Anda di halaman 1dari 2

Empat bulan sudah Arumi meninggalkan rumah.

Empat bulan sudah lamanya Arumi tak sudi bersua dengan Ibu kandungnya. Apa gerangan yang terjadi dengan Arumi dan Ibunya. Pasti, hanya Arumi dan Ibunya yang tahu, tapi justeru bersikap tak mau tahu. Biarlah hal itu menjadi urusan dan rahasia mereka berdua saja. Apakah Arumi pantas dianggap sebagai Anak Durhaka karena melaporkan ibunya ke polisi? Ataukah Ibunya layak dianggap sebagai Orangtua Durjana karena tuduhan eksploitasi? Akankah kasus ini akan menjadi dongeng Anak Durhaka kelak di kemudian hari? Kasus Arumi dan Ibunya, tak perlu dikait-kaitkan dengan cerita anak durhaka. Hubungan Arumi dan Ibunya adalah bukti kegagalan komunikasi antara anak dan orang tua yang bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dimana saja. Kegagalan komunikasi yang berakibat kepada rusaknya atau bahkan putusnya sebuah hubungan, ikatan. Rusaknya hubungan bisa berimplikasi pada sejumlah pembangkangan. Pembangkangan ini yang kemudian diterjemahkan secara bebas dan seenaknya sebagai sebuah pendurhakaan. Jaman telah berubah, cerita tentang anak durhaka kini menjadi cerita kuno yang tak lagi menakutkan, malah cenderung dilecehkan. Kisah tentang anak durhaka tak ada yang bisa dibuktikan keotentikannya, cuma dongeng murahan yang diceritakan dari mulut ke mulut secara turun temurun untuk melanggengkan kekuasaan, kekuatan, sekaligus kelemahan orang tua sebenarnya. Anak Durhaka cuma isapan jempol belaka. Tak lebih dari sekedar cerita akal-akalan orang dewasa untuk mempertahankan hegemoni orang tua atas anak-anaknya. Lihatlah Malinkundang, Sangkuriang dan Sampuraga. Nama-nama itu diabadikan sebagai Anak Durhaka. Kenapa? Karena anakanak tak punya kuasa mengarang cerita, sehingga sejarah dan petuah menjadi domain orang dewasa. Carilah di kitab-kitab dan buku-buku suci di seluruh dunia, apakah ada cerita tentang anak durhaka? Jangan-jangan, cerita tentang anak durhaka hanya ada di nusantara, lagi-lagi Indonesia? Sebaliknya, berita tentang Orangtua Durjana kian merajalela. Berulangkali media memberitakan perbuatan bejat dan nista orang tua atas anaknya. Geram kita melihat tayangan seorang ibu kandung membuang bayi yang baru dilahirkannya ke dalam tong sampah . Jijik kita membaca berita seorang ayah kandung memperkosa anak perempuannya yang baru beranjak remaja. Namun, mana, mana ada Orangtua yang terkutuk jadi batu atau gunung?

Terlepas dari gonjang-ganjing kasus Arumi dan Ibunya, menurutku, sekarang saat yang tepat untuk membuat monumen Orangtua Durjana. Bisa di pusat keramaian kota atau di tengah hutan belantara. Pinomat, situs tersebut bisa dijadikan sebagai peringatan atas kesewenangwenangan orang tua. Aku membayangkan, puluhan atau bahkan ratusan tahun yang akan datang, di Jakarta atau dimanapun di Indonesia ada sebuah tempat yang bertuliskan Selamat Datang di Lokasi Wisata Orangtua Durjana.

Anda mungkin juga menyukai