Anda di halaman 1dari 82

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Berjurnalisme Budaya di Ranah Budaya UNIT KEGIATAN PERS MAHASISWA UNIVERSITAS ANDALAS GENTA ANDALAS BUKITTINGGI, 21 26 NOVEMBER 2011 Pada zaman globalisasi, terjadi krisis identitas kebudayaan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran berbudaya dan sedikitnya informasi tentang budaya yang ada dimasyarakat. Dalam hal ini peranan media massa dirasakan sangat penting untuk memberikan informasi tentang kebudayaan. Pengetahuan kebudayaan dapat mengaktualisasi pekerjaan yang harus harus dilakukan dalam pembangunan. Untuk itu, Genta Andalas mengangkat acara PJTL yang bertemakan Jurnalisme Budaya. Pelatihan ini bertujuan agar peserta pelatihan mampu menuangkan nilainilai budaya yang dianut masyarakat ke dalam bentuk tulisan narasi yang menarik. PJTL diadakan selama 6 hari dengan empat materi, yaitu Pencarian Sumber Berita dan Teknik Wawancara, Narasi, Foto Jurnalistik, dan Indepth Reporting. Pelatihan ini difokuskan pada diskusi yang dibarengi dengan simulasi ke tempat-tempat wisata budaya di Bukittinggi seperti Lobang Jepang, Jam Gadang, Ngarai Sianok, dan Benteng Fort de Kock.

Bukittinggi, 20 November 2011 Ketua Panitia

(Eri Argawan)

Page 1

PJTL GENTA ANDALAS 2011 DESKRIPSI KEGIATAN

Jurnalisme Budaya

HARI PERTAMA, Senin, 21 November 2011 Pembukaan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut se-Indonesia Pembukaan kegiatan dilakukan di kampus Universitas Andalas, Limau Manis, Padang yang dimulai pada pukul 09.00 WIB. Kunjungan ke Rektorat dan keliling kampus Universitas Andalas. Peserta didampingi oleh panitia untuk melakukan kunjungan ke Rektorat Universitas Andalas serta berkeliling kampus guna mengenalkan kawasan kampus kepada peserta. Kunjungan Media ke Haluan Padang Setelah melakukan kunjungan ke Rektorat serta berkeliling di kampus Universitas Andalas, peserta dibawa menuju Haluan Padang, kunjungan ini bertujuan untuk mengenalkan Haluan Padang kepada peserta serta melakukan diskusi dan tanya jawab antara pihak Haluan dan peserta. HARI KEDUA, Selasa, 22 November 2011 (Oleh: Hendra Makmur, S.H) Pemberian materi pencarian sumber dan teknik wawancara. Pemateri mengarahkan peserta dalam pencarian narasumber dan teknik wawancara. Narasumber yang akan dicari harus relevan dengan berita yang diangkat oleh panitia. Dan pada saat wawancara, pemateri mengarahkan cara menggali data-data dari narasumber. Simulasi Peserta pergi ke lapangan untuk menerapkan ilmu yang didapat dari pemateri. Tempat yang akan dituju adalah Jam Gadang. Panitia mendampingi peserta dalam menentukan lokasi yang cocok dijadikan tempat pencarian sumber. Simulasi dijalankan selama dua jam. Presentasi hasil laporan Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok. HARI KETIGA, Rabu, 23 November 2011 (S. Metron Madison, S.S) Pemberian materi narasi berita dan feature Pemateri mengarahkan cara penyusunan berita secara prosesual atau mengalir. Hal ini mengenai penyusunan pernyataan-pernyataan dari narasumber. Penyusunan ini dimulai dari penempatan dan pengolahan data-data dari narasumber. Dari langkahlangkah ini peserta dapat menyusun data-data menjadi berita. Simulasi Peserta menyusun data-data hasil wawancara hari sebelumnya. Pada saat simulasi, peserta didampingi oleh panitia. Tempat simulasi diadakan di penginapan. Simulasi dijalankan selama dua jam. Presentasi Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok. HARI KEEMPAT, Kamis, 24 November 2011 (Maha Eka Swasta)

Page 2

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pemberian materi photo jurnalistik Pemateri menjelaskan foto-foto yang bernilai jurnalistik dan menghubungkan dengan tema berita yang diangkat oleh panitia. Pengambilan foto tersebut mengenai teknis pengambilan gambar, komposisi, dan nilai berita. Simulasi Peserta pergi ke lapangan untuk menerapkan ilmu yang didapat dari pemateri. Tempat yang akan dituju adalah Jam Gadang. Panitia mendampingi peserta dalam menentukan lokasi yang cocok dijadikan tempat pencarian sumber. Simulasi dijalankan selama dua jam. Pencarian sumber Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok.

HARI KELIMA, Jumat, 25 November 2011 (Sofiardi Bachyul) Pemberian materi Indepth Reporting Pemateri mengarahkan tentang penulisan berita teknik reporting (mendalam). Hal ini mengenai cara memaparkan berita dengan mengkorelasikan data-data dan menyimpulkan dalam bentuk kepahaman yang mendalam. Simulasi Peserta menyusun data-data hasil wawancara hari sebelumnya. Pada saat simulasi, peserta didampingi oleh panitia. Tempat simulasi diadakan di penginapan. Simulasi dijalankan selama dua jam. Presentasi. Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok. HARI KEENAM, Sabtu, 26 November 2011 Fieldtrip se- Sumatera Barat Penampilan bakat per LPM

Page 3

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pencarian Sumber Berita dan Teknik Wawancara Oleh: Hendra Makmur

Page 4

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 5

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 6

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 7

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 8

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 9

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 10

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 11

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 12

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Foto Jurnalistik Oleh: Maha Eka Swasta

Page 13

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 14

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 15

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 16

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

INDEPTH REPORTING Oleh: Syofiardi Bachyul Jb Bangunan-Bangunan Tua Kota Padang yang Hancur Akibat Gempa Oleh: Syofiardi Bachyul Jb (The Jakarta Post/ Padang) Gempa 7,9 SR yang mengguncang Sumatra Barat 30 September 2009 tak hanya menghancurkan rumah dan bangunan modern di Kota Padang, tapi juga sejumlah bangunan tua peninggalan era Kolonial Belanda bergaya Eropa yang berusia lebih 100 tahun. Bangunan-bangunan tersebut sebagian besar terletak di kawasan Padang Kota Lama. Eko Alvarez, Kepala Pusat Studi Konservasi Arsitektur (Pusaka) Universitas Bung Hatta menyebutkan, dari 244 bangunan lama yang didata lembaganya bersama Badan

Page 17

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pelestarian Pusaka Indonesia, 119 bangunan rusak berat, 68 rusak sedang, 41 rusak ringan, dan hanya 16 yang tidak rusak. Bangunan lama yang kami data mulai dari Kantor Gubernur Sumatera Barat di kawasan Jalan Sudirman sampai ke kawasan Jalan Batang Arau, termasuk di dalamnya lebih 70 bangunan lama yang masuk daftar Bangunan Cagar Budaya Kota Padang, kata Eko kepada The Jakarta Post, Kamis (29/10/2009). Bangunan yang rusak termasuk sejumlah bangunan penting yang menjadi tapak sejarah Kota Padang. Bangunan-bangunan yang rusak berat, bahkan hancur tersebut di antaranya Mesjid Ganting, mesjid tertua Kota Padang yang didirikan 1815, Kelenteng See Hin Kiong yang didirikan 1861, SD Agnes sekolah Katolik tertua di Sumatra Barat didirikan 1900, Kapel Susteran SCIM nan indah yang diresmikan 1903, dan Gereja Katolik yang dibangun 1933. Sebagian bangunan tua berdinding tebal ini terawat dengan baik. Namun gempa terlalu kuat untuk ditahan bangunan-bangunan besar itu. Sementara, sebagian bangunan lain dengan mudah dihancurkan gempa karena kurang terawat dan sebagian kayunya lapuk. Bangunan yang lapuk ini sudah lama dibiarkan terbengkalai dan tanpa perkuatan, sebenarnya tidak ada gempa pun bangunan-bangunan ini bisa runtuh, kata Eko. Di antara bangunan ini yang terkenal adalah deretan bangunan di Jalan Batang Arau yang sekarang sebagian besar dijadikan gudang, deretan ruko di Pasar Mudik, Pasar Gadang atau Pasat Hilir, Jalan Pondok, dan kawasan Kampung Nias. Di Kampung Nias, tepatnya di Jalan Pasar Melintang sebuah bangunan pemukiman pinggir jalan (Street Settlement) yang dibangun 1902 merupakan bangunan lama yang memiliki arsitektur dan ornamen klasik di bagian puncak depan yang unik dan indah. Tapi bangunan yang sebelumnya tidak terawat ini hancur bagian depannya oleh gempa. Ornamennya yang indah hancur bersama runtuhnya bagian teras bangunan berlantai dua itu. Rusak dan hancurnya bangunan-bangunan yang telah menjadi bagian dari budaya kota dan pusaka kota ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat Kota Padang, kondisinya sekarang sangat mengkhawatirkan dan penanganannya harus cepat dan diawasi, jika tidak renovasi sembarangan akan menghilangkan mereka semua, katanya. Saat ini sebagian bangunan yang dimiliki secara pribadi sudah mulai direnovasi pemiliknya. Eko mengingatkan agar pemerintah mengawasi renovasi tersebut. Jangan sampai usai gempa Kota Padang berubah wajahnya, karena itu masyarakat yang akan membangun bangunan-bangunan bersejarah harus diberi foto dan ukuran semula, juga dengan penanganan khusus, katanya. Menurut Eko, pihaknya sudah melaporkan assesment building bangunan-bangunan bersejarah tersebut kepada sejumlah pihak terkait, termasuk Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Menteri Perumahan Rakyat, dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Rekomendasi berisi anjuran agar merenovasi mengikuti kaidah konservasi, katanya. Wali Kota Padang Fauzi Bahar mengaku belum membuat planning khusus untuk merenovasi gedung-gedung yang diindungi. Kabarnya ada ahli yang bisa mengembalikan ke bentuk semula, tapi belum ada pembicaraan untuk memugarnya, katanya kepada The Jakarta Post.* (Tulisan Kedua) Runtuhnya Kebanggaan Kristen, Buddha, dan Islam Oleh: Syofiardi Bachyul Jb (The Jakarta Post/ Padang)

Page 18

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Bangunan ini sangat berarti bagi saya, karena di sinilah saya dipermandikan saat umur satu tahun pada 1967, kata Fernandus Alfian kepada The Jakarta Post di depan Kapel Susteran SCMM di Jalan Gereja yang rusak berat akibat gempa 7,9 SR. Alumnus Jurusan Arsitektur, Universitas Parahiyangan Bandung itu segera datang ke Padang sebagai relawan untuk menyelamatkan puing-puing bangunan tua tersebut. Ditemukan hari ketiga pasca gempa 30 September, Fernandes sedang sibuk mengkoordinir pembersihan bekas runtuhan. Kapel Susteran termasuk bangunan tua termegah di Kota Padang yang hancur akibat gempa. Bangunan yang diresmikan pemakaiannya pada 2 Februari 1903 itu hancur bagian belakangnya. Sementara bagian depan retak-retak. Atap genteng lama yang bertuliskan Stoom Pannen Fabriek van Echt di belakangnya berserakan di samping bangunan. Saya merasa bangunan ini begitu megah, bangunan kapel tertua di seluruh Indonesia, sayang sekali runtuh, padahal kami akan merayakan usianya ke-125 Februari tahun depan, kata Suster Leonarda SCMM sedih. Kapel Susteran St Leo merupakan kapel pertama Belanda di Sumatra, sebelum kapel Sibolga. Kapel ini digunakan sebagai gereja khusus suster atau biarawati. Namun karena keindahannya, para pengantin Katolik sering berfoto di depan kapel untuk pre wedding. Hampir seluruh material dan peralatan kapel berasal dari waktu pendirian. Kaca mozaik di jendela, kayu berukir di bawah plafon, hingga genteng, berasal dari abad ke-19. Termasuk kotak besi Tabernakel bertuliskan Deus Meus et Omnia, tempat menyimpan hosti (roti) dan anggur yang masih utuh meski tertimpa dinding. Rumah ibadah Katolik tak hanya kapel yang telah hancur itu. Juga Gereja Katedral dan bangunan gereja lama (kini Wisma Sukma Indah) yang terdapat di depan Gereja Susteran yang didirikan pada 1933. Kedua bangunan tidak bisa dipakai. Akibatnya misa terpaksa dilakukan di samping Katedral dan misa harian dipindahkan ke gedung lain. Pemeluk Buddha Padang juga berduka dengan hancurnya Kelenteng See Hin Kiong di Jalan Kalenteng, Kawasan Pondok. Sejak didirikan 1861 inilah gempa yang merusak kelenteng ini, sebelumnya gempa tidak pernah merusaknya, kata Indra, salah seorang pengurus See Hin Kiong. Kelenteng See Hin Kiong dijadikan tempat ibadah sejak 148 tahun lalu oleh umat Buddha, terutama warga Sumatra Barat keturunan Tionghoa. Gempa 30 September menghentikan aktivitas beribadah di sana. Acara pemindahan Arca Hoedijo dan ToapekongToapekong ke tempat sementara dilakukan Rabu (28/10/2009) lalu. Kami belum tahu akan diapakan kelenteng ini, apakah dijadikan museum atau dipugar, kalau dijadikan museum ini bisa untuk kenangan bagi generasi mendatang betapa dahsyatnya gempa 30 September, kata Indra. Bangunan kelenteng utama masih berdiri, meski tiang-tiangnya bergeser. Tapi atap bangunan kiri dan kanannya ambruk. Arca dewa terjatuh dan lukisan dinding yang dibuat sejak awal berdiri di dinding kiri dan kanan terkelupas bersama jatuhnya plesteran, terutama lukisan yang menggambarkan dewa kebaikan. Lebih 3 ribu umat buddha Padang kehilangan tempat ibadah yang bersejarah itu. Gempa juga merusak dua mesjid bersejarah Kota Padang. Mesjid Gantiang adalah mesjid pertama dan tertua di kota itu yang didirikan atas bantuan Pemerintahan Hindia Belanda pada 1815. Sebelum mesjid bergaya paduan arsitektur surau dengan klasik Eropa ini didirikan, di Kota Padang hanya ada surau-surau kecil. Mesjid bertiang 25 ini rusak sebagian tiangnya. Kerusakan lain adalah di ornament depan yang merupakan ciri khas bangunan itu. Ornamen itu jatuh dan hancur. Mesjid lain yang mengalami rusak sedang adalah Mesjid Muhammadan di Kawasan Kampung Keling, dekat Batang Arau.

Page 19

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Mesjid warisan kelompok Orang Keling, India yang tinggal di sana pada zaman Kolonial ini memiliki bangunan bersitektur gaya India yang dibangun pada awal abad ke-19. Meski mesjid ini masih bisa digunakan, retakan akibat gempa menganga di dinding dan lantai. Gempa 30 September tidak memilih tempat ibadah di Kota Padang . Semua pemeluk agama merasakan dahsyatnya.* (Ditulis 30 Oktober 2009, bahasa Inggris dimuat The Jakarta Post November 2009, bahasa Indonesia di PadangKini.com) Gempa dan Tsunami dalam Folklore Mentawai Oleh: Syofiardi Bachyul Jb (The Jakarta Post/ Padang) Jika gempa terjadi Yosep Sarokdok selalu ingat ucapan ayah atau ibunya di kampungnya Dusun Sarokdok, wilayah adat Sarereiket di pedalaman Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Waktu saya kecil kalau terjadi gempa pada pagi atau dini hari, orang tua saya akan berkata sipenanduk, kalau gempanya sore atau malam mereka berkata akan tumbuh udduat, kata Josep, 32 tahun, yang sekarang tinggal di Padang kepada The Jakarta Post, Sabtu (20/11/2010). Sipenanduk artinya panen buah durian. Orang tuanya (laki-laki) menyebutnya panengge atau gempa yang akan menyebabkan banyak buah durian jatuh. Pesan optimisnya kepada anak-anak, gempa menolong menjatuhkan buah durian yang lebat dan berbatang tinggi itu, kata aktivis NGO Yayasan Citra Mandiri Mentawai itu. Sedangkan udduat adalah jamur yang tumbuh di tanah dan enak dimakan. Orang tua Yosep akan menunjukkan satu tempat yang datar dan juga sedikit berbukit dekat rumah tempat biasa udduat tumbuh. Kalau gempa terjadi pada sore atau malam, kami selalu dipesan ayah atau ibu agar mengambil udduat di tempat itu, besoknya saya ke sana, memang banyak jamur yang bisa dipetik, sebagian baru tumbuh, sebagian sudah besar, jadi bisa direbus untuk makanan, ujarnya. Kisah lain yang diceritakan turun-temurun di Sarereiket adalah pesan kalau terjadi gempa besar maka larilah ke pohon atau kebun pisang. Sebagai kampung yang terletak di tengah hutan dengan banyak pohon besar, kebun pisang tentu lebih aman. Jika pohon pisang rubuh oleh guncangan gempa tentu tidak akan mematikan. Pesan itu terkait dengan pendirian uma atau rumah adat suku mentawai. Dikisahkan, dahulu kala saat mendirikan rumah adat berbentuk panggung itu, seorang anak laki-laki yatim-piatu bernama Ulu Taek disuruh menggali lubang untuk tiang utama oleh dua kakak angkatnya. Ketika kedua kakak angkat laki-lakinya yang tidak suka dengannya meletakkan tiang utama yang runcing itu, si Ulu Taek berhasil lari ke atas. Beberapa kali hal itu terjadi. Pada akhirnya si Ulu Taek berpesan kepada istri dan anaknya bahwa ia akan membuat gempa yang bisa menenggelamkan uma tersebut sebagian ke dalam tanah, karena itu ia menyuruh lari ke pohon pisang. Akhirnya ketika kedua kakaknya berusaha kembali membunuhnya, Ulu Taek menciptakan gempa yang menenggelamkan sebagian uma yang sedang mereka buat yang mengakibatkan kedua kakaknya tewas. Sedangkan istri dan anaknya selamat karena lari ke kebun. Pesan dari cerita ini kalau terjadi gempa besar maka lari ke pohon pisang, begitu yang dicerita turun-temurun, kata Yosep yang sekarang menjadi Koordinator Lumbung

Page 20

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Derma, lembaga koalisi lebih selusin NGO di Sumatera Barat untuk bantuan tsunami Mentawai. Pesan lain, kata Yosep, cara orang Mentawai membuat rumah adat dengan tidak meletakkan tiang di atas tanah, tapi memancangkannya dalam-dalam. Tujuannya agar rumah tidak rusak akibat gempa. Folklore lain adalah sebuah lagu tua yang dinyanyikan turun-temurun oleh suku mentawai di Siberut untuk menghibur anak-anak. Lagu berjudul Teteu Amusiat Loga itu kini terkenal karena dihubungkan dengan pesan mitigasi gempa dan tsunami: tingkah laku binatang sebelum terjadi gempa. Begini syair lagu itu dan artinya. Teteu Amusiat Loga Teteu... Teteu amusiat loga Teteu katinambu leleu Teteu girisit nyau-nyau Amagolu teteu tai pelebuk Arotadeake baikona Kuilak pai-pai gou-gou Lei-lei gou-gou Barasita teteu Lalaklak paguru sailet. Gempa Tupai Mencicit Gempa... Gempa tupai mencicit Gempa gemuruh datang dari bukit Gempa tanah longsor dan rusak Roh kerang laut sedang marah Karena pohon baiko (pohon yang kulitnya untuk bahan membuat cawat) telah ditebang Ekor ayam terlihat bergoyang Ayam-ayam berlarian Karena gempa bumi datang Orang-orang berlarian. Nikman Sanene, 30 tahun, mengaku sering mendengar orang-orang tua menyanyikan lagu itu ketika ia kecil. Itu ketika ia tinggal di kampungnya Desa Saibi Samokop, Pulau Siberut bagian Selatan hingga tamat SMA. Ini bahasa mentawai lama, makna tepatnya agak sulit dipahami, saya sepakat artinya berkaitan dengan gempa, hanya saja lagu ini biasa dibawakan dengan gembira, katanya. Masalahnya Teteu memiliki beberapa pengertian, tergantung konteks. Teteu bisa berarti Kakek atau Nenek, atau nenek makhluk halus, tapi bisa juga gempa. Banyak orang Mentawai setuju arti Teteu di lagu ini adalah gempa.

Page 21

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Yang menarik dari suku Mentawai yang jumlahnya hanya sekitar 50 ribu adalah memiliki kekayaan folk tale (dongeng rakyat). Dibandingkan dengan suku lainnya di Indonesia, Mentawai termasuk paling banyak memiliki folk tale. Bahkan mereka memiliki istilah sendiri terhadap cerita rakyat, yaitu pumumuan. Cerita rakyat Mentawai lain yang bisa dikaitkan dengan bencana gempa dan tsunami adalah dua kisah terkenal, kisah terbelahnya Pulau Pagai menjadi dua bagian, Utara dan Selatan, dan kisah menjauhnya Pulau Beriloga atau yang disebut orang luar Pulau Sanding. Kisah terbelahnya Pulau Pagai yang sekarang dipisah selat selebar 770 meter menurut pumumuan berawal dari sebatang pohon raksasa yang tumbuh di sebelah timur selat itu. Karena pohon itu dijadikan tempat bersarang seekor burung raksasa pemakan manusia, maka orang-orang pun menebangnya. Pohon itu akhirnya tumbang, membelah pulau menjadi dua sehingga air laut masuk. Sedangkan kisah menjauhnya Pulau Beriloga dari Pulau Siberut hingga kini terletak paling selatan Pulau Pagai (dekat Pulau Enggano) karena kesaktian seorang Paggetasabau, orang yang dianggap sebagai Sikerei (dukun) pertama di Mentawai. Keponakannya meminta sebuah tanjung dilepaskan seperti kapal ke tengah laut. Tanjung itu akhirnya benar-benar lepas dan menjauh sehingga menjadi pulau terpencil. Tentu saja kisah-kisah folklore tersebut tidak bisa diterima logika berkaitan dengan kejadian nyata. Tetapi simbol-simbol seperti kayu rubuh, daratan terbelah, air laut naik, pulau terpisah tidak tertutup kemungkinan tercipta karena kejadian di masa lampau. Namun yang aneh dari kehidupan suku Mentawai adalah kenyataan bahwa mereka di masa lalu tidak pernah mendirikan kampung di pinggir pantai. Cerita turun-temurun menyebutkan kampung orang Mentawai berasal dari pedalaman Pulau Siberut, yaitu Kampung Simatalu. Mereka berkembang dan diaspora ke pulau Siberut sendiri, lalu ke Pulau Sipora dan Pulau Pagai, juga mendirikan kampung-kampung di tengah hutan, jauh dari pantai. Pemindahan sejumlah kampung ke pantai dimulai awal 1914 oleh pemerintah Belanda dan Zending Protestan. Lalu besar-besaran melalui proyek PKMT (Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) Departemen Sosial era Soeharto pada 1970-an. Sejumlah kampung dipindah paksa ke pesisir. Tentu ada alasan nenek moyang kami dulu tinggal jauh dari pantai padahal mereka hidup di pulau, kemungkinan mereka takut tsunami di masa lampau, kata Kortanius Sabeleake, tokoh Mentawai yang juga mantan Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai. Catatan sejarah pada 1797 gempa bersumber di pantai timur Pulau Siberut pernah menimbulkan tsunami dahsyat di Kota Padang dan Pariaman. Gempa dahsyat kedua pada 1833 yang juga menimbulkan tsunami. Namun tidak ada catatan apa yang terjadi di Kepulauan Mentawai pada kedua bencana itu. Setidaknya sebuah desa di Pagai Utara mencatat dengan nama yang diberikan masyarakat kepadanya, Silabu. Desa ini hancur oleh terjangan tsunami 25 Oktober 2010 yang menewaskan 7 orang. Silabu artinya pulau berbentuk labu di depan desa yang kemungkinan terbentuk akibat hantaman tsunami 1833. Sejarah tidak ditulis pada zaman dulu oleh masyarakat tradisional seperti Mentawai. Tetapi folklore seperti dongeng, nyanyian, nama tempat, dan kebiasaan hidup turun-temurun bisa mencatat kejadian masa lalu yang mestinya bisa dijadikan peringatan menghindari bencana. Juga tak kalah penting menjadi simbol hidup akrab dengan bencana. Apalagi bencana gempa dan tsunami yang mematikan selalu mengancam penduduk di Kepulauan Mentawai. *

Page 22

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Orang Mentawai Suka Mendongeng Orang mentawai memiliki banyak dongeng rakyat. Jika dibandingkan dengan sukusuku lainnya di Indonesia, suku ini termasuk memiliki dongeng terbanyak. Bahkan memiliki nama khusus untuk itu, yaitu Pumumuan. Bruno Spina, seorang pastor asal Italia yang pernah bertugas di Mentawai mengumpulkan 67 dongeng rakyat yang dicatatnya dari tuturan penduduk asli. Dongeng ini dibukukan dengan judul Mitos dan Legenda Suku Mentawai yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1981. Pada 2003 Yayasan Citra Mandiri Mentawai dan tabloid lokal Puailiggoubat mengadakan sayembara penulisan pumumuan. Sekitar 30 dongeng rakyat baru yang belum ditulis Bruno Spina muncul yang ditulis orang Mentawai sendiri. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai, Urlik Tetubekket yang menjadi salah seorang juri sayembara mengatakan, sebenarnya masih banyak dongeng rakyat yang belum ditulis. Dongeng-dongeng ini sebenarnya bisa hilang seiring dengan meninggalnya orangorang tua mentawai yang lebih tahu banyak cerita, ujarnya kepada The Jakarta Post. Menurut Urlik yang juga seorang pendeta di gereja GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) Saurenuk, Sipora, orang-orang tua mentawai suka bercerita dengan anak dan cucunya, terutama jika sedang duduk-duduk di beranda uma atau rumah adat suku. Itulah yang membuat cerita rakyat tumbuh subur, katanya. Orang Mentawai memiliki lebih 50 nama suku (marga), misalnya Saleleubaja, Samaloisa, Tetubekket, Sakerebau, dan Satoko. Masing-masing memiliki dongeng nama dan terbentuknya suku. Mereka juga memiliki kisah terbentuknya kampung, bahkan juga kisah asal-usul orang Mentawai dan bahkan asal-usul manusia. Meski ini berkaitan dengan sejarah, namun kisahnya dibumbui dongeng yang kadangkala tidak masuk akal. Pumumuan di Mentawai memiliki tema yang sangat beragam yang berhubungan dengan aktivitas budaya dan lingkungan sekitar. Tak hanya tentang asal-usul aktivitas budaya seperti kebiasaan membuat tato, meruncing gigi, membuat sampan, uma, panah, dan sebagainya, juga legenda terbentuknya pulau, persahabatan antar manusia, manusia dengan binatang. Tentu tak ketinggalan kisah hubungan manusia dengan roh penguasa hutan dan laut. Yang menarik, orang mentawai juga memiliki fabel berbagai kisah binatang yang hidup di kepulauan itu. Fabel tentang burung, kura-kura, rusa, buaya, siput, hiu, monyet, ular, biawak tak kalah menarik dari kisah kancil di dunia Melayu. Pumumuan membuktikan orang-orang Mentawai memiliki budaya bercerita yang tinggi. Sayang tak banyak orang-orang dunia luar yang tahu. (syofiardi bachyul jb) (Tulisan ini dimuat versi bahasa Inggris di The Jakarta Post Desember 2010 dan versi bahasa Indonesia di PadangKini.com)

Jurnalisme Naratif (Narrative Journalism) Oleh: S. Metron Madison, S.S


Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil perkawinan silang antara keterampilan penuturan cerita dengan kemampuan seorang jurnalis dalam membuat drama, dan kegiatan mengamati segala orang, tempat, dan kejadian, yang nyata di banyak tempat

Page 23

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

dunia- Robert Vare, wartawan yang pernah jadi redaktur majalah The New Yorker dan The Rolling Stones Creative nonfiction. Dikenal juga dengan: Literary Journalism (jurnaslime sastrawi), Long Form Journalism (jurnalisme mendalam), New Journalism (jurnalisme baru). Jurnalisme ini tidak mengasumsikan bahwa pembaca robot (Mark Kramer). Pembaca memiliki sekarung emosi yang bisa diaduk-aduk. Merupakan bentuk tercanggih dari penulisan nonfiksi, terutama dalam mengontrol kekuatan fakta, untuk teknik pengontruksian fiksi yang dilakukan secara naratif: dalam menata adegan, lukisan multidimensi karakter, dan terlebih penting, penyampaikan sebuah kisah yang menghadirkan suara (voice) yang ingin didengar pembaca. (Tom Wolfe) 5W 1 H ala Jurnalisme Naratif Who = karakter What= plot When= kronologi Why= motif How = narasi (Where=lokasi) Yang membedakan dengan Jurnalisme Konvensional: 1. Pemakaian konstruksi adeganperadegan; 2. Pencatatan dialog secara utuh; 3. Pemakaian sudut pandang orang ketiga; dan 4. Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status kehidupan orangorang yang muncul dalam ceritanya. 5. Memiliki hubungan emosi dengan pembaca 6. Memiliki tujuan melalui: tema, aksi dan alasan Unsur penting dari jurnalisme naratif: isi akurat, informasi melalui penelitian, serta menarik untuk dibaca. memperlihatkan emosi manusia dan berada pada situasi pada nyata. Gaya ini menyuguhkan kisah pribadi di belakang kisah publik. Memadukan fakta reportase dengan gaya penulisan fiksi. immersion reporting (reportase mendalam) Kenapa penting? Argumentasi Narasi vs Argumentasi Konvensional 1. Beri pembaca berita yang mereka inginkan. Bukan, beri pembaca apa yang mereka butuhkan. (Givereaders the news they want. No, give them what they need. 2. Grafik adalah jawabannya. Bukan, penulisan adalah jawabannya. (Graphics are the answer. No, writing is the answer.) 3. Ini sebuah suratkabarnya para penulis. Bukan, ini sebuah suratkabar para editor. (This is a writers' paper. No, it's an editors' paper.) 4. Jurnalisme investigastif. Bukan, jurnalisme sipil (Investigative journalism. No, civic journalism.) 5. Kisah yang panjang. Bukan, kisah yang pendek. (Longer stories. No, shorter stories.) 6. Tekankan di penulisan. Bukan, reportase. (Concentrate on writing. No, reporting.)

Page 24

PJTL GENTA ANDALAS 2011


7.

Jurnalisme Budaya

Tingkatkan kualitas. Bukan, arahkan ke profit. (Improve quality. No, focus on profits.) (Roy Peter Clark) Problem terbesarnya: Bagaimana Menuliskannya? Lukiskan, bukan katakan Jika dalam penulisan berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, maka dalam penulisan naratif kita dapat memakai teknik ''mengisahkan sebuah cerita''. Penulis melukis gambar dengan kata-kata: ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama. Jauhi Piramida Terbalik 'Piramida terbalik'' (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah sehingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik. Hindari Kata Keterangan/Kata Sifat Narasi yang bagus memaparkan soal yang kongkret dan spesifik. Salah satu caranya adalah dengan menghindari kata-kata sifat seperti tinggi, kaya, cantik. Kata sifat adalah musuh bebuyutan kata benda, kata pujangga Prancis Voltaire. Menyapukan warna di atas kanvas (Show-Not-Tell) Bagaimana cara belajar membuat deskripsi yang kuat dan hidup? Ubahlah pernyataan yang kering dan kabur menjadi paragraf berisi ilustrasi memukau. Antara Agama dan Budaya Batak Parmalim, Bagaimana Status Mereka? Oleh: Andika Bakti Tahukah anda mengenai Parmalim? Agama ini merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara. Mereka percaya Tuhan Debata Mulajadi Nabolon adalah pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" atau Parmalim. Parmalim berasal dari daratan Tapanuli Utara pada 21 April 1921. Parmalim, ini termasuk ke dalam kepercayaan yang minoritas di Sumatera Utara, begitu juga di Indonesia. Kini, masuknya ajaran agama, terutama Kristen yang diajarkan oleh Nomensen membuat kepercayaan ini semakin terpinggirkan. Keberadaan Parmalim memang hampir berlalu dari ingatan sejarah. Tak banyak lagi orang mengenal atau pernah mendengar Parmalim. Seperti laporan yang pernah ditulis oleh Ahmad Arif, seorang tokoh masyarakat di harian Kompas tentang ritual kaum Parmalim. Di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, ternyata masih ada ribuan pengikut Parmalim. Mereka datang dari berbagai belahan nusantara. Mereka berkumpul di bale Partonggoan atau balai peribadatan dan melakukan upacara ritual mereka dibawah pimpinan raja Marnakok Naipospos (cucu raja Mulia Naipospos), sang pemimin spiritual umat Parmalim saat ini (Kompas 19 September 2005). Laporan tersebut mengingatkan kita dengan tanah Batak. Karena bagaimanapun, sekitar tahun 1883, selain mengandung muatan teologia dalam sejarahnya, Parmalim juga

Page 25

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

mengandung muatan lokal budaya Batak. Bahkan ia pun pernah menjadi suatu gerakan politik seperti gerakan Parhudamdam untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Parmalim hingga hari ini masih ada pengikutnya, meskipun sampai kini pemerintah belum mengakuinya sebagai agama resmi di Indonesia. Karenanya, tulisan saya ini tidak dalam posisi dukung-mendukung, kecuali hanya sebagai wacana dari sebuah ingatan sejarah. Jika pemerintah tidak mengakuinya sebagai agama resmi di Indonesia tentunya punya alasan kuat, sebagaimana mereka pun punya alasan mengapa sampai hari ini menjadi penganut Parmalim. Di Kota Medan, Sumatera Utara sendiri mencatat jumlah penganut Parmalim berjumlah 400 jiwa yang terdiri dari 90 kepala keluarga. Namun, tak semua dari penganut Parmalim ini bernasib baik untuk masalah status kependudukan. Adalah Pulung Sarait, warga asal Medan, Sumatera Utara. Ia harus melakukan sumpah pegawai, namun tidak mengatasnamakan ajaran agama Islam, Kristen, dan Budha saat itu hanya tiga agama yang diakui negara. Ia melakukan sumpah sesuai ajara yang dihayatinya, Parmalim. Sesuai Undang-Undang Kepegawaian No. 8 tahun 1974, Bab 3 Pasal 27, menjelaskan bahwa pegawai dapat melakukan sumpah tidak menggunakan tiga kepercayaan yang diakui negara. Oleh karena itu Pulung dapat melakukan sumpahnya sebagai karyawan Pegawai Negeri Sipil di salah satu instansi pemerintahan di Sorong , Irian Barat. Setiap warga negara wajib memiliki kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Terdapat kolom agama di dalamnya, untuk mendapatkan satu lembar KTP, Ia harus memilih agama saat ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jakarta. Kristen menjadi pilihan, bukan karena ingin mempelajari, memperdalam, atau pindah kepercayaan. Melainkan karena keharusan untuk mencantumkan agama di salah satu kolom. Parmalim bukan agama yang bisa dicantumkan. Hingga usai masa perkuliahnya, embel-embel Kristen terus bersamanya. begitu Ia diterima di salah satu lembaga pemerintahan di Sorong, Irian Barat, Ia harus bersumpah sesuai agama Kristen seperti yang tercantum pada KTP-nya. Namun mentah-mentah Ia menolaknya. Saya Parmalim, bukan Kristen. Tegas Pulung. Lantas kenapa di KTP Anda tercantum Kristen? Kisah Pulung menirukan pertanyaan pihak instansi. Ia meminta untuk dilakukan sumpah sesuai Parmalim, bukan Kristen. Setalah pihak instansi mendengar penjelasan Pulung, sumpah berlangsung dengan lancar. Sesuai harapannya untuk disumpah menggunakan kepercayaan yang dihayati, Parmalim. Hal serupa juga dialami Ruslina br Marpaung, ia mengatakan sempat mengalami kesulitan saat mengurus KTP di lingkungannya. Warga Jalan Seksama, Medan, Sumatera Utara ini juga mengaku sering mendapat cibiran dari tetangganya. Kini, kondisi tak lagi seburuk seperti yang pernah dialaminya beberapa tahun silam dalam pengurusan KTP. Pun ia tetap tidak bisa mencantumkan Parmalim pada kolom agama. Tanda () menjadi penggantinya. Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Pasal 61 Ayat 2, tentang Administrasi Kependudukan. Bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan. Dari Undang-undang di atas, pelayanan seperti apa yang dimaksudkan? Dilayani sebatas pada administrasi? Kemudian bagaimana soal hak-hak dan kewajibannya sebagai bagian dari warga negara Indonesia? Apakah tetap sama atau mungkin diikutsertakan, namun dengan tanda (-) ini juga?.

Page 26

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

TTL ASAL LPM

: Sukaramai, 28 Mei 1991 : SUARA USU

UNIVERSITAS : Universitas Sumatera Utara

ANDIKA BAKTI

JABATAN FAK/JUR ALAMAT NO. TELP/HP E-mail

: Redaktur Foto : ISIP/Ilmu Komunikasi : Jl. Universitas No. 32 B : 0878 6840 0767 : andikabakti@rocketmail.com

Remaja Bermalam Minggu dengan Randai Opini Arjuna Nusantara, reporter LPM Suara Kampus Sekarang kita berada di zaman globalisasi. Mereka yang tidak hati-hati akan larut menghanyut di aliran zaman. Kesalahan dalam memaknai akulturasi budaya menjadi masalah. Menelusuri perjalanan budaya, bagi yang paham akan memekik menyaksikan. Budaya di Indonesia yang beragam dan menjadi ciri khas mulai terkikis. Apalagi Minangkabau, tidak bias dipungkiri. Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tenggelam dikubur zaman. Siapa yang berani membantah ini. Kita juga tidak menuntut perempuan limpapeh rumah gadang untuk memakai kain kuruang basibak. Tidak pula menuntut setiap pesta harus menghadirkan randai, saluang, rabab dan lainnya. Modernisasi penting. Tapi apakah modernisasi pakaian seperti kebanyakan remaja minang sekarang? Apakah pergaulan seperti yang kita saksikan? Bukan berpakaian setengah jadi yang sedang tren. Bukan pergaulan tak tahu malu. Merayaplah di balik cerup malam. Telusuri pantai purus. Deburan ombak seiring dengan deburan hasrat yang merekah di dada pasangan muda-mudi. Tidak hanya di bawah pondok payung, di bebatuan yang terbuka pun tak masalah. Atau naikilah bukit lampu yang remang, ada cerita mesum yang birahi. Jangan lupa singgah di pondok-pondok kecil pantai nirwana. Tempat yang mesra untuk bercinta. Tidak puas? Datanglah ke kafe Fellas, ada

Page 27

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

penari talanjang bulek. Memilukan memang. Itu realita, bukan cerita. Realita di ranah kita. Ranah minang. Ini tidak akan terjadi jika masyarakat tidak menyediakan payung-payung rendah di taplau. Tidak akan terjadi jika masyaraat mengusir pasangan muda-mudi yang bermesraan di batu-batu pantai. Tidak akan terjadi jika bukit lampu itu diurus dengan baik dan oleh orang baik-baik. Mengambil arti, nilai itu benar yang sudah tidak melekat dihati masyarakat. Tidak ada yang peduli. Dibuai kesusahan hidup. Kebutuhan hidup semakin berat. Segala cara dihalalkan. Meski kadang mengabaikan nilai budaya dan agama. Maka sediakanlah tempat mesum. Tempat tersuruk di tengah kampung. dengan ikhlas, pasangan muda-mudi keluarkan uang 25 ribu sampai 35 ribu untuk numpang bermesum. Aman. Penyedia tempat dapat uang, pasangan mesum puas. Tiada ujung jika kita bicara kasus. Itu hanya pekikan dari penulis sebagai anak bujang ranah ini. Miris melihat remaja yang suka hura-hura tak menentu. Masih adakah remaja minang yang kenal petatah-petitih? Atau dengan seluk beluk budaya ABS-SBK? Malu dengan budaya sendiri, itu yang kita baca. Bali diminati bukan sekedar keindahan alam. Budaya Bali yang hidup itu yang menjadi daya tarik. Ritual leluhur dan berpakaian. Kalau keindahan alam, Ranah Minang tak kalah indah. Remaja Bermalam Minggu dengan Randai Tapi kita boleh berbangga dengan apa yang dilakukan sekelompok remaja di Nagari Lansek larangan Sungai Duo kecamatan Sitiung kabupaten Dharmasraya. Di sini, remaja bermalam minggu dengan dendang minang dan cerita rakyat. Di saat remaja kampung sebelah merayap dengan sepeda motor kredit orang tuanya, remaja Sungai Duo malah menuju halaman mesjid. Malam minggu dengan hura-hura tidak laku di sini. Mereka membuat lingkaran, berputar, bersorak, menari dan bernyanyi. Peran datuak dan bundo kanduang dimainkan. Sesuai alur cerita. Cukup tiga jam. Dalam latihan, ada yang tersipu malu. Ada yang begitu lincah memukul kain di selangkangannya. Hepta, hepta. Menurut pengakuannya, remaja yang tergabung di grup randai ini tidak ada unsur paksaan. Mereka hanya ingin terjun langsung dalam melestarikan budaya. Mulia. Tapi bukan berarti semua remaja di nagari ini seperti itu. Setidaknya, ini patut dicontoh oleh remaja lainnya. Dan tugas pemerintah adalah memberi dukungan secara moril dan materil. Karena ini bisa mencegah terjadinya kasuskasus yang dikemukan di atas. Sekurang-kurangnya, remaja harus kenal dengan budayanya. Masih di sekitar kabupaten Dharmasraya, ada satu kampung, Sungai Atang namanya. Di kampung campuran Minang-Jawa ini, ada tempat yang nyaman untuk berduaan. Sehingga jadi objek pasangan muda-mudi untuk bermesra ria. Hebatnya, masyarakat tidak terima itu. Seringkali terdengar penangkapan pasangan mesum oleh warga di sini. Tidak main-main. Pasangan mesum diarak sepanjang kampung. tidak dilepas hingga orangtuanya datang. Jarang sekali yang tidak dinikahkan. Apakah masyarakat kota tidak bisa melakukan ini?

Page 28

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

TTL ASAL LPM

: Sungai Duo, 14 Maret 1991 : SUARA KAMPUS

ARJUNA NUSANTARA

UNIVERSITAS : IAIN Imam Bonjol Padang JABATAN FAK/JUR ALAMAT : Reporter : Dakwah / Jurnalistik

: Jln. M. Yunus Lubuak Lintah, Komplek IAIN Imam Bonjoll Padang NO. TELP/HP : 085356429142 E-mail : djoe_nd@yahoo.co.id

Kekerabatan Suku Batak Oleh : David Vandi Hutagalung Kebudayaan Batak Toba merupakan salah satu kebudayaan Indonesia, pada umumnya orang batak memiliki jiwa pemberani, keras dan cerdas. Jika kita perhatikan orang batak biasanya sangat mengutamakan pendidikan kepada anaknya. Orang batak Toba itu bersikap kasar dan keras tetapi pada umumnya orang batak hatinya tulus tidak ada yang tersembunyi didalam hati mereka, mereka tidak bisa menyimpan perasan mereka langsung mengungkapkan apa yang ada di dalam hati mereka, keterbukaan dan kejujuran yang mereka memiliki membuat mereka biasanya dapat dipercayai oleh orang lain. Orang batak mau bekerja keras untuk mencukupi pendidikan anaknya bahkan mereka mau menjual harta mereka dan hidup susah supaya anak mereka dapat memperoleh pendidikan supaya dapat membangkitkan taraf hidup keluarga mereka. Orang batak Toba memiliki rasa persaudaraan yang tinggi kepada orang batak lainnya terutama kepada se marga. Dalam kehidupan sosial budaya, mereka mengenal pengayoman. Bahwa dalam lingkungan masyarakat batak harus membentuk kelompok yang sifatnya mengayomi, melindungi, dan memberi kesejahteraan bagi anggotanya. Oleh karena itu, di mana pun orang batak berkumpul pasti membentuk sebuah persatuan.

Page 29

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khususnya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, dengan memiliki rasa persaudaraan orang batak membentuk suatu organisasi se- marga. Hagabeon adalah ungkapan yang berarti orang semoga mempunyai banyak keturunan dan panjang umur. Istilah ini juga biasanya diucapkan kepada pengantin, agar dapat membangun rumah tangga. Hagabeon pada zaman dahulu diartikan agar orang batak dapat bertahan dalam peperangan dan mempunyai kekuatan kebersamaan. Saur Matuabulung mengharuskan mereka mempunyai keturunan yang banyak. Hasangapon merupakan ungkapan yang artinya orang batak mempunyai kemuliaan, karisma untuk meraih kejayaan. Orang batak berlomba untuk meraih kemuliaan dan kehormatan juga jabatan dalam rangka mewujudkan budaya Hasangapon. Hamoran adalah istilah untuk menyebut kekayaan. Orang batak diharuskan bekerja keras untuk memperoleh kekeayaan. Hamajuon adalah istilah untuk kemajuan orang Batak. Mereka akan berlomba untuk menuntut ilmu bahkan sampai merantau. Nilai budaya ini membentuk mereka menjadi masyarakat yang kuat dan cerdas. Mereka sanggup bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air demi menuntut ilmu. Patik Dohot Ukum adalah aturan hukum adat yang berlalu dalam masyarakat batak toba. Hukum tersebut berlaku secara lokal. Dengan begitu suku batak Toba adalah suku yang mempunyai sifat kekerabatan yang tinggi terhadap silsilah atau pun se marga mereka, dengan begitu suku batak Toba menjadi suku yang kuat yang tidak dapat terpecah oleh suatu masalah, Sifat mereka yang keras dan fisik yang kuat membuat suku batak tetap bertahan hingga saat ini. Orang batak Toba menganggap satu marga mereka adalah seperti saudara kandung karena kebudayaan batak mengajarkan begitu bahwa sesama orang batak harus menjunjung tinggi rasa solidaritas, harga diri, berusaha keras dan bertekad kuat untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul, yang artinya dapat menjaga kedekatan dengan tetangga. Adat. Suku batak toba menyusun sistem kekerabatan tidak hanya berdasarkan hubungan darah saja, namun juga berdasar pada kasih sayang dan kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu, yaitu Hula-hula, Dongan tubu, Boru. yang artinya saling menghormati dan menyayangi serta menjaga kekerabatan dengan tetangga yang saling tolong menolong. Walaupun tidak bersaudara kandung mereka menganggap kekerabatan sangat penting dengan begitu jiwa kebersamaan dan persaudaraan tersebut dapat terbangun dan mereka mengajarkan hal tersebut kepada anak dan bahkan cucu mereka.

Page 30

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

DAVID VANDI HUTAGALUNG


TTL ASAL LPM : Medan, 05 Agustus 1989 : Pers Mahasiswa Kreatif

UNIVERSITAS : Universitas Negeri Medan JABATAN FAK/JUR ALAMAT : Reporter : FIP / PLS : Jln.Binjai km 13,5 Pasar Kecil, Gg.Alwarib 20351 : 085762535063 : ndihutagalung@yahoo.com

NO. TELP/HP E-mail

Menguak Situs dan Cagar Budaya Inhu Oleh: Didi Wirayuda Jarak kota Pekanbaru ke Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) sekitar 260 kilometer. Hampir enam jam perjalanan, kami sampai di Kecamatan Kota Lama, Inhu, dan rehat sejenak di depan sebuah gerbang bercat kuning tepat di sisi jalan Lintas Timur. Di gerbang itu tertulis Situs Lokasi Makam Raja-raja Indragiri Hulu, kami sepakat masuk. Dari gerbang, jaraknya sekitar dua kilometer ke lokasi pemakaman. Ada banyak pemukiman warga di sana. Suasana agak sepi saat masuk ke lokasi pemakaman. Tak ada orang berkunjung atau ziarah. Lokasinya cukup bersih, namun agak semak. Kata Guntur, penjaga makam, lokasi ini hampir mencapai 16,9 hektar, sedangkan lokasi makam sekitar 13 hektar. Semuanya ada sekitar 23 makam yang harus dirawat, katanya. ***

Page 31

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Awalnya cerita ini dimulai dari kerajaan Indragiri yang didirikan oleh Raja Kecik Besar Malikul Muluk, yaitu Sultan Kerajaan Malaka pada tahun 1298 Masehi. Saat itu, Raja Kecik Besar mengangkat seorang Putra Mahkota, namanya Raja Kecik Mambang alias Raja Marlang, menjadi sultan di tanah Indragiri. Ia memerintah kerajaan dari tahun 1289-1337 masehi. Setelah wafatnya Raja Kecik Mambang, maka dinobatkan Raja Iskandarsyah sebagai Sultan Indragiri kedua yang diberi gelar Narasinga I. Ia pimpin kerajaan dari tahun 13371440 masehi. Tiga tahun memerintah, Narasingan I wafat, naiklah Sultan Jamaluddin Inayatsyah sebagai Sultan Indragiri ketiga, gelarnya Raja Merlang II. Ia memerintah kerajaan dari tahun 1440-1473 masehi. Ketiga sultan tersebut masih menetap di Malaka, mereka hanya datang sesekali ke Indragiri. Sedangkan tampuk pemerintahan kerajaan, dilimpahkan pada Patih Perdana Menteri. Kurun waktu itu membuat Patih Perdana Menteri kewalahan memimpin kerajaan. Oleh karena itu, Patih Perdana Menteri bersama Datuk Tumenggung Kuning menjemput Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam, untuk menggantikan tampuk kesultanan. Menurut hikayatnya itu dijemput dengan rakit kulim, kata Saharan. Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam lebih dikenal dengan sebutan Narasinga II. Dalam perjalanannya dari Malaka ke Indragiri, Narasinga II ini singgah di Pekan Tua (Sekarang Indragiri Hilir). Di sinilah ia pertama kali mendirikan istana kerajaan. Ia sultan pertama yang bermukim di tanah Indragiri dan memerintah dari tahun 1473-1557 Masehi. Dimasa Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam, terjadi dua kali pemindahan istana atau pusat pemerintahan kerajaan, yaitu dari Pekan Tua pindah ke Kota Lama dan pindah lagi ke Japura. Ia meninggal dunia di Kota Lama pada tahun 1532 masehi, tampuk kekuasaan digantikan oleh Sultan Ussuluddin Hasansyah, sebagai Sultan Indragiri yang ke lima dengan masa pemerintahan dari tahun 1532-1557 masehi. Sejak tahun 1298 hingga 1945, tercatat sekitar 25 kesultanan yang pernah bertitah untuk menjalankan roda pemerintahan di tanah Indragiri. Kami tertarik melihat salah satu makam di situ, bentuknya unik dengan ukuran lebih panjang dari makam lain. Pagar yang mengitarinya hampir sama dengan pagar makam-makam lain. Pin-tunya digembok dan tertutup rapat. Di samping kiri pintu masuk ada tembok berkeramik hitam, disitu tertulis Makam Andi Sumpu Muhammad, gelarnya Panglima Jukse Besi, panglima Narasinga II. Ukuran awalnya kurang jelas, kata Guntur. Ada yang mengatakan panjangnya mencapai tujuh meter dengan mayat dilipat tiga. Tapi kata Saharan, perwakilan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, panjang makam itu sekitar 12 meter dengan diameter sekitar empat meter sekian. Itu tidak pernah berubah, katanya. Sayangnya kami tak banyak dapat informasi seputar makam itu. Menyinggung soal kebersihan lokasi Guntur enggan berbicara, Langsung aja tanya ke Dispora, katanya. Renovasi makam dimulai sejak tahun 2000. Masa Bupati Raja Tamsir. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan. Untuk merawat lokasi, kata Guntur ada enam orang, mereka swadaya sendiri untuk perawatan makam dan lokasi sekitar. Kata Suparto, staf BP3, saat ini mereka terkendala dana. Pihaknya sudah coba ajukan anggaran ke pihak Dinas Pendidikan Olahraga dan Pariwisata (Dispora) untuk perawatan, namun kucuran dana tak kunjung ada. Meski demikian, mereka tetap jaga lokasi pemakaman semampunya. Dua minggu sekali kami gotong royong bersihkan makam, katanya. Menurut cerita Guntur, pernah dari pihak Pemerintah Provinsi pantau langsung ke lokasi, katanya ada anggaran untuk perawatan, tapi pihak Dispora mengaku belum ada dana. Inisiatif untuk melaporkan itu ke pemerintah pusat sempat terpikirkan. Namun mereka

Page 32

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

terkendala dengan sertifikat tanah, tak ada loporan secara khusus tentang legalitas tanah makam itu. Kami sudah minta kejelasannya, tambahnya. Setiap bulan mereka harus buat semacam laporan dan diajukan ke pemerintah setempat. Tahun 2000 pemerintah setempat membantu dalam proses pembangunan, seperti mushala, MCK, gerbang dan papan nama. Dari pihak BP3 tidak bisa memberikan bantuan lebih, mereka hanya mampu bantu dalam bentuk teknis dan peralatan kerja. Ada dua makam yang dibantu BP3 dua makam lainnya dibawah naungan Dispora. Ya kita ikhlas aja ngerjakan itu, tambah Suparto. Dari enam orang petugas kebersihan, hanya empat orang yang aktif. Penghasilan yang kurang menjadi alasan mereka untuk sibuk di luar. Saharan, mengatakan untuk perawatan mereka hanya membantu dalam berbentuk teknis, ini tergantung dari jumlah dana yang ada. Menurutnya, pemerintah daerah setempat punya kebijakan dan skala prioritas, mana yang lebih utama didahulukan. Seharusnya ada semacam kolaborasi kerja sama antara pemerintah dan BP3, untuk pengembangan dan perawatan lokasi, situs dan cagar budaya yang ada. Kata Saharan, peran masyarakat cukup dibutuhkan, Ini mengacu pada undang-undang no 10. Dimana masyarakat sebagai pelaku juga ikut menjaga dan melestarikan benda sejarah yang kita miliki, katanya. Ini cukup berpengaruh terhadap peningkatan perekonimian masyarakat setempat. H Mailiswin S. Sos, Kepala Bidang Kebudayaan Dispora mengatakan, sudah ada kebijakan yang dirancang dalam rangka menjaga kelestarian situs dan cagar budaya di daerah ini. Pihaknya sudah menunjuk beberapa petugas kebersihan untuk perawatan. Ada sekitar 20 benda yang sudah kita tunjuk untuk perawatannya, katanya. Selain itu pihak pemerintah lebih memfokuskan pada SDM dan pengetahuan tentang benda sejarah, dengan demikian mereka bisa memaparkan secara langsung kepada pengunjung. Kata Mailiswin, mereka sempat publikasikan situs dan cagar budaya ini, agar masyarakat tahu dan mau menjaga benda-benda pusaka yang tersimpan. Selain kekurangan tenaga, alokasi dana untuk perawatan lokasi tidak banyak. Kita bagi-bagilah anggaran itu. Namun itu tetap diajukan ke pemerintah daerah. Ia menambahkan, sejauh ini memang ada bantuan dari Pemerintah Provinsi, namun sifatnya tidak berkelanjutan. Daerah cukup luas, jadi dana yang ada harus diberdayakan semestinya, katanya. *** Jumat (15/4) pukul 08.00 pagi, kami sempat berkunjung ke Rumah tinggi. Letaknya di Kampung Besar Kecamatan Rengat. Halamannya dilapisi paving blok kusam dan sedikit ditumbuhi rumput liar. Bentuknya seperti bangunan tempo dulu dengan paduan cat warna kuning dan arsitektur melayu disekitar bangunan. Bangunan itu ada dua lantai, sekarang di lantai dasar difungsikan sebagai tempat tinggal penjaga, sedangkan lantai dua difungsikan sebagai musium. Dalamnya cukup luas, Kami sempat melihat benda peninggalan sejarah, seperti meriam, senapan dan beberapa foto raja tempo dulu yang dicetak hitam putih. Menurut sejarahnya Rumah ini adalah rumah Menteri Kerajaan Indragiri. Dibangun oleh Raja Haji Muhammad Saleh, gelarnya Raja Togok dimasa Kesultanan Isa pada tahun 1883-1902 masehi. Sultan Isa mengangkat Raja Haji Muhammad Saleh sebagai menteri kerajaan dengan daerah kekuasaan Kampung Laut, (Sekarang Concong, Indragiri Hilir) dan sekitarnya. Daerah ini merupakan penghasilan pajak terbesar bagi kerajaan. Oleh sebab itu beliau dapat mendirikan rumah menteri yang cukup megah. Rumah tinggi sengaja dibangun dua lantai yang disanggah oleh pilar-pilar kayu kulim. Bangunan itu masih berdiri kokoh. Dulu, lantai dua digunakan sebagai tempat kediaman menteri dan keluarganya, dan difungsikan untuk acara kebesaran Raja serta perayaan tradisi

Page 33

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

adat setempat. Sedangkan di lantai bawah, difungsikan sebagai tempat tinggal para pekerja dan pendayung perahu, jumlahnya lebih kurang 30 orang. Saat menuju ke Rumah Tinggi, kami melintasi Danau Raja. Disekitarnya ada anjungan tempat berteduh, hampir seperempat lokasi danau ditumbuhi teratai air, sampah plastik dan botol aqua berserakan. Mendengar cerita Arsyad, salah seorang warga setempat, saat musim hujan air danau tidak pernah melimpah, dan tak pernah kering saat musim kemarau. Di pinggir danau berdiri sebuah bangunan, meski warna cat agak memudar, bangunan ini masih terlihat megah. Ini adalah refleksi dari Istana Kerajaan Indragiri. Sedangkan bangunan aslinya tenggelam di sungai Indragiri karena longsor. Menurut Saharan, di Kabupaten Inhu tercatat lebih kurang 71 situs dan cagar budaya, itu tersebar di 14 kecamatan. Yaitu kecamatan Kuala Cinaku, Rengat, Rengat Barat, Lirik, Pasir Penyu, Kelayang, Rakit Kulim, Pranap, Batang Cinaku, Batang Gansal, Seberida dan beberapa kecamatan lain. Ada juga yang masih belum terjangkau, karena lokasi letaknya yang jauh di tengah hutan, katanya. Warisan ini masih dipengaruhi oleh kesakralan dan fanatisme masyarakat setempat. Banyak barang peninggalan sejarah yang disimpan oleh masyarakat. Mereka tidak mau barang itu diketahui pemerintah. Karena takut diambil. Saat ini sejumlah barang-barang peninggalan sejarah tersimpan di Museum Rumah Tinggi, itu mulai difungsikan sejak lima tahun terakhir. Ini salah satu bukti kejayaan kerajaan Indragiri dan menjadi salah satu cagar budaya di Indragiri Hulu. Silsilah kerajaan Indragiri ini masih ada hubunganya dengan museum rumah tinggi, tambah Saharan.
TTL : Duri, 15 Juni 1990 ASAL LPM : Tabloid Gagasan Suska UNIVERSITAS : UIN Sultan Syarif Kasim Riau JABATAN : Wartawan Kru FAK/JUR : Dakwah dan Ilmu Komunikasi/ Ilmu Komunikasi ALAMAT : Jl Buluh Cina, Garuda Sakti, Panam Pekanbaru NO. TELP/HP : 081368052602 E-mail : lpmgagasan_online@yahoo.com

DIDI WIRAYU DA

Randai, Keberadaanmu Kini... Oleh: Elvia Mawarni Randai merupakan salah satu kesenian tradisional Minangkabau yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai yang menurut sejarahnya pernah dimainkan masyarakat Pariangan, Padang Panjang ini sarat akan nilai-nilai seni dan budaya Minangkabau. Dimana seni lagu, musik, tari, drama dan silat bergabung menjadi satu kesatuan yang apik dalam sebuah kesenian bernama Randai tersebut. Namun kenyataan yang kita temui sekarang, kesenian Randai sudah tak tampak lagi geliatnya ditengah-tengah masyarakat. Jika zaman dahulu randai bisa dijumpai pada setiap acara pernikahan, Hari raya Idul Fitri atau hari-hari besar lainnya, namun sekarang kekayaan

Page 34

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Rang Minang itu sudah hampir mati. Bermunculannya kesenian modern telah menyedot perhatian masyarakat kita dan lebih tragis lagi melupakan seni yang telah mendarah daging di tubuhnya. Hanya sebagian kecil pemuda sekarang yang mengerti soal randai. Dan tidak banyak pula dari mereka yang mau mengepakkan kembali sayap-sayap randai yang hampir patah tersebut. Alasan kebanyakan mereka hanya satu : Malu. Mereka malu memainkan kesenian yang mereka anggap sudah ketinggalan zaman di era serba modern sekarang ini. Jiwa mereka bukan randai, melainkan budaya modern kepunyaan orang lain yang mereka paksakan menjadi bagian hidupnya. Bayangkan, mana yang lebih memalukan ?!! Memang, inilah penyakit masyarakat kita, tidak bisa menghargai yang sudah ada. Namun jika sudah diambil orang lain, barulah berkobar-kobar untuk mempertahankannya. Wajar saja terjadi hal demikian, toh kita tidak pernah mengakui dan menunjukkan kepada publik bahwa kesenian itu kepunyaan kita, tidak salah jika sekiranya orang lain lebih dahulu mempatenkannya. Randai itu sendiri misalnya. Randai pernah menjadi kurikulum wajib di University of Hawaii selama 2000-2001, kata Budayawan Sumbar, Musra Dahrizal katik Rajo Mangkuto. Musra yang akrab disapa Mak Katik itu pernah mengajar kesenian randai di Universitas tersebut selama satu semester. Bisa kita lihat bagaimana betul pandangan dan antusiasme masyrakat di luar sana terhadap kesenian randai. Bahkan Dr Christine Pauka, seorang Doktor dari University of Manoa, Hawaii mengungkapkan pada tesisnya: Saya kagum pada Randai, sama seperti kekaguman saya pada karya-karya hebat William Shakespeare. Sebagaimana yang diketahui tentang sosok William Shakespeare, sastrawan sekaligus penulis teater terkenal dari Inggris yang telah menulis ratusan naskah teater yang mendunia seperti Romeo dan Juliet. Ungkapan Dr Christine Pauka merupakan sebuah apresiasi terhadap potensi untuk dipertunjukkannya randai di dunia Internasional. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Minangkabau ? Sekarang saatnya kita membuka mata untuk melihat kekayaan yang dimiliki sebuah kesenian randai. Barangkali kata-kata malu lebih tepat untuk digunakan disini. Saat masyarakat barat lebih mahir memainkan kesenian kita dan menampakkan kebanggaanya di mata dunia. Sedangkan kita sendiri, malah menutup mata darinya. Dan tidak tertutup kemungkinan suatu waktu kesenian Randai akan dipatenkan menjadi kebudayaan mereka. Apa yang bisa kita perbuat ? Menjilat ludah atau membiarkan begitu saja jiwa kita dirampas orang lain. Semua harus kita fikirkan sebelum kemungkinan buruk itu terjadi.
ASAL LPM : Surat Kabar Kampus (SKK) GANTO UNIVERSITAS : UNP NO. TELP/HP : 081363582319

Surau dan Kehidupan Sosial Budaya Minangkabau Oleh: Endah Wulan Sari (Endah WP) Minangkabau merupakan salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang memiliki kehidupan sosial dan budaya yang khas. Kebudayaan Minangkabau atau Minang tersebar di daerah Sumatra barat, sebagian daratan Riau, Bengkulu bagian utara dan bagian barat Jambi serta negeri sembilan di Malaysia (Wikipidia, 2011). Menurut A.A. Navis dalam Wikipidia, menerangkan Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam.

Page 35

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau berkembang di surau karena sisi religiusitas masyarakat Minangkabau tidak dapat kita pisahkan dari kesehariannya. Surau atau musalla/mesjid ini di masyarakat luas, hanya di gunakan untuk tempat beribadah, tapi di masyarakat Minangkabau surau memiliki peran yang cukup banyak seperti belajar mengenai agama, akhlak, pantun, randai dan adat budaya Minangkabau lainnya bahkan di surau jugalah tempat pembentukan pribadi penerus generasi Minang yang siap menanggung bebean dan amanah dikemudian harinya. Bila membaca sejarah Minangkabau, maka akan ditemukan Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman telah menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah (ABS SBK), Syara mangato, Adat mamakai. Falsafah ini seolah-olah telah mengukuhkan eksistensi agama Islam dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian masyarakat Minangkabau. Tidah heran kalau dulunya masyarakat Minangkabau banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional yang berkiprah sampai ke tingkat internasional, itu semua di sebabkan oleh peran surau yang sangat strategis sehingga terbentuklah kepribadian yang tangguh dalam diri masyarakat minangkabau. Peranan surau dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau hampirlah hilang. Padahal surau memiliki posisi yang strategis dalam pembentukan karakter masyarakat Minangkabau. Terkait dengan fungsi surau pada masa lalu di Minangkabau yang ternyata tidak hanya sebatas tempat ibadah saja, tetapi juga memainkan peranan yang cukup banyak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka tak salah kiranya apabila dikatakan surau sebagai salah satu pranata sosial di masyarakat Minangkabau. Pranata yang dikenal sebagai salah satu padanan kata untuk institusi, didefenisikan oleh Koendjaraningrat sebagai sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam masyarakat (Tomi Wardana,2010). Surau menyangkut fungsinya sebagai salah satu atau bagian dari pranata penting dalam masyarakat Minangkabau, telah memainkan peranannya untuk memenuhi berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sebut saja fungsi surau sebagai institusi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak remaja di Minangkabau, selain itu surau juga memainkan fungsinya dalam sosialisasi berbagai informasi yang harus di ketahui masyarakat (Tomi Wardana, 2010). Pengarui globalisasi yang diikuti dengan kemajuan teknologi yang sangat berkembang pesat hingga modernisasi terjadi dimana-mana tidak hanya di kota-kota besar saja, tapi juga sampai ke kota-kota kecil. Dulu masyarakat Minangkabau terlebih generasi mudanya lebih senang meramaikan surau, menghabiskan waktu di surau, tapi sekarang dunia modern telah merubah segalanya. Kecanggihan teknologi telah mengalihkan dunia mereka, barang-barang itu lebih mengasikkan ketimbang ke surau. Banyak masyrakat luar yang kecewa sekarang ini, dulu mereka beranggapan masyarakat minang orang yang taat dan patuh adat, sehingga mereka menyekolahkan anaknya ke daerah Minang dengan tujuan anaknya kelak dapat pelajaran tambahan dari segi agamanya karana bergaul dengan masyarakat Minangkabau, tapi sekarang faktanya malah masyarakat Minangkabaulah yang banyak merubah semuanya Kalau kita tanya, masih adakah kepribadian yang tangguh itu dalam diri masyarakat Minangkabau? Masihkah pemikiran-pemikiran orang minangkabau itu dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat? Jawabanya tidak, buktinya tidak ada lagi masyarakat minangkabau

Page 36

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

yang menjadi tokoh nasional, kalaupun ada pasti dulunya beliau sempat merasakan kehidupan surau. Mana masyarakat minang yang dulu, yang memegang teguh adat dan agama, yang memiliki pepatah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah bukankah telah luntur di makan zaman baik dari segi agama maupun dari segi adat pun begitu. Tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau pun telah bergeser dari adat istiadat yang di bentuk pemuka-pemuka adat terdahulu. Masyarakat Minangkabau tidak lagi menjadikan niniak mamak atau penghulu sebagai panutan dalam kehidupan sosial, alim ulama tidak lagi menjadi tempat bertanya, dan kemenakan pun tidak lagi menjadikan mamaknya sebagai tempat bermusyawarah dalam kehidupan. Kita tidak bisa menyalahkan itu semuanya, zaman telah berubah memanglah dulu dan sekarang berbeda, akan tetapi penyesuaian terhadap kondisi dan situasi saat ini yang penting dilakukan oleh masyarakat Minangkabau serta mengarahkan kembali generasi muda Minangkabau kembali ke surau. Sekarang bukanya tidak mungkin untuk membentuk kepribadian islami itu dalam diri masyarakat Minangkabau apalagi generasi mudanya, hanya saja peran surau tidak akan mungkin sestrategis dulu lagi. Salah satu upayanya dengan membentuk organisasi yang kegiatannya berlangsung di surau, seperti wirid remaja. Melalui gerakan wirid remaja diharapkan generasi muda Minangkabau akan lebih sering berada di surau, dan akan memakmurkan surau seperti dulu lagi.

ENDAH WULAN SARI

Baduy Dalam, Eksistensi Kaum Minoritas Oleh: Fajar Ismail Ada 90 rumah panggung atau suhunan beratap rumbia berdiri dan berjajar saling berhadapan dengan bentuk yang sama. Paku dan besi buatan pabrik pantang dipakai, semua suhunan hanya diikat dengan ijuk atau dipasak dengan bambu. Gelas dan ember pun terbuat dari bambu. Tidak ada piring di kampung ini. Masyarakat Baduy dalam hanya diperbolehkan menggunakan mangkuk. Kampung Cibeo adalah satu dari tiga kampung di Baduy Dalam (Baduy Kajeroan). Selain Cibeo, masih ada Kampung Cikartawana dan Kampung Cikeusik. Berjarak kurang lebih 120 kilometer dari Jakarta, kampung-kampung itu masih menjaga ketat adat istiadat,

Page 37

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

kampung-kampung di Baduy terletak di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut dan berada di Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah hulu Sungai Ciujung. Pintu masuk utama menuju Baduy Dalam adalah Desa Kanekes di Baduy Luar, jalur Kampung Kadu Keter pun boleh dicoba karena jarak tempuh akan lebih cepat ke Kampung Cibeo, setelah menempuh lima jam perjalanan melewati jalan setapak melintasi bukit-bukit, sungai, dan beberapa perkampungan Baduy Luar, sampailah kita di Kampung Cibeo. Tanda pembatas memasuki Kampung Cibeo hanyalah rumbai yang diikatkan pada pohon besar. Satu hal yang paling membedakan antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar, adalah kebebasan. Masyarakat yang tinggal di Baduy Luar sudah terlepas dari aturan adat, seperti mendirikan rumah dengan menggunakan paku, begitu juga dengan barang-barang elektronik yang sudah masuk di Baduy Luar bahkan sudah menggunakan listrik dan mulai mendirikan kamar mandi ditiap rumah-rumah, sedangkan Baduy Dalam pantang menggunakan listrik dan tidak menggunakan air kecuali yang berasal dari sungai. Ketika tiba di Baduy Dalam, maka kita harus mengikuti semua aturan adat yang sudah diterapkan, salah satunya dilarang memotret. Namun, ironisnya masyarakat Baduy Dalam yang masih menjaga ketat segala aturan adatnya semakin terlihat tidak konsisten saja dalam menjaga dan mengikuti aturan adat yang berlaku. Satu contoh, beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan berkunjung ke Baduy Dalam tepatnya di kediaman Kang Herman di Desa Cibeo, malam harinya penulis menyalakan handphone sebelum istirahat, tanpa disadari Kang Herman terntaya ingin juga belajar mengutak atik handphone, De, akang mau pinjam telponnya dong, mau liat-liat gambar kata Kang Herman meminta, dari satu contoh ini saja nampak bahwa pada dasarnya mereka juga ingin seperti kita dalam artian sedikit lebih maju dan modern. Selayaknya kaum minoritas seperti Baduy Dalam, seharusnya mereka tetap menjaga ketat aturan adatnya, rasa keingintahuan mereka akan dunia luar tidak seharusnya menyeret mereka keluar dari batas aturan adat, dengan catatan masyarakat adat baduy tetap menjunjung tinggi norma adat dan melestarikannya tanpa harus mereka tanggalkan atribut ideologisnya. Ironis, jika populasi masyarakat adat semakin kecil! Pada dasarnya masyarakat adat ini menjadi minoritas bukan semata-mata karena populasi mereka yang kecil, tetapi lebih banyak karena bersumber dari kondisi mereka sebagai kelompok yang memiliki ideologi, sistem sosial budaya dan politik yang khas dan bersifat lokal spesifik, baik yang dibangun atas kesamaan wilayah hidup bersama secara turun temurun. Dilihat dari kacamata global, pada awalnya masyarakat adat dapat bertahan hingga sejauh ini setelah mengalami banyak gelombang intervensi, jauh sebelum konsep negara kerajaan dan kesultanan dikenal diseluruh pelosok nusantara, mereka (masyarakat adat) telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang berdaulat, merekapun secara otonom mengatur dan mengurus sumber daya alam lainnya dihabitat masing-masing. Maka, lestarilah budaya,, Negeriku !
TTL : Bekasi, 03 juli 1990 ASAL LPM : LPM INSTITUT UNIVERSITAS : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JABATAN : Promosi dan Iklan FAK/JUR : Adab & Humaniora, Jur Tarjamah ALAMAT : Bekasi, Jl Demak no. 16 NO. TELP/HP : 089652227461 E-mail : bung_hatta2002@yahoo.com

Page 38

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

FAJAR ISMAIL

Naskah Batak, Warisan Bertuah tapi Tak Terjaga Oleh: Febrian Dahulu, kehidupan masyarakat Batak juga sarat dengan kealamian. Naskah menjadi panduan mereka melakukan rutinitas. Namun modernisasi mengakibatkan tak banyak yang paham dengan naskah Batak. Salah satu warisan berharga justru banyak yang dikoleksi di luar negeri. Sembilan jenis naskah Batak terletak di lemari pajangan yang semua dilapisi kaca. Dengan warna yang sudah kusam kecoklatan, menandakan ini sudah dibuat sejak ratusan tahun yang lalu. Di situ tertulis bahwa naskah ini ditulis dengan tinta yang terbuat dari jelaga kayu jeruk. Tak ada informasi pasti tahun pembuatan, dan siapa penulisnya. Semua naskah

Page 39

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

ini dipajang dalam keadaan terbuka. Terlihat isinya penuh dengan rangkaian huruf aksara Batak yang sangat unik. Hampir sama dengan penulisan aksara kuno lain di Indonesia seperti huruf aksara Jawa dan aksara Melayu. Naskah batak ditulis pada kulit kayu, dikenal sebagai pustaha (pustaka) atau laklak. Namun ada juga naskah yang ditulis di tulang, biasanya tulang kerbau dan bambu. Saat ini terdapat 192 naskah Batak yang tersimpan di Museum Daerah Sumatera Utara. Sangat sedikit dibanding jumlah naskah Batak yang dibawa ke luar negeri yang diperkirakan mencapai 1600 naskah. 1000 diantaranya dikoleksi di negeri Belanda. Ketika zaman penjajahan banyak orang eropa yang terkesan dengan isi naskah Batak. Mereka paham naskah Batak sarat dengan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dijumpai di tempat lain. Tergiur dengan jumlah uang yang ditawarkan, masyarakat Batak banyak menjual naskah yang mereka miliki kepada orang Eropa. Mehamat, salah satu staf museum daerah Sumetera Utara menceritakan, pemerintah mulai mengusahakan pengembalian naskah-naskah yang tersebar di luar negeri. Momentumnya adalah sejak diresmikannya museum TB Silalahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari lalu di Balige Tanuli Utara. Mehamat adalah sedikitnya orang yang pandai menerjemahkan isi naskah Batak. Baik itu naskah Batak Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak Dairi, Karo dan Simalungun. Informasi yang ia dapatkan, ukuran naskah-naskah yang ada di luar negeri lebih besar dari yang pernah jumpai di Sumatera Utara. Bahkan ada yang seukuran meja makan dan itu terbuat dari kayu, tentu isinya juga menarik, ucapnya. Pengembalian naskah ini menurut Mehamat akan terkendala dengan keadaan museum-museum yang ada di Indonesia. Untuk menjaga naskah dari kerusakan harus diletakkan pada tempat dengan suhu yang teratur. Mehamat mengalami, selama bekerja di museum sering menemui beberapa naskah yang rusak akibat suhu lemari pajang yang tidak terkontrol. Ada juga yang rusak dihabisi rayap, makanya jika naskah itu ditarik dari luar negeri, museum di Indonesia harus mengikuti standar yang ada di luar negeri, tambah alumni Sastra Daerah USU ini. Sarat Unsur Kearifan Lokal Jamorlan Siahaan, dosen Departemen Sastra Daerah USU sudah lama akrab dengan naskah Batak. Membaca naskah Batak sudah sesuatu hal biasa baginya. Ia sudah dikenal sebagai penerjemah naskah Batak. Jamorlan bisa mendeteksi keaslian dari naskah-naskah yang ia diterjemahkan. Cukup memegang dan mencium naskah, Jamorlan tahu sebuah naskah asli atau tiruan meskipun dengan tampilan sempurna. Jamorlan mengungkapkan saat ia menerjemahkan naskah yang asli, ia merasakan adanya unsur-unsur mistis yang terkandung di dalamnya. Ini menandakan nenek moyang orang Batak yang menulis naskah adalah orang-orang yang mempunyai ilmu tinggi, ucapnya. Ceritanya untuk menulis naskah ini, nenek moyang orang Batak harus melakukan pertapaan di suatu tempat keramat kepercayaan mereka. Di sana mereka menuntut ilmu untuk kebaikan aktivitas hidup yang mayoritas bergantung kepada hasil alam. Ilmu yang mereka peroleh ini dituliskan di naskah. Ada yang ditulis di atas kayu, dedaunan, batu, kulit tumbuhan dan juga di tulang. Jamorlan ikut menyayangkan tidak ada data penulis dan tahun pembuatannya. Naskah ini sebagai bukti nenek moyang Batak mempunyai nilai sastra yang tinggi. Fokus penelitian yang pernah dilakukan Jamorlan adalah untuk naskah dari Batak Toba dan Mandailing. Ia mengatakan setiap naskah memiliki isi yang tidak jauh berbeda. Sebagian besar naskah Batak berisikan tentang norma dan etika, mengenai obat-obatan, penanggalan, ramalan cuaca, tata cara upacara adat hingga taktik perang.

Page 40

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Dulu sangat sedikit orang jahat, mereka sangat patuh dengan tata karma yang diajarkan di dalam naskah, bahkan dalam perang masih ada tata cara saling menghormati, terangnya. Tetapi menurut Mehamat, tidak semua naskah berisi hal-hal yang baik. ada juga naskah yang berisi ilmu hitam seperti cara pelet, dan mencelakai orang. Tapi kita sebaikanya mempelajari hal yang baik-baik aja, karena nenek moyang kita pasti menulis naskah untuk kebaikan anak cucunya juga, cetus Mehamat lagi. Terkikis Akibat Perkembangan Zaman Nenek moyang batak mayoritas menganut kepercayaan Parmalim. seluruh isi naskah yang ada masih lekat dengan kepercayaan nenek moyang terhadap roh-roh gaib. Mehamat berasumsi, masuknya pengaruh agama membuat Naskah versi yang asli mulai ditinggalkan. Masuknya berbagai agama ke Sumatera Utara, dibarengi dengan pola hidup masyarakat yang modern dan masyarakat Batak tidak lagi mengutamakan naskah sebagai pegangan hidup mereka. Hingga sekarang, hanya masyarakat di pedalaman penganut kepercayaan parmalim yang masih menjaga mengamalkan naskah Batak. Hal ini sangat disayangkan oleh Mehamat dan Jamorlan sebagai orang yang paham dengan naskah. Mehamat berujar naskah adalah pusaka berharga yang ditinggalkan nenek moyang. Kenapa orang eropa lebih tertarik dari pada orang bataknya sendiri, berarti kita yang tidak paham dengan naskah, ungkapnya. Di daerah tingkat II Sumatera Utara, siswa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama memiliki mata pelajaran muatan lokal mempelajari baca tulis huruf aksara Batak. Saat meneliti, Jamorlan mengetahui tidak ada persamaan materi yang diajarkan mengenai aksara Batak. Hanya sebatas kemampuan sang guru untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut. Jamorlan berpendapat, harusnya ada suatu panduan yang sama setiap tingakatan kelas mempelajari aksara Batak ini. Ia sempat berpikir untuk membuat buku dari hasil penelitiannya bersama Mehamat dan kawan-kawan. Sudah lama saya ingin membukukan hasil penelitian supaya dijadikan buku panduan belajar aksara dan naskah di sekolah-sekolah. Namun urung terlaksana karena kendala dana, terang Jamorlan, saat berdiskusi di kantin kampus Fakultas Ilmu Budaya, Sabtu (22/10).

FEBRIA N

TTL : Batusangkar,10 Februari 1991 ASAL LPM : Pers Mahasiswa SUARA USU UNIVERSITAS : Sumatera Utara JABATAN : Redaktur FAK/JUR : Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik USU ALAMAT : Jalan Jamin Ginting Gang Kamboja22 B NO. TELP/HP : 085274622252 Page E-mail : iankom09@yahoo.com 41

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Bahasa Bangun Kebudayaan Manusia Oleh: Fitrah Mardhatillah Husna Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa manusia dapat saling berkomunikasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta kebudayaan dalam rangka membangun peradaban yang lebih baik. Bahasa menyimpan seluruh warisan peradaban manusia. Pencarian makna sejarah suatu bangsa dapat ditemui melalui bahasa, sebab di dalam bahasalah suatu bangsa tersebut menitipkan seluruh pesan, harapan, cita-cita dan pengalaman hidup mereka untuk generasi berikutnya. Seorang filsuf bahasa kenamaan Ludwig Wittgenstein menyatakan Die Grenze meiner Sprache bedeuten die Grenze meiner Welt (Batas bahasaku adalah batas duniaku).

Page 42

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Secara lebih bebas artinya adalah batas dunia manusia identik dengan batas bahasa logika yang dibangunnya. Lebih dari sekadar pernyataan biasa, ungkapan Wittgenstein menyiratkan makna bahwa kemampuan berbahasa seseorang sangat menentukan sejauh mana dia mampu menembus batas-batas dunianya sendiri. Bahasa merupakan realitas simbolik, maka kata hakikatnya adalah representasi realitas. Implikasinya, kalau realitas tidak ada, maka kata tidak tercipta. Bahasa dapat membedakan manusia dari makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Selain itu, bahasa juga menunjukkan kondisi psikologis dan intelektual seseorang. Orang yang pikirannya sedang kacau, bisa dipastikan bahasanya juga kacau. Menurut Samsuri (1998) kemampuan berbahasa menunjukkan kemampuan otak seseorang. Orang yang bahasanya kacau, baik lisan maupun tulis hampir bisa dipastikan kemampuan otaknya juga kacau. Mengutip seorang ahli bahasa terkemuka dari Amerika Tony Crowley, Samsuri (1998) menyatakan bahwa kekacauan berbahasa merupakan penyebab terjadinya kekacauan sosial. Kendati perannya begitu penting, bahasa sering disepelekan banyak orang. Buktinya, banyak warga masyarakat kita membuat kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi andaikan saja sadar bahwa bahasa menggambarkan citra sosial, emosional, psikologis bahkan dan intelektual penggunanya. Betapa salah ucap kata-kata yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang begitu jelas terjadi bukan hanya di kalangan kelas bawah, tetapi juga elit telah jauh dari penggunaan pengucapan EYD. Misalnya, pada kata publik diucapkan pablik, pasca dibaca paska, produk dibaca prodak, faks dibaca feks, psikologi diucapkan saikoloji, dapat dibaca dapet, semakin dilafalkan semangkin dan masih banyak lagi yang lain. Salah ucap istilah asing yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia malah lebih banyak lagi. Inilah cermin konkret perilaku berbahasa masyarakat kita. Menurut Kridalaksana (1999: 12), pengetahuan mengenai asal usul kata berikut ucapannya memang tidak harus dimiliki oleh setiap orang, tetapi bahasa manapun di dunia ini mempunyai konvensi lafal yang menjadi salah satu rambu kerjasama sosial. Untuk melafalkan unsur-unsur bahasa tidak diperlukan pengetahuan etimologi, karena sudah tersedia kamus yang siap untuk dirujuk setiap saat. Lafal yang tepat itu ibarat pakaian rapi yang memberi suasana nyaman dalam pergaulan manusia yang santun. Menurut pengkaji sosiolinguistik, salah ucap seperti itu tidak bisa dipandang sekadar slip of the tongue sebagaimana alasan yang biasanya dikemukakan ketika orang salah ucap, sehingga dianggap sederhana. Bukankah perilaku berbahasa menunjukkan siapa penggunanya baik secara sosial maupun intelektual. Menggunakan perspektif Chaika (1982) sebagaimana disebutkan di atas, maka dengan sangat mudah dikesankan bahwa apa yang terjadi pada masyarakat kita dari kekacauan berbahasa seperti itu. Dengan banyaknya ragam kata yang berhubungan dengan hajat hidup ini bisa ditafsir bahwa kita memang diajar untuk hidup. Karena itu, tidak boleh lapar, tetapi tidak diajarkan bagaimana mengisi kehidupan. Dalam falsafah Jawa kita kenal istilah pokoke urip (asal hidup). Tafsir ini tampaknya benar dengan merujuk teori hubungan antara bahasa, pikiran dan budaya Franz Boas (dalam Blount, 1974), bahwa setiap bahasa merepresentasikan klasifikasi pengalaman dan budaya masyarakat. Contoh sejenis menjadi panjang lagi lewat kajian Rosidi (2001: 38) yang menemukan betapa banyak kata atau istilah yang menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak, tinju, jotos, bogem, tonjok, tunjek, sodok, tempeleng, gebuk, tampar, sikat, timpuk, dan hantam. Mengapa demikian banyak kata yang berhubungan dengan tindak kekerasan tersebut? Mengikuti teori Boas tentang hubungan bahasa dan budaya, bukankah itu semua

Page 43

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan? Dengan demikian jelas bahwa semula berbahasa adalah dorongan natural, namun sekaligus bahasa adalah fenomena kultural sehingga kemampuan berbahasa tidak bisa diwariskan secara genetik. Orangtua yang baik kemampuan berbahasanya tidak berarti anaknya juga akan baik. Demikian pula orangtua yang kebetulan bisu, tidak berarti anaknya menjadi bisu pula. Berbahasa selalu bersifat publik, artinya bahasa selalu tumbuh bersama di tengah masyarakat. Dalam teori Language Game-nya, Wittgenstein (Mulkhan, 2001: 42), menyatakan manusia memperlakukan bahasa bagaikan sebuah permainan di mana ada pemain, penonton dan wasit. Sebuah permainan selalu memiliki aturan yang disepakati. Demikian juga berbahasa, tak siapapun bisa dengan seenaknya dan secara anarkis memberi makna dan memahami kata apalagi memaksakan makna sesuai yang dikehendaki tanpa melalui proses konvensi yang merupakan ciri fundamental bahasa. Tanpa adanya aturan sebuah permainan dan komunikasi, bahasa akan menciptakan kekacauan yang urutannya bangunan ilmu pengetahuan dan tertib sosial juga akan ikut kacau. Berbahasa yang benar memang bukan sekadar menata kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi paragraf sesuai aturan gramatika, melainkan pula harus menyiratkan makna dengan penuh kejujuran.

FITRAH MARDHATILLAH HUSNA

BTD (Baca-Tulis-Diskusi) adalah Budaya Mahasiswa Oleh : Haqqy Luthfita Kalau katanya mahasiswa itu agen perubahan. Maka membaca, menulis dan berdiskusilah jembatannya. (Hasil diskusi teman-teman Mahasiswa IAIN SU saat Apa Kabar Dinamika Kampus digelar Juli 2011) Mahasiswa diberi istilah dengan Agent of Change atau yang artinya Agen Perubahan. Istilah ini menjadi trend setelah perubahan kekuasaan Soeharto menyusut di tahun-tahun akhir jabatannya, dikarenakan gerakan bersatu mahasiswa di Jawa, yang berimbas di kotakota besar termasuk Medan dan sekitarnya.

Page 44

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Mei 1994 yang menghasilkan sebuah perubahan dimana mahasiswa berlagak membebaskan masyarakat dari kemelut kediktatoran seorang pemimpin. Mahasiswa tidak mau kalah dengna statusnya, karena mahasiswa lah sebagai ujung tombak penerus Negara. Namun, di luar dari itu apakah hal-hal tersebut bisa diterapkan kembali di zaman tanpa pengekangan sekarang ini? Jawabannya tentu tidak. Keadaan sekarang sudah berbeda. Berpikirlah. Apa yang dapat dilakukan mahasiswa? Dengan alih-alih akademik yang membuat mahasiswa memiliki tanggung jawab dasar BTD yaitu Baca-Tulis-Diskusi. Terapkan BTD untuk melestarikan Budaya Mahasiswa Membaca adalah makanan utamaku, dan menulis adalah minuman pelepas dahagaku. Itulah yang kulakukan setiap harinya dengan penuh komitmen dan konsisten. Tanpa itu, jangan harap diskusi dapat berjalan lancar. Walaupun BTD dapat dilakukan semua kalangan, namun mahasiswa lah harus bias menjalankan tanggung jawab ini. Zaman sudah berubah, kebebasan juga sudah ditangan. Bukan lagi musim berperang dengan senjata tajam, tetapi berperang dengan pena, kertas dan pemikiran. Baca-tulis-diskusi merupakan tiga kegiatan dasar yang tidak bisa terlepas dari mahasiswa. Label Mahasiswa bagi sebagian orang merupakan prestise tersendiri yang sulit disandang. Apa lagi pasca disahkannya Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang disinyalir sebagian pakar pendidikan menimbulkan kapitalisasi perguruan tinggi. Lalu, bagaimana kondisi aktual Mahasiswa sekarang? Apakah aktivitas mereka setali tiga uang dengan peran dan tanggung jawab sebagai corong perubahan? Menyusuri potret dinamika kampus hari ini, sungguh menyedihkan. Mahasiswa yang sejatinya berpredikat kaum intelektual dan terpelajar, justru jauh meninggalkan kultur akademik-ilmiahnya. Bisa dibuktikan, dari dua ribu mahasiswa yang terdaftar di kampus Institut Agama Negeri Sumatera Utara (IAIN SU), berapa yang menyukai dan sering mengikuti forum diskusi? Dengan contoh sederhana mungkin mahasiswa sadar. Membaca bukan lagi hal yang sebenarnya luar biasa di kalangan ini, teteapi sudah seharausnya menjadi makanan seharihari. Membaca bak sebuah kegiatan menelan ilmu pengetahuan. Membaca bukan lagi jendela ilmu yang anak sekolah dasar pun mengerti, tetapi membaca adalah sebuah kehidupan, sebuah perjuangan unutk hidup. Bahkan mahasiswa akan pincang tanpa membaca. Selanjutnya menulis. Akan sia-sia jadinya bila membaca tanpa menulis. Menulis ibarat memproses makanan yagn dapat bermanfaat ke seluruh tubuh. Menulis jug aibarat mengikat hasil bururan, tanpa diikat apa yang kit abaca, yang kita makan, yang kita buru akan sia-sia, dalam arti lepas. Dengna kata lain menulis adalah mengikat ilmu. Membaca dan menulis adalah pasangan yang tak dapat dipisahkan. Beginilah dilemma mahasiswa, mambuat makalah dengan keadaan pincang, terkadang dapat membaca tak mampu menuliskan. Di lain hal, mampu menulis tapi tak dibaca. Pikiran siapapun pasti berbeda, setelaha ada proses baca-tulis tidak afdhol rasanya jika tidak didiskusikan. Lebih baik berdiskusi dengan satu orang jenius dari pada belajar selama 3 tahun. Belajar adalah Proses Berfikir, Setiap Proses Butuh Jangka Waktu Lalu apa yang akan kita berikan kepada bangsa dan agama kita? Budaya yang seyogyanya menjadi konsumsi wajib bagi Mahasiswa tersebut, kini terancam punah. Sekarang berganti dengan gaya kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Bahkan ada image bahwa diskusi itu membosankan, membuang-buang waktu, dan tak ada

Page 45

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

gunanya. Inilah paradigma negatif yang perlu diubah oleh mahasiswa. Sebenarnya, manfaat diskusi tak sama seperti dengan manfaat bekerja nuking (kayu); yang tiap kemisan bisa langsung di tangan. Dengan kata lain, hasil manis yang kita peroleh dari diskusi bukanlah instan. Dengan membaca, menulis, dan berdiskusi, kita terlatih untuk mengkonstruk daya pikir agar lebih kreatif. Klimaksnya, kelak buah karya kita bernilai jual tinggi. Silahkan Mahasiswa berefleksi dan berenung atas provokasi ini. Akankah mahasiswa tidak lagi menampakkan taring-taring semangatnya. Jik amahasiswa mau menyadari mudahmudahan budaya ini tidak lekang dimakan zaman, tidak lekang dimakan pemikiranpemikiran dangkal. Maka berbuatlah! Hidup Mahasiswa!

HAQQY LUTHFITA

TTL ASAL LPM UNIVERSITAS JABATAN ASAL LPM UNIVERSITAS JABATAN FAK/JUR ALAMAT MEDAN NO. TELP/HP E-mail

: MEDAN 31 OKTOBER 1991 :LPM DINAMIKA IAIN SU : INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI :SEKRETARIS REDAKSI : Tabloid Gagasan Suska : UIN Sultan Syarif Kasim Riau : Wartawan Kru : TARBIYAH/ PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS : JL. MENTENG RAYA KOMP. PERISAI PRIBUMI NO. 115 : (061) 7323044 : loe2_potter772yahoo.com

Parmalim dan Budayanya Oleh: Ira Stefanie Medan, 22 Oktober 2011 suasana langit tidak mendukung dengan menunjukkan gejala-gejala gelap disiang hari yang biasanya menyengat kota Medan, meski sedikit berawan namun tanda-tanda untuk mengeluarkan tetes-tetes air langit belum akan turun ditanah yang kental dengan adat batak. Dengan bermodal angkutan umum (angkot) bernomor 46 biru yang disewa oleh beberapa peserta yang mengikuti workshop untuk menelusuri jalan Air Bersih Ujung, Bahagia by Pass.

Page 46

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Dengan penuh sesak dan padat kendaraan bermotor yang tidak mau mengalah satu sama lain mengakibatkan macet lalu lintas yang memenuhi jalanan kota serta suasana sumpek dan pengap berhimpit-himpitan di dalam angkutan umum, disela gelak tawa dan nyanyian riang pengamen yang sengaja disewa untuk menghibur seisi penumpang angkot yang tak memperdulikan keringat bercucuran membanjiri tubuh masing-masing penumpang. Jalanan yang ditelusuri selain melewati padatnya kendaraan bermotor juga melewati berbagai jalan tidak rata belum di aspal. Sesampainya di air bersih bahagia by pass, tampak beberapa penduduk memasuki sebuah rumah dengan atap meruncing keatas layaknya sebuah rumah adat Batak namun telah mengalami modifikasi yang signifikan dibuktikan dari bangunan yang bergaya modern bercat kelabu yang biasa digunakan sebagai tempat peribadatan bernama Bale Persantian Ginomgom Ni - Bale Parsogit Partonggoan. Tampak beberapa pria melilitkan sarung (abit batak) di pinggang, berkemeja lengan panjang dan berjas rapi, mengalungkan ulos di leher serta berbalut kain putih di atas kepala. Para wanita yang telah menikah memasang sanggul, memakai kebaya dan mengenakan sarung tetapi khususnya untuk gadis perawan hanya memakai sarung. Anak-anak tertawa riang tampak berlarian dengan bertelanjang kaki di atas pasir putih di sekitaran persantian atau peribatan. Saat hendak memasuki tempat peribadatan maka wajib untuk melepaskan alas kaki sebatas pintu pagar sebagai tanda tempat tersebut adalah tempat yang disuci. Tidak diperbolehkan memakai alas kaki saat mendekati peribadatan maupun aula yang berada disamping peribadatan sebagai tempat berkumpulnya para jemaat untuk mendiskusikan berbagai hal dan membicarakan masalah administrasi keuangan Parmalim dalam suatu punguan. Parmalim merupakan sebuah aliran kepercayaan yang menyebutkan dirinya sebagai Penghayat Tuhan Yang Maha Esa. Punguan atau daerah-daerah peredaran Parmalim telah mencapai 40 cabang diseluruh Indonesia namun keberadaan Parmalim dan budayanya hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Secara administratif pengikut Parmalim sudah ada sejak 21 April 1921 namun jauh sebelum tahun tersebut pengikut Parmalim telah beredar di daerah sekitar samosir namun belum terorganisir dengan baik sehingga banyak yang akhirnya berpindah agama menjadi kristen. Sejak dulu orang batak sudah percaya dengan roh nenek moyang. Parmalim sendiri dibawa oleh Raja Sisingamangaraja 12 , sewaktu beliau berperang melawan kapten Enstopel (1907) tewas di medan perang namun seketika ia tersadar, didalam jasadnya telah bersemanyam roh dan mengatakan bahwa pengikutnya harus mengikuti aliran kepercayaan yang disebut Parmalim. Ini diperkuat dengan adanya pengakuan dari Hulu Punguan atau pemimpin aliran Parmalim. Tepat pada tanggal ini pengikut Parmalim melakukan peribadatan yang rutin dilakukan pada setiap hari sabtu pukul 11.00 sampai dengan 13.00. Menurut kebudayaan mereka sebelum melakukan ibadah wajib untuk melakukan marpangiason atau mandi membersihkan diri dengan menggunakan air limau .Datang melangkahkan kaki di tempat peribadatan yang disebut Bale Parsantian dengan niat untuk melakukan ibadah dan sujud menyilangkan kedua belah tangan merapat seatas bahu sambil membacakan kitab suci yang disebut Pustaha Habunora. Ada yang unik tentang budaya penganut Parmalim ini yakni di kirim setiap enam bulan sekali dari punguan yang berada Huta Tinggi, Laboti yang sudah diterjemahkan dari surat batak menjadi bahasa latin. Tiga hal yang dibahas di dalam kitab tersebut yakni keagamaan (poda, tona, patik, dan uhum), surat batak, dan tor-tor. Bagi anak-anak berumur lima tahun sampai sepanjang mereka belum menikah maka wajib mengikuti pendidikan nonformal yang diadakan oleh petua atau pemimpinyang mencakup kepada ajaran yang diajarkan pada kitab suci setiap minggu pada hari sabtu.

Page 47

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Menurut aliran kepercayaan pengikut Parmalim haram bagi mereka untuk memakan bangkai, binatang berkaki empat seperti babi, anjing dan binatang yang berprilaku liar serta darah. Mereka juga mengharamkan mencuri sehingga untuk masalah keamanan maka pengikut Parmalim merasa tentram dan aman terhindar dari pencurian. Tata cara pernikahan yang digelar oleh pengikut Parmalim tidak mengenal dualisme agama sehingga tidak mengenal pernikahan yang beda agama, jadi pengikut Parmalim akan menikah dengan pengikut Parmalim sendiri. Jika ada seorang Parmalim yang menikah dengan pasangan yang beda agama harus keluar dari aliran kepercayaan Parmalim untuk pengikut Parmalim yang pindah ajaran tidak akan dianggap sebagai anak bagi orang tua Parmalim namun batin yang tidak mengakui sebagai anak tetapi hubungan masih bisa terjalin tidak serta merta diusir dari pengikut tersebut serta tidak Bagi pasangan yang bersedia menikah dengan seorang pengikut Parmalim maka siap untuk mengikuti syarat yang diberlakukan misalnya bagi lelaki yang ingin menikah dengan gadis dari Parmalim maka lelaki itu harus belajar tiga bulan mengenai tata cara budaya Parmalim. Untuk tata cara masih mengikuti pernikahan batak. Pada dasarnya ajaran Parmalim mencari kehidupan yang abadi menuju dalan perdomoan atau jalan perdamaian. Budaya Parmalim juga menghitung pertanggalan sesuai dari surat batak yang telah diturunkan secara turun-temurun sampai saat ini. Perhitungan bulan yang berbeda dari perhitungan masehi seperti yang kita kenal selama ini. Seperti Sipasahada sampai sipahasepuluh, sedangkan bulan sebelas dan dua belas disebut Li dan Hurung. Banyak kebudayaan yang belum tergali dari aliran Parmalim ini. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan waktu saat wawancara kepada pengikut Parmalin jadi tidak semua kabudayaan yang tak sempat diterangkan dalam tulisan ini.

IRA STEFANIE

TTL ASAL LPM UNIVERSITAS JABATAN NO. TELP/HP E-mail

: Pekanbaru, 27 September 1988 : AKLAMASI : Universitas Islam Riau :Redaktur Bahasa dan Divisi Iklan :085278369727 : stefanie.ierha@yahoo.com

Lampung: Tapis dan Seruit Oleh: Lutfi Yulisa Memasuki kota Bandar Lampung sebuah tulisan Selamat Datang di Bandar Lampung, Kota Tapis Berseri menyapa pengunjung. Lampung, sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, Provinsi yang memiliki berbagai keunikan tradisi dan budaya, misalnya kerajinan serta makanan khasnya. Kain Tapis

Page 48

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Bagi masyarakat Lampung siapa yang tak kenal dengan kain yang bernama tapis. Begitu memasuki kota Bandar Lampung saja kata Tapis sudah ikut menyambut. Kain tenun ini merupakan pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenunan benang kapas dengan motif atau hiasan benang emas dengan sistem sulam. Motifnya pun beragam, seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak. Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional, karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Saat ini, kain tapis diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakan peralatan-peralatan seperti, sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun, mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis. Bahan utamanya adalah Khambak atau kapas yang digunakan untuk membuat benang. Selain itu, bahan-bahan alami pun digunakan, seperti akar serai wangi untuk pengawet benang. Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur. Buah pinang muda dan daun pacar untuk pewarna merah. Kulit kayu salam dan kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam. Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat. Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning. Namun, kini bahan-bahan tersebut sudah jarang digunakan lagi, karena pengganti bahan-bahan tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran. Kain tapis biasanya dipakai dalam setiap upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga. Kain tapis merupakan warisan keluarga, diwariskan secara turun temurun. Dari nenek, kemudian di pakai untuk upacara pernikahan anaknya, diwariskan lagi ke keturunan selanjutnya. Layaknya barang berharga, kain tapis harus dijaga dengan baik. Setelah di pakai, tidak boleh dicuci karena akan merusak kain. Cukup di jemur di bawah panas matahari, lalu disimpan kembali. Harganya bisa mencapai jutaan untuk kain tapis yang asli, dengan benang emas sebagai motifnya. Untuk kain tapis biasa, tanpa benang emas hanya di banderol dngan harga ratusan ribu. Perbedaannya jelas terlihat, dari segi berat serta keawetannya. Kain tapis asli lebih berat dan awet hingga puluhan tahun. Umumnya satu kain tapis yang berukuran kain sarung untuk bawahan yang biasa digunakan oleh ibu-ibu, dapat dihasilkan dalam waktu dua hingga tiga bulan. Lama pembuatannya disesuaikan dengan kerumitan motifnya. Seiring perkembangan zaman, kain tapis juga mengalami perkembangan dan perubahan, baik pada aspek makna simbolis yang terkandung dalam kain, maupun pada bentuk fisik dan ragam motifnya. Perubahan makna simbolis motif kain tapis merupakan perubahan hal yang paling esensial. Jika pada awalnya pembuatan motif disesuaikan dengan keperluan-keperluan adat yang spesifik atau mengungkapkan pesan-pesan tertentu, maka saat ini motif kain tapis hanya dilihat dari aspek keindahannya semata. Kain tapis dulu digunakan dalam upacara-upacara adat di lingkungan kerajaan. Setiap keluarga kerajaan memiliki tapis dengan motifnya tersendiri. Dengan demikian, konsep strata dalam masyarakat Lampung pada zaman dulu dapat dilihat dari motif kain tapisnya. Kini, kain tapis tak lagi digunakan oleh keluarga kerajaan saja, melainkan telah digunakan oleh masyarakat Lampung secara umum. Seruit Lampung Seruit, mendengarnya saja mungkin baru kali ini, apakah seruit itu? Seruit adalah makanan khas Lampung yang belum banyak dikenal oleh suku-suku lainnya. Seruit

Page 49

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

merupakan makanan yang unik. Mengapa? Karena makanan ini diracik sendiri dan memakannya harus dengan nasi. Makanan khas Lampung ini terbuat dari ikan yang digoreng atau dibakar kemudian dicampur sambal terasi maupun sambal tempoyak, lalu ditambahkan dengan lalapan. Mungkin banyak orang masih merasa asing dengan yang namanya tempoyak. Tempoyak adalah hasil fermentasi dari buah durian. Tempoyak dapat disimpan hingga enam bulan lamanya. Masukan saja dalam toples, campurkan sedikit garam ke dalamnya agar tidak berulat. Ikan yang diolah untuk seruit adalah ikan pilihan yaitu ikan yang mempunyai kualitas terbaik. Jenis ikan yang digunakan untuk membuat seruit biasanya adalah jenis ikan sungai seperti ikan baung dan ikan lais. Lalapannya berupa timun, kol, kemangi, dan tomat. Cara memakannya tak kalah unik, seruit yang sudah jadi (dalam satu wadah) di makan bersama-sama. Caranya, daun singkong rebus diambil secukupnya, lalu dicocol kedalam seruit. Setelah itu, ditaruh pada sesuap nasi, dan dimakan. Biasanya, sambil mengunyah didalam mulut, lalapan mentah juga ikut dimakan bersamaan. Rasanya? Pedas, asam dan manis terasa di lidah. Bagi masyarakat Lampung, seruit bukan hanya sekedar makanan, namun juga merupakan bagian tradisi dan kebudayaan Lampung karena makanan ini melambangkan kebersamaan diantara anggota keluarga masyarakat Lampung. Momen makan seruit menjadi hal yang ditunggu. Karena pada saat itu, satu keluarga bahkan satu keluarga besar berkumpul, duduk di tikar besar dan makan bersama. Di kampung pun, seruit menjadi makanan yang dinanti. Makan bersama di gubuk sambil menikmati hamparan ladang yang luas. Apalagi saat musim menugal, masyarakat Lampung memiliki tradisi nyeruit bersama dengan tetangga lainnya di ladang mereka. Dulu, penyajian seruit khusus untuk masyarakat asli Lampung saja, disajikan pada acara keluarga, hari raya, serta pesta pernikahan. Sekarang, tak hanya masyarakat keturunan Lampung saja yang bisa mencicipinya, karena bahan-bahannya yang sederhana, setiap orang dapat membuatnya. Tak perlu susah-susah mencari tempoyak, pakai sambal terasi pun sudah nikmat. Rasa asam dari tempoyak bisa didapatkan dari rampai atau belimbing wuluh, lebih dikenal belimbing culuk oleh masyarakat Lampung. Culuk dalam bahasa Lampung berarti korek api, karena belimbing membentuk segi-segi seperti korek api. Agar rasa sambal lebih nikmat, campurkan mangga kemudian haluskan bersama dengan bumbu lainnya.

Page 50

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Lutfi Yulisa

TTL : Wonodadi, 31 juli 1990 ASAL LPM : UKPM Teknokra UNIVERSITAS : Lampung JABATAN : Redaktur Pelaksana FAK/JUR : Pertanian/Agribisnis ALAMAT : Jl.Arjuna Simpang SMK Pertanian NO. TELP/HP : 085269855104 E-mail : lupidejavu@gmail.com

Benteng yang Terlupakan

Page 51

PJTL GENTA ANDALAS 2011 Oleh: Lestari

Jurnalisme Budaya

Tuanku Tambusai dan rekan-rekannya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan Kaum Paderi, dipimpin oleh Peto Syarif yang lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai berjuang bersama, mengusir penjajah Belanda. Tetapi tidak berarti yang satu membawahi lainnya, karena mereka merupakan tokoh otonom. Kemunculan Tuanku Tambusai dan pasukan di bagian utara, sekitar daerah Hulu Sungai Rokan, buat Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama, karena pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bagian tengah. Benteng Tujuh Lapis, adalah benteng tradisional yang dibuat oleh pejuang kemerdekaan tanah Rokan Hulu ketika itu. Dikomando langsung oleh Tuanku Tambusai. tahun 1838 1839. Benteng ini terdiri dari tujuh lapis gundukan tanah mencapai tinggi 11 m. Di atasnya ditanam auo duri (Bambu Berduri). Taktik dan strategi perang diatur jadi dua bagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padang Sidempuan, dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, Bilah Panai berhimpun di Sipirok. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol sejak September 1832. Akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperani oleh Tuanku Tambusai. Ia belajar dari pengalaman Tuanku Imam Bonjol saat jadi korban kelicikan penjajah Belanda. Tuanku Tambusai terus berusaha berjuang. Jika tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan, ia lebih memilih mati sebagai syahid, daripada berunding, apa lagi menyerah kepada pihak musuh. Letkol Michele, datang ke Dalu-dalu untuk menaklukkan benteng, akhirnya benteng dapat dikuasai. Kegigihan perjuangan Tuanku Tambusai oleh Belanda diberi gelar De Padrische Tijger Van Rokan berarti Harimau Padri dari Rokan. Selain Tuanku Tambusai, Sultan Zainal Abidin juga pernah menggunakan Benteng ini dalam melawan pemberontak negeri. Demikian sepenggal sejarah Tuanku Tambusai melawan penjajahan Belanda. Sekarang Benteng ini sudah tidak terlihat bentuk aslinya. *** Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) dikenal dengan sebutan Negeri Seribu Suluk. memiliki objek wisata yang tak kalah menarik dari daerah lain. Kawasan ini punya 16 kecamatan, jumlah penduduk sekitar 382.489 jiwa, terdiri dari 200.022 laki-laki dan 182.467 perempuan. Mayoritas warga Rohul berprofesi sebagai petani sawit, kelapa dan karet. Banyak juga yang beternak ikan. Sementara yang terjun ke sektor industri hanya sekitar 17 persen. Secara kultur kebudayaan, masyarakat Rohul terdiri berbagi etnis setelah masuk program transmigrasi pada tahun 80-an. Dari perbauran ini belum begitu menyebabkan adanya perubahan budaya tempatan. Seni gambus, rebana, godang, zikir dan ritual lainnya bernuansa Islam, yang dikemas dalam bentuk budaya Melayu. *** Desa Dalu-dalu berada di Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rohul. Desa ini bisa dicapai dengan berkendara sekitar satu jam dari Pasirpengaraian. Disana bukti sejarah perlawanan Tuanku Tambusai melawan penjajah Belanda. Senin (21/2) pagi, dengan mengendarai motor Supra X, kami meluncur ke Desa Daludalu. Dari Pasirpengaraian, kami melintasi Pasar Modern, dengan arsitektur menawan tak luput dari pandangan. Pemerintah rencanakan pasar tradisional pindah kesana. Kebanyakan

Page 52

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

penjual setuju. Lokasinya dekat jalan raya, sehingga memudahkan masyarakat berkunjung. Ada yang membeli kebutuhan sehari-hari atau sekedar rekreasi. Sekitar sepuluh menit dari pasar, bangunan Islamic Centre dengan kubah hijau berdiri kokoh. Bila hari raya tiba, mesjid itu dipenuhi jamaah yang berasal dari berbagai kecamatan. Lokasinya berada dekat komplek Pemerintah Daerah Rohul. Tiap sore masyarakat sekitar manfaatkan komplek ini untuk bersantai bersama teman maupun keluarga. Tak jauh dari sana, Gedung Budaya baru selesai dibangun, tak kalah megah dari Islamic Centre. Ketiga bangunan ini nantinya jadi ikon Kabupaten Rohul. Belum separuh perjalanan, kami kurangi kecepatan karena jalan rusak. Trak, bunyi sepeda motor menghentak lubang di aspal. Ukurannya tak begitu dalam, namun buat kami ekstra hati-hati. Sesekali debu bertebaran, menempel pekat di kaca helm yang kami kenakan. Saat memasuki kawasan benteng, kami disambut gapura warna hijau, bagian atasnya tertulis dua kalimat syahadat. Ada juga tulisan Arab Melayu Harimau Rokan pahlawan nasional Tuanku Tambusai, Tuanku Tambusai telah menentang kafir Belanda supaya dimaklumi anak cucu. Bagi orang Rohul, daerah ini sering disebut bateh(batas). Sebuah meriam kuno terpajang di atas batu bermarmer. Di belakang meriam, rumpun bambu megar tak beraturan. Tidak jauh dari sana, aliran sungai berwarna kuning mengalir deras, masyarakat menyebutnya Sungai Batang Sosah. Konon, saat kering warga pernah temukan tujuh meriam di dasar sungai. Beberapa diantaranya dimuseumkan di kantor desa dan kantor camat. Hanya satu yang tersisa di sana. Seperti tak terawat. Daun-daun kering berserakan di sekitar meriam. Miris sekali, plang peringatan dari Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) tidak digubris warga. Dilarang membuang sampah sembarangan, Dilarang mengembala sapi, tertancap di setiap sudut. Tapi beberapa ekor sapi terlihat tengah asik memakan rumput. Beben, 42 tahun mengatakan, setiap pengunjung ada pemandunya. Belakangan pemandu itu sudah meninggal dua minggu lalu, orang-orang sekitar biasa menyapanya Pak Makzim Biasanya Pak Makzim pemandunya. Sayang dia sudah meninggal dua minggu yang lewat, adek telat, katanya. Beben orangnya ramah, ia miris sekali dengan kondisi Benteng Tujuh Lapis yang digadang-gadangkan masyarakat Rohul. Benteng itu tidak seperti benteng peninggalan sejarah seperti yang ditemukan di derah lain. Hanya gundukan tanah memanjang, jumlahnya sekitar tujuh baris yang terputus-putus akibat pembuatan jalan setapak, ditambah lagi dampak dari abrasi Sungai Batang Sosah. Di atasnya ditumbuhi rerumputan dan beragam tanaman buah-buahan. Ini lah benteng yang sesungguhnya, tak seperti yang adek bayangkan, Ternyata itu yang disebut Benteng Tujuh Lapis. Ia merasa prihatin hanya sedikit orang yang mencintai situs budaya. Yang merusak banyak, keluhnya. Tidak banyak warga yang tahu sejarah Benteng Tujuh Lapis. Pak Daud, salah seorang petua tinggal di kawasan benteng. Daut tidak mau bercerita, ia takut salah. Aku ndo bisa do, takuik ku salah, beko uyang yang tau sejarahnyo, bohong pulo sobuiknyo. (Aku tak bisa, takut ku salah, nanti orang yang tahu sejarah, dibilangnya aku bohong), kata Daud dengan bahasa Pasirpengaraian. Beruntung, Ahmad Darwis, anak dari Pak Daud mau menceritakan potongan sejarah benteng. Kalau sejarah utuhnya tak ada yang tahu, katanya. Seingat Daud, saat ia sekolah dasar, tinggi benteng masih 10 m. Ahmad bercerita, konon katanya benteng digunakan untuk bermukim Tuanku Tambusai, agar penjajah tidak dapat masuk di pemukiman warga Tuanku Tambusai. Warga menanam auo duri di atas benteng untuk pertahanan. Namun penjajah tidak kurang akal, Belanda taburkan uang dirumpun aur itu, lalu warga berebut mengambilnya,

Page 53

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

lambat waktu aur jadi rusak, penjajah akhirnya dapat melewati benteng dan menyerang warga. Nah di sungai ini Tuanku Tambusai lari dan berenang, ntah sampai mana baru muncul. lalu Tuanku Tambusai sampai di Malaysia dan meninggal di sana, katanya. Kata petua-petua dulu, orang yang membuat benteng itu, lebar dadanya tujuh kali siku, kata Ujang, nama akrab Ahmad Darwis. Selama ini tidak ada yang mengurus benteng, apa lagi Pak Makzim sudah tidak ada, ujarnya. *** Beberapa tahun lalu, Pemkab Rohul berupaya memugar Benteng Tujuh Lapis, dan memperbarui cagar alam budaya di sekitarnya. Akibatnya warga yang berada di sekitar benteng terpaksa direlokasi. Pemerintah sudah buat rumah ganti rugi untuk warga, Namun warga tidak mau menempati. Alasannya perumahan yang dibuat pemerintah terlalu kecil dan tidak layak huni. Menurut Ujang, untuk keluarga besar dengan anak lima, rumah berukuran 5x6 tidak cukup. Ukuran ruang makan nyo duo kali duo, sekali makan pun kami duduk indo muek leh do, (ukuran ruang makannya 2x2, sekali makan pun kami duduk tidak muat lagi), keluhnya. Perumahan itu persis di belakang benteng tujuh lapis, berderet memanjang, memang terlihat kecil, jarak antara rumah cukup rapat. berdekatan dengan kantor camat. Sekarang rumahrumah itu dihuni sama anak kami yang mau tinggal di sana, kata Ujang. Edi Suparman, Sekretaris Disbudpar Rohul membantah kalau rumah yang dibuat pemerintah Rohul tidak layak huni. Ia mengatakan, rumah-rumah itu dibuat sebagai proses perbaikan cagar budaya. Layak tidak layak kita tidak tahu batasannya, kalau mau layak tidak di situ tempatnya. Menurut Edi, masalah itu menjadi salah satu kendala pemugaran dan pelestarian. Kendala lain adalah izin dari Menteri Budsenipar belum diperoleh. Karena syarat untuk bisa mengadakan pelestarian, perbaikan dan pembugaran harus ada izin. Tanpa izin itu pihaknya tidak bisa melaksanakan. Proses pengurusan izin sedang dilaksanakan, katanya. Kesulitan lainnya, pertama, belum punya militeknis kajian tentang langkah-langkah melaksanakan pemugaran. Kedua, rencana induk pemugaran. Jika sudah ada baru bisa melakukan pemugaran seperti benteng aslinya. Setelah kita anggarkan dana pemugaran, kita obrak-abrik tidak bisa, kita melanggar Undang-undang, bisa kena sanksi, katanya. Sedangkan untuk pemeliharaan benteng agar tidak nampak banyak kerusakan, pemerintah setiap tahun anggarkan dana. Biasanya kita melakukan pemeliharaan tri bulanan, kita kirim orang untuk membersihkan. Di benteng setiap hari ada yang menunggu. Pihaknya sudah berencana membuat tembok di tepi sungai, hingga bila musim hujan datang, air sungai tidak masuk kawasan benteng. Edi khawatir, setelah pemerintah lakukan pemugaran nanti dirusak lagi. Ia menyangkal kalau cagar tidak diurus, Bukan tidak diurus, tapi ada kendala lain, katanya.

Page 54

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

LESTAR I
TTL : Bengkalis , 9 juni 1991 ASAL LPM : Tabloid Gagasan Suska UNIVERSITAS : UIN Sultan Syarif Kasim Riau JABATAN : Wartawan Kru FAK/JUR : Dakwah dan Ilmu Komunikasi / Ilmu komuniksi ALAMAT : Jl.Buluh Cina, Garuda Sakti, Panam - Pekanbaru NO. TELP/HP : 085271078179 E-mail : lestari_simon@yahoo.com

Page 55

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Membangun Karakter Budaya Bangsa Berazaskan Pancasila Oleh : Mehawani Rosi Keragaman budaya di Indonesia, sesuatu yang tidak dapat diremehkan begitu saja keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat yang majemuk, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Hal ini berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kewilayahan. Pembangunan kebudayaan merupakan perihal yang sangat strategis bagi perjalanan sebuah negara dan bangsa. Namun pembangunan kebudayaan tersebut bukanlah masalah yang sederhana. Ia memerlukan hardskill dan softskill yang cocok bagi sebuah negara bangsa yang sedang bergerak ke masa depan. Pembangunan kebudayaan merupakan upaya sadar yang dilakukan secara kolektif untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan dalam sebuah bangsa. Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa yang dianut oleh warganegara Indonesia. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari. Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-suku bangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa. Kebudayaan nasional sendiri memiliki dua unsur kebudayaan yang telah sempurna, yaitu bahasa Indonesia dan Pancasila sebagai filosofi atau pandangan hidup bangsa. Bahkan, Pancasila pun lanjutnya hingga kini masih terus dipermasalahkan sebagai pandangan hidup bangsa oleh beberapa pihak. Padahal, hanya filosofi Pancasila sajalah yang bisa membuat seluruh bangsa bisa bersatu. Begitu juga identitas bangsa Indonesia yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah identitas tiap-tiap etnik di seluruh Indonesia. Jadi, identitas budaya bangsa kita bersifat plural atau jamak. Yang menjadi masalah sekarang ini adalah identitas dan nilai-nilai kebudayaan masing-masing suku-suku bangsa di tiap daerah di seluruh Indonesia sudah mulai luntur, bahkan hampir menghilang. Padahal, nilai-nilai kebudayaan itu berfungsi untuk mempertahankan harga diri kita, nilai-nilai yang mulai luntur itu akan menggerogoti harga diri kita dan harga diri bangsa sendiri. Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih harus diperjuangkan pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sekarang barulah berupa cita-cita yang dalam kenyataannya belum terwujud. Bahkan masih banyak yang jauh dan berbeda dari cita-cita peradaban Pancasila.

Page 56

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh karena perbedaan merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beranekaragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukan untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama. Bentuk dan nilai-nilai kebangsaan yang patut ditransformasikan dalam membangun karakter bangsa, secara umum adalah nilai-nilai Pancasila. Masalahnya kini, Pancasila yang layak menjadi karakter keindonesiaan kita cenderung dilupakan dan tidak lagi tersosialisasikan. Hidup berdasarkan Perikemanusiaan yang adil dan beradab yang membangun hubungan antarmanusia dari berbagai suku, ras, agama dan golongan yang saling menghormati dan sederajat, saling mengisi, keserasian hubungan minoritas dan mayoritas dalam Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan Indonesia dalam membangun kesadaran berbangsa yang bermartabat dan mulia yang dihormati bangsa-bangsa lain, serta mandiri dengan kekuatan sendiri, dalam berbangsa tidak tergantung bangsa lain. Kedaulatan Rakyat dalam Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan sebagai perwujudan negara berdasarkan kekeluargaan dengan keterwakilan rakyat yang bermusyawarah menuju kemaslahatan hidup rakyat, bukan mayoritas mengungguli minoritas, karena negara merupakan perwujudan kerja sama dan saling menolong yang kuat dan lemah. Dalam konteks pengembangan karakter kebangsaan Indonesia, setiap kelompok masyarakat Indonesia wajib berperilaku sukarela dan ikhlas dalam menginternalisasikan nilai-nilai dari empat pilar kebangsaan, yaitu: Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam kepribadian dan jati diri masing-masing. Tidak boleh ada kelompok masyarakat atau individu masyarakat yang meragukan atau mempertanyakan tentang kebenaran nilai-nilai yang terdapat di dalam empat pilar kebangsaan Indonesia.

MEHAWANI ROSI

TTL : Indrapura, 03 Februari 1992 ASAL LPM : Pers Mahasiswa Kreatif UNIVERSITAS : UNIMED JABATAN : Reporter FAK/JUR : FIS/ Pend. sejarah ALAMAT : Jl. Gurilla Medan NO. TELP/HP : 085762535063 E-mail : mehany.magelhaens2facebook.com

Page 57

PJTL GENTA ANDALAS 2011 Silat - Budaya Asli Indonesia Oleh: Mhd. Himsar

Jurnalisme Budaya

Tapanuli selatan- Selesai melaksanakan shalat isya berjamaah, enam orang pemuda langsung bergegas keluar masjid. Dipelataran masjid keenam pemuda itu berdiskusi pendek sekitar lima menit, menjanjikan pertemuan berikutnya dan kemudian pulang kerumah masing-masing. Tidak berapa lama kemudian keenam pemuda itu berkumpul di tempat yang telah dijanjikan, disebuah kedai kopi. Dengan membawa peralatan yang telah ditetapkan. Ada yang membawa sebuah senter dengan tiga buah baterai serap, ada yang bawa sebuah lampu neon yang belum dihidupkan lengkap dengan seliter minyak tanah yang masih berada di dalam jerigen kecil. Setelah keenam pemuda itu berkumpul semua dan barang-barang persiapan sudah lengkap, keenam pemuda itu bergegas berangkat menuju sebuah kebun disebelah kampung. Berjalan dikegelapan tanpa ditemani cahaya bulan sedikitpun, hanya dengan cahaya senter yang sudah redup karena masih menggunakan baterai yang masih lama keenam pemuda itu dengan langkah tegap penuh semangat diiringi tawa dan canda antara satu dengan yang lain, tidak peduli walaupun sesekali kaki mereka masuk lobang-lobang kecil di jalan. Sekitar lima belas menit berjalan kaki, keenam pemuda itu sampai di sebuah kebun yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa. Di bawah pohon kelapa itu terdapat sebuah gubuk kecil beratapkan daun rumbia, beralaskan dipan. Kedatangan keenam pemuda itu disambut dengan suara ribut sepasang angsa putih, dan sang pemilik kebun kemudian keluar dari gubuk., Kalian udah sampai? Tanya sipemilik kebun dari dalam gubuk, Udah nek, jawab salah seorang pemuda itu. Sejak siang ternyata keenam pemuda itu telah membuat janji dengan sang kakek. Seorang kakek keluar dari gubuk dengan menggunakan kain sarung tanpa menggunakn baju dan mempersilahkan keenam pemuda itu masuk kedalam gubuk. Kemudian sang kakek menyuruh pemuda itu menghidupkan lampu neon dan membuat garis dengan bentuk persegi empat dengan panjang sekitar sepuluh sentimeter dengan lebar enam meter Setelah selesai semua, keenam pemuda disuruh masuk kedalam lingkaran yang sudah dibuat dan sang kakek memberikan sedikit pengarahan tentang apa yang akan mereka lakukan pada malam itu yaitu dasar-dasar tentang Silek, atau Moncak, bahasa lain daripada Silat Muhammad Yusuf, itulah nama sang kakek. Perpaduan antara dua nama manusia paling mulia di Dunia, itu ucap sang kakek, Muhammad itu kan artinya terpuji, sedangkan Yusuf itu manujsia yang paling ganteng, saya kan orang ganteng, canda sang guru disambut tawa para muridnya. Umur Pak Muhammad sudah hampir 72 tahun, kepalanya pun sudah dipenuhi dengan uban yang memutih. Namun umur setua itu, pak yusuf masih kuat tenaganya, Pak Yusuf masih lihai memperagakan jurus-jurus yang akan diwariskannya kepada murid-muridnya, Silek itu lembut tapi mengunci, jelas Pak Yusuf. Jurus yang pertama kali diajarkan Pak Yusuf kepada keenam pemuda itu adalah tentang Kuda-kuda, sebuah posisi setengah jongkok untk melatih pertahanan kaki. Para muridnya langsung memperagakan posisi kuda-kuda yang dikomandoi salah seporang dari keenam pemuda itu. Setelah kuda-kuda sang guru mengajarkan tentang tata cara memukul, menendang, menangkis sekaligus mengunci pertahanan lawan, dan setelah terkunci membanting lawan sampai terkapar. Awalnya dijelaskan dan diperaktekkan secara perlahan-lahan agar mudah difahami murid-muridnya.

Page 58

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Setelah keenam pemuda itu dianggap sudah faham, sang guru menyuruh mereka berpasang-pasangan, Berpasang-pasangan, pilih pasangan yang sesuai, kita tes dulu, perintah sang guru, dengan segera keenam pemuda memilih pasangan masing-masing. Pada sesi terakhir sang guru mencoba kemampuan murid-muridnya dengan melakukan sparing sesuai dengan lawan pasangan tadi, Pak Yusuf sendiri bertindak sebagai wasit. Sebelum bertanding pak Yusuf memberikan arahan kepada muridnya agar serius dalam bertarung,jangan main-main, anggap dia adalah musuhmu yang paling kamu benci jelasnya, lawan yang sudah jatuh jangan dihajar lagi, tambahnya Dimulai dengan bersalaman, dengan penuh serius masing-masing pasangan melakukan Sparing layaknya musuh bebuyutan yang sudah lama tidak berjumpa, saling menerbangkan pukulan, memainkan jurus-jurus yang diajarkan sang guru. Dan pertarunganpun diakhiri dengan saling berpelukan pertanda sportifitas Tidak ada dendam di luar sana, sakit cukup sampai disini, nasehat sang guru. Latihan silek ini berlangsung hingga larut malam. Biasanya setelah selesai latihan silek, mereka minum kopi bersama sambil menunggu mengeringkan keringat di badan kemudian pulang ke kampong, mandi membersihkan badan kemudian tidur. Sebelum pulang keenam pemuda itu sudah membuat janji terlebih dahulu tentang jadwal latihan selanjutnya. Sebagai balas jasa terkadang pemuda itu memberikan amplop berisi sedikit uang, biasanya sang kakek menolak pemberian mereka,itu ngak saya harapkan, yang penting mereka mau belajar dan sholat, nasehat sang Guru. Di Provinsi Riau di Kabupaten Rokan Hilir dikenal dengan pencak silat 21. Pencak silat 21 ini dikhususkan bagi penduduk yang beragama islam saja karena dalam mempelajarinya sesuai dengan syariat-syariat islam dan masyarakatnya masih memiliki nilai religius yang tinggi. Sebelum seseorang menarikan pencak silat 21, awal yang dilakukan adalah mengikuti perguruan pencak silat 21. dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh guru yaitu : jeruk pagar digunakan untuk membersihkan diri dan bathin, mangkok putih digunakan untuk tempat meracik jeruk pagar, kain putih yang dilambangkan murid tersebut berani mati, pisau belati dilambangkan bahwa murid menyerahkan diri kepada guru, dia siap mati jika berkhianat kepada guru, batu limau (uang logam) sebagai pelengkap ikatan guru dengan murid. Umumnya pencak silat 21 dalam penyajian untuk penyambutan pengantin ditarikan oleh 2 orang atau lebih. Setelah mempelai pria datang ke rumah mempelai wanita antara kedua mempelai dipertemukan dengan posisi saling berhadapan dengan jarak yang sedikit jauh sehingga terbentuk sebuah gelanggang ditengahnya sedangkan pesilat dan pemusiknya bersiapp-siap ditempatnya masing-masing. Setelah semua siap baru lah pencak silat 21 dimulai dengan 2 orang pesilat memasuki gelanggang dan saling berhadapan. Pencak silat 21 dipergunakan untuk penyambutan tamu-tamu besar dan untuk upacara adat perkawinan khususnya disemua masyarakat suku tambusai rokan dan bagi masyarakat melayu lainnya. Pencak silat 21 telah berkembang dimasyarakat dengan sangat baik. Masih banyak berbagai jenis silat yang berada di berbagai daerah di tanah air, di Jawa terkenal dengan si Pitung, pemuda Betawi yang mahir dengan jurus-jurus silatnya yang hidup di zaman penjajahan kolonial Belanda.

Page 59

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

MHD. HIMSAR

TTL : Sungai Pimping 20 Agustus 1987 ASAL LPM : AKLAMASI UNIVERSITAS :Universitas Islam Riau NO. TELP/HP : 081371601148 E-mail : him.himsar.sar8@gmail.com

Page 60

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Mesjid Kuning, Tak Banyak Diketahui Warga Oleh : M. Sahbainy NST Al-Osmani mesjid pertama dan tertua peninggalan budaya Melayu Deli. Masjid ini merupakan salah satu sejarah Sumatera Utara yang belum banyak di ketahui warga Kota Medan. Sumatera Utara memiliki beragam peninggalan sejarah dan budaya yang unik. Baik dari masa prasejarah maupun sejarah. Peninggalan sejarah berupa tulisan, bangunan kuno tidak terlepas dari perkembangan agama maupun bentuk kolonial yang ada di Medan. Sejarah Kota Medan berdasarkan urutan waktu meliputi sejarah masa Hindu-Budhda, Islam, kolonial dan prasejarah. Sejarah perkembangan agama Islam yang panjang di Medan meninggalkan beberapa tempat bersejarah yang masih dapat dilihat sampai saat ini. Peninggalan sejarah Islam di tandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Medan yang dahulunya dikenal dengan sebutan kesultanan di Sumatera Timur. Selain istana kerajaan/ kesultanan, dibangun pula masjid sebagai tempat beribadah para penghuni istana. Masing masing kesultanan meninggalkan jejak peradaban masa lampau berupa masjid yaitu Mesjid Raya AL- Osmani dan masjid Raya Al- Mashun, kesultanan Langkat meninggalkan Mesjid Azizi dan yang terakhir kesultanan Serdang meninggalkan Mesjid Sulaiman. Pukul 19.10 wib, Rabu (26/10) lalu, terlihat ada lima orang tua yang duduk asyik di teras masjid sambil ngobrol-ngobrol untuk menunggu waktu Shalat Isya, terlihat dindingdinding bangunan masjid yang berwarna kuning dan hijau sangat mendominasi, disisi lain masjid ini memiliki arsitektur bangunan asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, spanyol dan China. Tampak terlihat di perkarangan mesjid banyaknya pohon-pohon kelapa dan pohon waru serta kesekretariatan mesjid berbentuk rumah Melayu. Bukan hanya itu, kuburankuburan seperti kesultanan, panglima dan permaisuri kesultanan menjadi ciri khas Melyu Deli, di setiap masjid ada kubaran keluarga kesultanan tersebut. Di pekarangan ini, dapat terlihat kuba besar yang berwarna hitam yang mencerminkan desain dari India serta puluhan tiang -tiang masjid yang berdiri kokoh. Masjid Al Osmani atau masjid Labuhan terletak di Jalan Yos Sudarso Km 18 kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan yang berjarak dari Kota Medan sekitar 19 km dari pusat kota Medan. Didirikan pada masa kerajaan Deli tahun 1854 oleh raja Deli yang ke tujuh yang bergelar Sultan Osman Perkasa Alam. Ahmad Fahruni S.Ag perawakan melayu, berjanggut serta memakai bepakaian teluk belanga creme sebagai ketua badan kenaziran masjid (bkm) mengatakan bangunan ini dahulunya hanya 16 x 16 meter, sekarang diperluas menjadi 26 x 26 meter dikarenakan sudah bertambah banyak masyarakat islam di daerah sekitar masjid, bangunan ini dibuat oleh arsitek Jerman GD Langereis dan Belanda. Masjid Al- Osmani dikatagorikan sebagai benda cagar budaya (BCD) bersifat bangunan pribadatan yang harus dilindungi sesuai Undang Undang Cagar Budaya tahun 1992 karena usaianya lebih dari 50 tahun dan masjid ini mempunyai keunikan tersendiri selain masjid Raya Al Mashun di pusat Kota Medan dan Mesjid Azizi di Langkat. Masjid ini merupakanan sejarah Sumatera Utara yang belum banyak di ketahui warga Kota Medan. Keistimewaan dan keindahan bukan saja dari sejarah akan tetapi dapat dilihat dari segi arsitektur, masjid yang sekilas mirip dengan Cardova di Spanyol sehingga menjadi tempat para turis yang menarik untuk dilihat. Bangunan ini memiliki fitur arsitektur dan ornament yang cukup kaya.

Page 61

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Ahmad Fahruni mengatakan dahulunya bahan utama bangunan terdiri dari kayu pilihan Sultan pada masa itu yang di bawa dari Kalimantan, ukiran pintu berdisain dari China yang bekerjasama dengan Cong Afi, relif dari Eropa, kaligrafi dari Arab serta ada sentuhan warna kuning dan hijau yang mendominasi bangunan mesjid melambangkan kekhasan Suku Melayu. Alhamdulillah, dari tahun ke tahun bantuan pemerintah atas perhatian mereka sangat baik, dana hiba yang di bantu seperti cat dan bahan-bahan bangunan masjid lainya, serta apabila pada bulan puasa Kami meminta kepada masyarakat setempat ikut berpartisipasi untuk memberi bantuan kepada masjid Al-Osmani, ujar yang berlogat Melayu ini. Ahmad Fahruni mengatakan walaupun banyak di bantuan Pemerintah akan tetapi masih banyaknya masyarakat Kota Medan hanya mengetahui masjid yang paling tua adalah Mesjid Raya Al Mashun yang terdapat di pusat kota Medan, akan tetapi mereka tidak mengetahui bangunan yang paling pertama dan tertua yaitu Mesjid AL-Onsmani. Ahmad Fahruni berharap pemerintah lebih mempromosikan, serta harus adanya perhatian dari pihak -pihak masyarakat kota, terlihat sedikitnya jamaah yang shalat kesehariharian walaupun ini jauh dari pusat kota, akan tetapi masjid ini saksi sejarah dan peninggalan Kota Kesultanan Melayu Deli yang terdapat di Kota Medan. Hal senda yang diungkapkan oleh Putra Kurniawan sebagai Jaka dara Kota Medan serta masyarakat Masjid Al-Osmani (27/10) mengatakan kami sering bermain-main di masjid apa lagi pada saat bulan puasa tiba. Dia mengharapkan masjid Al Osmani ini harus lebih di promosikan lagi untuk menjadi salah satu objek wisata karena masih banyak orang yang belum mengetahui dan juga masjid ini pertama dan tertua serta salah satu sejarah daerah Kota Medan .

M. SAHBAINY.NST
TTL : Medan, 02 Juli 1989 ASAL LPM : Teropong UMSU UNIVERSITAS : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara JABATAN : Sekretaris Litbang FAK/JUR : Ekonomi / Manajemen SDM ALAMAT : Jl.Pemasyarakatan Gg Keluarga Deli Serdang NO. TELP/HP : 085270753064 E-mail : msahbany@yahoo.co.id/bany.nasution@gmail.com

Page 62

PJTL GENTA ANDALAS 2011 Budaya Pelecehan Kata Pada Anak Oleh: Nurul Fauziah

Jurnalisme Budaya

Saya dan Game On-line Tidak jauh dari rumah saya berdiri sebuah bangunan rumah yang membuka jasa internet dan menawarkan games on-line, browsing internet, rental komputer dan lain-lain. Tentunya saat ini jasa yang paling difavoritkan dari warnet adalah games on-line dan kebanyakan penggunannya adalah anak-anak. Di sini saya tidak akan membahas dampak positif dan negatif games on-line pada anak secara detail, hanya saja saya membahasnya dari segi moral dan akhlak anak-anak yang memainkan games on-line tersebut. Saat saya sedang browsing internet di warnet tersebut, telinga saya suka risih dengan sahutan yang dikeluarkan anak-anak yang bermain game di sebelah kiri, kanan dan belakang saya (bentuk tata letak komputernya letter U). Yang membuat saya risih dari sahutan mereka saat memanggil teman mereka adalah penyebutan nama bintang semisal (maaf) anjing, dan pelecehan kata lainnya yang mungkin kerap kali kita dengar. Awalnya saya tidak tahu, kenapa anak yang di sebelah saya, menyahut temannya yang juga bermain game di seberang tempat saya duduk dengan sebutan seperti itu. Ternyata game yang mereka mainkan jenis permainan yang sama. Kalau istilah saya main dua, game yang mereka mainkan adalah game perang-perangan. Jadi ceritanya, mereka dalam game itu seolah-olah jadi tentara yang menembaki musuh-musuhnya dan singkat cerita salah satu teman mainnya tertembak musuh dan teman mainnya yang satu lagi tidak tertembak. Temannya yang tertembak musuh menyahut, Hey (maaf) Anjing, kok gak kau tembak musuhnya? Jadi mati aku kan?. Waduh, kuping saya panas mendengarkannya. Untuk mengekspresikan rasa tidak suka saya terhadap perkataan si anak di sebelah saya itu, saya langsung melotot ke arah anak itu dan berkata Yang sopanlah dek ngomongnya, lalu jawabnya, Oya kak, maaf ya kak. Minus Didikan Orang Tua Apa yang terjadi jika meletakkan dua mobil yang sama pada tempat yang berbeda? Penelitian aneh inilah yang dilakukan oleh psikolog bernama Zimbardo. Satu mobil diletakkan di tengah Kota New York dan satunya lagi di pedesaan California. Kap mobil sengaja dibuka agar tampak terkesan rusak. Hasil penelitiannya adalah, mobil yang diletakkan di perkotaan New York itu selama 3-7 hari, rusak parah karena dipreteli oleh anak-anak muda hari demi hari, sedangkan mobil yang diletakkan di pedesaan, masih utuh tak tersentuh, malah ketika hujan, penduduk desa menutupi mesinnya dengan kain agar tidak berkarat. Penelitian sederhana bin aneh ini mencoba membuka mata kita semua bahwa modernitas yang melanda umat manusia saat ini tidak menjamin tingkat elegan dalam bersikap positif, baik terhadap sesama makhluk maupun alam, termasuk budaya dalam berkata-kata atau komunikasi. Dari pengalaman saya di atas, mungkin masih banyak contoh nyata lainnya di sekitar kita, di rumah misalnya, orang tua juga suka menyahut dan memanggil anaknya dengan menggunakan kata-kata yang melecehkan sehingga anak pun belajar dari orang tua untuk mengatakan hal yang sama pada teman-temanya, saudaranya dan bahkan orang tuanya sendiri. Selain itu lingkungan tempat anak tinggal, teman sepermainan anak, atau juuga teman sekolah si anak. Pada saat orang tua tidak bersama si anak untuk mendampingi, maka anak dapat belajar hal apapun di luar sana. Bahkan tanpa kita sadari, kita juga sering mendengarkan, baik itu kita mendengarkannya di televisi yang menayangkan sinetronsinetron dengan dialog para pemainya juga mendengarkannya di film-film yang diputar di bioskop dan menggunakan kata-kata yang melecehkan, kata-kata yang tidak sopan untuk diucapkan, seperti, bodoh, tolol, mampus dan lain-lain.

Page 63

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Dan jika hal ini terus dilakukan, terus diperdengarkan pada anak akan berdampak buruk terhadap kejiwaan anak. Menurut Dr. Dorothy Law Notte yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dalam Psikologi Komunikasi nya. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar manghargai Jika anak dibesarkan dengan dorongan ia belajar percaya diri Jadi, jangan salahkan anak Anda yang tidak tahu apa-apa, ia hanya merekam dan mengaplikasikannya apa yang dia lihat, dia dengar dan dia rasakan dari perilaku orang tuanya sehari-hari yang lebih suka mendidik dengan teriakan, dengan memanggil anak dengan sebutan yang tidak baik akan berbalik memaki dan menghina Anda suatu hari dan itu berarti Anda turur menghancurkan moral dan akhlak anak Anda dengan pelecehan kata-kata yang Anda ucapkan pada anak Anda. Bagaimana jika anak terlanjur berkata-kata negatif? Pertanyaan ini akan terjawab bila Anda sebagai orang tua yang sebelumnya mendidik anak dengan menggunakan teriakan pada anak yang tidak mematuhi Anda, dan mengucapkan kata-kata negatif terhadap anak yang adalah suatu hal yang mungkin bahwa kata-kata negatif yang Anda tujukan pada anak Anda sendiri adalah mengandung doa buat anak Anda alias mendoakan anak Anda sesuai seperti yang Anda ucapkan pada anak Anda, adalah menyadari efek negatif kepada jiwa anak sampai dia beranjak dewasa jika ucapan-ucapan negatif Anda pada anak tidak dihentikan. Tapi, bila Anda bukan tipe orangtua yang seperti itu, namun anak Anda mengucapkan kata-kata negatif saat dia emosi, berarti anak Anda yang perlu dididik, diajarkan dan diarahkan untuk tidak mengucapkan kata-kata negatif itu lagi. Terkadang orang tua terlalu keras dalam mendidik anak. Dalam kasus mengatasi anak yang suka berkata negatif, orang tua suka mengancam dengan akan memasukkan cabe rawit ke dalam mulut anak Anda dan ada juga orang tua yang ringan tangan dengan melayangkan tangan Anda dan mendarat keras di mulut anak supaya anak jera. Tapi hal itu, tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka panjang, tapi hanya menyelesaikan masalah pada saat itu juga, artinya bahwa anak Anda memang tidak mengucapkan kata negatif di depan Anda atau di dekat telinga Anda tapi, anak akan mengucapkanya di luar pengawasan Anda dan tentu solusi-solusi seperti memasukkan cabe rawit ke mulut anak atau memukul dan menampar, adalah tidak mendidik tapi menyakitkan buat anak dan tidak membuat efek jera jangka panjang, bahkan komunikasi antara Anda dan anak akan rusak, anak seolah-olah merasa orang tua telah menciptakan jarak yang sangat jauh antara anak dan orangtua karena tindakan Anda yang seperti itu. Menurut buku yang berjudul Disiplin Tanpa Teriakan dan Pukulan yang ditulis oleh Jerry Wyckoff, Ph.D dan Barbara C. Unell, Yang harus dilakukan saat anak Anda membantah atau mengucap kata-kata negatif: 1. Suruh anak Anda mengucapkan kata-kata itu secara berulang-ulang hingga lelah. Suruh ia mengulang-ulang perkataan salah itu selama 3 menit (jika usia si anak 3 tahun) untuk tiap-tiap tahun usia. Katakan: Ibu prihatin kamu mengucapkan kata-kata itu. Ibu akan menyetel pengatur waktu. Kamu harus mengucapkan kata-kat itu sampai pengatur waktu berbunyi, setelah pengatur waktu berbunyi, kamu boleh berhenti mengucapkannya. Hal ini akan membuat efek jera pada anak bahwa apa yang

Page 64

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

diucapkannya berulang-ulang benar-benar tidak enak diucapkan, tidak enak didengar, sehingga anak enggan mengucapkannya lagi. 2. Pujilah perkataannya yang baik. Pujian adalah hal yang disukai anak-anak. Dengan memuji perkataannya yang baik, ia belajar bahwa dengan berkata baik lebih disukai, lebih sopan dan lebih enak didengar. Memang universitas yang membuka jurusan Parenting atau jurusan Menjadi orangtua yang baik, tidak ada, tapi bukan berarti kita sebagai orang tua menutup diri untuk terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya. Sekarang ada banyak media yang membahas tentang parenting, seminar parenting, konsultasi dengan psikolog anak dan lain sebagainya. Anak kita hidup di zaman yang berbeda dengan zaman waktu para orangtua menjadi anak-anak dan satu hal lagi anak kita bukan duplikat kita saat menjadi anak-anak, anak kita adalah anak-anak, untuk itu pola pendidikan pun juga sedikit banyaknya memiliki perbedaan dengan pola pendidikan orangtua zaman dulu.

TTL : Medan, 5 Mei 1988 ASAL LPM : LPM DINAMIKA IAIAN UNIVERSITAS : IAIN SUMATERA UTARA JABATAN : Pemimpin Redaksi FAK/JUR : Tarbiyah/ Pendidikan Bahasa Inggris ALAMAT : Jl.Bambu no 14 Medan NO. TELP/HP : 085261483012 E-mail : nufazee@gmail.com

NURUL FAUZIAH

Page 65

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Seni Arsitek Rang Minang Kabau: Rumah Adat Kampai Nan Panjang, Rumah Adat Indak Bapaku Oleh: Riki Eka Putra Jam 17.00 saya dengan bang Hebby (Pemimpin Umum Tabloid Idealita Ke-2) melaju dengan motor SupraFit merah kesayangannya, kami berangkat dari rumah bang Hebby menelusuri sudut jalan melintasi Jalan Supanjang menuju Rambatan yang merupakan jalanjalan raya yang terdapat di Batusangkar. Kami sengaja mengambil jalan alternatif ini karena dari rumah bang Hebby lebih dekat ke Balimbing. Sebuah kampung yang bernama kampung Balimbing layaknya nama buah-buahan memang tujuan utama kami. Suasana Aman, tentram dan damai menggambarkan sebuah kampung yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kendaraan bermotor Kota Batusangkar dan masyarakatnya yang ramah menjadi ciri khas kampong tersebut. Apalagi dengan adanya berbagai rumah gadang dengan gaya arsitek yang bermacam-macam serta unik dan bangunan-bangunan masjid yang sudah diperbaiki menjadi modern tanpa meninggalkan nilai-nilai religinya melengkapi keindahan kampung balimbing yang lumayan jauh dari pusat Kota Batusangkar . Dalam perjalan kesana saya dan bang Hebby menikmati indahnya sawah-sawah yang terhampar di samping kanan dan kiri jalan. sesaat asyik menikmati pemandangan itu akhirnya 30 menit perjalanan sekitar jam 17.30 kami sampai di tujuan utama kami yaitu mengunjungi kampong belimbing untuk melihat Rumah Adat Indak Bapaku. tanpa pikir panjang saya dan bang hebby memberhentikan mesin motor di luar perkarangan dan kami langsung mengambil beberapa fhoto-fhoto dari luar perkarangan tersebut. Seakan diselimuti oleh langit yang biru dan awan yang putih kampung Belimbing menyambut kedatangan kami. Sekilas dari depan terlihat sebuah rumah gadang dengan cat berwarna hitam, dilihat dari bentuknya rumah gadang ini layaknya rumah gadang biasa yang kita lihat. Namun setelah saya dan bang hebby melangkahkan kaki melewati gerbang memasuki halaman rumah yang bewarna hitam yang terlihat indah dan sederhana itu, Hembusan angin seakan menyambut kedatangan kami dengan sebuah tarian dan seolah menarik kami untuk masuk ke dalam rumah tersebut apa lagi kami sampai di lokasi sudah sore. Penelusuran kami bermulai dengan semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi saya dan bang hebby melangkahkan kaki sambil mengambil beberapa foto dari luar sebelum kami masuk ke dalam rumah tersebut. Tidak ketinggalan saya juga ikut berpose di halaman rumah adat tersebut. Sebuah rumah adat yang sudah cukup tua dengan halaman yang cukup luas dan bersih serta tertata rapi dengan jalan dari gerbang menuju tangga yang tersusun dari batu-batu menambah keindahan dan keunikan rumah adat tersebut serta di tambah lagi dengan suasana sore yang mewarnai keadaan di sekitar rumah adat itu. Rumah adat yang di depannya terhampar luas sawah-sawah serta di apit oleh sebuah rumah gadang lain di sebelah kanan dan kirinya menambah keunikan tersendiri dari rumah adat tersebut. Rumah Adat Kampai Nan Panjang tetapi lebih dikenal dengan Rumah Adat Indak Bapaku itulah nama asli rumah tersebut sebab dari sekian banyak rumah adat yang ada di kampung balimbing hanya rumah ini yang pembuatanya tidak memakai paku. Konon rumah ini di bangun oleh niniak mamak orang balimbing terdahulu sekitar 350 tahun yang lalu tetapi baru diresmikan pada tahun 1990-an oleh suaka purbakala dengan sebutan Balai Palestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, sekaligus dilindungi oleh UU no 5 tahun 1992, yang terdiri dari 9 kamar yang pintunya berbentuk oval, serta atapnya yang terbuat dari ijuk dan di tompang oleh 12 tonggak besar yang tepat berada di dalam ruangannya. Biasanya rumah ini digunakan untuk musyawarah, dan juga untuk pesta hajatan keturunan dari datuakdatuak yang ada di rumah gadang tersebut. Semenjak rumah ini di bangun sampai sekarang sudah 7 keturunan yang memimpin rumah ini salah satunya adalah Datuak Panghulu Basa.

Page 66

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Rumah adat ini merupakan rumah tempat tinggal yang memiliki arsitektur bergaya khas Minang, rumah panggung dengan atap yang bergonjong empat yang masih beratap ijuk. Lantainya yang rata dan tidak beranjung di bagian ujung, dan dinding yang terbuat dari bilah bambu yang bersusun-susun. Sepanjang rumah bagian belakang yang menuju kamar terdapat bagian lantai yang lebih tinggi satu anak tangga membujur serta membentuk huruf U ke ujung kiri dan kanan, mungkin ini digunakan sebagai tempat duduk para pemuka adat saat musyawarah atau rapat. Nampaknya rumah ini masih dipakai untuk berbagai kegiatan. Rumah Adat Tuo yang diperkirakan sudah berumur 350 tahunan ini memiliki 6 ruang yang digunakan sebagai kamar atau bilik. Rumah gadang pada umumnya memiliki ruangan dengan jumlah yang ganjil, seperti 5 ruang, 7 ruang dan 9 ruang. Rumah yang tidak berloteng ini sehingga bagian kangit-langit dari rumah itu terlihat kerangka-kerangka yang menyusun rangka atapnya, kecuali yang di bagian ujung sebelah kiri yang ada loteng seperti loteng tempat penyimpanan. Tepat di kiri dan kanan setelah pintu masuk terdapat peti kayu berbentuk persegi panjang, ukuran panjangnya kira-kira lebih panjang sedikit dari ukuran manusia dewasa yang tidur membujur, mungkin ukurannya sekitar 2 meter, bentuknya seperti peti mati dengan bagian penutup yang bisa dibuka dengan cara mengangkat atau menggesernya. Peti yang dinamakan Aluang bunyian yang terbuat dari kayu jati merupakan tempat penyimpanan baju-baju adat terdahulu dan barang-barang adat lainnya. Tidak jauh dari Aluang Bunyian di bagian kiri dalam rumah terdapat satu ruang terbuka yang agak menyerupai dapur, karena terdapat tungku-tungku yang disusun dari batu. Peninggalan benda-benda beharga dan bersejarah di rumah ini tidak terlalu banyak karena sudah banyak yang dirampas bangsa belanda sewaktu masa penjajahannya, hanya 2 buah Aluang Bunyian yang terletak sebelah kiri dan kanan pintu masuk yang masih tersisa. Sebuah Aguang yang berfungsi untuk memberikan informasi kepada masyarakat kampong belimbing, dan sebuah Kapuak (Tempat Penyimpanan Padi) yang terletak di atas loteng, di sudut ujung lain juga terdapat sebuah kotak unik yang berisi denah daerah balimbing yang tersusun rapi yang masih menghiasi isi rumah adat tersebut. di taman rumah adat ini terdapat batu-batu yang berserakan konon katanya batu itu sudah ada senjak rumah ini berdiri batu itu disebut dengan nama Panta-Panta. Mendengar cerita dari masyarakat sekitar tentang rumah adat itu, saya dan bang hebby ingin masuk kedalam rumah adat tersebut dan melihat secara langsung peralatanperalatan yang terdapat di dalamnya serta bagaimana keadaan di dalam rumah tersebut. Tapi karena waktu yang tidak mengizinkan, dan kami datang juga sudah terlalu sore dan tidak lama lagi adzan magrib yang akan berkumandang kami teerpaksa mengurungkan niat untuk tidak jadi masuk kedalamnya. Dari segi arsiteknya, Atap yang terbuat dari ijuk, lantai yang terbuat dari bambu yang tersusun rapi dan tiangnya terbuat dari kayu yang kokoh serta dinding yang tersusun dari helaian kayu-kayu jati menggambarkan ciri khas asli orang minang. Fungsi dari rumah adat ini pada zaman dahulunya adalah sebagai tempat tinggal oleh niniak mamak beserta keluarga besarnya tetapi karena perkembangan zaman, sekarang rumah ini digunakan untuk tempat bermusyawarah, acara perkawinan, ataupun perkumpulan muda-mudi kampung balimbing dan sekitar. Biasanya untuk mengisi waktu luang para pemuda-pemudi mengisi kegiatan mereka dengan membuat kerajinan tangan yang terbuat dari rotan yang kemudian di pajang di dalam di rumah adat tersebut dengan tujuan agar orang yang berkujung ke rumah adat itu bisa menikmati hasil karya anak-anak kampong belimbing. Tapi karena rumah adat ini sudah tercatat sebagai asset budaya maka apapun yang berhubungan dengan rumah adat tersebut sudah menjadi tanggungjawab pemerintah daerah khususnya suaka purbakala termasuk

Page 67

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

perbaikan-perbaikan rumah adat demi kemajuan wisata-wisata yang ada di balimbing ini khususnya. Sesaat saya dan bang Hebby masih asyik-asyik melihat dan memotret tiba-tiba suara adzan magrib sudah berkumandang, lalu kami memutuskan untuk kembali pulang. Tapi dalam pikiran saya terlintas kenapa orang dulu mampu membuat rumah tanpa menggunakan paku, suatu hal yang tidak pernah terfikirkan lagi oleh orang-orang jaman sekarang sekarang. Jaman sekarang orang-orang pada berebut membuat rumah dari tembok dengan gaya arsitektur-arsitektur modern dan melupakan ciri khas minang itu sendiri. Tidak lama setelah itu sebelum kami meninggalkan lokasi dari luar perkarangan kami bertemu dengan warga yang akan menunaikan shalat magrib. sambil di atas motor saya menyempatkan kembali untuk memotret rumah Adat itu dan kami melaju pulang meninggalkan rumah adat tersebut dengan hati yang masih tersimpan banyak pertanyaan-pertanyaan sekitar isi dalam rumah adat indak bapaku itu.

RIKI EKA PUTRA

TTL : Kd. Melabung 2 September 1990 ASAL LPM : Tabloid Mahasiswa Idealita UNIVERSITAS : STAIN,Batusangkar JABATAN : Redaktur Foto / Layouter FAK/JUR : Syariah/ Manajemen informatika ALAMAT : Batusangkar NO. TELP/HP : 083180674875 E-mail : phiyurizal@ymail.com

Page 68

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pesan Cinta Lewat Serampang Dua Belas Oleh: Rizky Chairani SETIAP acara yang diadakan di Kota Medan, terutama jika dihadiri oleh tamu penting dari luar kota selalu terlihat sesi penyambutan dengan menggunakan tarian. Khususnya tarian Melayu. Yang paling populer adalah tari Serampang Dua Belas. Tarian tradisional ini dinamakan Serampang Dua Belas karena di dalamnya memiliki dua belas ragam gerakan. Dodi Suchairi, salah seorang guru Seni Kebudayaan, bersuku Melayu asli. Biasa disapa Dodi. Menurutnya tari Serampang Dua Belas merupakan tarian tradisional Melayu yang dulunya berkembang di bawah kesultanan serdang. Tari Serampang Dua Belas ini lahir pada tahun 1940-an diciptakan oleh seorang penari bernama Sauti. Ia lahir di daerah Pantai Cermin, Deli Serdang. Tari Serampang Dua Belas awalnya bernama tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu iringan yakni Pulau Sari. Kemudian berganti nama dengan alasan tari Serampang dua Belas bertempo cepat. Sedangkan tarian yang biasanya diikuti dengan nama Pulau Sari bertempo lambat. Dalam tari Serampang Dua Belas diceritakan tentang kisah cinta dua orang insan yang muncul sejak pandangan pertama dan diakhiri dengan ikatan pernikahan. Kemudian keduanya direstui oleh orang tua Sang Dara -sebutan bagi wanita- dan Teruna -sebutan bagi pria- dalam suku Melayu. Oleh sebab itu, tarian Serampang Dua Belas dimainkan secara berpasang-pasangan. Tari Serampang Dua Belas banyak ditampilkan pada saat pembukaan acara. Tentunya ada alasan. Ini sesuatu yang ditaja sebagai penyambutan khusus bagi para tamu. Kisah cinta sepasang insan pada pandangan pertama melambangkan bahwa penyambutan ini diarahkan agar para tamu yang hadir mempunyai kesan yang selalu diingat pada pandangan pertama saat melihat kota ini dengan penyambutan melalui tari-tarian, ujar Dodi sambil mundarmandir mengambil buku-buku pelajaran yang ada dimeja rumahnya. Tampak saat itu ia sedang sibuk. Tidak hanya makna yang tersirat dalam tari Serampang Dua Belas namun ragam gerakan dari tari Serampang Dua Belas juga mengandung makna yang sangat khas. Gerakan permulaan bermakna pertemuan pertama. Gerakan berjalan mempunyai makna adanya cinta yang meresap. Gerakan pusing tari mempunyai makna memendam rasa. Gerakan gila kepayang bermakna mabuk kepayang. Gerakan jalan bersifat bermakna adanya isyarat tanda-tanda cinta. Gerakan gencat-gencat bermakna balasan isyarat cinta. Gerakan sebelah kaki bermakna menduga. Gerakan melonjak bermakna masih belum percaya. Gerakan meloncat bermakna telah memberikan jawaban.

Page 69

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Gerakan datang-mendatangi bermakna melakukan pinangan. Gerakan rupa-rupa bermakna mengantar pengantin untuk bersanding dan gerakan sapu tangan memberi makna bahwa terjadinya pertemuan kasih yang mesra. DI RUANGAN keluarga yang besar dan berwarna hijau muda, Dodi kembali menceritakan tentang tari Serampang Dua Belas sambil menggendong anaknya yang bernama Miftah. Menurutnya banyak nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tari Serampang Dua Belas. Pertama, akulturasi budaya yaitu penggabungan antara budaya Melayu dan juga budaya Portugis yang terdapat di dalam tari Serampang Dua Belas. Kedua, sikap terbuka orang-orang Melayu yaitu keterbukaan orang-orang Melayu terhadap budaya lain. Ketiga, dalam mencari jodoh sepasang anak muda mulai dari pertemuan sampai dengan pernikahan, mengajarkan bahwa dalam memilih jodoh tidak hanya atas dasar kecocokan antara dua orang yang akan menikah, tetapi juga harus berdasarkan persetujuan dari orang tua. Dalam menari Serampang Dua Belas peralatan juga harus dipersiapkan secara lengkap, mulai dari alat musik tradisional yang sekarang sudah mulai diganti dengan alat musik modern. Namun tidak menghilangkan unsur tradisional budaya Melayu, pakaian adat yang biasa digunakan berbahan kain satin. Teluk belanga untuk laki-laki dan kebaya untuk perempuan. Tidak ketinggalan juga untuk menggunakan sapu tangan sebagai alat dalam salah satu gerakan tari Serampang Dua Belas. Masyarakat Medan biasanya menampilkan tarian ini sebagai bentuk penyambutan dan penghargaan. Banyak jenis tarian persembahan yang ada di Medan seperti tari Sigale-Gale, tari Tor-tor dan sebagainya.

RIZKY CHAIRANI

TTL : Medan , 12 Januari 1992 ASAL LPM : Teropong UMSU UNIVERSITAS : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara JABATAN : PPSDM FAK/JUR : Fisip/Ilmu Komunikasi ALAMAT : Jl.Tegal Sari Gg.Kenanga l,lau Dendang,Deli serdang NO. TELP/HP : 085760866766 E-mail : chairani_rizky@yahoo.co.id

Page 70

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Rumah Gadang Alai Tinggal Kenangan Oleh: Rahmadina Putri Zulkarnaen Hanya dengan membaca sepintas judul di atas dapat terbayang sebuah opini apa yang hendak dipaparkan oleh penulis. Rumah gadang pada zaman dulu adalah tempat kegiatan adat-istiadat, berkumpulnya keluarga besar dan menjadi indentitas adat suatu kaum. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi dan tujun itu telah berubah haluan. Dapat dilihat pada kenyataan bahwa jarangnya terlihat kembali aktifikat adat dan kenagarian yang terlibat di dalam rumah gadang. Rumah gadang hanya sebagai bangunan yang lapuk tanpa ada mau yang tinggal Banyak generasi muda sekarang yang larut dengan bangunan modern, akibatnya bangunan lama milik nenek moyang dibiarkan tergerus oleh zaman. Ironisnya, keberadaan bangunan budaya yang katanya bagian dari peradaban manusia, tinggal kenangan tanpa bekas. Sejarah masa lalu itu untuk dilupakan. Padahal Bung Karno mengatakan bahwa jangan pernah melupakan sejarah. Kemauan untuk bisa melihat Rumah Gadang yang ada di masa lalu kemudian membandingkannya dengan rumah gadang yang ada pada masa kini memang butuh sebuah keberanian tersendiri untuk bisa mengakuinya bahwa budaya kita telah bergeser dan hampir tersingkirkan karena derasnya pengaruh era globalisasi serta alasan-alasan lainnya yang menjadi pendukung fakta tersebut. Untuk membuka mata yang terbuka namun tertutup, mari kita lihat pada contoh nyata yang ada di sekitar kita dan khususnya pada kota Padang, Sumatera Barat ini. Contoh nyata yang pertama ada terletak pada Rumah Gadang di Jl. Alai Timur No. 23 Padang, dimana pemilik rumah gadang ini sedang menjalankan perencanaannya untuk mengubah dan merombak rumah gadang secara total menjadi sebuah rumah toko atau yang biasa disebut dengan ruko sehingga tanpa perlu kacamata kuda untuk bisa melihat, mengetahui, dan menilai bahwa nilai dan arti sejarah dari bangunan rumah gadang ini hilang secara total. Lain halnya pada contoh nyata yang ke dua. Sebuah rumah gadang yang terletak di Jl. Teuku Umar, dimana bangunan rumah gadang ini betul-betul dipugar dan dipertahankan keaslian bentuk serta nilai sejarahnya sedemikian rupa sehingga warisan leluhur tersebut masih terpampang secara jelas dan gamblang di depan mata siapapun yang melintasi, melihat dan memandang rumah tersebut. Bercermin pada dua contoh di atas yang sangat bertolak belakang ini, membuat penulis terpekur, merenung, dan bertanya-tanya pada diri sendiri, ada apa sebenarnya ini yang terjadi, sudah berapa lama hal ini terjadi, mengapa bisa terjadi, apa penyebab dari semua ini, apa yang bisa aku perbuat, bagaimana cara aku untuk bisa melakukan dan mengatasinya, mampukah aku serta rentetan-rentetan kalimat tanya lainnya yang terlalu banyak dan panjang untuk bisa penulis ketikkan pada tombol keyboard ini. Perasaan tercabik-cabik dan luka sayatan yang kasat mata seakan dalam terasa. Bahkan terlalu malu untuk berani mengakuinya bahwa kesadaran akan budaya serta kearifan lokal dalam jiwa muda-mudi di Minangkabau khususnya dan di Indonesia pada umumnya memang banyak yang telah terkikis akibat tidak mampu menentang derasnya aliran maupun arusnya globalisasi dan juga bertahan pada alasan-alasan tertentu untuk membenarkan sebuah tindakan yang salah. Perenungan panjang dan pertanyaan tanpa batas memunculkan sebuah titik temu jawaban yang hendak dicapai. Pemikiran dan logika menjawab tanda tanya itu. Menunggu keajaiban datang menghampiri lalu simsalabim kembali ke zaman dahulu kala dimana rumah

Page 71

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

gadang masih berdiri kokoh dan ada dimana-mana tanpa ada perasaan khawatir akan kepunahan dan hilangnya aset itu sama artinya seperti katak berubah menjadi lembu. Terlalu lama dan mustahil untuk bisa berharap dan bergantung pada perhatian pemerintah untuk mengatasi persoalan ini disaat banyaknya kemelut-kemelut politik yang dihadapi oleh pejabat pemerintah. Bukan bermaksud untuk meremehkan pemerintah, namun hanya berbicara pada kenyataan. Lihatlah bagaimana proses maupun birokrasi yang rumit namun harus dilalui untuk mendapatkan hasil akhir yang diharapkan. Namun pada kenyataan yang ada, kekecewaan pada kinerja pemerintah lebih mendominasi daripada rasa terima kasih dan bangga terhadap kinerja pemerintah yang secara garis besar berada pada titik terendah. Andaikata satu orang anak manusia yang memiliki sebuah kunci dan mampu memberikan kesadaran pada anak manusia lainnya, hal yang terjadi pada rumah gadang Alai tentu tidak akan pernah terjadi. Kesadaran, kepedulian, kemauan, dan loyalitas dari jiwa muda-mudi anak bangsa Indonesia serta terkhusus pada anak-anak Minangkabau, untuk mau menjaga nilai sejarah serta kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur pada generasinya merupakan kunci dari bertahannya semua nilai-hilai sejarah ini. Hanya dibutuhkan kunci itu untuk semua bertahan dari kepunahan warisan leluhur dan serta derasnya arus globalisasi yang terjadi saat ini. Tercontoh pada contoh rumah gadang di Jl. Teuku Umar ini. Berharap pada mimpi dan harapan, semoga saja tidak ada lagi rumah gadang yag bernasib sama dengan rumah gadang alai. Dan kisah tentang rumah gadang alai tinggal kenangan benar-benar berakhir pada Jl. Alai Timur no. 23 ini saja. Butuh waktu, proses, dan kunci itu untuk mewujudkan semua ini, sehingga satu hari nanti dengan ada tidak adanya serta hadir tidak hadirnya kita yang sebagai generasi mempertahankan warisan leluhurnya bisa untuk mengangkat dagu dan berkata dengan bangga, lihat, kami berhasil menjaga dan mempertahankan warisan leluhur kami.

Rahmadina Putri Zulkarnaen

TTL : Padang, 5 maret 1990 ASAL LPM : GEMA JUSTISIA UNIVERSITAS : UNAND JABATAN : Pimpinan Usaha FAK/JUR : Hukum / ilmu hukum ALAMAT : Komp.Palimo indah blok c5 NO. TELP/HP : 085263293693 E-mail : preciuos key@yahoo.co.id

Page 72

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Medan Kaya Potensi Budaya Oleh: Siti Isnayni Noor Kesawan.. Membicarakannya terdengar tak asing di telinga warga Medan. Kawasan dengan penuh sejarah penting bagi Medan, tersebut terletak di jantung Medan yaitu bertempat di jalan Ahmad Yani. Ini merupakan jalan tertua di Medan. Tak heran bila wisatawan asing banyak mengunjungi kawasan, karena bangunan tua dengan tekstur Eropa kerap memanjakan penglihatan Kesawan merupakan saksi sejarah Indonesia yang dijajah berabad tahun oleh Belanda sehinga teksturnya masih kental dengan bangunan Negara Eropa. Menurut Sejarahwan Medan, Erond L. Damanik, etnis yang berkumpul di area tersebut lumayan kompleks. Lumayan kompleks etnis di kawasan tersebut, seperti Melayu, Tionghoa, India, Eropa, Jawa dan Batak, kata Erond. Akunya, dengan keberagaman tersebut, jarang sekali menimbulkan konflik. Dulu, masing-masing etnis memiliki pemukiman tersendiri. Tapi, itu hanya batasan pemukiman saja, tidak ada batasan untuk masing-masing etnis memasuki wilayah di luar etnis mereka, lanjutnya. Ternyata setiap etnis pemukimannya tidak menyatu. Dengan kata lain dipisah-pisah, misalnya saja etnis Cina tinggal di Kesawan, keturunan Eropa di Jalan Sudirman, Polonia, orang keling Sebutan khas Medan untuk etnis india di Madras dan pribumi di Sambu. Walaupun demikian, masyarakat dulu saling menghormati dan menghargai tiap etnisnya. Dan sungguh tempat yang strategis untuk menjadi miniatur peradaban Eropa, tambahnya. Hal yang sering dilupakan ketika membicarakan sejarah Medan adalah bahwa mulanya Kesawan dihuni oleh etnis Melayu, kemudian Tionghoa yang berhadang dari Malaka dan menetap di daerah ini sehingga menjadi sebuah Pecinan. Kesawan merupakan suatu tempat strategis untuk memanjakan mata dengan bidikan lensa. Di sebelah kanan dekat gapura masuk Kesawan Squere terdapat rumah Cina kuno besar yang dikenal sebagai Old China Mansion yang merupakan kediaman Tjong Afie, taipan masa lalu dari Tionghoa. Tepat di depannya hampir berhadapan-- terdapat resto Tip Top. Sebuah resto kuno dengan dinding dilapis kayu yang terkenal sejak kolonial Belanda hingga sekarang. Tepat di sebelah kanan sebelum gapura keluar Kesawan Square terdapat sebuah gedung sejarah London Sumatra Lonsum. Biasanya setiap malam akan diramaikan mudamudi untuk sekadar berfose ria bersama kawan. Kawasan Kesawan memiliki tempat makanan ataupun jajanan yaitu Merdeka Walk yang tiap sore-malam setia menjadi wadah untuk melepas penat masyarakat Medan. Erond juga sempat bercerita tentang Istana Maimun yang juga tak luput dari sejarahnya Medan. Istana tersebut bernuansakan Moor, Eropa, Melayu dan juga buah peninggalan Kesultanan Deli yang hingga saat ini masih bertahta. Bangunan ini mencerminkan perkembangan Islam di Sumatera yang telah modern yang tingkat arsitekturnya telah tercampur beberapa unsur budaya dunia. Di salah satu sudut istana, terdapat salah satu bagian dari meriam keramat, yakni Meriam Puntung yang dahulu terbagi menjadi dua, satu di Deli Medan dan satu lagi berada di Tanah Karo. Legenda meriam Puntung ini juga menggabungkan etnis Karo, Melayu dan Aceh. Istana ini masih menampilkan pesona kemegahan masa lalu yang tak lekang oleh masa.

Page 73

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Ketika memasuki Istana Maimun, di ebelah kanan kedua mata akan disuguhi dengan pelaminan kerajaan adab Melayu. Selurusan dari pintu masuk, mata akan dijajali patung yang sedang memakai pakaian khas Melayu. Namun, sebelum sampai ke sana, terlebih dahulu akan disuguhi berbagai benda peninggalan sejarah Melayu. Tapi bagi pengunjung yang ingin mengabadikan moment dengan pakaian adat Melayu bisa menyewanya dengan harga terjangkau. Biasanya saat weekend, banyak pengunjung asing yang berdatangan hanya untuk mengetahui sejarah etnis Melayu dengan dipandu oleh seorang gide.Satu lagi hal menarik jika berbicara bangunan sejarah. Banyak yang beranngapan Masjid tertua di Medan adalah Masjid Raya. Erond menapik tegas dan menyebut cepat sebuah nama, Masjid Al-Osamani. Tuturnya, Masjid Al-Osmani terletak di Pelabuhan Deli, Belawan. Dibangun tahun 1854 sedangkan Masjid Raya yang nama resminya Masjid Raya Al-Mashun dibangun tahun 1906. Bila Masjid Raya memadukan gaya campur sari antara Moor, India, Andalusia dan Eropa sehingga terkenal dengan keindahan ornamen luar dan dalamnya. Sedangkan Masjid Al-Osmani berarsitekturkkan pada peradaban Timur Tengah, India, Spanyol dan Cina. Masjid Raya Al-Mashun merupakan urutan ketiga dari kategori masjid tertua di kota Medan. Masjid Gang Bengkok menempati urutan ke dua. Masjid Gang Bengkok dibangun tahun 1874 yang arsitekturnya memakai etnis Cina. Masjid ini sekilas dilihat seperti vihara.

SITI ISNAINI NOOR

TTL : Tanjung Gading, 26 Februari 1991 ASAL LPM : Teropong UMSU UNIVERSITAS : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara JABATAN : Redaktur Foto FAK/JUR : Fisip/Ilmu Komunikasi ALAMAT : Jl.Bukit Barisan,Gang Gunung Pandan No.1,Medan NO. TELP/HP : 085761278797 E-mail : zi_matsu@yahoo.com

Page 74

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Rumah Tungga, Tolak Privatisasi Pilih Menyendiri Oleh: Sri Wahyuni Sekilas rumah itu terlihat sangat elegan. Cukup besar dibandingkan dengan rumah sejenis yang ada dikampung kami. Punya lima gonjong dibagian atapnya, lima kamar dibagian dalam, satu beranda serta dua buah jenjang di bagian depan tepat di kedua sisi beranda. Sungguh menawan apalagi melihat kombinasi ukirannya yang mulai pudar sangat kontras dengan warna hijau rerumputan di halamannya yang luas. Rumah Tungga (Rumah Tunggal), begitulah biasanya kami menyebutnya. Milik keluarga Datuk Tambosu, suku Tanjung. Merupakan satu dari beberapa rumah gadang (rumah adat Minangkabau) yang masih tersisa di kampung kami. Satu dari dua rumah gadang yang punya karakteristik berbeda karena ukurannya yang lebih besar dari yang lain. Satunya lagi Rumah Banjuang (Rumah Ber-anjungan), milik keluarga Datuk Sati, pucuk pimpinan adat kampung. Kalau dilihat, efek dari perkembangan teknologi dan juga era globalisasi saat sekarang ini, keberadaan rumah gadang khususnya Rumah Tungga cukup unik. Diapit oleh dua buah rumah bergaya modern membuat pemandangan terlihat sangat kontras. Namun sayang, keberadaan rumah Tungga sekarang sepertinya hanya sebagai simbol. Ketiadaan penghuni sepertinya menjadi alasan tidak optimalnya fungsi Rumah Tungga sebagai Rumah Gadang. Sebuah pertanyaanpun timbul, kenapa tidak ada penghuninya? Apakah sekarang orang tidak mau lagi tinggal dirumah gadang? Ataukah ada persoalan lain yang bersifat rahasia dan harus disimpan? Tidak mau terlalu banyak berspekulasi, penulis mencoba sedikit berbincang-bincang dengan beberapa orang warga sekitar. Rumah tu lah tuo, lah lapuak. Ndak elok dipakai lai. (Rumah itu sudah tua, sudah lapuk. Tidak lagi bagus dipakai), begitulah alasan yang diberikan oleh Mak Tuo Jus (53 thn) ketika saya menanyakanm ketiadaan penghuni rumah Tungga. Urang kini lah jaman modern. Ndak bara yang namuah tingga di rumah gadang kini lai (Orang kini sudah jaman modern. Tidak berapa yang mau tinggal di rumah gadang sekarang). Hanya sedikit itu tambahan dari Mak Tuo tentang jawabannya. Sepertinya Mak Tuo tidak mau berkomentar panjang lebar. Mungkin karena Mak Tuo tidak berasal dari Suku Tanjung. Etika dan juga nilai-nilai adat melarangnya untuk berkomentar lebih lanjut. Karena tidak etis untuk ikut campur lebih lanjut urusan kaum lain. Merasa tidak puas, saya mencoba mencari narasumber lain. Makdang Jas (58 thn) merupakan harapan saya untuk dapat mengorek informasi lebih lanjut tentang fenomena Rumah Tungga. Sedikit usaha keras, lobi, sebatang rokok sepertinya cukup berhasil untuk membuatnya mulai bercerita. Sejujurnya saya tidak dapat menangkap secara detail inti permasalahan karena Makdang cenderung berbicara menggunakan perumpamaan dan berkias. Saya yang notabene seorang mahasiswa eksakta yang cenderung berpikir rasional cukup sulit membuat benang merah dari analogi itu. Tapi lambat laun saya bisa menarik sebuah kesimpulan bahwasanya konflik keluarga merupakan pemicu dari kosongnya Rumah Tungga. Ketidak arifan bersikap dan kurangnya solidaritas membuat keputusan hang out dari sana menjadi solusi terakhir. Sangat disayangkan memang. Tapi mengingat rumah gadang suku kami yang hanya punya tiga kamar tidur dan sangat sempit, tentu akan jauh lebih enak jika tinggal di Rumah Tungga. Sekali lagi merasa tidak puas, pencarian narasumberpun kembali dilakukan. Kali ini saya berusaha mewawancarai Tek Ema (46 thn). Beliau seorang wanita paruh baya dari suku Tanjung yang kebetulan masih punya hubungan jauh dengan saya. Wawancara berlangsung

Page 75

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

dengan santai, meskipun sebenarnya saya lebih suka menganggap itu sebagai sebuah perbincangan biasa antara seorang anak dengan eteknya. Cukup lama intro yang saya butuhkan sebagai pendekatan. Hati-hati, segan, takut, semuanya bercampur karena sejujurnya ini baru pertama kali saya lakukan berhubung masalah ini sangat sensitif serta tabu dibahas kecuali disaat musyawarah anggota kaum. Ditambah lagi permasalahan ini juga menyangkut mengenai martabat dan harga diri kaum. Akhir perbincangan saya hanya mendapatkan satu poin penting. Kecemburuan social, itulah inti permasalahan. Rumah Tungga sebenarnya berhak ditempati oleh 4 hindu (kelompok) keluarga. Namun dalam perkembangannya, tiga dari empat hindu tersebut perlahan mulai pindah dan membangun rumah sendiri. Hal ini disebabkan oleh daya tampung dari Rumah Tungga yang cukup terbatas. Namun permasalahannya tidak hanya sampai disitu. Hindu yang masih menempati Rumah Tungga mendapat tekanan dari hindu lainnya. Sindiran menjadi salah satu media bagi mereka untuk menyampaikan aspirasinya, bahwa Rumah Tungga juga milik mereka, tidak hanya milik satu kelompok saja. Hal ini berdampak pada hang outnya penghuni Rumah Tungga. Hingga kini rumah itu tetap berdiri elegan meskipun tiada penghuni, Ironis. Yang namonyo rumah gadang tu ndak surang punyo do. Yang punyo kaum. Tu ndak lo bisa ciek keluarga jo yang huni la. (Yang namanya rumah gadang itu tidak satu orang yang punya. Yang punya kaum. Tentu tidak bisa satu keluarga saja yang menghuni) ungkap Tek Ema menutup perbincangan kami. Tapi ada yang aneh, ketika Rumah Tungga berebut untuk dihuni ternyata rumah gadang Datuk Sinaro suku Lubuk Batang justru kekurangan penghuni. Bahkan saking tidak ada yang mau untuk menghuninya ditawarkan bagi siapapun perempuan di suku tersebut yang telah bersuami dan mau menghuninya boleh menempati hingga anak cucunya. Karena sayang jikalau rumah tersebut nantinya habis dimakan rayap karena tidak terawat. Ba a jo mestinyo lai. Kalau ndak keluarganyo yang mahuni tu sia jo lai. Kok banyak bana kecek beko tu kosong lo rumah gadang. Samo jo Rumah Tungga jadi bisuaknyo. (bagaimana mestinya lagi. Kalau banyak pembicaraan (yang tidak enak) nanti kosong lagi rumah gadangnya. Sama saja dengan Rumah Tungga jadinya, ujar Ibu ketika saya mencoba menanyakan perihal konntradiksi yang terjadi. Tanpa penjelasan lebih lanjut dan gelenggeleng kepala. Itulah bahasa isyarat dari Ibu. Tandanya saya tidak boleh lagi bertanya banyak karena satu dan lain hal yang mau tidak mau harus dimaklumi atas dasar etika adat. Sulit memang berurusan dengan yang namanya adat. Apalagi kalau persoalan itu sangat komplek dan juga berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, nilai-nilai, norma serta harga diri. Dan lagi, ketika kita membahas yang namanya Rumah Tungga, akhirnya kita sampai pada satu kenyataan. Rumah Tungga kembali seperti namanya, tunggal, sendiri (dalam bahasa Minang tungga itu berarti tunggal). Sendiri menanti nasib, harapan, hidup dan juga keputusan di tangan orang-orang yang menjaga wibawa dan juga kebesarannya. Mungkin itu pilihan mereka, namun disisi lain, pilihan alternatif juga tak kalah disayangkan. Pilihan yang harus terpaksa diambil mengingat dan menimbang sesuatu yang bersifat abstrak dalam manifesto sebuah etika nilai dan juga norma adat. Sampai akhirnya, modernisasi dan juga globalisasi menjadi umpan yang cocok untuk dijadikan kambing hitam. Namun terlepas dari itu semua, saya masih bisa berbangga. Ketika orang bangga dengan budaya kita kenapa kita tidak bisa bangga dengan budaya kita sendiri. Meskipun keberadaannya sudah mulai berkurang dan terkadang sekarat menunggu dimakan zaman tapi setidaknya dia masih ada. Ada. Terjepit diantara tembok-tembok beton yang perkasa.

Page 76

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

SRI WAHYUNI
TTL : Batu Taba 1 Agustus 1990 ASAL LPM : Tabloid Mahasiswa Idealita UNIVERSITAS : STAIN Batu Sangkar JABATAN : Pemimpin Redaksi FAK/JUR : Tarbiyah/KI/BK ALAMAT : Batu Taba, Kecamatan Batipuh Selatan NO. TELP/HP : 087791843750 E-mail : phiyurizal@ymail.com

Page 77

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pentingnya Budaya dalam Hidup Oleh: Tiara Mairani Kebudayaan berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultur berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Dalam kaitan ini, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah dan mengerjakan berbagai hal-hal yang menghasilkan budaya. Karena itu kebudayaan sangat beragam. Kebudayaan sering menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan dan dihilangkan, karena mempunyai nilai yang begitu tinggi dalam suatu kelompok. Seperti yang disebutkan bahwa dengan kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban manusia. Kehidupan manusia dalam setiap bangsa dan kelompok suatu etnik manapun mempunyai kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan tersendiri serta mempunyai bentuk kesenian berbeda dalam mengungkapan rasa keindahan. Pengungkapan rasa keindahan itu dengan berbagai cara baik mengekpresikan dirinya dengan seni ukir, seni sastra, dan seni suara. Kesenian adalah unsur penyangga kebudayaan, eratnya kaitan dengan kebudayaan suatu masyarakat sehingga sering digunakan sebagai media penyebar luasan ajaran kepercayaan, disamping sebagai media hiburan. Setiap daerah mempunyai kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan budaya daerah lainnya, seperti budaya Minangkabau berbeda dengan budaya Aceh, Riau dan budaya lainnya. Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau serta daerah rantau Minang. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya. Kebudayaan Minangkabau pada abad ke 18 M, telah mengalami reformasi perubahan dari budaya Hindu-Budha menjadi budaya Islam. Para ulama yang mempelopori perubahan ini, Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh, mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepadasyariat Islam. Reformasi budaya Minangkabau terjadi setelah Perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Walaupun demikian, ada beberapa adat yang masih dipertahankan yang menyesuaikan dengan budaya Islam seperti pembagian harta warisan. Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan turun-temurun yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang diwariskan menurut hukum Islam. Tetapi banyak ulama yang mempertentangkan masalah harta pusaka tinggi dalam hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan kontroversi dari sebagian ulama. Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti taritarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian

Page 78

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

tersebut misalnya, tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan dengan tujuan sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piringmerupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, ada pula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang.Dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario. Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik. Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama. Budaya Minangkabau adalah budaya yang unik dan mengandung nilainilai kebudayaan yang tinggi. Penyebaran masyarakat Minangkabau di Indonesia pun cukup banyak. Selain dikenal sebagai seorang pedagang, orang Minangkabau juga terkenal sebagai penganut agama Islam yang baik. Kebiasaan mencari ilmu kemana-mana dan merubah nasib dengan cara merantau menjadikan orang Minangkabau berhasil dan cukup banyak yang menjadi tokoh kebanggaan bangsa. Tidak akan mungkin diri tetap dikampung, kapan akan berhasil dan menjadi panutan yang berilmu sebagai cadiek pandai yang akan merubah keadaan kampung menjadi lebih maju dan berkembang, semua akan terwujud dengan semangat anak nagari. Maka ketahuilah arti hidup yang sesungguhnya kita pelajari dari adat istiadat untuk menjadi seseorang yang bernilai dimata orang dengan kesenian dan kelebihan yang kita miliki agar kita tidak diremehkan lagi oleh orang lain. Orang lain tidak mudah lagi mengatakan hasil dan semua yang kita miliki adalah miliknya. Seperti Malaysia pernah mengatakan bahwa Rendang dari daerah Minagkabau adalah dari negara mereka. Apakah tidak sakit hati dan kesal kita mendengarnya? Oleh karena itu cintailah hasil karya negara sendiri dan jagalah dengan membanggakan juga hasil karya kita pada orang lain bahwa kita juga bisa lebih dari mereka. Dengan kita selalu mengikuti semua ajaran adat istiadat dan syariat Islam, maka hidup kita lebih berarti dan tahu makna pentingnya budaya dalam hidu

Page 79

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Kontak Budaya di Tanah Betawi Oleh: Umar Mukhtar Dalam Masa penjajahan Belanda di Batavia, perkawinan campur antara orang Betawi dan Belanda memang lazim terjadi. Ini bisa dilihat dari silsilah keluarga para tokoh betawi. Misalnya saja, M. Husni Thamrin, kakeknya berasal dari Inggris. Selainnya, pengarang Mahbub Djunaedi, memiliki nenek yang asli kelahiran Jerman. Gubernur Raffles sendiri memiliki jalinan cinta dengan perempuan pribumi. Dari kontak budaya ini, lahirlah keturunan berasal dari dua kebudayaan, yang biasa disebut orang Indo-Betawi. Dalam tulisan ini, maksud Indo-Betawi mengacu pada orang betawi yang menikah dengan orang Belanda. Mereka sebagai manusia yang lahir dari dua kebudayaan, layaknya koin, memiliki dua sisi. Dua sisi kebudayaan yang menyatu ini, dapat menunjukkan suatu sifat yang lebih menonjol dari keduanya. Kemudian muncul suatu hubungan antara manusia hasil perkawinan kebudayaan, dalam hal ini orang Indo-Betawi, dengan manusia tulen dari satu kebudayaan, yaitu orang Betawi asli. Orang Betawi sendiri memang sikapnya amat terbuka terhadap kawin campur. Menurut mereka, yang penting, si mantu harus mengikuti agama pasangannya, yakni Islam. Betawi tengah, merupakan daerah yang paling banyak perkawinan campurnya. Karena memang orang-orang Belanda kala itu bekerja di perusahaan swasta atau pemerintahan, yang kebanyakan lokasinya berada di Betawi Tengah. Misalnya, daerah seperti Kemayoran, Sawah Besar, Kebon Sirih, dan Kwitang. Daerah tersebut banyak yang mengatakan sebagai potret miniatur komunitas megapolitan. Paling tidak, ada tiga saluran yang menjadikan terjalinnya hubungan antara orang Betawi dan Belanda, yaitu hubungan percintaan, sosial, dan pekerjaan. Dari sini jelas, hubungan percintaanlah yang mengawali hubungan sesudahnya. Betapa tidak, orang Belanda yang datang ke Batavia kala itu adalah para bujangan. Hubungan pekerjaan juga menimbulkan komunikasi antara pribumi Betawi dan orang Belanda. Sebagai pribumi, masyarakat betawi lebih banyak yang bekerja menjadi babu atau pembantu rumah tangga di rumah orang Belanda. Tapi, mereka menjadi babu yang pulang, jarang yang mau menjadi babu nginap. Yang laki-lakinya, ada yang menjadi supir dan kusir. Dalam hal musik, kesukaan antara keduanya hampir sama. Musik keronconglah yang membuat mereka saling bertemu. Tapi orang Indo tidak begitu menyukai alat musik tanjidor, rebana, gambang kromong, dan orkes harmonium. Dari aspek bahasa, banyak pengaruh asing yang dibawa orang Indo, seperti istilah-istilah musik. Diantaranya, pales yang berasal dari kata vals, dan mol yang mengacu pada nada mol. Melalui Sepak bola Masyarakat Betawi dan Indo sama-sama menyukai sepak bola. Hingga pada zaman sebelum perang dunia II, banyak didirikan komunitas sepak bola. Betawi dan Indo-Betawi berbaur dalam komunitas tersebut. Klub seperti BVC dan VIOS didirikan oleh orang belanda totok atau indo. Orang betawi juga mendirikan komunitas seperti Tjahaya Kwitang, de Bruiner (si sawo matang), Sinar Kernolong, dan Sentjaki. Namun, meski didirikan secara berpisah, setelah kemerdekaan ada pula orang Betawi yang masuk komunitas sepak bola Indo. Begitu juga sebaliknya. Kontak kebudayaan dari aspek bahasa antara keduanya bisa dilihat dari penyerapan bahasa yang digunakan orang Indo ke dalam bahasa Betawi. Seperti henbal, dobrak, syut,

Page 80

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

oper, dribel, dan senter (sengaja menendang orang dengan keras). Kata-kata ini masih digunakan banyak orang sampai sekarang. Bagi perempuan Indo, permainan bola basket lebih disukai. Tapi, tidak untuk kaum perempuan Betawi. Mereka lebih suka menontonnya dari bermain. Permainan ini sering dilakukan di lapangan Balai Kota dekat monas- dan lapangan Banteng. Meski hanya latihan, lapangan itu ramai dengan para penonton. Jelas, yang menontonnya adalah para lelaki yang ingin melihat perempuan Indo yang memakai celana short celana ketat yang pendek- saat latihan. Mungkin ini indikator munculnya kata mata keranjang. Karena pada saat menonton permainan tersebut, para penonton fokus memperhatikan penampilan para perempuan Indo-Betawi. Hening situasinya, dan hanya sedikit yang memberikan tepuk tangan. Beda Penampilan Kebiasaan orang Betawi dalam berpenampilan berbeda dengan orang Indo. Saat bersantai, mereka memakai kolor -celana pendek yang panjangnya tidak sampai lutut-, karena jenis celana ini terlihat lebih santai dan dapat mengatur sirkulasi udara, sehingga adem saat dipakai. Lama-kelamaan, karena celana ini lebih mudah bau orang betawi menyebutnya bau bacin-, maka mereka beralih ke jenis celana dalam yang biasa disebut kancut. Kancut sering dipakai orang Indo saat berenang. Sepertnya ini memunculkan kepercayaan diri tersendiri saat orang Betawi memakainya. Selain itu, sebagian orang Betawi, terutama kaum bapak, memakai setelan celana batik yang panjangnya melebihi lutut. Lalu atasannya memakai kaos berkancing warna putih, peci, dan gesper lengkap dengan dompet, tempat menyimpan tembakau, dan terompah (alas kaki yang terbuat dari kulit) sebagai alas kaki. Penampilan ini berbeda dengan apa yang dipakai oleh orang Indo. Jika mau keluar rumah, mereka mesti bersepatu dan berkaos kaki, yang biasa disebut stiwel, yaitu kaos kaki yang panjang. Juga tidak ketinggalan dengan ikat pinggang, atau mereka menyebutnya band. Selampe atau sapu tangan, pun selalu ada di kantongnya. Jika malam hari, orang Indo biasa memakai syal. Kalau kata orang Betawi, Endo kagak kepengen badannye soak. Sebelum Perang dunia II muncul, perempuan Indo suka memakai pakaian kebaya. Tapi, saat celana jeans muncul, kebaya mulai ditinggalkan perempuan indo. Banyak orang betawi yang bilang bahwa penampilan orang Indo itu neces dan resik. Penampilannya amat rapi. Rambut dan kumisnya klimis. Mereka lebih menyukai rambut pendek. Kalau pun ada yang memanjangkan rambut, tidak sampai gondrong. Model rambut yang ditunjukkannya adalah belah pinggir dan belah tengah. Model rambut yang menjadi favorit orang Betawi saat itu adalah setik. Hanya bagian pinggirnya saja yang dicukur tipis. Gaya model rambut ini dipopulerkan bintang film malaysia tahun 1950-an, P. Ramlee. Perempuan Indo banyak yang rambutnya dikeriting, dan mereka pun rajin ke salon. Saat itu, perempuan betawi tidak begitu suka pergi ke salon. Mereka lebih memilih membiarkan rambutnya panjang terurai. Sebagian mereka ada yang suka mengepang rambutnya, dikepang satu atau dua.

Page 81

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

UMAR MUKHTAR

TTL : Jakarta, 08 September 1990 ASAL LPM : Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UNIVERSITAS : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah JABATAN : Redaktur Pelaksana FAK/JUR : Fakultas Adab dan Humaniora,Jurusan Ilmu Tarjamah ALAMAT : Jl.Surilang Rt 003/01 No.46A Kel.Gedong Kec.Pasar Rebo NO. TELP/HP : 085718363281 E-mail : al_mukhtar75@yahoo.com

Page 82

Anda mungkin juga menyukai