Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UNTUK MENDUKUNG KEEFEKTIFAN PEMERINTAHAN D.S.

Priyarsono Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB & Scholar Brighten Institute Tulisan ini adalah pandangan pribadi. Walaupun belum berhasil menurunkan angka pengangguran (lihat Gambar 1 dan 2) dan angka kemiskinan (Gambar 3 dan 4) secara signifikan, secara jujur harus diakui bahwa pemerintahan SBY-JK telah membawa angin segar bagi beberapa aspek pembangunan. Prestasi yang paling menonjol adalah upaya demokratisasi. Prestasi lain yang patut pula dicatat antara lain soal keamanan (jumlah letusan konflik sosial dengan kekerasan menurun), upaya pemberantasan korupsi (meningkatnyan rasa takut korupsi di kalangan pejabat), dan perhatian pada masalah keadilan sosial (terutama bila kebijakan pembaruan agraria berhasil diluncurkan tahun ini juga). Dalam hal upaya demokratisasi, indikator yang paling mudah dirasakan antara lain adalah kebebasan berpendapat yang tercermin pada wacana-wacana yang muncul dalam media massa. Bukan itu saja, gugatan warga negara terhadap kebijakan pemerintah kini dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini tak mungkin terbayangkan dalam benak rakyat Indonesia sepuluh tahun yang lalu. Kasus termutakhir yang mengemuka adalah kemenangan gugatan rakyat di pengadilan negeri atas kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan ujian nasional. Bila pemerintah tidak belajar dari pengalaman ini, dapat diekspektasikan bahwa berbagai kebijakan lain akan menjadi sasaran berikutnya dari gugatan rakyat. Inilah konsekuensi logis dari berkembangnya partisipasi rakyat; inilah buah demokrasi. Analisis Dampak Kebijakan Dalam teori kebijakan publik dikenal siklus perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan. Siklus serupa juga dikaji dalam teori-teori lain dalam lingkup ilmu manajemen. Intinya, satu satuan kebijakan baru dapat dikatakan paripurna bila mengikuti sekurang-kurangnya dalam garis besar siklus tersebut. Analisis dampak kebijakan merupakan bagian penting siklus tersebut. Kata dampak perlu dipertegas oleh karena suatu kebijakan itu lazimnya memang menimbulkan akibat langsung dan akibat tidak langsung, baik yang memang diniatkan atau pun yang tidak diniatkan (unintended results). Misalnya, kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005 membawa akibat langsung berupa penyehatan anggaran belanja negara, namun juga membawa akibat tak langsung yang tidak diniatkan, yakni peningkatan jumlah orang miskin yang hingga kini pun belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Dengan kata dampak dimaksudkan bahwa baik akibat langsung maupun tak langsung dari suatu kebijakan perlu dua-duanya dikaji.

Pada tataran yang lebih generic, sesungguhnya suatu kebijakan dicanangkan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Adapun tujuan tersebut dapat dipandang merupakan penerjemahan dari misi organisasi. Bila dirunut lebih mendalam, misi merupakan pengejawantahan visi, yakni roh, spirit, atau alasan eksistensi dari suatu organisasi. Dari Visi-Misi ke Kebijakan Dalam pemerintahan SBY-JK misalnya, visi-misi-tujuan yang ditawarkan sewaktu kampanye menjelang pemilihan presiden dulu tertuang secara rinci dalam buku putih Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera. Selanjutnya visi-misi-tujuan tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan. Ambillah sebagai contoh, kebijakan pertanian yang tertuang dalam Program Revitalisasi Pertanian, Perikananan, dan Kehutanan. Contoh lain, kebijakan energi baru yang tertuang dalam Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Contoh termutakhir yang masih dalam penggodokan adalah kebijakan pertanahan yang tertuang dalam Program Pembaruan Agraria. Sejauh mana visi-misi-tujuan pemerintahan berhasil tercapai merupakan ranah penilaian rakyat pemilih. Bila sebagian besar rakyat memilih kembali SBY-JK dalam pemilihan presiden mendatang, maka hal itu merupakan indikator yang sangat kuat bahwa visi-misitujuan pemerintahan menurut persepsi sebagian besar rakyat telah tercapai dengan cukup memuaskan. Namun penilaian atas keberhasilan kebijakan publik diperlukan praktis setiap saat, tak bisa menunggu hingga hasil pemilu mendatang tersedia. Secara garis besar penilaian atas keberhasilan kebijakan publik dapat dikelompokkan menurut pelakunya, yakni penilaian oleh publik melalui berbagai saluran antara lain media massa, dan penilaian oleh aparat internal pemerintahan. Bikin Unit Baru atau Berdayakan yang Ada? Penilaian oleh publik atas keberhasilan suatu kebijakan melalui media massa dewasa ini berlangsung secara sangat intensif seiring dengan kebebasan pers yang sangat maju pada era pasca orde baru ini. Namun intensitas yang tinggi itu tidak senantiasa menjamin bahwa penilaian tersebut bersifat komprehensif, sistematis, dan tepat sasaran. Maka, penilaian demikian walaupun sangat perlu belum tentu sesuai dengan tujuan penilaian itu sendiri, yakni memastikan bahwa suatu kebijakan secara sahih diturunkan dari visi-misitujuan dan mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, penilaian secara internal oleh aparat pemerintahan diharapkan terselenggara secara komprehensif, sistematis, dan tepat sasaran, namun dikhawatirkan belum terselenggara secara intensif oleh karena beberapa alasan.

Alasan pertama, visi-misi-tujuan kepresidenan secara utuh hanya bisa dipahami oleh Presiden dan Wakil Presiden sendiri. Oleh karena itu dalam lembaga kepresidenan perlu ada unit kerja khusus yang dapat membantu presiden memastikan bahwa visi-misi-tujuan kepresidenan terterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan. Kemudian, unit kerja ini juga harus bisa memastikan bahwa kebijakan itu berhasil mencapai tujuannya secara efektif. Dalam lembaga kepresidenan di negara-negara dengan tradisi yang lebih tua seperti Amerika Serikat, keberadaan unit kerja demikian merupakan suatu keniscayaan. Untuk kasus pemerintahan Indonesia saat ini, unit kerja dengan tugas spesifik semacam itu belum tersedia. Alasan kedua, di luar lembaga kepresidenan ada kabinet yang terdiri dari para menteri yang direkrut melalui dua jalur, yakni jalur partai politik dan jalur profesional. Tugas para menteri yang direkrut melalui jalur partai politik terutama adalah mengamankan komunikasi politik antara presiden dengan parlemen. Dengan demikian mereka tidak bisa diharapkan dapat membantu presiden dalam memastikan bahwa visi-misi-tujuan kepresidenan terterjemahkan secara sahih ke dalam kebijakan, dan kebijakan itu secara efektif berhasil mencapai tujuannya. Alasan ketiga, para menteri (termasuk yang direkrut melalui jalur profesional) bekerja menerjemahkan visi-misi-tujuan kepresidenan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Adapun RPJM itu belum pernah diuji secara resmi apakah memang secara sahih diturunkan dari visi-misi-tujuan kepresidenan. Bahkan, beberapa kalangan di luar pemerintahan yang menguji kesahihan itu berkesimpulan justru yang sebaliknya. Maka, untuk menghilangkan kekhawatiran itu perlu dipertimbangkan suatu mekanisme yang bisa menjamin bahwa tiap kebijakan publik berdampak positif bagi tercapainya visimisi-tujuan kepresidenan. Untuk itu, perlu dipikirkan unit khusus yang secara berkesinambungan dan sistematis melakukan analisis dampak kebijakan yang bisa mendukung keefektifan pemerintahan. Masalahnya, sementara kalangan menilai bahwa pembentukan unit baru dalam pemerintahan, termasuk dalam lembaga kepresidenan, tidak akan mampu meningkatkan keefektifan manajemen pemerintahan. Pembentukan unit manajemen baru rentan terhadap serangan politik. Belum hilang dari ingatan publik betapa debat tentang perlu tidaknya UKP3R (Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi) sangat menguras energi. Di pihak lain, memberdayakan unit yang sudah ada, misalnya Bappenas, untuk mengemban tugas tambahan bukanlah perkara mudah, mengingat sifat birokrasi yang cenderung lembam. Maka, terpulang kepada pucuk pimpinan pemerintahan, pilihan mana yang paling tepat. Yang jelas, unit pengawal analisis dampak kebijakan sangat diperlukan. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.

Anda mungkin juga menyukai