Anda di halaman 1dari 2

6 Kesalahan Pemasar dalam Menafsirkan Perilaku Konsumen

April 19, 2012 by admin | 0 comments [Translate]

Pernahkah Anda mendengar ungkapan Konsumen adalah raja? Kalau raja, berarti semua kehendaknya harus dipenuhi. Semua keinginannya tidak boleh kita abaikan. Tapi, apakah konsumen seorang raja yang baik? Apakah semua kehendak yang ia inginkan benar-benar keinginannya? Atau jangan-jangan karena berstatus raja ia berhak mengubah apa pun semaunya, bahkan apa yang pernah diucapkannya. Sergio Zyman, mantan CMO (Chief Marketing Officer) Coca Cola mungkin tidak melupakan mimpi buruk dari kegagalan New Coke atau yang sering disebut sebagai The Edsel from Atlanta di tahun 80-an. Sekali pun telah menghabiskan dana besar untuk riset yang intensif untuk menghasilkan formula baru bagi Coke, ternyata malah gagal. Sulit memang untuk dipercaya bagaimana mungkin perusahaan sekelas Coca Cola kok bisa gagal memahami the mind of consumers? Belakangan ini sejumlah penelitian bahkan memperlihatkan bahwa hampir 80% produk baru gagal dalam kurun waktu 6 bulan semenjak diluncurkan. Polanya bisa diprediksi: konsumen mengatakan apa yang ia butuhkan, kemudian perusahaan menciptakannya ke dalam produk dan begitu produk tadi telah tersedia di pasar, konsumen malah tidak mau membeli. Pertanyaan yang muncul: Mengapa begitu? Apa yang kurang dengan riset pemasaran? Ternyata, berdasarkan penelitian intensif yang dilakukan oleh Gerald Zaltman, Profesor Marketing dari Harvard Business School, menemukan sejumlah fakta yang cukup mencengangkan: Ternyata 95% dari keputusan pembelian konsumen ada dalam alam bawah sadar. Mungkin kita sendiri tidak menyadarinya dan bahkan, yang sering kali terjadi, kebanyakan pemasar malah tidak mengerti bagaimana pikirannya bisa berinteraksi dengan pikiran konsumen. Sering kali manajer pemasaran bahkan beranggapan bahwa konsumen tidak tahu apa yang dia butuhkan, padahal seorang pemasar seharusnya memahami bahwa interaksi pikirannya dengan konsumen dapat menjadi landasan bagi tumbuhnya daya saing perusahaan. Profesor Zaltman mengatakan bahwa untuk bisa memahami bagaimana pikiran seorang konsumen maka seorang pemasar sebaiknya mulai menanggalkan sejumlah mitos yang selama ini diyakininya. Ada enam kesalahan yang seringkali dilakukan pemasar dalam menafsirkan perilaku konsumen. 1. Pemasar sering beranggapan bahwa konsumen berpikir secara rasional dan linier. Dalam kenyataannya, emosi malah sangat berkaitan dengan proses penalaran konsumen. Kasus gagalnya New Coke kalau ditelusuri sebenarnya berasal dari begitu kuatnya sentimen kebanggaan (pride) akan Classic Coke yang telah tertanam begitu lama dalam benak konsumen dan mereka tidak rela untuk beralih ke New Coke. Kebanyakan pemasar cenderung mengabaikan unsur emosi ini dan kalau pun membicarakannya masih sebatas pada hal-hal yang umum. Pemetaan emosi ke dalam konteks jarang dicoba. Misalnya, perasaan senang atau gembira yang dinyatakan oleh konsumen sebaiknya ditelusuri dengan lebih mendalam melalui consumer insight untuk menemukan sejumlah unsur yang terepresentasi lewat unsur tersebut. 2. Pemasar sering beranggapan bahwa konsumen mampu menjelaskan pikiran dan perilakunya. Kenyataannya malah 95% dari apa yang dipikirkan konsumen ada di alam bawah sadar. Konsumen bahkan banyak yang tidak mampu mengartikulasikan apa yang ia butuhkan. Emosi konsumen adalah sesuatu yang ada dalam alam bawah sadar, bahkan bekerjanya ingatan dan emosi terjadi di bawah batas

kesadaran. Kebanyakan dari orang yang kita ingat dan emosi yang terkait dengan hal itu berada di luar kendali kita, bahkan sangat mempengaruhi perilaku kita. Coba Anda cermati perilaku Anda sendiri misalnya saat membeli sebuah produk bermerek, tanyakan mengapa anda melakukan hal tersebut? Kenyataannya, ketidaksadaran dan ketidakmampuan dari konsumen untuk mengartikulasi setiap tindakan yang membentuk perilaku ternyata jauh lebih dari yang dibayangkan seorang pemasar. emosi ternyata berperan besar dalam hampir semua keputusan pembelian kita. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pada dasarnya konsumen itu emosional. 3. Pemasar cenderung berfikir bahwa otak konsumen ibaratnya kamera yang dapat memotret segala hal dan mampu menyimpan begitu banyak ingatan. Mereka berasumsi bahwa -otak kita seperti halnya fotografi, sangatlah akurat menangkapapa saja yang terlihat oleh konsumen. Ada juga pemasar yang beranggapan bahwa apa yang diingat konsumen akan bertahan lama. Kenyataannya, ingatan kita ternyata sangat kreatif dan sangat lembut mudah dibentuk dari apa yang pernah kita bayangkan sebelumnya. Ingatan kita ternyata terus bergerak dan berubah tanpa kita menyadarinya. Itulah sebabnya maka pemasar harus melihat bahwa pasar adalah moving target, tidak ada yang statis, semuanya berubah setiap saat. 4. Banyak pemasar yang meyakini bahwa pikiran konsumen terbentuk terbentuk melalui kata-kata. Oleh karena itu mereka mengandalkan dapat memahami pikiran konsumen hanya melalui interpretasi kata-kata yang diucapkan dalam suatu suatu percakapan atau tulisan dalam kuesioner, misalnya. Mungkin yang perlu dipahami, sekali pun kata berperan penting dalam menyampaikan apa yang dipikirkan seseorang, tapi kata-kata saja tidak akan mampu memberikan gambaran utuh karena orang pada umumnya tidak berpikir dalam kata. Kata baik digunakan dalam positioning, namun pesan yang disampaikan dengan kata tanpa konteks akan kehilangan makna. 5. Keyakinan pemasar bahwa konsumen hanya berfikir dengan kata-kata, membuat pemasar berasumsi ia leluasa memasukkan pesan apa saja yang diinginkan -baik itu merek maupun positioning- ke dalam benak konsumen. Dalam anggapan ini pemasar seakan melihat benak konsumen layaknya kertas putih bersih di mana mereka dapat menulis apa saja yang dikehendaki. Dengan dasar ini pemasar kemudian mengukur efektivitas iklannya dengan pertanyaan seberapa sering misalnya konsumen melihat iklan (ad recall) atau pun mengukur brand awareness. Padahal, cara kerja otak kita tidaklah sesederhana itu karena kenyataannya kita sendiri tidak dengan pasif menyerap semua konsep, informasi maupun pesan yang masuk ke dalam otak kita. Bahkan, lebih dari itu sebenarnya kita justru membentuk pengertian baru dari setiap informasi dan pesan yang masuk ke dalam benak kita. 6.Banyak pemasar beranggapan bahwa pengalaman konsumen seakan-akan terisolasi dan lepas dari konteks. Kenyataannya, konsumen tidaklah hidup dalam silo atau sekat seperti halnya yang ada di organisasi atau perusahaan, bahkan pikiran, tubuh, dan dunia luar saling membentuk dan terjalin dalam suatu alur yang dinamis.(quickstart.co.id)

Anda mungkin juga menyukai