Anda di halaman 1dari 20

1

[makalah makro ekonomi]

MINIMALISASI DAMPAK KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK MELALUI KEBIJAKAN MONETER


Ditulis bersama Nasrudin dan Nila Rifai
Mahasiswa program Doktor Mayor Ekonomi Pertanian IPB

Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi suatu negara erat kaitannya dengan ketersediaan akses energi. Energi memainkan peranan yang sangat penting dalam kegiatan produksi output ekonomi dan ekonomi tidak akan dapat berkembang tanpa pasokan energi yang cukup atau akses terhadap pelayanan energi. Sekali pasokan energi berkurang yang berakibat pada naiknya biaya energi atau kurangnya akses ke pelayanan energi, akan terjadi kenaikan biaya yang menekan perekonomian, mendorong naiknya kemiskinan dan pengangguran serta mengganggu prospek-prospek pembangunan lainnya (Nkomo, 2007). Energi, baik yang berupa penerangan, panas, tenaga mekanika atau listrik, merupakan hal pokok pada masyarakat dan memainkan peran penting dalam pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang. Akses terhadap energi modern merupakan prasyarat penting dalam pengurangan kemiskinan dan dalam upaya mencapai tujuan pembangunan milenium atau millennium development goals (Schubert, et al, 2007). Energi juga memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk terlaksananya pembangunan berkelanjutan dan mendukung kegiatan-kegiatan nasional. Selama hampir 40 tahun pembangunan yang telah dilaksanakan di Indonesia, ternyata tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi terutama di
EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

perdesaan, tempat dimana sebagian besar kegiatan pertanian berlangsung. Data statistik seperti terlihat pada Tabel 1.1. menunjukkan bahwa pada tahun 2005 tingkat kemiskinan di perdesaan Indonesia masih sebesar 19.5 persen, jauh di atas kemiskinan di perkotaan yang 11.4 persen. Jika dilihat dari sisi jumlah, orang miskin di perdesaan pada tahun 2005 masih sebanyak 22.7 juta orang sedangkan di perkotaan sebanyak 12.4 juta orang sehingga total jumlah orang miskin di Indonesia adalah 35.1 juta orang atau sekitar 15.97 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Selain tingginya angka kemiskinan di Indonesia, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah jumlah pengangguran terbuka. Pertumbuhan ekonomi yang di atas 5 persen sejak tahun 2004, mampu meningkatkan jumlah orang bekerja yang pada tahun 2004 masih 93.72 juta orang dan pada tahun 2008 dapat ditingkatkan sehingga mencapai 105.25 juta orang sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2. Peningkatan jumlah orang yang bekerja di atas tetap belum mampu secara signifikan menurunkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia. Jumlah orang yang tidak bekerja atau pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2008 masih cukup besar yang mencapai 9.12 juta orang atau sekitar 7.97 persen dari total angkatan kerja. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berhasil diraih selama periode 2004 2008 masih belum cukup untuk menyerap penambahan tenaga kerja yang ada pada periode yang sama. Tabel 1.1. Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Orang Miskin di Indonesia

Sumber : BPS, 2007

EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Orang Bekerja dan Pengangguran


Periode 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber : BPS, 2008 Pertumbuhan Ekonomi (%) 3.44 3.66 4.10 5.05 5.60 6.11 5.91 6.50 Jumlah Orang Bekerja (Juta) 90.81 91.65 92.81 93.72 94.95 95.18 101.94 105.25 Pengangguran Terbuka Jumlah (Juta) 8.00 9.13 9.82 10.25 10.85 11.11 10.29 9.12 % 8.10 9.06 9.50 9.86 10.26 10.44 9.19 7.97

Untuk menurunkan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran terbuka di atas, diperlukan upaya-upaya yang lebih keras dan sistematis dari pemerintah, selain pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas. Upaya-upaya keras dan sistematis serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan menciptakan banyak lapangan kerja sehingga semakin banyak jumlah orang yang bekerja dan mendapat pekerjaan di Indonesia yang pada akhirnya dapat menurunkan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran. Menurut Bisnis Watch Indonesia (2003) kenaikan tarif dasar listrik disebabkan oleh besarnya hutang luar negeri pada sektor ketenagalistrikan (10% dari total pinjaman luar negeri), beban kontrak listrik swasta sebanyak 27 proyek (pembelian dengan mata uang asing dan penjualan dengan mata uang Rupiah), adanya devaluasi uang Rupiah, harga bahan bakar yang sangat tinggi, menurunnya daya beli masyarakat dan di bebarapa daerah PLN tidak mampu meberikan layanan pembangunan pembangkit baru. Sebagian besar pembangkit listrik PLN menggunakan BBM untuk menggerakkan pembangkit sehingga ketika terjadi kenaikkan harga minyak mentah dunia akan memberikan dampak keuangan kepada PLN dan Pemerintah. Karena hal tersebut di atas pada tanggal 1 Juli 2010 kemaren Pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR memberlakukan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang bervariasi untuk sektor rumah tangga dan industri dengan rata-rata kenaikan tarif sebesar 18%. Namun, pada prakteknya menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia kenaikan TDL pada sektor Industri ada yang mencapai lebih dari 50%. Kenaikan TDL yang tinggi pada sektor industri akan memberikan dampak pada kenaikan biaya input produksi yang menyebabkan harga barang produksi meningkat di pasaran. Biaya produksi untuk listrik merupakan 2 5% dari total input antara sektor-sektor ekonomi (Data Input-Output, 2007). Agar tidak mengalami kerugian, perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi dengan melakukan pengurangan karyawan dan menurunkan kualitas barang. Kualitas barang yang menurun dan biaya produksi yang membengkak berakibat pada lemahnya daya saing produk Indonesia.

EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

Sedangkan di sektor rumah tangga, kenaikan TDL akan menyebabkan biaya hidup rumah tangga menjadi meningkat dan daya beli menjadi turun. Pengeluaran rumah tangga untuk listrik merupakan 3 4% dari pengeluaran konsumsi rumah tangga (SBH, 2007). Dengan turunnya daya beli rumah tangga, maka permintaan terhadap barang produksi menjadi turun sehingga output nasional akan turun sehingga akan meningkatkan jumlah pengangguran. Ini berarti upaya-upaya untuk melakukan penurunan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran terancam gagal. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah melakukan berbagai kebijakan fiskal. Namun kebijakan fiskal tidak akan efektif jika tidak diimbangi dengan kebijakan moneter yang tepat. Untuk itu perlu dilakukan kajian kebijakan moneter apa saja yang perlukan dilakukan untuk meminimalkan dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penulisan ini secara umum adalah untuk menganalisis minimalisasi dampak kenaikan tarif dasar listrik melalui kebijakan moneter. Secara khusus penulisan ini bertujuan untuk: 1. Mendiskripsikan dampak kebijakan kenaikan TDL terhadap sektor industri dan rumah tangga. 2. Menganalisis kebijakan moneter apa yang paling tepat untuk mengurangi dampak kenaikan TDL. 3. Merekomendasikan kebijakan untuk meminimalisasi dampak kenaikan TDL melalui kebijakan moneter.

Kerangka Teori
Salah satu indikator kemajuan pembangunan pada suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat dari tingkat pertumbuhan penduduknya (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan pada periode tertentu (Mankiw, 2007). Pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan data produk domestik bruto (PDB) yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian (Mankiw, 2007). Pertumbuhan ekonomi tercapai ketika tingkat produk domestik bruto (PDB) riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Dornbusch, et al, (2004) menyatakan tumbuhnya PDB riil dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya modal dan tenaga kerja dan efisiensi dalam penggunaan faktor produksi atau produktivitas. PDB sendiri menurut Mankiw (2007) terdiri dari empat komponen sebagai berikut : 1. Konsumsi; Konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan disposable atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. 2. Investasi; Investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Tingkat investasi dipengaruhi oleh tingkat bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi.

EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

3. Pembelian Pemerintah; Pembelian pemerintah adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat dan daerah. Pembelian pemerintah dibiayai oleh pendapatan pemerintah dari pajak dan pinjaman. 4. Ekspor Neto; Ekspor neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor dari negara lain. Ekspor neto menunjukkan pengeluaran neto dari luar negeri atas barang dan jasa domestik, yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik. Dornbusch, et al, (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan inflasi. Pertumbuhan PDB riil yang tinggi akan diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran. Hubungan antara laju pertumbuhan riil di atas dengan perubahan tingkat pengangguran dikenal sebagai Hukum Okun. Kebijakan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang tepat sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi (Djojosubroto, 2009). Kebijakan moneter, yang terutama dilakukan dengan pengendalian jumlah uang beredar bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengendalikan inflasi dan pengendalian kestabilan neraca pembayaran (Muhammad, 2009). Kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian diawali dengan mempengaruhi suku bunga kemudian mempengaruhi permintaan agregat (Dornbusch, et al, 2004). Kenaikan jumlah uang beredar akan menurunkan suku bunga, meningkatkan pengeluaran investasi dan permintaan agregat sehingga meningkatkan output kesetimbangan. Kebijakan moneter yang diamanatkan dalam UU No. 23/1999, dilakukan oleh bank sentral melalui berbagai instrumen. Kebijakan moneter ini tidak berdampak langsung dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Ini yang menyebabkan stimulus ekonomi yang diharapkan dari kebijakan moneter sering kali sulit dilakukan. Pengaruh perubahan suku bunga terhadap inflasi membutuhkan time lag dan bervariasi dalam intensitas. Ketika perubahan suku bunga terjadi, faktor-faktor lain juga akan mempengaruhi perubahan inflasi dan output. Hubungan-hubungan yang terjadi tidal stabil setiap waktu. Jika suku bunga menurun, maka investasi dan konsumsi pemerintah serta rumah tangga akan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan mereka memiliki banyak uang yang disimpan setelah membayar hutang dan karena meminjam menjadi lebih rumah. Keuangan perusahaan menjadi kuat dan investasi menjadi lebih menarik. Permintaan yang meningkat menyebabkan output meningkat dan pengangguran berkurang. Harper (2003) mengilustrasikan mekanisme transmisi kebijakan moneter dicirikan oleh time lag yang tidak pasti sehingga peramalan dampak kebijakan moneter terhadap perekonomian dan tingkat harga umum adalah sulit, meskipun dapat dilakukan (Gambar 2.1). Menurut Stiglitz dan Greenwald dalam Sugema (2004) efektifitas kebijakan moneter bergantung pada kondisi dari dunia perbankkan, terutama dalam penyaluran kredit. Menurut Sugema (2004), otoritas moneter tidak selalu bisa mengandalkan
EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

kebijakan suku bunga untuk mempengaruhi aktivitas sektor riil. Karena teori moneter konvensional selalu mengasumsikan bahwa turunnya suku bunga akan diikuti dengan naiknya investasi dan output nasional. Namun, menurut Sugema, dalam paradigma baru hal tersebut tidak selalu terjadi. Penurunan suku bunga SBI tidak disertai dengan penurunan suku bunga kredit dengan kecepatan yang sama. Lambannya penyesuaian suku bunga kredit telah mengakibatkan suku bunga kredit riil justru meningkat. Artinya dunia usaha menjadi terbebani biaya modal yang lebih besar. Karena itu, investasi tidak kunjung berkembang dan di lain pihak perbankkan mengalami kesulitan likuiditas. Dengan kata lain, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga tidak efektif dalam mempengaruhi kegiatan di sektor riil dan perlu didesain perangkat kebijakan moneter yang sama sekali baru untuk mengatasi masalah kelebihan likuiditas (Sugema, 2004).

Official Interest Rate


Expectations Bank and Market Interest Rate

Examples of shock outside the control of Central Bank

Money, Credit

Asset Prices

Exchange Rate

Change in global economy

Wage & Price Setting

Supply & Demand in Goods & Labor Markets

Change in Fiscal Policy

Domestic Prices

Import Prices

Change in commodity price

Price Development

Gambar 2.1. Mekanisme Transmisi Moneter Harper

Metodologi
Alur pikir tulisan ini diawali oleh naiknya TDL yang mendapat reaksi dari masyarakat karena berdampak pada inflasi dan produksi barang-barang. Kenaikan TDL diduga akan berdampak positif pada inflasi, karena kenaikan TDL secara langsung meningkatkan pengeluaran rumah tangga dan industri. Peningkatan pengeluaran rumah tangga dengan pendapatan yang tidak berubah menyebabkan
EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

harga-harga relatif lebih mahal, karena daya beli menurun. Peningkatan biaya industri berdampak pada menurunnya produksi, sehingga penawaran berubah yang mendorong harga-harga barang industri naik (Gambar 3.1).

TDL
(-) (+)

PRODUKSI
(+) (-) (+) (-)

INFLASI
(-) (+)

SUKU BUNGA

MONEY SUPPLY

Alternatif Policy

Keterangan: Garis putus-putus = respon kebijakan

Gambar 3.1. Alur Pikir Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Gambar 3.1. juga menjelaskan bahwa meningkatnya inflasi dan menurunnya produksi akan berdampak pada melemahnya nilai rupiah dan meningkatnya pengangguran, sehingga investasi juga menjadi stagnan dan cenderung menurun. Jika demikian, maka perlu diminimalisasi dampak kenaikan TDL melalui pengaturan dua istrumen kebijakan moneter, yakni suku bunga dan money supply. Instrumen suku bunga dan money supply secara berpengaruh pada investasi nilai rupiah, sehingga pada gilirannya akan berdampak pada produksi dan investasi. Oleh karena semua variabel saling mempengaruhi, maka semuanya merupakan variabel endogen. Meminimumkan dampak kenaikan TDL berimplikasi pada dua hal; (1) meminimumkan penurunan output (produksi) dan (2) meminimumkan kenaikan harga (inflasi). Menurut Timbergen, satu kebijakan (policy) hanya dapat menyelesaikan satu masalah. Oleh karena itu, dalam konteks meminimumkan dampak kenaikan TDL, perlu diketahui shock variabel mana yang memiliki pengaruh kuat terhadap dua variabel target; peningkatan output dan penurunan inflasi. Alternatif kebijakan moneter yang dapat diambil, secara teoritis digambarkan dalam Gambar 3.2. Kurva IS merepresentasikan sisi fiskal, termasuk subsidi (terkait dengan TDL), sementara kurva LM merepresentasikan sisi moneter. Kenaikan TDL (pengurangan subsidi listrik) ditunjukan oleh bergesernya kurva IS ke kiri (IS 0 ke IS1). Dalam kurva LM yang sama LM0 (tidak ada respon kebijakan moneter,
EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

kenaikan TDL akan menyebabkan output turun dari Y0 ke Y1, dan suku bunga turun dari i0 ke i1.). Untuk meminimalkan dampak kenaikan TDL tersebut, dua alternatif kebijakan moneter yang dapat diambil adalah: 1. Menaikan money supply (uang beredar). Kebijakan ini diharapkan akan dapat meniminalkan dampak penurunan output, tetapi efeknya inflasi akan makin meningkat 2. Menaikkan tingkat suku bunga. Kebijakan ini diharapkan akan dapat mengendalikan kenaikan harga-harga (inflasi), tetapi efeknya output akan lebih menurun.

Gambar 3.2.

Alternatif Kebijakan Moneter dalam Meminimalisasi Dampak Kenaikan TDL, dalam Kerangka Teori IS-LM

Data yang digunakan adalah data series bulanan dari data indeks produksi industri, jumlah uang beredar, suku bunga, dan inflasi dari bulan Juli 2005 sampai Januari 2010 atau data 55 bulan (Lampiran 1). Data diperoleh dari Biro Pusat Statistik dan Bank Indonesia. Metode yang digunakan adalah analisis Vector Autoregression (VAR). Pada dasarnya, dalam analisis VAR meliputi beberapa jenis uji, yakni:
1. Uji akar unit (Unit Root Test). Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang diamati stationer atau tidak. Akurasi model VAR akan baik jika datanya stasioner; 2. Lag Optimum. Likelihood Ratio Test digunakan untuk menguji hipotesis mengenai berapakah jumlah lag yang sesuai untuk model yang diamati. 3. Granger Causality Test. Test ini menguji apakah suatu variabel bebas (independent vari-able) meningkatkan kinerja fore-casting dari variabel tidak bebas (dependent variable).
EPN | IPB

[makalah makro ekonomi]

4. Innovation Accounting. Pada dasarnya test ini digunakan untuk menguji struktur

dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh variabel inovasi (innovation variable). Dengan kata lain, test ini merupakan test terhadap variabel inovasi (innovation variable). Test ini terdiri dari:
a. The Impulse Responses: Untuk melihat efek gejolak (shock) suatu standar deviasi dari variabel invovasi terhadap nilai sekarang (current time values) dan nilai yang akan datang (future values) dari variabel-variabel endogen yang ter-dapat dalam model yang diamati. b. The Variance Decomposition: The Variance Decomposition memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya test ini merupakan metode lain untuk meng-gambarkan sistem dinamis yang terdapat dalam VAR. Test ini digu-nakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain.

Uji akar unit atau data di uji kestasionerannya dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Berdasarkan uji ADF, ternyata semua data yang di uji tidak stasioner in level (Gambar 3.3).
PROD
135
2,200

MONEY

130

2,000

125

1,800

120

1,600

115

1,400

110

1,200

105 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

1,000 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2005

2006

2007

2008

2009

2005

2006

2007

2008

2009

IR
13

INF
20

12

16
11

10

12

4
7

6 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

0 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2005

2006

2007

2008

2009

2005

2006

2007

2008

2009

Gambar 3.3. Ketidakstasioneran Data Produksi (PROD), Jumlah Uang Beredar (MONEY), Suku Bunga (IR), dan Inflasi (INF)

EPN | IPB

10

[makalah makro ekonomi]

Data yang tidak stasioner ini ditransformasi (first different) menjadi pertumbuhan indeks produksi industri (GPROD, %), pertumbuhan jumlah uang beredar (GMONEY, %), suku bunga dikurangi suku bunga tahun sebelumnya (IRtIRt-1, % poin), dan inflasi dikurangi inflasi tahun sebelumnya (INFt-INFi-1, % poin). Hasil uji menunjukkan bahwa semua data stasioner (Gambar 3.4.).
GPROD
8

GMONEY
6

4
0

2
-4

0
-8

-12

-2

-16 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

-4 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2005

2006

2007

2008

2009

2005

2006

2007

2008

2009

DIR
.6
10.0 7.5

DINF

.4
5.0

.2
2.5

.0

0.0 -2.5

-.2
-5.0

-.4
-7.5

-.6 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

-10.0 III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2005

2006

2007

2008

2009

2005

2006

2007

2008

2009

Gambar 3.4. Kestasioneran Data Pertumbuhan Indeks produksi Industri (GPROD), Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar (GMONEY), Suku Bunga Dikurangi Suku Bunga Tahun Sebelumnya (DIR), dan Inflasi Dikurangi Inflasi Tahun Sebelumnya (DINF) Hasil Likelihood Ratio Test untuk menentukan lag optimum menunjukkan bahwa model yang dibangun menggunakan dua lag (Lampiran 4). Jika lag terlalu sedikit, tidak dapat menjelaskan hubungan dinamisnya. Sebaliknya jika lag terlalu banyak akan mengurangi degree of freedom yang akan menyebabkan banyak estimasi parameter tidak signifikan. Kemudian data yang sudah stasioner dan sudah ditentukan lag optimumnya, di lihat pengaruhnya satu sama lain dengan menggunakan uji Granger Causality. Hasil Granger Causality menunjukkan ada beberapa kemungkinan hubungan yang terjadi (Tabel 3.1.). Tabel 3.1. menunjukkan bahwa inflasi mempengaruhi produksi, tetapi tidak sebaliknya, sedangkan antara suku bunga dan inflasi saling mempengaruhi. Variabel
EPN | IPB

11

[makalah makro ekonomi]

lain, seperti antara suku bunga dan produksi, uang beredar dan produksi, uang beredar dan inflasi, dan antara uang beredar dan suku bunga, belum dapat diidentifikasi variabel mana yang mempengaruhi. Dengan kata lain, data belum cukup mendukung untuk menyatakan bahwa ada hubungan granger antar variabel yang lain tersebut. Tabel 3.1. Hasil Uji Granger Causality
Null Hypothesis: DINF does not Granger Cause GPROD GPROD does not Granger Cause DINF DIR does not Granger Cause GPROD GPROD does not Granger Cause DIR GMONEY does not Granger Cause GPROD GPROD does not Granger Cause GMONEY DIR does not Granger Cause DINF DINF does not Granger Cause DIR GMONEY does not Granger Cause DINF DINF does not Granger Cause GMONEY GMONEY does not Granger Cause DIR DIR does not Granger Cause GMONEY 52 52 52 53 52 Obs 52 F-Statistic 12.3474 0.22062 2.61667 1.30611 1.24505 0.47833 15.642 9.87696 0.16422 0.00704 0.66277 0.55389 Prob. 0.000050 0.802800 0.083700 0.280500 0.297100 0.622700 0.000006 0.000300 0.849000 0.993000 0.520200 0.578400 Keterangan inflasi mempengaruhi produksi belum dapat diidentifikasi, mana mempengaruhi mana belum dapat diidentifikasi, mana mempengaruhi mana Saling mempengaruhi belum dapat diidentifikasi, mana mempengaruhi mana belum dapat diidentifikasi, mana mempengaruhi mana

Setelah di uji kestasioneran, lag optimum dan hubungan antar variabel, data kemudian diolah menggunakan Vector Autoregression (VAR). Model VAR yang dibangun adalah sebagai berikut:
DIR = C(1,1)*DIR(-1) + C(1,2)*DIR(-2) + C(1,3)*GMONEY(-1) + C(1,4)*GMONEY(-2) + C(1,5)*DINF(-1) + C(1,6)*DINF(-2) + C(1,7)*GPROD(-1) + C(1,8)*GPROD(-2) + C(1,9) C(2,1)*DIR(-1) + C(2,2)*DIR(-2) + C(2,3)*GMONEY(-1) + C(2,4)*GMONEY(-2) + C(2,5)*DINF(-1) + C(2,6)*DINF(-2) + C(2,7)*GPROD(-1) + C(2,8)*GPROD(-2) + C(2,9) C(3,1)*DIR(-1) + C(3,2)*DIR(-2) + C(3,3)*GMONEY(-1) + C(3,4)*GMONEY(-2) + C(3,5)*DINF(-1) + C(3,6)*DINF(-2) + C(3,7)*GPROD(-1) + C(3,8)*GPROD(-2) + C(3,9) C(4,1)*DIR(-1) + C(4,2)*DIR(-2) + C(4,3)*GMONEY(-1) + C(4,4)*GMONEY(-2) + C(4,5)*DINF(-1) + C(4,6)*DINF(-2) + C(4,7)*GPROD(-1) + C(4,8)*GPROD(-2) + C(4,9)

GMONEY

DINF

GPROD

EPN | IPB

12

[makalah makro ekonomi]

Hasil dan Pembahasan


Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
Awal tahun 2003, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Aksi masyarakat di berbagai daerah menentang kenaikan TDL sempat melemahkan nilai tukar rupiah. Bank Indonesia (2003) melaporkan bahwa inflasi pada triwulan III-2003 lebih tinggi dibandingkan dua triwulan sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh relatif tingginya inflasi pada bulan Agustus dan September akibat kenaikan biaya pendidikan dan tarif dasar listrik. Ini berarti kenaikan TDL berdampak pada naiknya inflasi. Sementara itu, investasi yang semula diharapkan akan memberikan dorongan terhadap pertumbuhan PDB, masih menghadapi sejumlah kendala, seperti gangguan keamanan dan meningkatnya biaya produksi terutama akibat kenaikan biaya energi (listrik dan BBM) dan upah buruh. Purwoko (2003) menyimpulkan bahwa subsidi listrik di Indonesia masih diperlukan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, mengantisipasi kebutuhan daya listrik, dan memperluas jaringan listrik. Namun, agar subsidi silang antar pelanggan dapat terjadi, maka tarif listrik perlu dinaikkan secara bertahap, hingga menjadi sama dengan biaya produksi listrik. Kenaikan tarif secara bertahap akan menyebabkan beban pemerintah berupa subsidi juga dapat dikurangi secara bertahap. Makmun dan Abdurahman (2003) juga menyimpulkan bahwa tingkat pendapatan berkorelasi positif dengan konsumsi listrik baik dari sisi nilai pengeluaran maupun tingkat konsumsi listrik per Kwh-nya. Namun, kenaikan TDL ternyata berdampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat. Kenaikan TDL sebesar 10%, menyebabkan income riil rumah tangga buruh tani turun sekitar 1,47 % dan rumah tangga non pertanian golongan bawah turun 3,47%. Kenaikan TDL juga berdampak menurunnya permintaan sektor industri makanan sebesar 3,15%, sektor pertanian tanaman pangan 1,44%, dan sektor perdagangan 1,07%. Oleh karena itu, kenaikan TDL hendaknya diikuti oleh kebijakan peningkatan lapangan kerja untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga kebijakan kenaikan TDL berdampak minimal terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Laporan bulanan ekonomi Kadin menyebutkan bahwa inflasi selama tahun 2005 diperkirakan masih sedikit melebihi target, yaitu sekitar 8%. Kondisi ini dapat terpenuhi apabila pelemahan nilai tukar rupiah dapat ditahan, serta tidak diberlakukan kebijakan yang bersifat inflatoir, seperti kenaikan tarif dasar listrik serta harga BBM di dalam negeri (Sekretariat Kadin Indonesia, 2005). Pada tahun 2006, Kadin menyatakan bahwa kebijakan pemerintah yang kontroversial, seperti kenaikan tarif dasar listrik yang berlebihan, akan sangat berpotensi melemahkan kembali nilai rupiah yang pada gilirannya berdampak pada iklim investasi dan berujung pada ketidakstabilan moneter yang akan menurunkan kredibilitas pemerintah (Sekretariat Kadin Indonesia, 2006).

EPN | IPB

13

[makalah makro ekonomi]

Laporan Kebijakan Moneter, triwulan IV tahun 2006, menyebutkan bahwa laju inflasi IHK mengalami kecenderungan menurun dari triwulan sebelumnya. Penurunan tersebut didorong oleh kombinasi faktor fundamental dan nonfundamental. Dari sisi fundamental, perkembangan nilai tukar rupiah yang mengalami apresiasi, ekspektasi inflasi yang terjaga, dan kondisi permintaan domestik yang belum sepenuhnya pulih berpengaruh pada penurunan laju inflasi inti. Dari sisi nonfundamental, penundaan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada 2006 dan tidak adanya penerapan kebijakan harga produk strategis lainnya (Bank Indonesia, 2006). Pada tahun 2009, kebijakan stabilisasi pemerintah dari sisi belanja adalah tetap mendanai beban subsidi BBM dan listrik yang cukup besar agar tidak terjadi kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik seperti yang tertuang di dalam Nota Keuangan Rencana Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara tahun 2009. Padahal, pada akhir 2009, Bank Indonesia akan menahan tingkat suku bunga sampai dengan kuartal kedua 2010, dengan adanya tekanan pada inflasi yang akan datang dari kenaikan Tarif Dasar Listrik sebesar 30% dan kenaikan harga elpiji (PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, 2009). Estimasi Model VAR Berdasarkan Granger-Causality test ditemukan ada hubungan dua arah antara suku bunga dan inflasi, sedangkan inflasi mempengaruhi produksi. Dengan hasil ini, maka suku bunga bisa disebut sebagai key policy variabel. Namun, untuk membuka ruang analisa lebih luas, hasil Granger-Causality test ini hanya digunakan sebagai pembanding, sedangkan dalam model VAR, tetap diasumsikan keempat variabel yang digunakan saling berhubungan. Hasil Granger-Causality test berperan dalam menentukan ordering variabel ketika akan melakukan analisis impulse respon. Hasil estimasi VAR menunjukkan bahwa koefisien model menjadi (Lampiran 5):
DIR = 0.741512712206*DIR(-1) - 0.0283598340368*DIR(-2) + 0.0168441625463*GMONEY(-1) + 0.0196402318924*GMONEY(-2) + 0.0526491620499*DINF(-1) - 0.0177495120347*DINF(-2) 0.0119837476504*GPROD(-1) - 0.00076223144952*GPROD(-2) 0.00953030706058 - 0.191706194461*DIR(-1) - 1.39728837824*DIR(-2) 0.239495290604*GMONEY(-1) - 0.183054812007*GMONEY(-2) + 0.111126694401*DINF(-1) + 0.192640726207*DINF(-2) + 0.0901825940074*GPROD(-1) - 0.0228371382439*GPROD(-2) + 1.80821539364 5.6477697868*DIR(-1) - 1.87250724976*DIR(-2) + 0.0792880683755*GMONEY(-1) - 0.06476441354*GMONEY(-2) 0.103140356045*DINF(-1) - 0.560211067898*DINF(-2) 0.0590738669226*GPROD(-1) + 0.059406234731*GPROD(-2) 0.0210705213002

GMONEY =

DINF

EPN | IPB

14
GPROD

[makalah makro ekonomi]

1.54018422268*DIR(-1) + 0.81016752538*DIR(-2) 0.0588592087878*GMONEY(-1) - 0.391546875581*GMONEY(-2) 0.796488978432*DINF(-1) + 0.820065745832*DINF(-2) 0.293070622104*GPROD(-1) - 0.0845318787548*GPROD(-2) + 0.737487200215

Hasil estimasi VAR ini mengindikasikan adanya koefisen (size) yang berbeda-beda dengan tanda (sign) yang juga berbeda, baik pada lag-1 maupun lag-2. Niai koefisien menunjukkan besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, sedangkan tanda positif atau negatif menunjukkan arah hubungannya. Hasil estimasi model ini dikatakan baik, karena residual dari semua variabel stasioner (Gambar 4.1.). 4.3. Impulse Response Impulse Response digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer (atau pada saat yang bersamaan) dari suatu seri/variabel terhadap seri/variabel yang lain. Hasil dari impulse response tergantung pada ordering dari seri variabel yang digunakan dalam perhitungan. Oleh karena itu, untuk menguji kebijakan moneter yang terbaik untuk meminimalisasi dampak kenaikan TDL, maka impulse response dibuat dalam dua skenario urutan; (1) Suku bunga didepan dan (2) Money supply di depan. Hasil perhitungan The Impulse Response Test, dengan suku bunga sebagai concern dapat dilihat pada Gambar 4.2.- 4.3. dan Lampiran 6. Selain itu, Gambar 4.4.- 4.5. dan Lampiran 7 menunjukkan hasil perhitungan The Impulse Response Test, dengan money supply sebagai concern.
DIR Residuals
.4 .3 .2 .1 0 .0 -.1 -.2 -.3 III IV 2005 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006 2007 2008 2009 -4 III IV 2005 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006 2007 2008 2009 2 4

GMONEY Residuals

-2

DINF Residuals
8 6 4 2 4 0 2 -2 0 -4 -2 -6 -8 III IV 2005 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV III IV 2005 I II III IV

GPROD Residuals

-4 2006 2007 2008 2009

II

III

IV

II

III

IV

II

III

IV

2006

2007

2008

2009

Gambar 4.1. Residual Graph Variabel Dependen:Stasioner


EPN | IPB

15

[makalah makro ekonomi]


Response of DIR to Cholesky One S.D. Innovations Response of GMONEY to Cholesky One S.D. Innovations
2.0

.16

.12

1.5

.08

1.0

.04

0.5

.00

0.0

-.04 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

-0.5 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

GMONEY GPROD

GMONEY GPROD

Response of DINF to Cholesky One S.D. Innovations


1.6 4

Response of GPROD to Cholesky One S.D. Innovations

1.2

2 0.8 1 0.4 0 0.0

-1

-0.4 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

-2 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

GMONEY GPROD

GMONEY GPROD

Gambar 4.2. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Suku Bunga Sebagai Concern pada Shock 1 Standar Deviasi
Response of DIR to Nonfactorized One Unit Innovations
1.2 1.0 0.8 0.8 0.6 0.4 0.2 -0.4 0.0 -0.2 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12 -0.8 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12 0.4 1.2

Response of GMONEY to Nonfactorized One Unit Innovations

0.0

GMONEY GPROD

GMONEY GPROD

Response of DINF to Nonfactorized One Unit Innovations


6 5 4 4 3 2 2 0 1 0 -1 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12 -2 8

Response of GPROD to Nonfactorized One Unit Innovations

-4 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

GMONEY GPROD

GMONEY GPROD

Gambar 4.3. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Suku Bunga Sebagai Concern pada Shock 1 Unit (Persen)

EPN | IPB

16

[makalah makro ekonomi]


Response of GMONEY to Cholesky One S.D. Innovations Response of DIR to Cholesky One S.D. Innovations
.16

2.0

1.5

.12

1.0

.08

0.5

.04

0.0

.00

-0.5 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12

-.04 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12

GMONEY DINF

GMONEY DINF

Response of DINF to Cholesky One S.D. Innovations


1.6 4

Response of GPROD to Cholesky One S.D. Innovations

1.2

2 0.8 1 0.4 0 0.0

-1

-0.4 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12

-2 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12

GMONEY DINF

GMONEY DINF

Gambar 4.4. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Money Supply Sebagai Concern pada Shock 1 Standar Deviasi
Response of GMONEY to Nonfactorized One Unit Innovations
1.2 1.2 1.0 0.8 0.8 0.4 0.6 0.4 0.2 -0.4 0.0 -0.8 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12 -0.2 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12

Response of DIR to Nonfactorized One Unit Innovations

0.0

GMONEY DINF

GMONEY DINF

Response of DINF to Nonfactorized One Unit Innovations


6 5 4 4 3 2 2 0 1 0 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12 -2 8

Response of GPROD to Nonfactorized One Unit Innovations

-4 1 2 3 4 5 6 7 8 DIR GPROD 9 10 11 12

GMONEY DINF

GMONEY DINF

Gambar 4.5. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Money Supply Sebagai Concern pada Shock 1 Unit (Persen)

EPN | IPB

17

[makalah makro ekonomi]

Berdasarkan Gambar 4.2, 4.3., 4.4., dan 4.5., kenaikan suku bunga 1 persen point, secara akumulasi dalam dua tahun akan menyebabkan suku bunga naik sebesar 3,96 persen point, inflasi naik 0,10 persen point dan pertumbuhan produksi industri turun 0,03 persen point dibandingkan dari sebelum shock innovasi dilakukan. Selain itu, kenaikan pertumbuhan money supply 1 persen poin, secara akumulasi dalam dua tahun akan menyebabkan money supply hanya naik 0,63 persen poin dari sebelum shock, dengan suku bunga turun 2,15 persen poin, inflasi naik 0,07 persen poin dan pertumbuhan produksi naik 0,05 persen poin. Ini berarti, secara keseluruhan kebijakan money supply memberikan dampak lebih kecil dibanding kebijakan suku bunga terhadap indikator perekonomian. Lebih detail perbandingan kedua instrumen kebijakan moneter tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1. Jadi, kebijakan menambah money supply lebih efektif dalam meminimalkan dampak kenaikan TDL. Karena dengan menambah jumlah uang beredar, masyarakat masih dapat membeli barang yang harganya menjadi mahal (karena inflasi) sehingga tidak menimbulkan efek psikologis (rush) yang menyebabkan naiknya harga lebih tinggi lagi (seperti tahun 1998). Inflasi dapat dikendalikan karena dengan menambah money supply, produksi tetap terjaga, ketersediaan barang relatif aman, kenaikan harga dapat dikendalikan dalam taraf yang wajar. Tabel 4.1. Perbandingan Dua Kebijakan Moneter
Accumulated Response of DIR: DIR 1.000000 (0.00000) 1.741513 (0.10487) 2.538658 (0.21442) 3.112722 (0.33431) 3.402667 (0.44486) 3.592565 (0.55161) 3.948613 (0.93525) 3.967054 (1.00101) GMONEY 0.000000 (0.00000) 0.016844 (0.01294) 0.049820 (0.02831) 0.070730 (0.04245) 0.086411 (0.05231) 0.096689 (0.05773) 0.111685 (0.06896) 0.112667 (0.06978) DINF 0.000000 (0.00000) 0.052649 (0.01302) 0.079926 (0.02821) 0.079662 (0.04062) 0.085001 (0.04729) 0.095802 (0.05029) 0.102948 (0.05936) 0.103370 (0.06020) GPROD 0.000000 (0.00000) -0.011984 (0.00680) -0.019711 (0.01463) -0.022446 (0.02173) -0.02571 (0.02647) -0.027829 (0.02892) -0.031003 (0.03399) -0.031171 (0.03428) 24 12 6 5 4 3 2 Period 1 GMONEY 1.000000 (0.00000) 0.760505 (0.15571) 0.635082 (0.19409) 0.660624 (0.13228) 0.684030 (0.12596) 0.654424 (0.13547) 0.632480 (0.13214) 0.632419 (0.13138) Accumulated Response of GMONEY: DIR 0.000000 (0.00000) -0.191706 (1.26228) -0.918719 (1.29992) -0.934157 (1.34932) -1.095646 (1.52465) -1.862543 (1.70741) -2.118034 (1.87369) -2.151229 (1.88532) DINF 0.000000 (0.00000) 0.111127 (0.15673) 0.183769 (0.19294) 0.152872 (0.13391) 0.028809 (0.10439) 0.064331 (0.11610) 0.073494 (0.11482) 0.071095 (0.11335) GPROD 0.000000 (0.00000) 0.090183 (0.08185) 0.015050 (0.09384) 0.034773 (0.06271) 0.047391 (0.06226) 0.050994 (0.06584) 0.050486 (0.06476) 0.050836 (0.06454)

angka dalam kurung menunjukan standar error

EPN | IPB

18

[makalah makro ekonomi]

4.4. Variance decomposition


The Variance Decomposition memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya test ini merupakan metode lain untuk menggambarkan sistem dinamis yang terdapat dalam VAR. Test ini digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain. Berdasarkan hasil test ini juga menunjukkan bahwa kebijakan menambah money supply lebih efektif meminimalkan dampak kenaikan TDL dibandingkan kebijakan menaikkan suku bunga (Gambar 4.6.).
Variance Decomposition of DIR
100 100

Variance Decomposition of GMONEY

80

80

60

60

40

40

20

20

0 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

0 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

GMONEY GPROD

GMONEY GPROD

Variance Decomposition of DINF


100 100

Variance Decomposition of GPROD

80

80

60

60

40

40

20

20

0 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

0 1 2 3 4 5 DIR DINF 6 7 8 9 10 11 12

GMONEY GPROD

GMONEY GPROD

Gambar 4.6. Variance Decomposition Variabel Dependen Gambar 4.6 menunjukkan bahwa peran money supply relatif kecil dalam mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan produksi, terlihat dalam varian dekompositionnya, sedangkan suku bunga lebih besar pengaruhnya terhadap variasi kedua variabel tersebut. Ini berarti, walaupun kebijakan menaikkan suku bunga direspon lebih tinggi oleh pertumbuhan produksi dan inflasi yang semakin menurun, namun akan berdampak lebih tinggi juga pada penurunan investasi dan penyerapan
EPN | IPB

19

[makalah makro ekonomi]

tenaga kerja. Oleh karena itu, kebijakan menaikkan suku bunga justru bukan meminimalisasi dampak kenaikan TDL. Sebaliknya, menambah money supply, walaupun direspon rendah oleh pertumbuhan produksi dan inflasi yang semakin tinggi, namun akan berdampak pada penurunan nilai rupiah, sehingga daya beli masyarakat makin meningkat. Pada tingkat pendapatan yang tidak berubah, masyarakat dapat membeli lebih banyak barang, sehingga naiknya inflasi akibat kenaikan TDL dapat diminimalkan dampaknya. Menaikkan money supply dapat dilakukan dengan; (1) mencetak uang atau (2) melalui instrumen penurunan suku bunga. Analisis impulse response yang menunjukan kebijakan menaikkan money supply lebih efektif, tetapi justru variasi tingkat suku bunga yang dapat menjelaskan lebih banyak variasi output maupun inflasi lebih banyak dibanding money supply. Maka, jika otoritas moneter ingin menggunakan instrumen suku bunga, pilihan yang sebaiknya diambil adalah menurunkan tingkat suku bunga (agar money supply meningkat), bukan menaikkan suku bunga demi menjaga inflasi.

Kesimpulan Dan Rekomendasi


Kebijakan kenaikan TDL akan berdampak pada kenaikan laju inflasi dan penurunan pertumbuhan produksi. Dampak kenaikan TDL dapat diminimalkan, jika direspon oleh kebijakan moneter dengan menaikkan money supply. Kebijakan meningkatkan money supply lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan menaikkan suku bunga. Kedua kebijakan moneter tersebut memang masih mengandung resiko, yaitu kenaikan inflasi, tetapi peningkatan money supply lebih dapat menjaga pertumbuhan produksi dibandingkan dengan peningkatan suku bunga. Untuk menyelaraskan dengan kebijakan fiskal kenaikan TDL, otoritas moneter sebaiknya mengambil kebijakan moneter dengan menambah money supply. Kebijakan money supply merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan kebijakan menaikkan suku bunga. Namun, kebijakan money supply harus diikuti oleh program peningkatan pendapatan masyarakat melalui perluasan kesempatan kerja. Jika otoritas moneter ingin menggunakan instrumen suku bunga, maka sebaiknya kebijakan yang diambil adalah menurunkan tingkat suku bunga, agar money supply meningkat, bukan meningkatkan suku bunga demi menjaga inflasi.

Daftar Pustaka
Bank Indonesia. 2003. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 6, Nomor 2, September 2003.Djojosubroto, D. I. 2009. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia Pasca Undang-Undang Bank Indonesia 1999. Kumpulan Tulisan Dalam Buku Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep dan Implementasinya. Penerbit P.T. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Bank Indonesia. 2006. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan IV-2006. Kebijakan Moneter - Triwulan IV-2006. Laporan

EPN | IPB

20

[makalah makro ekonomi]

Dornbusch, R., Fischer, S. and Startz, R. 2001. Macroeconomics 8th Edition. McGraw-Hill Companies. New York. Harper, D. 2003. Trying to predict interest rates. Editor in Chief Investopedia Advisor. Makmun dan Abdurahman. 2003. Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Terhadap Konsumsi Listrik dan Pendapatan Masyarakat. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2 Desember 2003. Mankiw, N. G. 2000. Macroeconomics 6th Edition. Worth Publishers. New York. Muhammad, M. 2009. Kebijakan Fiskal di Masa Krisis 1997. Kumpulan Tulisan Dalam Buku Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep dan Implementasinya. Penerbit P.T. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Nkomo, J. C. 2007. Energy Use, Poverty and Development in The SADC. Journal of Energy in Southern Africa Vol. 18 No. 3. International Development Research Centre and Energy Research Centre in University of Cape Town. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia. 2009. Market Review & Outlook. TSX/NYSE/PSE: MFC SEHK: 945, Oktober 2009. Purwoko. 2003. Analisis Peran Subsidi Bagi Industri dan Masyarakat Pengguna Listrik. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2 Desember 2003. Salvatore, D. 1997. International Economics Fifth Edition. Prentice Hall International, Inc. New Jersey, USA Schubert, R., Blasch, J. and Hoffmann, K. 2007. Environmental Protection, Energy Policy and Poverty Reduction Synergies of An Integrated Approach. Institute for Environmental Decisions Working Paper No. 1. Zurich. Sekretariat Kadin Indonesia. 2005. Laporan Ekonomi Bulanan, Edisi Juli 2005. Kerjasama KADIN Indonesia dan JETRO. Sekretariat Kadin Indonesia. 2006. Laporan Ekonomi Bulanan, Edisi Januari 2006. Kerjasama KADIN Indonesia dan JETRO. Sugema, I. 2004. Mencari paradigm baru kebijakan moneter. Kompas, 19 Agustus 2004.

EPN | IPB

Anda mungkin juga menyukai