Anda di halaman 1dari 5

EFEK SAMPING KOSMETIKA PADA PEKERJA SALON KECANTIKAN DI DENPASAR

Fransisca S Kusumawati, I Putu Kurniawan Dhana S, Nyoman Suryawati, IGA Sumedha Pindha, Made Wardhana Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unud/RS Sanglah, Denpasar, Bali ABSTRAK Latar belakang: Di negara maju efek samping kosmetik masih tergolong kecil karena penerapan pemakaian alat pelindung diri, namun di Indonesia mempunyai jumlah kasus dermatitis kontak yang signifikan dengan berbagai variasi dermatosis. Hal ini dapat tampak sebagai dermatitis kontak alergi, fotodermatitis, dermatitis kontak irritan, urtikaria kontak, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, depigmentasi, kerusakan rambut dan kuku. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menghimpun data epidemiologi tentang pola kelainaan kulit pada pekerja salon kecantikan di Kodya Denpasar, karena kita belum memiliki data yang lengkap. Cara kerja: Dua ratus empat belas beautisian dan penata rambut diikutkan dalam penelitian ini yang berasal dari beberapa salon kecantikan besar di Denpasar, yang teridiri dari 196 (91,6 %) perempuan dan 18 (8,4 %) laki-laki. Hasil: Ditemukan bahwa dari 214 pekerja salon, 59 orang (27,6 %) menderita efek samping kosmetika, terutama mereka yang melakukan pekerjaan sebagai penata rias dan penata rambut. Manifestasi kulit yang paling sering dijumpai adalah dematitis kontak iritan kronis 22 orang (37,3 %) dan disusul dengan dermatitis kontak iritan akut 17 orang (28,8 %). Beberapa dari mereka dan yang menderita urticaria kontak dilakukan tes tempel untuk mengetahui bahan penyebabnya. Kesimpulan: Pekerja salon yang melakukan pekerjaan sebagai penata rias dan peneta rambut paling sering mengalami efek samping kosmetika. Manifestasi kulit yang paling sering adalah dermatitis kontak iritan kronis. Kata kunci: Efek samping kosmetika, Dermatitis kontak, Salon kecantikan ADVERSE REACTIONS TO COSMETICS AMONG BEAUTICIANS IN DENPASAR Fransisca S Kusumawati, I Putu Kurniawan Dhana S, Nyoman Suryawati, IGA Sumedha Pindha, Made Wardhana Dept. of Dermato-venereology Udayana Medical Faculty/Sanglah General Hospital, Denpasar ABSTRACT Background: Adverse reaction to cosmetics constitute a small but significant number of cases of contact dermatitis with varied appearances. These can present as contact allergic dermatitis, photodermatitis, contact irritant dermatitis, contact urticaria, hypopigmentation, hyperpigmentotion or depigmentation, hair and nail breakage. Purpose of study: This study was undertaken to provide epidemiological data regarding pattern of dermatoses among beauty salon workers in Denpasar as capital of provincy of Bali. Subject and Methods: Tow hundreds and fourteen beutician/hairdresser in beauty salon workers from some selected beauty salon or beauty house in Denpasar in Denpasar, consit of 196 (91,6 %) females and 18 (8,4 %) males workers, were examined for various dermatoses. Results: It was found that from 214 beauty salon workers, 59 (27,6 %) with adverse cosmetics reaction as various skin manifestation, particullary workers who done asa hairdresser and beauticians. The most common skin manifestation is chronic iritan contact dermatitis (37,3 %) and followed by acute iritant contact dermatitis (28,8 %). Some of them and workers with contact urticaria was done patch test to find the cause of adverse reaction. Conclusion: The most common adverse effects of cosmetics was found in workers who as beautician and hairdresser and common skin manifestation is chronic iritan contact dermatitis. Key words: Adverse effect to cosmetics, Contact dermatitis, Beauty salon

=========================================================================== PENDAHULUAN Secara umum yang dimaksudkan kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan pada, dimasukkan kedalam, dipergunakan pada tubuh dan bagian-bagiannya dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau merubah wajah dan tidak termasuk golongan obat. Sedangkan obat adalah bahan atau zat kimia atau benda yang dipakai untuk diagnosa, pengobatan dan pencegahan suatu penyakit serta dapat mempengaruhi struktur dari faal tubuh. Menurut

17

kegunaannya, kosmetika dibagi dalam: 1. kosmetika untuk pemeliharaan kulit yaitu: pembersihan (cleansing), pelembab (moisturizing), perlindungan (procteting), penipisan (thinning), 2. kosmetika untuk rias dan wewangian.1,2 Dengan semakin majunya tingkat pendidikan masyarakat, bertambahnya penghasilan serta pengaruh media masa, masyarakat semakin memperhatikan kesehatan dan estetika kulit, hal ini berdampak pada kebutuhan akan perawatan kulit. Konsekwensinya adalah bertambahnya rumah-rumah kecantikan (salon) dan penata rambut, yang kini sudah menjadi kebutuhan masyarakat, bukan saja di kota, namun telah merambah ke pedesaan. Sejalan dengan bertambahnya produk-produk perawatan kulit yang semakin banyak, maka efek samping kosmetika (ESK) cendrung meningkat dari waktu ke waktu. Di negara maju efek samping kosmetik masih kecil karena kesadaran pemakaian alat pelindung diri yang cukup tinggi, namun di Indonesia kasus dermatitis kontak akibat ESK cendrung meningkat dengan berbagai variasi klinis seperti, dermatitis kontak alergi, dermatitis kontak irritan akut/kronis, fotodermatitis, urtikaria kontak, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, kerusakan rambut, kuku dan sebagainya. Dari kepustakaan, bahan yang paling sering menimbulkan efek samping adalah oxidative hair dyes atau semir rambut dan permanent wave primary solutions yang dipakai untuk mengolah bentuk rambut. Formula tersebut mengandung PPD (pphenylenediamine ) dan PTD (p-tuloenediamine). Zat ini merupakan sensitizer yang kuat.3,4 Tidak ada angka pasti tentang prevalensi ESK pada pekerja salon/penata rambut, umumnya, kosmetika terdiri dari 95 % bahan dasar dan hanya 5% bahan aktif, bahkan kadang-kadang tidak mengandung bahanbahan aktif, sehingga efek kosmetika tidaklah ditentukan oleh bahan aktifnya, tetapi terutama oleh bahan dasarnya.5 Namun akhir-akhir ini banyak produk beredar di pasaran yang disebut kosmetik medik (medicated cosmetics), suatu gabungan dari kosmetika dan obat atau bahan aktif. Bahan aktif yang sering ditambahkan seperti, antibiotika, anti acne, anti pruritus, hidroquinone, asam tretinoat, asam alfa-hidroksi dan lainnya yang peredarannya tidak terkontrol sehingga sering menimbulkan efek samping. Oleh karena kurangnya data mengenai ESK pada pekerja salon kecantikan, maka penelitian ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi dan bentuk klinis ESK dikalangan pekerja salon/penata rambut. MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan surve bersifat eksploratif, dengan pendekatan cross-sectional (potong lintang) dengan mengukur beberapa variabel dalam satu periode waktu terhadap pekerja salon. Subjek penelitian (responden) adalah pekerja pada salon di beberapa ruas jalan protokol kodya Denpasar. Cara menentukan salon yang akan diteliti dengan cara acak sederhana (simple ramdom sampling). Setiap pekerja salon yang diteliti diberikan informasi tentang maksud dan tujuan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kunjungan dan wawancara tersruktur, pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya ESK. Diagnosis ESK ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan tanda-tanda radang (dermatitis), terutama daerah tangan pekerja salon. Variabel yang diukur adalah: jenis kelamin, umur, lamanya bekerja, rata-rata menangani klien setiap hari, lama keluhan yang timbul, lokasi lesi, bentuk lesi, adanya riwayat alergi, jenis kosmetika yang paling sering digunakan dan pemakaian alat pelindung. Data dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel. HASIL Selama 3 bulan penelitian, hanya 20 rumah kecantikan (salon) yang dilibatkan. Setiap salon menampung tenaga kerja 5-10 orang, jumlah seluruh pekerja salon (beautisian) sebanyak 214 penata rias dan penata rambut dalam penelitian ini, dari jumlah tersebut ditemukan sebanyak 59 kasus (27,2 %) yang mengalami ESK. Secara umum karateristik responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

18

Tabel 1. Karateristik umum responden


Laki-laki Umur(th) <20 20-29 30-39 40-49 > 50 Jumlah Pendidikan SD SLTP SLTA/SMU Perg. Tinggi Jumlah Pekerjaan a. Tata rias b. Penata rambut c. a dan b Jumlah Lama bekerja < 1 tahun 1-3 tahun > 3 tahun Jumlah Klien per hari < 5 klien > 5 klien Jumlah Menderita ESK Ya Tidak Jumlah Riyawat Atopi Ada Tidak ada Jumlah Lokasi Jari-jari Telapak tangan Punggung tangan Campuran Jumlah 3 8 7 18 1 6 9 2 18 6 4 8 18 3 11 4 18 7 11 18 8 10 18 12 6 18 9 4 3 2 18 Perempuan 7 29 82 70 8 196 9 83 91 13 196 53 45 98 196 54 97 45 196 92 104 196 51 145 196 117 79 196 75 47 38 36 196 Jumlah (%) 7 32 90 77 8 214 10 89 100 15 214 59 49 106 214 57 108 49 214 99 115 214 59 (27,6) 155 (72,4) 214 129 85 214 84 51 41 38 214

19

Dari 214 orang responden 18 orang laki-laki (8,4 %) dan 196 orang perempuan (91,6 %), dengan usia antara 17-38 tahun, yang terbanyak adalah kelompok usia 30-39 tahun sebanyak 90 orang (42,0 %). Tingkat pendidikan yang paling banyak adalah setingkat SLTA/SMU, 100 orang (46,7 %). Pekerjaan yang dominan dikatagorikan dalam, tata rias, penata rambut dan ke duanya, paling banyak beautisian melakukan pekerjaan ke duanya, setiap seorang beautisian menangani kurang dari 5 klien sehari sebanyak 99 orang (46,3 %) dan lebih dari 5 klien 115 (53,7 %). Lamanya bekerja bervariasi, dibagi menjadi 3 interval yaitu dengan lama kerja kurang dari 1 tahun, antara 1-3 tahun, dan lebih dari 3 tahun. Lama kerja yang paling banyak adalah 1-3 tahun sebanyak 108 orang (50,5 %). Penelitian yang dilakukan oleh Dogra (2003) mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penelitian ini.6 PEMBAHASAN Dari semua beautisian ditemukan 59 orang (27,2 %) kasus dengan ESK berupa dermatitis kontak iritan akut (DKI-a), dermatitis kontak iritan kronis (DKI-k), dermatitis kontak alergi (DKA) dan urtikaria kontak (UK). Untuk menegakkan diagnosis klinis tersebut hanya berdasarkan gambaran klinis dan anamnesis saj. Disebut DKI-a bila waktu terjadinya baru, tidak lebih dari 4 minggu dengan gambaran klinis kulit tampak eritem, sedikit udem, disertai sedikit gatal yang menyengat, DKI-k bila sudah terjadi lebih dari 4 minggu, dengan gambaran klinis kulit tampak sedikit menebal (hiperkeratosis) dan likhenifikasi dengan sedikit gatal, DKA terjadinya tidak lebih dari 4 minggu, tampak udem eritema, papulo-vesikula, disertai rasa gatal, urtikaria kontak bila lesi dominan berupa urtika. Pada penelitian terdiri dari, DKI-a 17 orang (28,8 %), DKI-k 22 orang (37,3 %), DKA 15 orang (25,4 %) dan UK 5 orang (8,5 %). Tabel 2 menunjukkan hubungan antara tipe ESK dengan riwayat atopi, lama kerja dan jumlah klien yang ditangani sehari.

Tabel 2. Distribusi efek samping kosmetik berdasarkan jenis, riwayat atopi, lama kerja dan jumlah klien per hari.
DKI-a (17) 28,8 % 2 15 10 7 5 8 4 10 7 DKI-k (22) 37,3 % 4 18 14 8 5 9 8 15 7 DKA (15) 25,4 % 3 12 9 6 3 7 5 11 4 UK (5) 8,5 % 1 4 3 2 4 1 3 2 Jumlah 10 49 36 23 13 28 18 39 20

Jenis Riwayat atopi Lama kerja

Jumlah klien

Laki-laki Perempuan Ada Tidak ada < 1 tahun 1-3 tahun > 3 tahun <5 >5

Jumlah pekerja yang terbanyak mengalami dermatitis adalah pekerja dengan lama kerja 6 bulan sampai 1 tahun yaitu sebanyak 17 orang (50%). Pada kelompok perempuan keluhan tertinggi terjadi pada pekerja yang lama kerjanya 6 bulan sampai 1 tahun yaitu sebanyak 16 orang, sedangkan laki-laki banyak mengenai kelompok pekerja yang lama kerja kurang dari 6 bulan yaitu 3 orang Berdasarkan lokasi lesi, 28 pekerja (82,35%) mengeluh dermatitis pada jari-jari tangan dan ini terjadi pada kelompok perempuan dan laki-laki yaitu perempuan sebanyak 23 orang dan pada laki-laki sebanyak 5 orang. Penelitian oleh Lind (2004) mendapatkan bahwa dari 98 penata rambut yang diwawancarai dan diperiksa kebanyakan pekerja mengeluh dermatitis pada metacarpophalangeal atau pada jari-jari tangan dan disebabkan oleh cat rambut dan bahan pelurus rambut.7 Berdasarkan riwayat alergi, pada laki-laki jumlah pekerja yang mengeluh dermatitis dengan riwayat alergi dan tidak ada riwayat sama yaitu 3 orang ( 8,82%). Pada perempuan pekerja yang mengeluh dermatitis tanpa riwayat alergi paling banyak yaitu sebanyak 20 orang ( 58,83%). Pasien dengan riwayat alergi seperti asma, rhinitis alergika dan dermatitis atopi cenderung lebih mudah terkena dermatitis, khususnya pada orang

20

dengan riwayat atopi diperkirakan risiko relatif untuk mendapatkan dermatitis akibat kerja sekitar 3,1. Banyak bukti yang menyokong bahwa penderita dengan dermatitis atopik terdapat kerusakan yang dini pada fungsi pertahanan kulit yang ditandai oleh meningkatnya TEWL (transepidermal waterloss) menurunnya kekuatan dari stratum korneum untuk mengikat air.4 Urtikaria kontak (UK) merupakan kasus yang sangat jarang, dalam kepustakaan dinyatakan bahwa UK lebih sering terjadi pada pekerja penata rambut terutama semir.7 Beberapa dari mereka yang menderita urtikaria kontak dilakukan tes tempel untuk mengetahui bahan penyebabnya. SIMPULAN Dari 214 beautisian, 59 orang (27,6 %) menderita efek samping kosmetika, terutama mereka yang melakukan dua pekerjaan; penata rias dan penata rambut. Manifestasi kulit yang paling sering dijumpai adalah dematitis kontak iritan kronis 22 orang (37,3 %) dan disusul dengan dermatitis kontak iritan akut 17 orang (28,8 %), 15 (25,4 %) orang dengan dermatitis kontak alergi dan 5 orang (8,5 %) dengan urtikaria kontak. Tiga puluh satu orang (52,5 %) mempunyai riwayat alergi. Mengingat angka kejadian ESK pada beautisian, kiranya perlu edukasi untuk pemakaian alat pelindung diri untuk mengurangi angka kesakitan.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Peate WF. 2002. Occupational Skin Disease. American Family Physician; 66[6]: 1025-1032 Leino T. 2001. Epidemiology of Skin and Respiratory Diseases among Hairdressers. Academic Dissertation. Medical Faculty of the University of Helsinki. Xie,Zhenlin, Hayakawa,Ritsuko, Sugiura,Mariko, Kato,Yoshimi, Takeuchi,Yasuhiro. 1998. Occupational contact dermatitis in hairdressers. Environ Dermatol:5,216-222. Neena K. 1997. Hand Dermatitis in Beauticians in India. IJDVL; 63[3]: 157-161 Hodges JE. 1996. Hazadous Substances in the Hairdressing and Beauty Industry. Department of Training and Industrial Relations. Queensland Government. Dogra A, Minocha YC and Kaur S. 2003. Adverse Reactions to Cosmetics. IJDVL: 69[2]: 165-167 Lind ML, Boman A, Surakka J, et al. 2004. A Method for Assessing Occupational Dermal Exposure to Permanent Hair Dyes. Ann. Occup. Hyg; 48[6]: 533-539

21

Anda mungkin juga menyukai