, kasih sayang, bimbingan sebagainya.
Barang siapa yang menyia-nyiakan amanat dengan melalaikan kewajiban sebagai
orang tua maka dinyatakan sebagai perbuatan dosa. Hal tersebut disinyalkan dalam
beberapa ayat dalam al-quran diantaranya :
Ep) -.- 7NON`4C p W-1E>
ge4L4`- -O) E_)Uu- -O)4
+;EO 4u-4 +EEL- p
W-O7^4` ;E^) _ Ep) -.-
+gg^ 7Og4C gO) Ep) -.-
4p~E OgE- -LOO4 ^)g
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

7
Hadi Setia, Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia, LN. 165 Tahun 1999 TLN No. 3886,
(Jakarta ; Harvarindo, 2000), hal 17.
8
Ibid.
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.(Q.S. al Nisa : 58)


Og^4C 4g~-.- W-ONL4`-47
W-EO~ 7=O^ 7O)Uu-4
-4O4^ E-1O~4 +EEL-
7E4OEg4^-4 OgOU4 NOj^U4`
[+EgN 1-Eg- 4pOOu4C -.- .4`
-4O4` 4pOUE^4C4 4` 4p+OuNC
^g
6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at Tahrim : 6)

Selain dari pada Islam memandang anak sebagai amanat dari Allah SWT,
Islam juga memandang bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan suci,
ia tidak memiliki dosa, dan tidak pula dibebankan dosa atas orang tuanya. Bahkan
Islam memandang, bahwa setiap orang bertanggung jawab atas amalnya sendiri, tidak
ada dosa seseorang yang dapat dipikulkan kepada orang lain.

:

) (
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,
setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah)
tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau
majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna.
Apakah kau melihatnya buntung?

~ 4OOEN *.- / =4O
4O-4 O4O ]7 7/E* _ 4 CUO'>
O `^4^ ) OgOU4 _ 4 +O@O>
E4O)e-4 4O^ej O4Ou=q _ _O)
7)4O 7N_OO 7N)Ol4[NO
E) +L7 gO1g 4pO)U4-^C`
^gj
164. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain[526]. kemudian kepada Tuhanmulah kamu
kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."(Q.S.
al anam : 164)

[526] Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.


Dari tiga pendekatan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan apapun,
sesungguhnya setiap anak harus dapat dilindungi hak-haknya, termasuk hak
keperdataan. Dan mengurangi hak keperdataan anak yang tidak sebabkan karena
kesalahan anak adalah sesuatu yang mencerdari hakikat keadilan.
Baik secara syariat agama Islam, maupun berdasarkan Undang-undang anak-
anak wajib dilindungi segala hak-haknya, dan oleh karena itu kewajiban Negara untuk
melindungi hal tersebut.
Kaitannya dengan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah Negara
harus tetap melindungi hak-hak tanpa dikurangi sedikitpun. Anak yang lahir diluar
perkawinan tidak boleh sampai kehilangan dari ayahnya berupa hak mendapatkan
harta Peninggalan, hak biaya penyusuan
,
hak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan
pada saat belum dewasa
9
., hak mendapatkan perwakilan dalam melakukan perbuatan
hukum pada saat belum dewasa

dan hak -hak untuk mendapatkan nafkah baik lahir
maupun batin, dan hak-hak keperdataan lainnya.
Akan tetapi bila anak harus tetap memiliki hak tersebut dari ayahnya
sedangkan anak masih tetap dalam kedudukannya sebagai anak yang tidak sah, maka
hal tersebut tidak dapat terjadi, karena berbentur dengan Fikih maupun qanun. Oleh

9
Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 point (c) yang berbunyi Biaya pemeliharaan di tanggung oleh
ayahnya.
karenanya mesti dicarikan alternative agar anak mendapatkan hak tersebut, dan salah
satunya adalah dengan menggantikan kedudukan anak.
Mengganti kedudukan anak yang saya maksud disini adalah menggantikan
kedudukan anak dari statusnya anak hasil diluar nikah menjadi anak angkat bagi ayah
biologisnya secara hukum melalui adopsi.
Secara sederhana memang agak rancu, ayah kandung harus mengadopsi anak
kandungnya sendiri. Akan tetapi kita harus tetap konsisten bahwa meskipun secara
biologis ada hubungan ayah-anak kandung, tetapi dimata hukum tidak ada hubungan
apapun antara keduanya. Dan apabila kita merujuk kepada beberapa peraturan
perundang-undangan yang ada, sebut saja dalam Buku II Pedoman Teknis
Administrasi dan Peradilan serta Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun
1979, Nomor 6 tahun 1983 dan Nomor 3 Tahun 2005 tidak ada satu pun yang
melarang adopsi dari ayah kandung kepada anak kandung.
Ada beberapa pertanyaan berkaitan dengan masalah yang timbul. Sebut saja
ketika seorang anak telah diangkat oleh ayah bilogisnya sedangkan ayah biologisnya
telah menikah dengan ibu kandungnya sendiri, apakah hal ini tidak rancu ? satu sisi
sang ayah adalah ayah angkat, tapi ibunya ibu kandung ? menurut saya tidak. Hal ini
dapat dianalogikan seperti anak tiri, dimana anak tiri memiliki hubungan nasab
dengan orang tua kandungnya dan tidak memiliki hubungan hukum dengan orang tua
tirinya.
Proses permohonan pengangkatan anak ini bisa dilakukan dalam tiga proses;
a. Proses Legislasi
Proses peradilan tidak akan dapat berjalan tanpa adanya payung hukum, oleh
karenanya mesti ada perangkat hukum sebagai landasan dari pengangkatan anak baik
kaitannya sebagai hukum formil maupun hukum materil. Peraturan tersebut bisa
dalam bentuk SEMA, dll.
b. Para pihak yang mengajukan
Secara materil persyaratan mengenai pengangkatan anak memang sudah dapat
diakomodir oleh beberapa peraturan yang ada, akan tetapi apabila tujuan dari adanya
pengangkatan ini adalah dalam rangka melindungi hak-hak keperdataan anak, maka
perlu diatur lebih lanjut mengenai hukum formilnya.
Sebut saja bahwa pihak yang dapat mengajukan pengangkatan anak ini tidak
harus berkutat pada wiilayah orang tua (dalam hal ini ayah), akan tetapi pihak lain
yang berkepentingan dapat juga harus mengajukan permohonan pengangkatan anak
atas bagi ayah biologisnya. Kenapa demikian ? karena bisa jadi ayahnya tidak mau
mengangkat anak tersebut, dan apabila hal tersebut terjadi tentu anak tidak akan
terlindungi. Disinilah letak pentingnya hukum mengatur hal tersebut. Sebut saja
dalam suatu kasus, ketika ada seorang laki-laki berzinah dengan seorang perempuan,
dan terjadilah kehamilan dan memiliki anak, kemudian laki-laki tersebut tidak mau
bertanggung jawab, maka pihak perempuan dapat mengajukan permohonan
pengangkatan anak bagi sebagai anak angkat dari laki-laki tersebut;
Pengajuan perkara pengangkatan anak, tidak hanya bisa bersifat voluntair,
akan tetapi juga bisa bersifat kontentius.
Ketika yang mengajukan perkara pengangkatan anak adalah ayah biologis,
maka perkara menjadi voluntair, akan tetapi ketika yang mengajukan bukan ayah
biologisnya, maka perkara menjadi kontentius, dimana ayah biologis menjadi pihak
Tergugat. Kemudian di dalam persidangan, akan dibuktikan perihal kebenaran pihak
Tergugat sebagai ayah biologis.

Wasiat Wajibah Bagi Anak Tidak Sah
Sebagaimana disebutkan terdahulu, anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang tidak sah tentu tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Hal
ini mencakup seluruh hal termasuk hak-hak saling mewarisi. Anak yang tidak sah
secara hukum tidak dapat saling mewarisi dengan ayah bilogisnya. Akan tetapi
berdasarkan pembahasan diatas tentu hal ini akan merugikan anak. Oleh karenanya
mesti ada upaya perlindungan hak-hak anak tersebut.
Adopsi atau pengangkatan anak dapat menjadi salah satu wasilah yang dapat
memberikan alternative sehingga anak bisa mendapatkan harta peninggalan meskipun
tidak dari bagian waris, maksud saya disini adalah wasiat wajibah. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2)
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya

Dengan adanya penetapan anak angkat maka terjagalah lembaga wasiat wajibah atas
anak tersebut, dan dengan adanya wasiat wajibah maka sang anak akan mendapat
perolehan harta peninggalan dari ayah kandungnya.
Meskipun demikian pemikiran tentang wasiat wajibah ini perlu pula
mengadopsi terhadap pemikiran Hakim Agung ; Habiburrahman (dalam makalah
Hukum Kewarisan KHI yang disajikan dalam rakernas 2011) yang menyebutkan
bahwa wasiat wajibah bagi anak angkat terjadi manakala harta yang ditinggalkan
banyak dan besarannya tidak boleh melebihi bagian yang terkecil dari ahli waris.
Dari uraian singkat diatas, dapat ditarik suatu simpul, bahwa setiap anak yang
terlahir memiliki hak keperdataan yang sama dimata hukum, tak terkecuali anak yang
terlahir dari perkawinan yang tidak sah, atau tidak diakui oleh undang-undang. Hak
tersebut harus dilindungi sesuai dengan amanat undang-undang. Oleh karenanya
salah satu solusi yang dapat menjaga hak-hak anak tanpa harus bertentangan dengan
hukum. Salah satunya melalui lembaga tabanni / adopsi dengan menjadikan anak
tersebut menjadi anak angkat atas ayah biologisnya melalui suatu penetapan
pengadilan. Dengan menjadi anak angkat, maka sang anak akan mendapatkan hak-hak
keperdataannya dari sang ayah termasuk dari harta peninggalan sang ayah melalui
lembaga wasiat wajibah.
Tentu atas pemikiran yang penulis paparkan diatas, ada yang setuju atau tidak
menyetujuinya, sebagai suatu wacana pemikiran hukum hal ini penulis sampaikan.
Mudah-mudahan bisa memancing tanggapan-tanggapan dan sumbangsih pemikiran,
melalui komentar atau tulisan-tulisan dari siapa saja yang membaca tulisan ini.

Wallahu alam bishowab

Anda mungkin juga menyukai