PENDAHULUAN Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit yang kronik-residif dapat mulai sejak usia dini, umumnya bersifat familiar dengan gejala klinis yang khas dan disertai rasa gatal. Selain gejala pada kulit juga dijumpai gejala lainnya seperti gangguan sekresi kelenjar keringat, rentan terhadap infeksi bakteri dan gangguan vaskuler. Dermatitis atopik merupakan penyakit multifaktorial dengan mekanisme hipersensitivitas kulit yang dapat dipicu oleh paparan alergen lingkungan seperti, alergen makanan, alergen hirup (aeroalergen), bahan iritan, eksotoksin dari streptococcus, stresor fisik dan stresor psikologis.1 Penyakit ini cukup banyak dijumpai di masyarakat, prevalensi di Indonesia sekitar 5 10 %. Di masyarakat diduga 2-3 % dari penyakit ini terjadi pada anak dan dewasa muda dan berkurang setelah bertambahnya usia.2 Penyebab dan patogenesis penyakit ini belum diketahui dengan jelas karena melibatkan banyak organ, namun telah disepakati bahwa penyakit ini berhubungan dengan hipersensitivitas seseorang terhadap alergen lingkungan, hal ini didasari oleh perubahan keseimbangan aktivitas sel limfosit T helper 1 (Th1) dan sel limfosit T helper 2 (Th2), pada dermatitis atopik didominasi oleh peran sel Th2 yang menyebabkan peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE), interleukin-4 (IL-4) dan interleukin-5 (IL-5), mediator tersebut merupakan mediator utama dalam patogenesis dermatitis atopik. Oleh karena itu dermatitis atopik disebut juga Th2 mediated disease.2,3 Peningkatan kadar IgE spesifik maupun IgE total pada dermatitis atopik terjadi sekitar 70-80 % kasus, hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini secara klinis berhubungan dengan faktor alergi.4 Faktor stresor psikologis juga memegang peran kejadian dermatitis atopik, hal ini terbukti keterlibatan sistem saraf dan sistem endokrin dalam patogenesis penyakit ini. Stresor psikologis, sebagai suatu perubahan emosional akan menyebabkan perubahan neurokimiawi pada otak yang pada awalnya diterima oleh saraf pusat sebagai stress perception, kemudian akan menimbulkan stress responses pada jalur hipothalamus dan sistem saraf simpatetik, hasil akhir dari respon ini akan menyebabkan meningkatnya sintesis kortisol dan norepinefrin. Ke dua hormon tersebut merupakan biomarker adanya respon stres, dan akan mempengaruhi respon imun melalui berbagai jalur.4 Kortisol adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal, merupakan produk akhir dari sumbu Hypothalamus-Pituitary-Adrenal sebagai pusat stress responses terhadap berbagai stresor, yang diterima oleh sel paraventricular nucleus (PVN) yang akan mengaktivasi hipothalamus untuk melepaskan corticotropin releasing hormone (CRH) yang akan menstimuli kelenjar pituitary anterior (hipofise anterior) untuk melepaskan adreno-corticotropin hormone (ACTH), hormone ini akan berikatan dengan sel-sel kelenjar adrenal bagian korteks (cortex adrenal), sebagai hasil akhir sintesis terjadi peningkatan kortisol serum. Kortisol memegang peran dalam homeostatis tubuh sebagai anti-inflamasi dan imunosupresi. Norepinefrin adalah hormon stres yang disintesis oleh locus ceruleus di batang otak, sistem saraf simpatetik dan medula adrenal. Norepinefrin, selain sebagai hormon juga sebagai neurotransmiter berefek langsung terhadap monosit melalui reseptornya untuk meningkatkan sintesis IL-10, Interleukin ini secara langsung mengaktivasi Th2 untuk meningkatkan produksi IL-4 dan IL-5. Tampaknya ke dua hormon stres tersebut sangat berperan dalam mengatur keseimbangan peran sel Th1 dan sel Th2.5 Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan faktor stresor psikologis terhadap dermatitis atopik serta pola kadar kortisol, norepinefrin dan IL-4 plasma sebagai landasan kajian psikoneuroimunologi. MATERI DAN METODE Untuk mengetahui peran stres psikologis pada dermatitis atopik dilakukan penelitian dengan pendekatan match pair case-control study. Kasus adalah pasien dermatitis atopik yang berobat ke poliklinik Penyakit Kulit RS Sanglah Denpasar yang belum mendapat pengobatan, berumur 14 - 65 tahun. Diagnosis dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas sesuai dengan kriteria Hanifin & Rajka.6 Kontrol adalah subyek yang sehat tidak menderita dermatitis atopik atau penyakit alergi lainnya. Antara
kasus dan kontrol dilakukan matching, dipasangkan berdasarkan jenis kelamin dan usia dengan rentang 5 tahun. Setelah ke dua kelompok mendapatkan informasi yang cukup dan bersedia menanda tangani surat informed consent, selanjutnya dilakukan anamnesis yang mendalam untuk mendapatkan indeks/skala stres dengan metode Holmes & Rahe.7 Penentuan severitas dermatitis atopik berdasarkan sistem SCORAD dari European Task Force on atopic dermatitis.8 Pemeriksaan norepinefrin, kortisol dan IL-4 diambil dari vena kubiti pada pagi hari sebelum melakukan aktivitas. Semua data yang terkumpul kemudian uji statistik, beda mean, Chi square dan analisis korelasi. HASIL Dalam kurun waktu 6 bulan penelitian tercatat 72 sampel dengan 36 pasien dermatitis atopik yang sesuai dengan keiteria penelitian dan 36 tanpa dermatitis atopik sebagai kontrol. Karateristik umum sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
> 0.05
2,65 (0,78 3,67) 1,68 (0,78 3,67) 5,45 (1,66 + 4,67) 1,84 (0,78 + 2,74) 1,93 (0,15 + 5,81)
< 0,05 < 0,05 < 0,05 < 0,05 < 0,05 < 0,05
(+) (-)
Karakteristik Sampel Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 36 orang penderita dermatitis atopik sebagai kasus dan 36 orang sebagai kontrol terdiri dari laki-laki 21 0rang (58,30 %) dan perempuan 15 orang (41,70 %). Rerata umur kelompok kasus adalah 39,47 15,45 dan rerata umur kelompok kontrol adalah 36,17 12,59, dari hasil pemasangan ini, tidak ada perbedaan umur umur yang bermakna (p > 0,05). Dari 36 kasus 10 pasien (27,7 %) dengan keparahan ringan, 15 pasien (41,6 ) sedang dan 7 pasien (19,4) berat. Stres Psikologis pada Dermatitis Atopik Pengukuran Indeks/skala stres ditentukan dengan wawancara mendalam dengan metode Holmes & Rahe. Rerata skala stres pada kasus adalah 165 + 12,4 dan pada kontrol 96 + 9,5. Secara statistik perbedaan ini sangat bermakna, berarti faktor stres mempengaruhi kejadian dermatitis atopik. Holmes dan Rahe menyatakan bila skala stres > 150 berarti sangat rentan terhadar stres dan dapat menimbulkan manifestasi klinis. Pada penelitian ini selain membandingkan rerata skala stres juga dilakukan skoring dengan hasil; dari 36 kasus, 11 pasien (30,5 %) dengan skala stres > 150 dan 5 pasien (13,8 %) dengan skala stres < 150. Sedangkan pada 36 kontrol, 31 orang (86,11%) dengan skala stres < 150 dan hanya 5 orang (13,88 %)
dengan skala stres > dari 150. Setelah dilakukan analisis Chi2 perbedaan proporsi ini bermakna secara statistik. Dengan menghitung rasio Odds dengan 2 by 2 table maka didapat rasio Odds sebesar 2,278, ini berarti risiko terjadinya psoriasis yang terpapar stres sekitar 3 kali dari yang tidak terpapar stres. Kadar Hormon Stres dan IL-4 pada Dermatitis Atopik Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa rerata kortisol pada kasus (4,90 2,15 ug/dl) lebih rendah secara signifikan dibandingkan kontrol (9,12 2,33 ug/dl). Beberapa peneliti lain seperti Ionescu et al (1988) Menyatakan bahwa meningkatnya kadar norepinefrin dan rendahnya kadar kortisol pada pasien dermatitis atopik yang berat.9 Buske-Kirschbaum at al dengan tiga kali penelitian pada tahun 2002 dan pata tahun 2003 memperoleh hasil yang sama walaupun dengan metode sedikit berbeda. Dermatitis atopik pada anak usia 8-14 tahun yang diberikan stresor psikis dan fisiologis dengan cara Trial Social Stress Test for Children (TSST-C). Sebelum dan setelah diberi perlakuan kortisol saliva diukur secara berseri berseri setiap 10 menit sampai 30 menit. Setelah perlakuan kadar kortisol pada kasus lebih rendah secara bermakna dibandingkan pada kontrol. Peneliti menyimpulkan bahwa terjadi hiporeaktivitas sumbu HPA terhadap stres pada pasien dengan penyakit atopik, baik pada dermatitis atopik maupun asma.10,11 Wamboldt et al (2003) meneliti 202 pasien usia 12-19 tahun yang menderita dermatitis atopik, rinitis dan asma. Pengukuran kortisol diambil dari saliva, hasilnya bahwa kortisol saliva pada pasien dengan penyakit atopik lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol. Peneliti menyimpulkan bahwa kortisol sebagai produk akhir dari sumbu HPA memegang peran penting dalam penyakit atopik.12 Walaupun sebenarnya setiap adanya stresor psikologis semua hormon stres meningkat termasuk kortisol, tetapi akibat ada gangguan pada sumbu HPA, sintesis kortisol dari sumbu tersebut kurang responsif sehingga kortisol rendah. Kita ketahui bahwa peran kortisol sebagai imunosuresif dan anti-inflamasi.9,10 PEMBAHASAN Rerata kadar norepinefrin pada kasus adalah 5,13 2,14 ng/ml, sedangkan pada kontrol adalah 1,95 0,83 ng/ml, tampak adanya peningkatan norepinefrin yang bermakna pada dermatitis atopik. Penelitian sebelumnya, Ionescu et al (1988) meneliti beberapa kadar hormon stres seperti norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin pada pasien dermatitis atopik yang berat, ternyata didapatkan bahwa norepinefrin pada dermatitis atopik 401,3 + 164,5 pg/ml) lebih tinggi secara bermakna dari pada kontrol (174,3 + 55,8 pg/ml), hormon adrenalin, dopamin dan serotonin peningkatannya tidak bermakna.9 Hasil yang sama juga dilakukan oleh Rupprechet et al (1997) melakukan penelitian pada 14 dermatitis atopik dan kontrol orang sehat bahwa pada pasien dengan penyakit atopik termasuk dermatitis atopik menunjukkan kadar norepinefrin (270,3 pg/ml) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kontrol (211,0 pg/ml). 13 Schallreuter et al (1997) dalam penelitiannya terhadap dermatitis atopik (23 kasus) dan kontrol (30 orang), dengan hasil kadar plasma norepinefrin (701,5 + 51 ng/l, lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kontrol (283 + 26 ng/l), sedangkan kadar epinefrinnya tidak ada perbedaan yang bermakna. Peningkatan norepinefrin secara langsung mempengaruhi diferensiasi dan maturasi sel T helper yang menyebabkan terjadinya dominasi peran sel Th2, sel ini berperan dalam imunitas humoral dan patogenesis dermatitis atopik.14 Peran IL-4 pada imunopatogenesis dermatitis atopik sudah diterima secara umum, karena IL-4 berperan dalam sistesis imunoglobulin E, eosinofil, hal ini merupakan faktor utama dalam patogenesis dermatitis atopik. Pada penelitian ini, kadar IL-4 pada kasus adalah 4,64 1,24 pg/ml dan kontrol 2,98 0,70 pg/ml, terdapat peningkatan bermakna kadar IL-4 pada dermatitis atopik.15,16 Korelasi Indeks, Kortisol, norepinefrin dengan Severitas Penyakit Severitas dermatitis atopik diukur berdasarkan sistem Scorad dari European Atopic dermatitis Task force. Untuk mengatahui hubungan antara indeks stres, kortisol dan norepinefrin dengan severitas dermatitis atopik dilakukan analisis korelasi dan regresi linier untuk melihat gambaran kekuatan korelasi dapat dilihat
diagram baur (scatter plot) gambar 1,2 dan 3. Hasilnya, ternyata ditemukan ada korelasi positip antara indeks stres dengan severitas pada dermatitis atopik dengan koefisien korelasi r = 0,60, ini beratri adanya korelasi yang kuat. Demikian juga dijumpai hubungan linier antara indeks stres dengan severitas penyakit, seperti terlihat pada gambar 1 di bawah ini.
Temuan tersebut membuktikan bahwa faktor stresor psikologis mempengaruhi severitas dermatitis atopik. Ionescu et al (1988) dan Buske-Kirschbaum (2003) juga mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda, bahwa severitas penyakit sangat dipengaruhi oleh tingkat stresor pasien. Demikian juga penelitian Landstra et al (2002) indeks stres berkorelasi positip dengan keparahan dari penyakit atopi lainnya.9,11,15 Korelasi kadar norepinefrin dengan keparahan penyakit dengan koefisien korelasi r = 0,631, ini beratri adanya korelasi yang kuat antara norepinefrin dengan severitas penyakit. Di permukaan sel T, telah dikatahui memiluki reseptor untuk beta-adrenergik, sehingga peran norepinefrin sangat penting dalam pergeseran atau aktivasi sel Th2, sehingga produksi IL-4 akan meningkat, sitokin ini merupakan sitokin proinflamasi yang dapat digunakan sebagai marker (petanda) keparahan dermtaitis atopik.16
Hubungan dermatitis atopik dan sistem saraf otonom telah diteliti oleh Crespi et al (1982), pada penelitiannya dilakukan pada anak-anak dengan dermatitis atopik dengan mengukur epinefrin, norepinefrin dan dopamin yang diambil dari saliva dan urin setelah subyek distimulasi dengan furusemide. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa norepinefrin pada kasus (91,80 + 21,48) lebih tinggi dari pada kontrol (37,60 + 8,46), hasil ini secara statistik bermakna dan meningkat secara bermakna dibandingkan dengan
epinefrin dan dopamin. Peneliti menyimpulkan adanya dugaan terjadi gangguan respon dari betaadrenergic pada dermatitis atopik. Pada diagram baur diatas jelas tampak adanya hubungan positip yang cukup kuat.16 Dalam tabel 1 diatas tampak kadar kortisol lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol. Dengan analisis regresi linier dengan r = 0.06, hubungan yang sangat lemah, ini berarti kortisol hampir tidak berpengaruh terhadap severitas penyakit.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar kortisol pada dermatitis atopik rendah secara bermakna dibandingkan kontrol, penybab rendahnya kortisol belum ada informasi yang jelas. Buske mengatakan kemungkinan akibat gangguan pada sumbu HPA, responnya terhadap stres sangat lemah, mungkin ditingkat hipothalamus, hipofise anterion atau di korteks kelenjar adrenal. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Namun kadar epinefrin lebih tinggi secara bermakna. Secara fisiologis ke dua hormon stres tersebut akan meningkat, kortisol memiliki efek anti-inflamasi dan imunosupresan sedangkan norepinefrin memiliki efek stimulasi terhadap Th2 sehingga meningkatkan sintesis sitokin proinflamasi, hal ini memegang peran dalam patogenesis dermatitis atopik. Kortisol yang semestinya menstimuli pelepasan IL-4. Hal ini memberi petunjuk bahwa kortisol dan norepinefrin dapat mempengaruhi keseimbangan Th1 dan Th2. Mekanisme atau jalur yang lain juga dikatakan bahwa kortisol dapat menekan sel Mast untuk mensintesis imunoglobulin (Ig), namun karena rendahnya kortisol sehingga sel mast lebih teraktivasi untuk memproduksi imunoglobulin, termasuk Ig E. 16,17
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. Leung DYM, Eicheenfield LF and Bogunieicz. 2008. Atopic Dermatitis. In Wolff K. et al. Eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. McGraw Hill. 7th Ed. New York: 146-158. Leung DYM, Eicheenfield LF and Bogunieicz. 2008. Atopic Dermatitis. In Wolff K. et al. Eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. McGraw Hill. 7th Ed. New York: 146-158. Bieber T. 2008. Mechanism of Disease Atopic Dermatitis. NEJM; 358[14]: 1483-1494. Buske-Kirschbaum A, Jobst S, Wustmans A, Kirschbaum C, Rauh W and Hellammer D. 1997. Attenuated Free Cortisol Response to Psychosocial Stress in Children with Atopic Dermatitis. Psychosomatic Medicine 59 : 419 426. Necela BM, and Cidlowski. 2004. Mechanism of Glucocorticoid Receptor Action in Noninflammatory and Inflammatory Cells. The Proceedings of the American Thoracic Society; 1: 239-246. Hanifin JM, and Rajka G. 1986. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Derm Venereol ; 92: 44-47. Rahe, R.H and Holmes, T.H. &. (1967). The social readjustment rating scale. Journal of Psychosomatic Research, 1967;11: 213-218.
5. 6. 7.
8. 9. 10.
11.
12. 13.
14.
European Task Force on atopic dermatitis Ionescu G, and Kiehl R. 1988. High Palasma Levels of Noradrenaline in Severe Atopic Dermatitis. Zeitscrift fur Hautkrankheiten ; 64(11): 1036-1037 Buske-Kirschbaum A, Geiben A, Hollig H, Morschhauser E, and Hellhammer D. 2002. Altered Responsiveness of the Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis and the Sympathetic Adrenomedullary System to Stress in Patient with Atopic Dermatitis. J Clin Endocrinol Metab ; 87: 4245-4251. Buske-Kirschbaum A, Auer KV, Krieger S, Weis S, Rauh R, and Hellhammer D. 2003. Blunted Cortisol Responses to Psychosocial Stress in Asthmatic Children: A General Feature of Atopic Disease? Psychosomatic Medicine ; 65: 806-810. Wamboldt MZ, Laudenslagen M, Wamboldt FS, Kelsay K, and Hewitt J. 2003. Adolecents With Atopic Disorders Have an Attenuated Cortisol Response to Laboratpry Stress. J Allergy Clin Immunol ; 111(3): 509-14. Rupprecht M, Salzer B, Raum B, Hornstein OP, Koch HU, and Riederer P. 1997. Physical Stress-induce secretion of adrenal and pituitary hormones in patients with atopic eczema compared with normal controls. Exp Clin Endocrinol Diabetes ; 105: 39-45. Schallreuter KU, Pittelkow MR, Swanson NN, Beazley WD, Christine-Ehrke CK, and Buttner, G. 1997. Aaltered Catecholamine Sysnthesis and Degradation in the Epidermis of Patients with Atopic Dermatitis. Arch Dermatol Res; 289 : 663-666. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, and Van Alderen WMC. 2002. Role of Serum Cortisol Levels in Children with Asthma. Am J Respir Crit Care Med.165: 708-712. Crepsi H, Armando I, Tumilasci O, Levin G, Massimo J, Barontini M, and Perec C. 1982. Catecholamines levels and parotid secretion in children with atopic dermatitis. J Invest Dermatol; 78(6): 493-497 Sewell WA, Scurr LL, Orphanides H, Kinder S and Ludowyke RI. 1998. Induction of IL-4 and IL-5 Expression in Mast Cell Is Inhibited by Glucocorticoid. Clinical and Diagnosis Laboratory Immunology; 5(1): 18-23