Anda di halaman 1dari 12

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA TERTINGGAL MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN

Jum`at, 22 Juli 2011 03:48:25 - oleh : lemlit - views 9841

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA TERTINGGAL

MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN

(Studi Implementasi di Desa Gedompol, Kec. Donorojo, Kabupaten Pacitan)

Oleh: Eko Digdoyo, M.Hum.

I.

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Pendampingan sosial hadir sebagai agen perubahan yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Pendampingan masyarakat dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok masyarakat dan pendamping untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, memobilisasi sumber daya masyarakat setempat, memecahkan masalah sosial, menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan

kebutuhan, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat. Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama pendampingan adalah making the best of the clients resources. Sejalan dengan perspektif kekuatan (strengths perspektif), para pendamping masyarakat tidak memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan mereka dipandang sebagai sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan pekerjaan sosial adalah menemukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Pendampingan sosial memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, pemberdayaan masyarakat sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik. Dalam konteks ini, peranan seorang pekerja sosial atau pendamping masyarakat seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Program tersebut biasanya termanisfestasi dalam bentuk penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program kegiatannya. Para pendamping memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pendamping juga biasanya membantu membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Para pendamping masyarakat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam konteks lembaga-lembaga sosial yang lebih luas. Sebagaimana diuraikan oleh Suharto (2004: 61-62) bahwa ketika masyarakat miskin ditanya mengenai kriteria pendamping yang diharapkan, mereka menjawab bahwa selain memiliki kapasitas profesional, seperti memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai program dan penanganan permasalahan masyarakat setempat, pendamping juga dituntut memiliki beberapa sikap humanis, seperti sabar dan peka terhadap situasi, kreatif, mau mendengar dan tidak mendominasi, terbuka dan mau menghargai pendapat orang lain, akrab, tidak menggurui, berwibawa, tidak menilai dan memihak, bersikap positif dan mau belajar dari pengalaman. Ada beberapa peran pendamping dalam pendampingan masyarakat. Empat peran di bawah ini sangat relevan diketahui:

1. Fasilitator. Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan fasilitator sering disebut sebagai pemungkin (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:188), The traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and promotion of interaction and action. Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu masyarakat menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya. 2. Broker. Peran sebagai broker dalam pendampingan masyarakat tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, terdapat klien atau konsumen. Namun demikian, pendamping melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pelayanan sosial. Pemahaman pendamping yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar lingkungannya menjadi sangat penting dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh keuntungan maksimal. Dalam proses pendampingan sosial, ada tiga prinsip utama dalam melakukan peranan sebagai broker: (a) Mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat, (b) Mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten, (c) Mampu mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien. 3. Pembela. Seringkali pendamping masyarakat harus berhadapan dengan sistem politik dalam rangka menjamin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial. Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pendamping harus memainkan peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau advokasi bersentuhan dengan kegiatan politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy) (DuBois dan Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila pendamping melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kelas terjadi manakala klien yang dibela bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. 4. Mediator. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986) memberikan contoh bahwa pendamping dapat memerankan sebagai fungsi kekuatan ketiga untuk menjembatani

antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai solusi menang-menang (win-win solution) denganstrategi lobby atau negosiasi. Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela, dimana bantuan pendamping diarahkan untuk memenangkan kasus klien melalui strategi kontes.

UHAMKA sebagai salah satu amal usaha Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan, pengabdian dan pemberdayaan masyarakat, serta sosial-kemasyarakatan. Oleh karena itu dalam rangka merealisasikan Catur Dharma PTM, dosen tidak hanya dituntut untuk mengajar dan meneliti, tetapi diwajibkan untuk melakukan kegiatan program pengabdian masyarakat, maka melalui program ini paling tidak dapat membantu mengatasi persoalan masyarakat melalui pendekatan-pendekatan penyuluhan maupun pelatihan pembelajaran lain terkait pemberdayaan masyarakat. Atas dasar itu, maka tema pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA TERTINGGAL MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN (Studi Implementasi di Desa Gedompol, Kec. Donorojo, Kabupaten Pacitan)

B. Analisis situasi
Di dalam proses perencanaan dan evaluasi pembangunan saat ini, sangat dibutuhkan data mengenai kependudukan dan permasalahannya. Apalagi jika dikaitkan dengan dwifungsi penduduk, yaitu sebagai fungsi subjek dan fungsi objek. Fungsi subjek bermakna bahwa penduduk adalah pelaku pembangunan, dan fungsi objek bermakna bahwa penduduk menjadi target dan sasaran pembangunan yang dilakukan. Kedua fungsi tadi harus berjalan seiring dan sejalan secara integral.

Jika mengacu pada program kebijakan Pemerintah Daerah Pacitan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun mendatang akan mewujudkan tiga belas tujuan strategi pembangunan melalui beberapa kebijakan umum serta penetapan sasaran yang akan dicapai. Kebijakan umum dan sasaran pembangunan yang akan

dicapai untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sampai tahun 2011 mendatang antara lain bertujuan: 1. Meningkatnya kemampuan keuangan daerah, ditempuh melalui kebijakanoptimalisasi penerimaan daerah, dengan sasaran meningkatnya sumber pembiayaan pembangunan daerah. 2. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah dan pemerataan pendapatan masyarakat, ditempuh melalui kebijakan penguatan dan perluasan jaringan pasar lokal serta optimalisasi sektor prioritas, dengan sasaran: a. Meningkatnya produksi dan produktivitas hasil pertanian b. Meningkatnya kuantitas dan kualitas hasil peternakan sebagai pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat c. Meningkatnya potensi ekonomi sumberdaya perikanan dan laut d. Terwujudnya potensi ekonomi sumberdaya hutan 3. Meningkatnya fungsi fasilitasi dalam rangka pengembangan industri dan perdagangan, hal ini dapat ditempuh melalui kebijakanpenyelenggaraan pengembangan kewirausahaan berbasis sumber daya lokal dan sektor prioritas, dengan sasaran: a. Meningkatnya produktivitas industri kecil dan UKM

b. Meningkatnya fasilitasi kemitraan perdagangan c. Meningkatnya lembaga UMKM yang sehat dan berdaya saing d. Meningkatnya tenaga kerja yang berkualitas

4. Meningkatnya kualitas dan kuantitas insfrastruktur perekonomian, ditempuh melalui kebijakan peningkatan prasarana dan sarana perekonomian dengan sasaran: a. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana transportasi b. Meningkatnya pelayanan dan fungsi pendukung transportasi c. Meningkatnya pelayanan LITDES 5. Meningkatnya kualitas pengelolaan lingkungan hidup dan SDA, ditempuh melalui kebijakan konservasi ekologi kawasan, dengan sasaran: a. Terwujudnya lingkungan yang bersih, hijau dan lestari b. Terjaganya kualitas dan kuantitas sumber daya air 6. Meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat pedesaan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, ditempuh melalui kebijakan penanggulangan kemiskinan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dengan sasaran: a. Meningkatnya penanganan penduduk miskin dan pelayanan bagi penyandang kesejahteraan sosial b. Meningkatnya kualitas hidup dan perlindungan perempuan dan anak c. Meningkatnya pemberdayaan masyarakat desa 7. Meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan, ditempuh melalui kebijakan peningkatan layanan pendidikan, dengan sasaran:

a. Meningkatnya kualitas pendidikan anak usia dini b. Meningkatnya pemenuhan wajib belajar 9 tahun c. Meningkatnya kualitas dan kuantitas pendidikan menengah d. Meningkatkan manajemen dan mutu pendidikan e. Berkurangnya buta aksara dan meningkatnya wajib belajar melalui pendidikan non formal f. Meningkatnya wawasan dan ketrampilan pemuda dan prestasi olah raga. 8. Meningkatnya aksesibilitas pelayanan kesehatan masyarakat, ditempuh melalui kebijakan: a. Peningkatan layanan kesehatan masyarakat, dengan sasaran: 1). Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat 2). Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan 3). Meningkatnya mutu pelayanan Rumah Sakit b. Pengendalian pertumbuhan penduduk, dengan sasaran menurunnya pasangan usia subur yang tidak terlayani pemenuhan KB-nya dan menurunnya angka kelahiran. 9. Meningkatnya perkembangan kapasitas aparatur pemerintah dalam rangka mewujudkan karakter "budaya administrasi publik berbasis Informasi teknologi" di pemerintahan Pacitan, ditempuh melalui kebijakan:

a. Peningkatan profesionalisme kinerja aparatur daerah, dengan sasaran: 1). Meningkatnya kualitas kinerja pemerintahan 2) Meningkatnya kualitas perencanaan dan pengendalian pembangunan 3) Tersusunnya dan meningkatnya peran rencana tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan 4) Meningkatnya tata kearsipan daerah 5) Meningkatnya ketersediaan sarana penyelenggaraan pemerintahan 6) Peningkatan pengelolaan administrasi keuangan daerah b. Pemberantasan KKN, dengan sasaran: mewujudkan aparatur daerah yang bersih, berwibawa dan bebas dari KKN

Walaupun telah memiliki beberapa Rencana Strategi (RENSTRA) tahunan atau program pembangunan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat setempat tetap masih mengalami berbagai kendala. Kendala tersebut antara lain: a. Tingginya angka kemiskinan Dalam upaya percepatan pembangunan di segala bidang masih terdapat beberapa kendala, antara lain masih tingginya angka penduduk miskin, walaupun selama empat tahun terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sekitar 19,51% dari jumlah penduduk miskin tahun 2001 yaitu sebanyak 164.125 jiwa. Dari penurunan jumlah penduduk miskin tersebut sampai pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin masih sebanyak 132.125 jiwa atau 24,28 %.

b. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Peningkatan layanan pendidikan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kompetensi anak didik. Out put layanan pendidikan dengan pendekatan Indek Pembangunan Manusia (IPM) masih menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan. Indek Pembangunan Manusia komponen pendidikan tahun 2004 menunjukkan angka 6,18 tahun atau masih lebih rendah dari rata-rata IPM Jawa Timur dengan capai 6,55. Namun bila dibandingkan dengan IPM tahun 2003 terdapat kenaikan 0,13. Demikian pula segi kesehatan masih banyak yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya angka kematian ibu dan anak dan kesakitan malaria masih relatif tingginya.

c. Rendahnya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan produktivitas masyarakat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pacitan selama dua periode 5 (lima) tahun terakhir, 2001-2005 dan 2005-2010 mencapai 3,62% dengan inflasi rata-rata mencapai 7,8%. Kondisi ini masih dihadapkan pula pada fenomena ketimpangan pendapatan per tenaga kerja antara sektor jasa terhadap sektor pertanian dengan perbandingan 1 : 175.

d. Rendahnya kualitas Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Lahan kritis di Kabupaten Pacitan saat ini mencapai 30.954,25 Ha. atau 21,9 % dari luas wilayah. Kondisi ini bila tidak dikelola dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan arealnya akan bertambah.

e. Infrastruktur kurang Memadai Peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung terutama diorientasikan untuk menjawab kebutuhan aksesibilitas penduduk dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Sementara itu kondisi jalan di Kabupaten Pacitan saat ini menunjukkan sebagai berikut : (a) Jalan Nasional, kondisi baik 12,35 %, sedang 77,32 %, dan rusak 10,33 %.

(b) Jalan Propinsi, kondisi baik 67,52 %, sedang 25,84 %, dan rusak 6,63 %. (c) Jalan Kabupaten, kondisi baik 38,46 %, sedang 14,02 %, dan rusak 37,02 %, dan (d) Jalan desa, kondisi baik 0,74 %, sedang 16, 49 % dan rusak 6,99 %. Cakupan layanan air bersih sampai dengan tahun 2007 mencapai 34,60 % serta cakupan layanan PDAM mencapai 5 %. Salah satu kecamatan yang mengalami kendala dalam proses pembangunan adalah Kecamatan Donorojo khususnya Desa Gedompol. Kecamatan tersebut tentunya perlu mendapat perhatian baik dari pemerintah pusat, daerah, lembaga pendidikan tinggi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Posisi ini terletak di wilayah paling barat Kabupaten Pacitan dan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah. Posisi wilayah tersebut adalah pegunungan dan dataran tinggi. Pada saat Orde Baru desa tersebut masuk kategori Desa Tertinggal (IDT). Hingga saat inipun berhubung keadaan ekonomi terbatas, keterbatasan ekonomi akhirnya belum bisa mengubah pola hidup termasuk peningkatan standar pendidikan dan ekonomi baik kuantitas maupun kuantitas.
Atas dasar itulah maka sebagai lembaga pendidikan tinggi, dalam rangka merealisasikan Caturdharma Perguruan Tinggi UHAMKA Jakarta dan kami selaku unsur di dalamnya termotivasi untuk berbagi pengetahuan melalui kegiatan program pengabdian dan pemberdayaan masyarakat berupa penyuluhan pendekatan pendidikan, sosial-ekonomi, dan lingkungan.

C. Masalah Pokok Berangkat dari analisis di atas, beberapa permasalahan yang di hadapi masyarakat adalah: 1. Posisi serta keadaan geografis yang secara alamiah sulit untuk dilakukan perubahan 2. Peran aparat desa yang kurang aktif dan komunikatif dalam menghadapi perkembangan karena keterbatasan pengetahuan 3. Keterbatasan ekonomi masyarakat setempat, maka secara otomatis dampak perubahan pengetahuan pendidikan sulit untuk diwujudkan 4. Pola pikir masyarakat setempat yang masih apatis bahwa proses pendidikan bukan termasuk investasi masa depan

D. Tujuan dan manfaat kegiatan Secara akademis kegiatan pemberdayaan dan pengabdian masyarakat menjadi salah satu rohnya suatu Perguruan Tinggi, sehingga tujuan kegiatan ini merupakan realisasi Catur Darma Perguruan Tinggi khususnya kegiatan Pemberdayaan dan Pengabdian kepada Masyarakat. Sementara itu kegiatan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat khususnya di wilayah tertinggal, sehingga dapat bermanfaat secara praktis. Secara sosial kegiatan ini setidaknya adalah bagian dari realisasi dari konsep kesalehan sosial.

II. RUANG LINGKUP KEGIATAN

a.

Keadaan Wilayah

Sebelum masuk ke dalam persoalan yang sebenarnya terjadi, ketika membicarakan masyarakat Pacitan terlebih dahulu penulis perlu mengantarkan keadaan alam terlebih dahulu walaupun sudah sebagian orang dapat menebak tentang kondisi tersebut. Berdasarkan letak geografis, Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Timur yang terletak di bagian Selatan Barat Daya. Kabupaten Pacitan terletak di antara 110 55' - 111 25' Bujur Timur dan 7 55' - 8 17' Lintang Selatan, dengan luas wilayah 1.389,87 Km atau 138.987,16 Ha. Luas tersebut sebagian besar berupa perbukitan yaitu kurang lebih 85 %, gunung-gunung kecil lebih kurang 300 buah menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Pacitan dan jurang terjal yang termasuk dalam deretan Pegunungan Seribu yang membujur di sepanjang Selatan Pulau Jawa, sedangkan selebihnya merupakan dataran rendah.

Di samping posisi di atas, Kabupaten Pacitan berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan pintu gerbang bagian barat dari Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan kapur selatan yang membujur dari Gunung Kidul ke Kabupaten Trenggalek menghadap ke Samudera Indonesia. Secara administratif wilayah terdiri dari 12 Kecamatan, 5 kelurahan dan 159 desa.

Mengenai batas-batas wilayah administrasi, Kabupaten Pacitan berbatasan dengan antara lain; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek, sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah Barat dengan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan sebelah Utara adalah berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo. Terkait dengan l

Anda mungkin juga menyukai