Anda di halaman 1dari 5

Topik : Aspek-aspek hukum pengelolaan kawasan pemukiman di daerah yang terintegrasi dengan Perda tentang pengelolaan taman kota

(biasa disebut ruang terbuka hijau) di Daerah, DAS, kawasan wisata seperti Bandung atau terkait dengan sistem transportasi seperti Jakarta atau transnasional seperti kota Batam di Kepulauan Riau. BAB I Pendahuluan Secara nasional dalam perundang-undangan Indonesia masalah dampak nasional yang bersifat lintas batas nasional (transnasional) telah diatur antara lain dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Secara umum konsepsi pengaturan hukum yang bersifat transnasional telah berkembang di Indonesia sejak tahun 1970 an. Perkembangan ini mengalami peningkatan sejak peristiwa kandasnya kapal tanki Showa Maru pada tahun 1975 yang mendorong terbentuknya kaidah-kaidah hukum lintas batas nasional (transnasional). Pada saat itu Indonesia yang menyadari keadaan lingkungan alaminya potensial bagi masalah lingkungan lintas batas mulai meratifikasi beberapa konvensi internasional yang bertalian dengan dampak lingkungan laut yang bersifat lintas batas, seperti Civil Liability Convention 1969 dan Pembentukan Dana Internasional (Internasional Fund) 1971 masing-masing dengan Keppres No. 18 dan No. 19 Tahun 1978 dan MARPOL 1973 dengan Keppres No. 15 Tahun 1985 yang semuanya merupakan konvensi-konvensi IMCO dan ICLOS-82 dengan UU no. 17 Tahun 1986. Disamping tindakan pemerintah untuk meratifikasi konvensi-konvensi internasional tentang pencemaran laut yang dampaknya bersifat lintas batas (transnasional), pemerintah Indonesia juga mengadakan kesepakatan dengan negara-negara tetangga dalam ASEAN Treaty pada tahun 1985 dan Persetujuan Tiga Negara di Selat Malaka dan Selat Singapura yang dikenal sebagai Tripartite Agreement tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut di Selat Malaka antara Indonesia, Malaysia dan Singapura sejak tahun 1971 dan terakhir pada tahun 1977 dengan diterimanya kesepakatan ketiga negara tentang Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Malaka oleh IMCO berdasarkan Resolusi IMCO No. A. 3759 X pada tanggal 14 November 1977. BAB II Permasalahan Indonesia sebagai negara Kepulauan yang memiliki luas laut wilayah nasional dengan panjang garis pantai kedua terpanjang di dunia dalam melakukan pengaturan hukum terkait dampak lingkungan yang bersifat transnasional sangat penting untuk dilakukan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai kasus-kasus pencemaran oleh minyak di laut (transnasional di kota Batam, Kepulauan Riau), sebab masalah inilah yang telah mendapat perhatian luas dan ketentuan hukumnya baik secara nasional maupun internasional dianggap telah berkembang dengan baik. Permasalahan yang ada akan dianalisis melalui sudut pandang Hukum Lingkungan melalui UUPLH dengan memperhatikan baku mutu lingkungan dalam pengertian menjamin pelestarian fungsi lingkungan. BAB III Pembahasan Beberapa prinsip pencemaran lintas batas nasional telah dikembangkan untuk memecahkan masalah dampak lingkungan lintas batas. Prinsip ini pada dasarnya berusaha mencapai

keseimbangan (fair balance) antara hak dan kewajiban antarnegara yang terlibat dalam masalah lingkungan yang bersifat transnasional. Prinsip ini juga dikembangkan sejalan dengan perkembangan dari prinsip-prinsip yang dibuat oleh organisasi internasional lainnya. Salah satu bentuk gagasan yang telah banyak mempengaruhi pemikiran dampak lingkungan lintas batas adalah Rekomendasi OECD tentang Principles Concerning Transfrontier Pollution yang ditetapkan pada tanggal 14 tahun 1974. Dalam rangka pengembangan prinsip ini, arti pencemaran dirumuskan sebagai : The introducion by man, directly or indirectly, of substances or energy into the environment resulting in deleterious effect of living resources and ecosystems, and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of environment. Pengertian pencemaran dalam arti ini kecuali ditetapkan lain dimaksudkan dengan pencemaran yang berasal dari suatu negara yang menimbulkan akibat di negara-negara lain. Atas dasar pengertian di atas, pencemaran lintas batas nasional atau lazim pula disebut sebagai transfontier pollution adalah : Pollution of which the physical origin is wholly or in part situated within the territory of one State and which has deleterious effects in the territory of another State. Tanggung jawab negara terhadap dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasional diadopsi oleh Prinsip 21 Deklarasi Stockholm yang berbunyi : States have,. . . the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national juridiction. Atas dasar prinsip diatas, negara-negara diwajibkan untuk menjaga agar dalam kegiatan di daerahnya sebagai equitable balance of their rights and obligations dilaksanakan hingga kawasan (zones) yang termasuk lingkup masalah dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasinanal. Dalam prinsip di atas, negara berkewajiban untuk : a) Memperhitungkan tingkat pencemaran yang terjadi berdasarkan baku mutu lingkungan, sifat dan jumlah pencemar, daya asimilasi lingkungannya, dengan mempetimbangkan sifat khusus dan peruntukan lingkungan yang terkena. Kegiatankegiatan di sumber pencemar, keadaan, ragam penggunaan dan pengembangan kawasan dilihat dari aspek sosial budaya. b) Memberikan batasan dari baku mutu lingkungan yang hendak dipertahankan dan upaya mencegah pencemarannya. c) Mendorong terbentuknya pedoman tata guna tanah yang berwawasan lingkungan dan dampaknya pada aspek sosial budaya. d) Membuat peta keadaan pencemaran yang bersifat toksis disertai dengan upaya mencegah buangan limbahnya, apabila perlu dilakukan tahap per tahap dan daftar pencemar lainnya yang memerlukan pengaturan yang ketat. Negara-negara diharuskan mengambil upaya mencegah terjadinya peningkatan pencemaran yang bersifat lintas batas nasional, termasuk perkiraan batas waktu yang dijadikan upaya mengurangi atau menghilangkan pencemaran lintas batas nasional. Di Indonesia sendiri, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menggantikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPLH) yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Berbeda dengan UU sebelumnya, UUPPLH memberikan suatu prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik dan Undang-Undang ini pun mengatur keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup, kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah serta penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium. Adapun sistematika UUPPLH ini yaitu terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UUPLH bagian umum butir 3 disebutkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/ atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/ atau kebijakan, rencana, dan/ atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Dalam UUPLH Pasal 1 ayat 13, baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (Pasal 1 ayat 14). Pasal 13 UUPLH menyebutkan bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lain pengendalian: a. pencemaran air, udara, dan laut; dan b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.

Menurut Pasal 20 UUPLH disebutkan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. Baku mutu air; Yang dimaksud dengan baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. b. Baku mutu air limbah; Yang dimaksud dengan baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air. c. Baku mutu air laut; Yang dimaksud dengan baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. d. Baku mutu udara ambien; Yang dimaksud dengan baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. e. Baku mutu emisi; Yang dimaksud dengan baku mutu emisi adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. f. Baku mutu gangguan; Yang dimaksud dengan baku mutu gangguan adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. BAB IV Tantangan dan Peluang Keberlanjutan memerlukan integrasi antara ekonomi, sosial dan lingkungan yang berarti menghubungkan pencapaian kemajuan ekonomi yang kita perlukan saat sekarang sejalan dengan kemajuan lingkungan dan sosial. Untuk mencapai integrasi ketiga hal tersebut merupakan tantangan, dan diperlukan cara pendekatan baru untuk mencapai konsep keberlanjutan. Cara baru yang dilakukan yakni dengan bentuk pemikiran transdisiplin yang fokus pada hubungan diantara satu bidang dengan bidang lainnya dan isi bidang itu sendiri, dengan mengembangan konsep baru, metode-metode dan alat alat yang terintegerasi dan sintetis, sehingga akan menghasilkan synergi. Berdasarkan pasal 7 UU No. 4 tahun 1982 tentang KKPPLH, maka setiap izin usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dan kewajiban ini dicantumkan dalam setiap izin. Berbeda dengan Pasal 7 UU No. 4 tahun 1982 yang mengatur keterkaitan izin usaha dengan keharusan memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup secara umum, UULH-97 telah

mengatur persyaratan lingkungan secara lebih baik. Selain mengatur keterkaitan izin dengan proses Amdal, juga memuat syarat dan kewajiban melakukan pengendalian dampak lingkunga (Pasal 18 Ayat 3) dan kewajiban untuk memperhatikan rencana penataan ruang, pendapat masyarakat, pertimbangan dan rekomendasi pejabat instansi terkait serta kewajiban untuk mengumumkan keputusan tentang izin kegiatan (Pasal 19). Karena hingga sekarang wewenang untuk memberikan izin usaha terkait dengan berbagai patokan dan syarat-syarat tentang perlindungan lingkungan dalam perundang-undangan secara sektoral, mekanisme kelembagaan dalam pelaksanaan baku mutu lingkungan secara terpadu perlu dikembangkan. Keseimbangan antara perkembangan ilmu dan teknologi di satu pihak dan kemampuan lingkungan untuk menopang pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dengan memperhatikan keampuan daya dukung lingkungan untuk memikul perubahan lingkungan (asimilative capacity) dan mengembangkan teknologi untuk mengurangi dampak lingkungan negatifnya, kemampuan lingkungan untuk menpang pembangunan dapat ditingkatkan. BAB V Penutup Berdasarkan analisis pasal UUPLH tentang pengertian menjamin pelestarian fungsi lingkungan dengan memperhatikan baku mutu lingkungan hidup sebagai kriteria perbuatan melawan hukum dengan argumentasi kerusakan dan atau pencemaran lingkungan dalam aspek transnasional disebutkan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Maka setiap negara yang saling berbatasan wajib membuat Undang-Undang mengenai baku mutu lingkungan hidup negaranya masing-masing. Dampak kegiatan yang bersifat transnasional juga telah diatur dalam UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Prinsip ini pada dasarnya berusaha mencapai keseimbangan (fair balance) antara hak dan kewajiban antarnegara yang terlibat dalam masalah lingkungan yang bersifat transnasional. Pemakaian teknologi dapat menunjang pembangunan agar dampak negatif bisa diminimalisir namun pembangunan tetap dilakukan.

DAFTAR ACUAN Silalahi, M. Daud. 1996. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Penerbit : Alumni. Bandung. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Berbagai Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri.

Anda mungkin juga menyukai